Anda di halaman 1dari 8

Pada September tahun lalu, pemerintah menaikkan anggaran program Moderasi

Beragama untuk tahun 2022, dari Rp 400 milyar menjadi Rp3,2 Triliun.

Peruntukan dana yang sangat besar ini menandakan bahwa proyek moderasi
beragama di negeri ini merupakan proyek yang sangat penting hingga masuk ke
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024.

Dikatakan bahwa Moderasi Beragama adalah proses memahami sekaligus


mengamalkan ajaran agama secara adil.

Cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus senantiasa
dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-
lebihan.

Menurut Kemenag, pemahaman dan pengamalan agama dianggap ekstrem jika ia


melanggar tiga hal: pertama, nilai kemanusiaan; kedua, kesepakatan bersama; dan
ketiga, ketertiban umum

Latar Belakang Wacana


Namun, jika ditelusuri lebih jauh, gagasan ‘moderasi beragama’ ini setali tiga uang
dengan gagasan ‘sekularisasi’, ‘demokratisasi’, ‘liberalisasi’ dan ‘deradikalisasi’ yang
semakin gencar didengungkan sejak peristiwa 11 September 2001 atau 9/11 —
dimana dalam peristiwa tersebut, terjadi serangan yang menghancurkan menara
kembar World Trade Center (WTC) New York dan menewaskan lebih dari dua ribu
orang.

Pemerintah Amerika Serikat kemudian memburu kelompok militan Al-Qaeda


pimpinan Osama bin Laden yang dituding bertanggung jawab atas serangan
tersebut, dan mengumumkan ‘Perang Melawan Teror’ dengan menginvasi
Afghanistan untuk menggulingkan Taliban yang melindungi anggota-anggota Al-
Qaeda dan jaringannya.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Profesor Amy L. Friedman: bahwa “Setelah


serangan teroris pada 11 September 2001 itu, pemerintah AS mulai menyadari
bahwa mereka perlu memahami dan mempengaruhi sikap dunia Islam terhadap AS.
Tujuan utama pemerintah AS di bawah Presiden George W. Bush adalah untuk
melawan tantangan ‘Islam radikal’ yang berpotensi menjadi teroris. Untuk
menumbuhkan sikap yang lebih hangat terhadap AS, serta untuk mendorong
demokrasi dan hak asasi manusia, pemerintah AS berusaha menciptakan dan
menguatkan jaringan ‘moderat’ untuk melawan ‘Islam radikal’.

Dalam melakukan ini, pemerintah AS berupaya mendukung ‘Islam sipil’, yaitu


kelompok masyarakat atau ormas Islam yang menyerukan ‘moderasi’ dan
‘modernitas’. Dukungan ini digarap melalui program pendidikan, acara radio, serta
melalui artikel di surat kabar maupun esei.

Di negara-negara seperti Indonesia, Mali, dan di tempat lain, USAID mendanai


proyek-proyek serupa untuk perdamaian dan pembangunan. Tujuan utamanya
adalah mendukung interpretasi Islam yang moderat.

Caranya adalah dengan menggaet pihak ketiga —yaitu negara-negara Muslim


moderat, yayasan, dan kelompok-kelompok ‘reformis’— untuk mempromosikan
nilai-nilai demokrasi, hak-hak perempuan, dan toleransi, baik secara terang-terangan
ataupun dengan cara yang halus”.

Maka muncullah berbagai wacana dan gerakan ‘Islam liberal’ (Luthfi Assyaukanie),
‘Islam progresif’ (Zuhairi Misrawi), ‘Islam inklusif’ (Alwi Shihab), ‘Islam pluralis’ (Budhy
Munawar Rachman), ‘Islam moderat’ (Ayang Utriza Yakin), ‘Islam humanis’
(Abdurrachman Mas’ud) dan lain sebagainya, yang bermaksud membendung arus
‘Islam fundamentalis’, ‘Islam konservatif’, ‘Islam politis’ dan ‘Islam jihadis’ dan
mengkounter gerakan kelompok-kelompok yang mereka kategorikan sebagai ‘Islam
garis keras’ seperti Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela
Islam (FPI), Jemaah Islamiyah (JI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Di Indonesia, proyek ‘Islam moderat’ mulai digulirkan setelah peristiwa ledakan bom
di Bali pada 2002. Pemerintah SBY menjadikannya sebagai salah satu prioritas
kebijakan luar negerinya.

