Beragama untuk tahun 2022, dari Rp 400 milyar menjadi Rp3,2 Triliun.
Peruntukan dana yang sangat besar ini menandakan bahwa proyek moderasi
beragama di negeri ini merupakan proyek yang sangat penting hingga masuk ke
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024.
Cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus senantiasa
dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-
lebihan.
Maka muncullah berbagai wacana dan gerakan ‘Islam liberal’ (Luthfi Assyaukanie),
‘Islam progresif’ (Zuhairi Misrawi), ‘Islam inklusif’ (Alwi Shihab), ‘Islam pluralis’ (Budhy
Munawar Rachman), ‘Islam moderat’ (Ayang Utriza Yakin), ‘Islam humanis’
(Abdurrachman Mas’ud) dan lain sebagainya, yang bermaksud membendung arus
‘Islam fundamentalis’, ‘Islam konservatif’, ‘Islam politis’ dan ‘Islam jihadis’ dan
mengkounter gerakan kelompok-kelompok yang mereka kategorikan sebagai ‘Islam
garis keras’ seperti Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela
Islam (FPI), Jemaah Islamiyah (JI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Di Indonesia, proyek ‘Islam moderat’ mulai digulirkan setelah peristiwa ledakan bom
di Bali pada 2002. Pemerintah SBY menjadikannya sebagai salah satu prioritas
kebijakan luar negerinya.
Peran aktif pemerintah Amerika Serikat dalam menggulirkan segala macam Islam
dengan embel-embel itu dilakukakan melalui berbagai lembaga seperti United States
Agency for International Development (USAID) dan Asia Foundation. Menurut
Friedman, USAID terlibat aktif dalam mempromosikan masyarakat sipil dan
demokratisasi di Indonesia, antara lain dengan program Muslim World Outreach dan
Engaging Muslim Civil Society.
Dana USAID disalurkan melalui The Asia Foundation (TAF) ke puluhan organisasi dan
institusi. Proyek Islam and Civil Society (ICS), misalnya, digarap bersama para tokoh
dan organisasi Islam untuk ‘pendidikan demokrasi’ dan memupuk nilai-nilai
kebebasan, toleransi, dan pluralisme agama. Kegiatan meliputi seminar dan
pemberian materi tentang kewarganegaraan, hak asasi manusia untuk digunakan di
madrasah, pesantren, dan masjid.
Di antara kelompok yang didanai, ICS berkoordinasi dengan dan secara finansial
mendukung acara bincang-bincang radio Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang ‘Islam
dan toleransi’, dan membantu mendanai korps remaja putri ormas Islam untuk
mendirikan pusat advokasi perempuan dan konseling KDRT.
Dengan dana dari Asia Foundation kelompok muslim ‘moderat’ itu mendirikan
Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001. Jaringan ini menggugat tafsir-tafsir
ulama klasik mengenai perempuan, homoseksual, kebebasan beragama, dan
sebagainya. Tujuannya konon ingin menghadirkan apa yang mereka namakan “Islam
warna-warni”.
Salah seorang pemimpin Jaringan ini lalu diterbangkan ke Washington pada 2002
untuk bertemu para pejabat Departemen Negara Bagian dan Pentagon, termasuk
Paul D. Wolfowitz, mantan duta besar AS di Jakarta yang saat itu menjabat sebagai
Wakil Sekretaris Pertahanan AS.
Taylor mengajak Gus Dur ke Washington, di mana mereka bertemu Paul Wolfowitz,
Wakil Presiden Richard B. Cheney dan yang lainnya. Ia juga meluncurkan buku “Ilusi
Negara Islam” pada 16 Mei 2009.
Lima tahun kemudian, pada 2014, Taylor bersama dua tokoh ormas Islam terkenal
mendirikan sebuah yayasan ‘dakwah’ bernama Bayt ar-Rahmah li ad-Da’wa al-
Islamiyah yang mengusung gagasan “Humanitarian Islam”.
Ia juga menerbitkan buku berjudul God Needs No Defense (‘Tuhan Tak Perlu Dibela’)
dan menyambut hangat seruan agar istilah ‘kafir’ diganti dengan ‘non-muslim’.
Kemunculan kelompok ekstrimis ISIS yang mengacau di wilayah perbatasan Irak dan
Suriah ikut mendorong banyak rejim di Timur Tengah untuk memposisikan diri
mereka sebagai kampiun ‘Islam moderat’ (“Wasatiyya”) agar tidak dicurigai atau
dimusuhi oleh Barat, sekaligus demi menarik bantuan dana untuk memerangi ‘Islam
radikal’ dan ekstremis.
