Anda di halaman 1dari 17

Agama dalam Media

era Post Truth

Kartika Utami- 2106735975

Syadza Alaiya Turisina- 2106655406


Islam Dan Media
di Era Post Truth

Islam sebagai agama telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui dalil dalil
Naqli baik al-quran maupun hadits. Telah banyak dikabarkan bahwa Islam sebagai
agama yang datang setelah adanya agama-agama besar seperti Yahudi dan Kristen
merupakan agama tradisi Ibrahim yang membawa dimensi Tauhid. Sementara itu, di
Indonesia, Islam datang setelah adanya Hindu, Budha, Kristen, Khonghucu dan agama
agama lokal. Oleh sebab itu, Islam datang ke Indonesia penuh dengan dinamikanya
sendiri. Dalam sejarah Indonesia ada pertemuan harmonis tentang agama-agama di
indonesia yang dibawa para waliyullah. Namun ada pula kisah perang yang terjadi
dalam sejarah Indonesia.
Islam dalam Imajinasi

Media Barat
Islam sebagai agama dalam media barat dipotret sebagai “agama yang negatif”.
Pencitraan media atas Islam identik dengan terorisme, radikalisme dan ekstremisme,
bertabrakan dengan kultur lainnya yang utama sehingga cenderung konflik kekerasan. Islam
dicitrakan dari sananya serta dipersepsikan sebagai ancaman atas orang lain dan masyarakat
umum.
Bahkan belakangan, ketika ekstremisme-terorisme menjadi fenomena global, pasca
runtuhnya gedung kembar di Amerika akibat ditabrak pesawat yang dituduh kaum teroris
9/11/2009. Posisi umat Islam benar-benar terpojok dengan berbagai tuduhan negatif atas
perilaku kaum teroris yang mengklaim membela Islam. Mantan Presiden Amerika Walker Bush
menyatakan bahwa Islam is it against with the West especially America. Pernyataan Walker
Bush sekalipun ditolak oleh para ahli asal Amerika seperti Robert Hefner, John L. Esposito dan
John O. Voll tetap menempati posisi penting dalam wacana Islam di dunia internasional
Tentu saja apa yang digambarkan oleh media Barat tentang Islam tidak menjadi kebenaran yang
sempurna. Namun, menjelaskan apakah Islam tidak melakukan tindakan kekerasan karena pada
faktanya sebagian umat Islam di beberapa negara Eropa dan Amerika seringkali melakukan aktivitas
kekerasan atas nama Islam menjadi hal yang tidak terbantahkan. Disinilah perlu dijelaskan bahwa
kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kecil umat beragama Islam di Eropa dan Amerika merupakan
tindakan yang tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Bahkan tindakan kekerasan yang diarahkan oleh
sebagian kecil umat Islam di Eropa dan Amerika adalah tindakan melawan dan membajak Islam. Syafii
Maarif menyebutkan sebagai tindakan para preman berjubah (Islam) yang tidak beradab. Tidak boleh
kegagalan suatu umat membuat umat tersebut memberikan dendam dan melakukan tindakan
kekerasan atas orang lain yang berbeda agama.
Tindakan kekerasan atas nama Islam oleh sebab itu merupakan tindakan yang sama
buruknya dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama lain (Yahudi dan
Kristen) dalam melakukan perang terhadap kelompok-kelompok etnis dan suku bangsa yang
ada di Bosniaherzegovina, Tunisia, Maroko, Palestina dan Sudan. Kekerasan yang
menggunakan agama sebagai bentengnya merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan
oleh siapapun sebab bertentangan dengan misi agama-agama yang menyiarkan perdamaian.
Hans Kung menyebut bahwa Islam sejak awal MATERI PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM 118
merupakan agama yang mendorong perdamaian dan kasih sayang seperti dalam ajaran
shalat dan pembayaran zakat fitrah.

Terjadinya gambaran negatif agama (Islam) dalam media memberikan dampak yang luas
di negara-negara berpenduduk muslim, seperti Indonesia. Bahkan, di Indonesia, akibat
pemberitaan yang terjadi sering menimbulkan demonstrasi balasan untuk menentang
pemberitaan yang disiarkan oleh staisun televisi. Apalagi saat ini, pengunggahan berita
dengan mudah dilakukan sehingga berita sudah out of date juga tetap diunggah sebagai
perlawanan. Perang pemberitaan melalui media sosial menjadi persoalan yang serius dalam
hal penyampaian pesan tentang suatu social fact pada publik. Hoax sering menjadi bagian
dari pemberitaan yang disampaikan kepada publik karena munculnya sentimen keagamaan
dan identitas kelompok secara massif.
Imajinasi Politik
Keagamaan dalam Media