Pasca pengesahan UU No. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme,


pemerintah AS memberikan berbagai bantuan kepada satgas antiteror, termasuk
kucuran dana sebesar US$150 juta dolar kepada pemerintah Indonesia.
Walhasil, sebagaimana disimpulkan oleh seorang peneliti, gagasan ‘Islam moderat’
memang terkait erat dengan suhu politik nasional dan global akibat berbagai
peristiwa tragis tersebut.

Peran aktif pemerintah Amerika Serikat dalam menggulirkan segala macam Islam
dengan embel-embel itu dilakukakan melalui berbagai lembaga seperti United States
Agency for International Development (USAID) dan Asia Foundation. Menurut
Friedman, USAID terlibat aktif dalam mempromosikan masyarakat sipil dan
demokratisasi di Indonesia, antara lain dengan program Muslim World Outreach dan
Engaging Muslim Civil Society.

Dana USAID disalurkan melalui The Asia Foundation (TAF) ke puluhan organisasi dan
institusi. Proyek Islam and Civil Society (ICS), misalnya, digarap bersama para tokoh
dan organisasi Islam untuk ‘pendidikan demokrasi’ dan memupuk nilai-nilai
kebebasan, toleransi, dan pluralisme agama. Kegiatan meliputi seminar dan
pemberian materi tentang kewarganegaraan, hak asasi manusia untuk digunakan di
madrasah, pesantren, dan masjid.

Di antara kelompok yang didanai, ICS berkoordinasi dengan dan secara finansial
mendukung acara bincang-bincang radio Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang ‘Islam
dan toleransi’, dan membantu mendanai korps remaja putri ormas Islam untuk
mendirikan pusat advokasi perempuan dan konseling KDRT.

Andrew Higgins dalam artikelnya tentang campur-tangan Amerika Serikat di


Indonesia menulis bahwa pasca-tragedi 9/11, Washington menyebarkan dana dan
wacana untuk membiayai muslim “moderat” agar melawan muslim ‘garis-keras’.

Ratusan ulama Indonesia mengikuti acara-acara yang disponsori AS untuk


mengajarkan penafsiran Al-Qur’an yang lebih ‘reformis’.

Dengan dana dari Asia Foundation kelompok muslim ‘moderat’ itu mendirikan
Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001. Jaringan ini menggugat tafsir-tafsir
ulama klasik mengenai perempuan, homoseksual, kebebasan beragama, dan
sebagainya. Tujuannya konon ingin menghadirkan apa yang mereka namakan “Islam
warna-warni”.

Salah seorang pemimpin Jaringan ini lalu diterbangkan ke Washington pada 2002
untuk bertemu para pejabat Departemen Negara Bagian dan Pentagon, termasuk
Paul D. Wolfowitz, mantan duta besar AS di Jakarta yang saat itu menjabat sebagai
Wakil Sekretaris Pertahanan AS.

Sesudah Asia Foundation menghentikan dukungan finansialnya, datanglah seorang


bernama C. Holland Taylor, yang mengaku sebagai mantan pengusaha dari North
Carolina AS, mendirikan LibForAll Foundation pada akhir 2003 untuk mewujudkan
dan melestarikan corak Islam yang berkemajuan dan toleran.

Mampu berbahasa Indonesia, Taylor mendapatkan dukungan dari sejumlah tokoh,


termasuk mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Syafi‘i Ma‘arif
(ketua PP Muhammadiyah saat itu), dan musisi muda Ahmad Dhani yang membuat
lagu “Tidak untuk Laskar Jihad! Ya untuk Laskar Cinta”.

Taylor mengajak Gus Dur ke Washington, di mana mereka bertemu Paul Wolfowitz,
Wakil Presiden Richard B. Cheney dan yang lainnya. Ia juga meluncurkan buku “Ilusi
Negara Islam”  pada 16 Mei 2009.

Lima tahun kemudian, pada 2014, Taylor bersama dua tokoh ormas Islam terkenal
mendirikan sebuah yayasan ‘dakwah’ bernama Bayt ar-Rahmah li ad-Da’wa al-
Islamiyah  yang mengusung gagasan “Humanitarian Islam”.

Ia juga menerbitkan buku berjudul God Needs No Defense  (‘Tuhan Tak Perlu Dibela’)
dan menyambut hangat seruan agar istilah ‘kafir’ diganti dengan ‘non-muslim’.

