Anda di halaman 1dari 4

Khilafah Tidak Menciptakan Politik Identitas

Oleh: Pratma Julia Sunjandari

MuslimahNews.com, FOKUS – Berbeda dengan hari ini yang menganggap Khilafah sebagai ancaman,
realitas sesungguhnya saat Khilafah tegak dan diterapkan, tak ada ketakutan itu. Justru kaum nonmuslim
-yang dianggap terintimidasi jika Khilafah tegak- turut merasakan keberkahan di era Kehilafahan.

Kesentosaan dinikmati nonmuslim ‘ahlu dzimmah’ karena Khilafah adalah negara yang menerapkan
semua aturan dari Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta. Otomatis, Allah SWT Mahatahu apa yang
terbaik bagi semua ciptaan-Nya, baik mereka beriman kepada-Nya ataupun tidak.

Kedudukan ahlu dzimmah dijamin Khilafah karena menerapkan hadis Rasulullah Saw.: “Barang siapa
membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang hak, maka
ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun.” (HR
Ahmad)

Ancaman tidak akan masuk surga, sekalipun hanya mencium wanginya, demikian menakutkan bagi tiap
muslim yang hidup dalam suasana ketakwaan. Walhasil, mereka tidak akan mengusik ketenangan
nonmuslim. Kalaupun terjadi masalah, pasti diselesaikan sesuai ketetapan syariat Islam yang adil dan
manusiawi.

Jaminan kenyamanan bermasyarakat dengan nonmuslim seiring dengan tanggung jawab Khalifah
sebagai ri’ayatusy syu’unin naas bukan hanya ri’ayatusy syu’unil muslim. Khalifah menyantuni,
memenuhi kebutuhan, memberi makan ahlu dzimmah yang kelaparan, menyediakan pakaian,
memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan
bertetangga, sekalipun kaum muslim memiliki posisi lebih tinggi dari ahlu dzimmah.

Harmoni itu turut diakui para Orientalis. Will Durant dalam The Story of Civilization menuliskan, Yahudi
dan Kristen di Spanyol pada era Khilafah Bani Umayyah hidup aman, damai, dan bahagia bersama kaum
muslimin hingga abad ke-12 M.

Demikian pula T.W. Arnold, dalam The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith
menyatakan, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama
kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang
sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”

Realitas pada beberapa masa dan lokus yang berbeda menjadi saksi Khilafah tidak pernah memiliki
problem terhadap keberadaan nonmuslim, sekalipun mereka minoritas. Apalagi sengaja membuat
fabricated issue sebagaimana yang kerap dilakukan para pembenci Islam, muslim ataupun nonmuslim
saat ini.

Tuduhan Salah Alamat


Ketiadaan Khilafah sebagai pelindung umat menjadi faktor utama yang membuat musuh Islam berkali-
kali melempar tuduhan sumir atas Islam. Seperti stigma politik identitas (political of identity) yang
cenderung dialamatkan pada Islam, mengingat sinyal kebangkitan Islam mulai berpendar di negeri
muslim.

Padahal, pelekatan politik identitas digunakan untuk menggambarkan pendekatan politik di antara
komunitas homogen -baik ras, latar belakang sosial, kelas atau faktor pengenal lain-, bukan hanya
agama. Homogenitas tersebut dianggap bakal membentuk aliansi sosio-politik eksklusif.

Sayangnya, kebencian terhadap Islam menjadikan Islam sebagai fokus serangan “bahaya” politik
identitas. “Politik identitas Islam” justru muncul akibat ketidakadilan atas ajaran Islam dan pemeluknya.

Ini sesuai dengan realitas yang biasa terjadi sebelum kecenderungan politik identitas itu terjadi. Rezim
atau kelompok arus utama gagal mengakomodir kepentingan semua pihak, sehingga menimbulkan
ancaman bagi kelompok yang tak disukai. Gharizatul baqo,’ naluri mempertahankan diri itu otomatis
melekat pada manusia, maka kelompok yang “terpinggirkan” sistem cenderung akan berkumpul dengan
orang-orang yang memiliki kesamaan ide dan rasa.

Ironi Indonesia. Hidup di negeri dengan pemeluk Islam terbesar, justru menjadikan kaum muslimin
sebagai tertuduh utama pelaku politik identitas. Padahal sumber kekisruhan berasal dari kelompok
minoritas yang berada di atas angin, buah keistimewaan yang diberikan rezim. Kasus Ahok menjadi
pemicu terbesar masalah ini

Semangat kaum muslimin untuk membela Alquran yang dilecehkan Ahok pada 27/9/2016 lalu di Pulau
Pramuka, ditangkap rezim dan anteknya sebagai “ancaman politik identitas”.

Rezim dan kroninya, dibantu media mainstream, menebarkan opini untuk memengaruhi image publik
bahwa identitas Islam bila terus menjadi rujukan utama umat, bakal membahayakan kerukunan
masyarakat yang plural. Jika ngotot bertahan berpegang pada tatanan Islam, publik ditakuti-takuti akan
peningkatan intoleransi, rasionalitas akan hilang, serta menjerumuskan bangsa dalam jurang
permusuhan.

Rezim sengaja menghidupkan hantu politik identitas agar cara berislam menjadi makin cair. Apalagi
menjelang Pilkada Desember 2020, yang membuat kontestasi itu membutuhkan suara umat Islam.