Tidak sedikit pandangan yang menyebutkan bahwa Islam


sebagai agama dalam media barat dipotret sebagai “agama
yang negatif”. (Ahmed dan Matthes 2017) Posisi negatif Islam
dalam media barat disebabkan banyaknya peristiwa di negara-
negara Eropa dan Amerika, dimana jika terjadi kekerasan fisik,
pemboman, pencurian, pembunuhan dan kerusuhan etnis antara
warga Amerika dan Eropa dengan penduduk migran senantiasa
antara penduduk asli beragama Kristen-Yahudi dengan
penduduk migran beragama Islam asalal Maroko, Turkey,
Sudan, Somalia dan Afrika. Hal seperti itulah yang menyebabkan
pencitraan media atas Islam identik dengan terorisme,
radikalisme dan ekstremisme.
Dalam pergaulan antar sesama warga negara, kaum Muslim migran dianggap
sebagai warga negara yang kurang taat terhadap hukum, sering membuat kerusuhan,
kebrutalan publik dan melanggar hukum. Dengan warga masyarakat non imigran tidak
berbaur dan kurang memiliki rasa hormat atas keadaban publik. Hal itu membuat
penghalang adanya integrasi antara warga non migran dengan kaum migran. Kaum
muslim migran dalam pengalaman sehari-hari sering melakukan aktivitas yang
mengkhawatirkan dan meneror warga non migran. Kaum migran memiliki banyak
variasi yang menghalangi terjadinya integrase antara non migran dengan migran
dikalangan masyarakat eropa. Hal ini yang dibayangkan dan digambarkan media
tentang perilaku masyarakat muslim migran. Tentu saja hal ini merupakan stereotype
media atas perilaku migran muslim. Inilah persoalan politik media yang muncul setelah
peristiwa (serangan) 9/11/2001. Gambaran semacam itu tentu saja distortif, namun
muncul dimasyarakat Barat seperti Canada dan Belgian yang memiliki banyak migran
muslim dalam kebijakan pemerintah terkait multikulturalisme
Agama hadir dalam imajinasi penganutnya dengan pelbagai karakteristik. Jika umatnya dalam kondisi terpinggir
dan kalah dalam persaingan, yang diimajinasikan tentang agamanya adalah “ agama yang kalah”, terdiskriminasi,
rapuh, serta mendapatkan kebijakan yang tidak menguntungkan. Sementara jika penganutnya tidak merasa
demikian, maka imajina tentang agamanya pun bukan agama yang kalah, terpinggir, atau pun terdiskriminasi.
Imajinasi semacam itu merupakan imajinasi umum tentang sebuah kondisi yang tergambarkan dalam pikirannya,
sekalipun fakta lapangan yang sebenarnya tidak demikian adanya. Itulah bagian dari imajinasi komunitas yang
terdapat di sebuah negara

Memperhatikan hal itu, dapat dikatakan bahwa persoalan agama Islam dengan pemberitaan, konflik, politik dan
kebijakan merupakan hal sensitif. Dia tidak mudah dijelaskan pada publik sehingga umat Islam dapat menerima
dengan mudah atas peristiwa yang tersaji di hadapan umatnya. Islam dan politik kekuasaan serta persoalan
ekonomi menjadi masalah yang paling banyak pembahasan di ruang publik. Terlebih lagi jika terjadi pemberitaan
terkait the rising Islam yang identik dengan kelompok-kelompok Islamisme yang terdi di Indonesia. Hal ini sangat
mempengaruhi psikologi umat Islam. Gambaran semacam itu di media tentang perilaku politik dan keagamaan
masyarakat muslim, pada akhirnya menyebabkan terjadi sikap antipasti antara masyarakat Eropa-Barat terhadap
anak-anak muslim yang terdapat dalam sebuah negara. Mereka pada akhirnya saling tertutup dan tidak bersedia
bergaul satu sama lainnya. Mereka saling menutup diri dalam rumahnya sendiri sebab potret anak-anak muslim yang
tergambar dalam media. Hal ini sangat berbahaya jika berlangsung terus menerus dalam hubungannya dengan
hubungan social kemasyarakatan. Mereka saling menguatkan identitasnya masing-masing tanpa bersedia bergaul
dengan pihak lainnya yang berbeda dengan kelompoknya
Agama dalam Media era Post Truth

Dalam perkembangan selanjutnya, media pada akhirnya mendeskripsikan bahwa

agama itu adalah saling bermusuhan. Agama merupakan entitas negatif sebab

konservatif, radikal, ekstremisme, dan penuh kekerasan.

Pemberitaan tentang kejadian dalam sebuah negara tentang kekerasan perang


\
antar beberapa kelompok kepentingan politik, ekonomi dan militer tidak jarang

menyebabkan dorongan stigmatisasi atas kelompok Islam yang menggunakan

kekerasan dalam bermasyarakat


Terjadi wacana yang tampaknya saling berhadap-hadapan antara Agama Islam dan
Kristen paling sering membahas soal ketidakadilan-ketidaksejahteraan, diskriminasi,
perlawanan perempuan atas ketidakadilan gender. “Balapan” antara Islam versus
Kristen terjadi dalam dunia sosial politik.