Pada saat yang sama, negara besar seperti Turki dan Indonesia berusaha
memasukkan unsur agama dalam politik luar negerinya.
Menurut rumusan sebuah lembaga kajian strategis Amerika, orang Islam ‘moderat’
adalah mereka yang menerima dan mendukung nilai-nilai demokrasi seperti hak
asasi manusia (HAM), kesetaraan jenis, kebebasan beragama, pluralisme, hukum
sekular, dan menolak terorisme serta kekerasan.
Seorang muslim moderat akan menolak konsep negara Islam, terutama konsep
negara yang diperintah oleh para agamawan seperti di Iran. Berbeda dengan ‘muslim
radikal’, seorang muslim moderat akan berpandangan bahwa Syariat Islam tidak
mesti diterapkan, apalagi jika hal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak
asasi manusia.
Selanjutnya, orang Islam moderat adalah mereka yang menerima pandangan para
feminis muslim (semisal Fatema Mernissi, Asma Barlas, Amina Wadud) serta terbuka
kepada paham pluralisme agama dan dialog antaragama.
Mereka juga mau membela hak-hak perempuan dalam soal perkawinan, seks,
kesehatan (khitan, kontrasepsi, aborsi, lesbianisme), ekonomi dan politik. Di samping
itu semua, seorang muslim moderat juga mengakui kesetaraan non-muslim sebagai
warganegara (equal citizenship).
Masih Menurut Angel Rabasa dkk, pemerintah Amerika dan negara-negara Barat
perlu lebih erat menjalin hubungan dan kerjasama dengan para mitra lokal yang ia
sebut ‘potential partners’ —yaitu tiga golongan yang mempunyai pengaruh di
masyarakat: pertama, kelompok ‘sekularis’; kedua, kelompok ‘liberal’; dan ketiga,
kelompok ‘tradisionalis’.
Mereka ini sangat penting untuk dijadikan kawan dan sekutu (friends and allies)
dalam memerangi kelompok muslim ‘radikal’, ‘fundamentalis’ ‘garis keras’.
Kelompok sekularis ada tiga macam: (i) sekularis liberal yang terbuka dan tidak
memusuhi agama seperti kita temukan di Asia Tenggara, (ii) sekularis radikal yang
anti-ulama dan dan anti-agama seperti di Turki dan Perancis yang melarang ekspresi
dan simbol-simbol agama di ruang publik, dan (iii) sekularis otoriter seperti partai
Baath di Irak atau rezim di Suriah dan Mesir.
Nyaman dengan sistem politik modern, mereka menolak konsep ‘negara Islam’ dan
berpendapat bahwa Syariah adalah produk sejarah. Mereka juga mendukung kaum
LGBT (lesbian, gay homoseksual, biseksual, dan transgender) dan berupaya
mencarikan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an maupun tradisi Islam.
Suatu jaringan kaum moderat perlu dibentuk yang terdiri dari: (i) para intelektual dan
akademisi muslim liberal yang ada di kampus, ormas dan lembaga-lembaga
penelitian; (ii) para ulama, kyai dan ustadz-ustadz yang masih muda (young moderate
clerics) dan berpikiran ‘terbuka’ untuk diajak berubah dan melakukan perubahan di
komunitas masing-masing; (iii) para aktivis organisasi yang mau bergerak
menyebarkan ide-ide baru kepada masyarakat dengan segala resikonya; (iv)
kelompok-kelompok pembela perempuan dan minoritas yang melawan status quo
dan mayoritas untuk menuntut hak-haknya; (v) para penulis, wartawan, dan figur
publik yang pandai berkomunikasi secara lisan maupun tulisan melalui media massa.
Lima kelompok inilah yang mesti digaet dan ‘dipelihara’ oleh AS dan sekutu-
sekutunya.
Masalah dana tak perlu dicemaskan, sebab jutaan dolar telah disiapkan dan
digelontorkan untuk proyek moderasi Islam ini.
Epilog
Saling curiga dan saling menyerang pun tak dapat dihindari. Yang menembak dan
ditembak sama-sama orang Islam. Pelaku maupun korban saudara seiman tetapi
bermusuhan karena berbeda pandangan dan haluan.