Partai yang memenangkan rezim hari ini adalah partai-partai yang memusuhi Islam kaffah, sekalipun
gerbong mereka turut didukung parpol berbasis Islam. Pernyataan itu didukung pidato Presiden Joko
Widodo di hadapan parlemen Australia, di Canberra (20/2/2020) yang mengajak perlawanan terhadap
politik identitas. “Terus kikis politik identitas di negara kita dan di berbagai belahan dunia. Baik itu atas
dasar agama, entitas, identitas askriptif lainnya,” kata Jokowi.

Seperti biasa, politik identitas (Islam) dianggap Jokowi menentang nilai-nilai demokrasi dan mengarah
pada radikalisme. Sesuatu yang selalu dilekatkan pada pejuang Islam kaffah.
“Kita harus terus memperjuangkan nilai demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, dan kemajemukan.
Stop intoleransi, stop xenophibia, stop radikalisme, dan stop terorisme,” ujar Jokowi[1].

Senada dengan Jokowi, Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menilai, akibat politik identitas
di Pilkada DKI Jakarta pada 2017 sangat berbahaya. Hingga saat ini dampaknya masih dirasakan
masyarakat luas. Keterbelahan publik belum dapat dihilangkan[2].

Islamofobia: Politik Identitas Kafir Barat

Tuduhan kaum muslimin sebagai pelaku politik identitas, melekat erat pada penganut Islamofobia. Fobia
ini diopinikan secara sengaja oleh kaum kuffar, tidak hanya di Barat namun juga di negeri muslim.

Dalam buku “Islamophobia in Muslim Majority Societies” yang ditulis Enes Bayraklı dan Farid Hafez (Juni
2020) disebutkan fenomena tersebut terkait dengan konteks politik global yang sangat terstruktur oleh
tatanan pascakolonial dan hegemoni AS di dunia.

AS telah menjadi salah satu sumber pendanaan sentral yang menyebarkan narasi antimuslim secara
global. Sebuah laporan tahun 2019, Hijacked by Hate: American Philanthropy and the Islamophobia
Network menemukan ada 1.096 organisasi yang bertanggung jawab mendanai 39 kelompok –dengan
donasi hingga jutaan dolar- demi menyebarkan sentimen antimuslim.[3]

Nyatanya, ironi Islamofobia justru terjadi di tanah air kaum muslimin. Sebagaimana di Indonesia, di
Albania, Kosovo, dan Bosnia -tiga negara mayoritas Muslim di Balkan- rezim cenderung “membaratkan
diri sendiri.” Sehingga mereka memandang regulasi Islam (syariat) sebagai cara mengatur identitas yang
mengancam negara-bangsa sekuler.

Islamofobia di Albania telah mengalami intensifikasi di berbagai bidang kehidupan, termasuk pekerjaan,
pendidikan, representasi media, sistem peradilan, dan lain-lain. Opini, stereotip negatif, ujaran
kebencian mengalir deras di media arus utama, media sosial, dan platform online.[4]

Islamofobia memang tak bisa lepas dari sejarah Kosovo dan Bosnia. Pada 1990-an, banyak rakyat
terbunuh hanya karena keyakinan Islamnya. Dan saat ini, muslim Eropa menghadapi berbagai bentuk
kebencian di Prancis, Jerman, Norwegia, dan Inggris.

Partai sayap kanan acap kali menyebarluaskan narasi “Great Replacement“, yang menuduh muslim
sedang berusaha menggantikan posisi nonmuslim di Eropa. Konspirasi ini terus disebarkan secara diam-
diam untuk meneror supremasi kulit putih. Akibatnya, di Prancis, ada 1.043 insiden Islamofobia berkisar
dari serangan fisik, pidato kebencian hingga penodaan situs keagamaan[5].

Dari berbagai realitas tersebut, siapa sesungguhnya yang memiliki racun “politik identitas”? Kebencian
atas Islam, hingga menjadi penyakit psikologis ketakutan yang sangat tanpa alasan jelas, hingga
menyakiti komunitas muslim, bukankah dilandasi identitas nonmuslimnya? Identitas kafir Barat dengan
memanfaatkan supremasinya, memaksakan dunia –termasuk muslim sendiri- membenci Islam melalui
strategi politik sistematis global.
Demikianlah ketika Barat berkuasa. “Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat
dengan sebenar-benarnya.” [QS Ath-Thâriq :15]. “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana
mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di
antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah.” (QS An-Nisa: 89).

Mereka akan terus menyusun strategi dan makar untuk mencegah Islam diterima dengan baik. Agenda
penyesatan Islam dan muslim akan terus menjadi prioritas utama kerja mereka demi mempertahankan
hegemoninya.

Namun segala tipu daya mereka tak bakal lama. “Dan Aku pun membuat rencana (pula) dengan
sebenar-benarnya.” (QS Ath-Thariq:16).

Menghentikan makar busuk mereka hanya akan terealisir secara sempurna bila Khilafah kembali tegak.
Karena supremasinya mampu mencegah kezaliman yang mengancam semua manusia.

Tidak hanya muslim yang aman dari gangguan kaum kafir, ahlu dzimmah pun mendapatkan keamanan
itu sebagaimana yang diuraikan di atas. Oleh sebab itu, dunia hanya butuh Khilafah, supremasi politik
yang penuh kasih sayang pada seluruh manusia. [MNews/Gz]

Anda mungkin juga menyukai