Anda di halaman 1dari 4

Ancaman Populisme Islam; Retorika Islamophobia

Aisyah Karim (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Saiful Mujani dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia dan Dies Natalis UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, menyampaikan bahwa populisme Islam mengancam kebhinekaan
Indonesia sebagai negara bangsa dan menurunkan kualitas demokrasi. Ia mencemaskan realitas
tersebut ternyata tidak hanya datang dari kelompok politik agama, melainkan juga kelompok
nasionalis (suara.com 19/8/2020).

Allah mengingatkan kita dengam firman-Nya dalam QS. Al Hasyr ayat 18, “Hai orang-
orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Mengenali Komprador

Salah satu cara musuh-musuh Islam untuk menghancurkan kaum Muslim adalah dengan
menyusupkan `ulama-ulama’ maupun intelektual Muslim yang berbaju Islam tapi
mengemban pemikiran-pemikirannya pemikir Barat yang kufur. Apa saja yang keluar dari
hembusannya tidak lebih perpanjangan lidah dari para pendengki. Hal ini karena para
modernis intelektual ini memperoleh gemblengan langsung dari orientalis, yang sejatinya
membenci Islam.

Kebencian ini tersembunyi, dibalik silat lidah penuh racun. Mereka memposisikan dirinya
sebagai kaki tangan negara-negara kafir. Sepak terjangnya tidak jauh dari upaya menjaga
dan memelihara kepentingan-kepentingan tuannya. Komprador, dalam kamus al-Mawrid,
dinyatakan sebagai wakil atau penasehat pribumi yang digunakan oleh lembaga asing untuk
memberikan supervisi urusan para pengguna jasa mereka. Dalam perkembangannya, istilah ini
digunakan untuk melabeli mereka yang bekerja untuk kepentingan asing. Dari sana kemudian
muncul istilah LSM komprador, dan sebagainya.

Mereka umumnya mendapat proyek dari berbagai lembaga asing. Dari lembaga-lembaga
tersebut mereka dapatkan bantuan milyaran rupiah. Mereka dianggap mempunyai satu visi
dengan tuannya. Ini bukan hanya terjadi dibidang agama dan budaya, tetapi juga dibidang
ekonomi, politik dan militer.

Mereka merangkap sebagai pelaksana lapangan, karena bukan zamannya lagi perang fisik. Para
komprador melaksanakan visi, misi dan grand strategy yang telah dibuat oleh negara-negara
asing-pendonor mereka. Tidak ada makan siang gratis, maka setiap donasi yang dialirkan ke
kantong-kantong komprador pasti akan dikalkulasi.

Apa itu Populisme?

Pernyataan Saiful Mujani bahwa populisme Islam mengancam kebhinekaan di Indonesia adalah
sebuah penyesatan. Pernyataan ini ahistoris, tendensius, deislamisasi dan sarat dengan aroma
Islamophobia. Penulis menyoroti penggunaan kata populisme. Ini adalah istilah yang jarang
digunakan kecuali setelah terpilihnya Trump. Namun peneliti politik global sendiri belum
menemukan konsensus mengenai definisi populisme. Apakah ini sebuah ideologi, ataukah
wacana politik.

Dalam bukunya “What is Populism?” Jan-Werner Muller berpendapat bahwa nilai inti dari
seorang pemimpin yang populis adalah penolakannya atas keberadaan pluralisme di masyarakat.
Dr Moffitt, penulis buku “The Global Rise of Populism” menulis bahwa pemimpin populis
biasanya juga berperilaku buruk. Ciri khas pemimpin populis; anti-pemerintahan, anti-politik,
anti-elitis.

Menyematkan populisme pada Islam adalah pernyataan yang tidak berdasarkan fakta, ahistoris.
Islam mengakomodir pluralitas namun menolak pluralisme. Ketika Rasulullah membina institusi
Islam di Madinah, Daulah Islam menjadi rumah bagi bermacam-macam agama, terdapat Muslim
sebagai mayoritas, Yahudi, Nasrani dan Musyrik penyembah berhala. Mereka hidup
berdampingan, mendapat jaminan keadilan dalam naungan Islam.