Situasi semacam itu kemudian dikatakan sebagai situasi dimana kebenaran itu bukan
karena suatu yang realitas dan faktual, namun kebenaran adalah apa yang terus
menerus dikabarkan kepada publik sekalipun hal tersebut sebagai hal yang sifatnya
imajinatif belaka.
definisi Post Truth

suatu yang memiliki hubungan antara sesuatu dengan kebiasaan yang


dianggap sebagai suatu yang objektif, faktual sekalipun bukan namun
mampu memengaruhi opini publik dengan mengacak- acak emosi dan
keyakinan seseorang. Tidak peduli apakah hal tersebut relevan dengan
kondisi sebelumnya ataukah tidak, tetapi hal ini diharapkan dapat
mempengaruhi kondisi seseorang untuk menjadi perselisihan.

Sosial politik merupakan era yang penuh dengan kegelapan yang dipersentasikan kepada
publik demi mendapatkan eksistensi dan fasilitas publik dengan meninggalkan prinsip
penghargaan kepada dimensi kemanusiaan.

era post-truth merupakan kondisi social politik yang diatas segalanya merupakan
pertunjukkan antara kekuatan dan kesadaran yang saling merespon kemudian merefleksikan
kondisi sosial politik yang terjadi di hadapan kita. Kondisi post-truth dikatakan sebagai kondisi
yang tidak jarang menyebabkan kontradiksi informasi (manipulation information)
Dampak Disrupsi Pada Kehidupan Keagamaan

Situasi disrupsi dan kejahatan informasi akan berdampak pada kehidupan keagamaan. Agama

menjadi objek yang tertuduh dalam berbagai aspeknya. Satu sisi agama dianggap sebagai

entitas yang memiliki daya tahan dan empati pada banyak pihak. Tetapi di pihak lainnya

dianggap memiliki wajah yang menyeramkan karena tidak mampu menjawab kebutuhan

manusia yang terkepung dalam kesusahan sosial ekonomi dan politik. Kebenaran agama

dipertaruhkan dihadapan kebenaran post truth.

Dengan kondisi post-truth, sebuah kondisi yang memposisikan agama dalam “sangkar besi”

ekstremisme radikal dan relativisme membuat lahirnya ketakutan atas Agama diruang publik.

Kontraversi atas pahaman keagamaan tidak dapat dihindari di pasar bebas informasi yang sangat

terbuka. Pencari informasi tinggal memilih jenis informasi seperti apa yang dibutuhkan dan dari

kalangan manapun tersedia dengan lengkap.


Kondisi semacam itu pada akhirnya menciptakan

Sentimen atas agama-agama yang berbeda dan

beragam.

Eid menjelaskan bahwa antara Yahudi-Kristen dan Islam

sebagai tiga agama yang semestinya bersaudara ternyata

mengalami “kabut tebal” yang menyamarkan persaudaraan

disebabkan nilai-nilai etika universal tidak lagi menjadi

pedoman dalam kehidupan sosial politiknya.

Wajah agama berubah menjadi wajah politik yang sarat dengan

kepentingan politik kelompok tertentu namun mengatasnamakan

umat. Wajah Islam pun tidak jarang berubah menjadi radikalist

fundamentalistik. pengaruh ekstremisme paham keagamaan

hadir di tengah banyaknya informasi yang masuk.


Edward Hunter Christie, mengatakan telah terjadi subversi informasi, dalam soal

informasi terjadi penyimpangan informasi yang diberikan oleh berbagai media karena

yang disampaikan itu mengandung kepalsuan namun diyakini sebagai suatu kebeneran

faktual namun terus menerus diproduksi sehingga menjadi kebenaran dalam imajinasi

publik.

Subversi informasi berbahaya pada mereka yang tidak dapat melakukan penyaringan

informasi. Tetapi tsunami dan subversi informasi akan berguna pada mereka yang

memiliki kepahaman tentang penggunaan sarana komunikasi dan teknologi.

Jika disrupsi informasi terus terjadi maka akan merambah pada dimensi Agama.

Agama akan menjadi dianggap penjahat yang mempromosikan dimensi kekerasan

terhadap siapa pun yang dianggap berbeda bahkan siapa pun yang tidak mendukung

gagasannya.
Kesimpulan

media-media Barat Amerika dan Eropa banyak memberitakan tentang Islam dalam perspektif

yang negatif. Hal ini disebabkan karena hal yang diberitakan senantiasa dikaitkan dengan

peristiwa 11 September 2001 yang meruntuhkan Gedung kembar Pentagon Amerika, Islam

dianggap sebagai agen terorisme internasional.

Mengatasi kegagalan dalam membaca media, perlu dilakukan literasi media dikalangan

muslim. Aktivitas negatif atas pemberitaan media barat tidak perlu dilawan dengan aktivitas

negatif tetapi dengan kemampuan membaca media dengan kritis.


Kesimpulan

menghadapi pemberitaaan media tentang Islam pada era post-truth yang diperlukan

adalah membuat alternatif narasi yang mampu menghadirkan narasi politik dan

keagamaan yang santun, damai dan tidak membenci kelompok etnis atau umat agama

mana pun. Tidak perlu terpancing untuk melakukan mobilisasi massa demi melakukan

aksi balas dendam atas pemberitaan yang jelas atas Islam itu sendiri.

beragama dan berpolitik itu bercita-cita untuk menciptakan keadilan, menyelesaikan

persoalan ketimpangan sosial dan diskriminasi sosial


Thank you

Anda mungkin juga menyukai