Sepeninggal beliau para Khalifah membebaskan bangsa-bangsa dan merangkum mereka menjadi
warga negara Khilafah yang solid. Tak pernah disoal apakah mereka berkulit zaitun, putih,
kuning ataukah merah. Maka semakin beragamlah penduduk Daulah, baik bangsa, agama,
tradisi, ras dan bahasa. Namun Islam mampu melakukan integrasi sosial dengan gemilang.
Mereka hidup berdampingan menikmati ketenteraman di bawah Rayah Khilafah Islamiyah.
Sebuah prestasi yang belum pernah terjadi dalam peradaban manapun di muka bumi.

Inilah realitas dimana toleransi, kesetaraan dan keadilan hanya terdapat dalam peradaban Islam.
Peradaban selain itu baik Persia, Romawi, India, China bahkan peradaban modern kapitalisme
dan sosialisme tidak pernah mewujudkan kesetaraan dan toleransi. Meski istilahnya senantiasa
disuarakan sampai berbusa-busa. Kenyataannya peradaban tersebut tidak terlepas dari rasisme.
Justru rasisme menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah tuntas.

Sementara pluralisme adalah sebuah pandangan hidup yang menyatakan bahwa agama seseorang
bukanlah sumber stu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, karena semua agama sama halnya
dalam kebenaran. Tentu saja paham ini bertolak belakang dengan Islam.

Penyesatan Sejarah

Pernyataan populisme Islam mengancam kebhinekaan adalah sebuah penyesatan sejarah. Telah
umum kita pahami bahwa telah terjadi deislamisasi dalam penulisan sejarah di Indonesia.
Peranan Islam dalam perjalanan bangsa ini telah dikaburkan bahkan dihilangkan. Jauh sebelum
peradaban modern berbicara soal toleransi, peradaban Islam sudah sukses menghidupkan nilai-
nilainya dalam Institusi Khilafah Islamiyah selama 13 abad.

John Crawford, 1820 M dalam History of Indian Archipelago menuturkan, “Para wiraswasta
Muslim tidak datang sabagai bangsa penakluk seperti yang dikerjakan oleh bangsa Spanyol pada
abad ke 16M. Mereka tidak menggunakan pedang dalam dakwahnya juga tidak melakukan
penindasan terhadap rakyat bawahnya. Para dai hanya wiraswasta yang memanfaatkan
kecerdasan dan peradaban mereka yang tinggi untuk kepentingan dakwahnya. Harta
perniagaannya lebih mereka utamakan sebagai modal dakwah daripada untuk memperkaya diri”.

M.C. Ricklefs, 1991 dalam Sejarah Indonesia Modern, menuturkan toleransi antar umat
beragama di Nusantara. Dibuktikan dengan adanya makam-makam orang Jawa Muslim di dekat
situs istana kerajaan Hindu Majapahit. Tahun-tahun pada nisan tersebut, 1396-1611M berbicara
tentang waktu terjadinya Islamisasi di kalangan elit kerajaan Hindu Majapahit. Terjadi antara
awal berdirinya, 1294 M dan sesudah kertuntuhannya pada 1478M.

Ricklefs mengatakan bahwa pada masa Hindu Majapahit, dakwah Islam tidak dilarang.
Termasuk aktivitas dakwah sunan Ampel di Surabaya dan Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Ia
juga menuturkan tentang keberadaan seorang etnis China di pantai utara Jawa pada 1416M, yaitu
Ma Huan yang juga menuliskan kesaksiannya soal toleransi Islam dalam bukunya, Ying-yai
heng-lan yang disusun pada 1451M.

Ma Huan dalam bukunya menuturkan tentang adanya kehidupan komunitas di pantai utara yang
terdiri dari tiga golongan yaitu orang-orang Muslim dari Barat, orang China yang sebagaian
sudah masuk Islam dan orang Jawa yang masih menyembah berhala.

Islam, Ulama dan Santri adalah gerakan sentris yang berperan penuh dalam upaya mengusir
imperialisme Barat, baik kerajaan Katolik Portugis maupun kerajaan Belanda Protestan. Oleh
sebab itulah sejarawan Barat mengenal istilah Santri Insurrection-Perlawanan Santri. Pun
demikian dalam upaya mewujudkan kemerdekaan Indonesia, merekalah para pemimpin terdepan
bandul sejarah di Indonesia.

Namun penulisan sejarah telah ditelikung oleh kaum sekuler, yang terus dilanjutkan oleh
penerusnya hingga kini. Propaganda populisme Islam ini justru sebagai dongeng pemecah belah
untuk membentuk citra negatif dari menguatnya Islam di Indonesia.

Penyesatan Realitas

Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting itu mengatakan, sejak 1998, demokrasi
Indonesia mengalami kemajuan, terutama dalam aspek hak-hak politik. Tapi dalam enam
tahun terakhir mengalami sedikit kemunduran dalam hal-hal yang banyak berkaitan
dengan kebinnekaan Indonesia sebagai negara-bangsa.

Apakah absennya masyarakat sipil yang kritis pada kekuasaan dan hilangnya oposisi
adalah kemajuan demokrasi? Apakah pemilu berbiaya tinggi karena masifnya politik uang
merupakan prestasi demokrasi? Bertebarannya hoax, berita palsu, rendahnya etika politik,
pelanggaran hak asasi, dibredelnya kebebasan berbicara dan berpendapat, pembubaran
ormas, apakah ini kemajuan demokrasi?

Menurutnya persoalan utama yang menurunkan kualitas kebebasan sipil yang terkait
dengan kebhinnekaan adalah munculnya apa yang disebut sebagai Islamisasi. Dalam
pandangannya yang sempit Saiful tidak mempermasalahkan jika Islamisasi terjadi di level
individu dan keluarga. Sebaliknya ia sangat khawatir jika Islamisasi menjadi produk
kebijakan negara, meskipun kebijakan tersebut baik di pusat maupun di daerah, hanya
berlaku bagi orang Islam saja, tidak berlaku bagi non Islam. Dia menambahkan bila itu
yang terjadi, maka sesungguhnya Piagam Jakarta kembali hidup dalam demokrasi
Indonesia.

Hello? Anda menyalahkan Islamisasi? Tidakkah anda salah alamat, justru umat Islamlah yang
menjadi tumbal selama ini. Siapa yang selama ini dipersekusi, dikriminalisasi? Umat Islam
bukan? Umat Islam telah menjadi bulan-bulanan dari mulai kriminalisasi simbol-simbol Islam,
jenggot, niqab, bendera Tauhid hingga kriminalisasi ajaran Islam syariah dan Khilafah.

Cukup menggelikan aksi kutip data yang dinukil Saiful Mujani dari sebuah studi yang
dilakukan oleh Buehler (2013) yang memaparkan bahwa sejumlah kebijakan publik yang
eksklusif, hanya mengakomodasi kepentingan satu kelompok Islam (sektarian),
mendiskriminasi non-Islam, telah dibuat di banyak daerah. Dalam kurun waktu 1999-
2009, setidaknya ada 169 kebijakan publik di berbagai daerah, provinsi dan kabupaten
serta kota, yang masuk dalam kategori kebijakan publik bersyariah.

Bung, main-mainlah ke Aceh daerah bersyariah. Etnis China Peunayong hidup aman
tenteram sejak masa Sultan Iskandar Muda sampai sekarang. Tidak terdengar kericuhan
antar umat beragama di Aceh. Demikian juga etnis India Tamil di Keudah Banda Aceh.
Mereka bebas melangsungkan tradisi Thaipusam di kuil Palani Andawer, tidak ada
larangan. Lalu dimana sentimen Islam yang diskriminatif yang anda bicarakan?
Kebhinekaan sebelah mana yang terancam? Ada-ada saja.

Anda mungkin juga menyukai