Kemunculan kelompok ekstrimis ISIS yang mengacau di wilayah perbatasan Irak dan
Suriah ikut mendorong banyak rejim di Timur Tengah untuk memposisikan diri
mereka sebagai kampiun ‘Islam moderat’ (“Wasatiyya”) agar tidak dicurigai atau
dimusuhi oleh Barat, sekaligus demi menarik bantuan dana untuk memerangi ‘Islam
radikal’ dan ekstremis.
Pada saat yang sama, negara besar seperti Turki dan Indonesia berusaha
memasukkan unsur agama dalam politik luar negerinya.

Turki membangun banyak mesjid dalam proyek infrastrukturnya di Afrika, sementara


Indonesia mempromosikan apa yang mereka namakan “Islam Nusantara” sebagai
merek barunya.

Ciri-ciri ‘Muslim Moderat’

Menurut rumusan sebuah lembaga kajian strategis Amerika, orang Islam ‘moderat’
adalah mereka yang menerima dan mendukung nilai-nilai demokrasi seperti hak
asasi manusia (HAM), kesetaraan jenis, kebebasan beragama, pluralisme, hukum
sekular, dan menolak terorisme serta kekerasan.

(Secara terperinci, ciri-ciri ‘muslim moderat’ digambarkan olehnya sebagai berikut:

Seorang muslim moderat akan menolak konsep negara Islam, terutama konsep
negara yang diperintah oleh para agamawan seperti di Iran. Berbeda dengan ‘muslim
radikal’, seorang muslim moderat akan berpandangan bahwa Syariat Islam tidak
mesti diterapkan, apalagi jika hal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak
asasi manusia.  

Selanjutnya, orang Islam moderat adalah mereka yang menerima pandangan para
feminis muslim (semisal Fatema Mernissi, Asma Barlas, Amina Wadud) serta terbuka
kepada paham pluralisme agama dan dialog antaragama.

Mereka juga mau membela hak-hak perempuan dalam soal perkawinan, seks,
kesehatan (khitan, kontrasepsi, aborsi, lesbianisme), ekonomi dan politik. Di samping
itu semua, seorang muslim moderat juga mengakui kesetaraan non-muslim sebagai
warganegara (equal citizenship).  

Masih Menurut Angel Rabasa dkk, pemerintah Amerika dan negara-negara Barat
perlu lebih erat menjalin hubungan dan kerjasama dengan para mitra lokal yang ia
sebut ‘potential partners’ —yaitu tiga golongan yang mempunyai pengaruh di
masyarakat: pertama, kelompok ‘sekularis’; kedua, kelompok ‘liberal’; dan ketiga,
kelompok ‘tradisionalis’.

Mereka ini sangat penting untuk dijadikan kawan dan sekutu (friends and allies)
dalam memerangi kelompok muslim ‘radikal’, ‘fundamentalis’ ‘garis keras’.

Kelompok sekularis ada tiga macam: (i) sekularis liberal yang terbuka dan tidak
memusuhi agama seperti kita temukan di Asia Tenggara, (ii) sekularis radikal yang
anti-ulama dan dan anti-agama seperti di Turki dan Perancis yang melarang ekspresi
dan simbol-simbol agama di ruang publik, dan (iii) sekularis otoriter seperti partai
Baath di Irak atau rezim di Suriah dan Mesir.

Adapun kelompok ‘liberal’ adalah mereka yang berlatarbelakang agama namun


mendukung agenda dan konsep Barat mengenai demokrasi, HAM dan pluralisme.
Mereka ini berusaha menafsirkan ulang teks-teks agama agar sesuai dengan nilai-
nilai modernitas.

Nyaman dengan sistem politik modern, mereka menolak konsep ‘negara Islam’ dan
berpendapat bahwa Syariah adalah produk sejarah. Mereka juga mendukung kaum
LGBT (lesbian, gay homoseksual, biseksual, dan transgender) dan berupaya
mencarikan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an maupun tradisi Islam.

Kelompok ketiga adalah kaum ‘tradisionalis’ yang menjunjung tinggi kepercayaan


dan amalan turun-temurun seperti tahlilan, maulidan, dan tasawuf tarekat yang
menekankan pengalaman batin dan hubungan syech-murid.

Contohnya seperti kelompok Darul Arqam di Malaysia atau kelompok Fethullah


Gülen di Anatolia. Mereka cenderung menjauhi politik praktis sehingga dianggap
tidak berbahaya. Dalam beberapa kasus, golongan tradisionalis ini bahkan menjadi
‘mitra’ bagi penguasa dalam menekan kelompok-kelompok mereka tuduh radikal.

Suatu jaringan kaum moderat perlu dibentuk yang terdiri dari: (i) para intelektual dan
akademisi muslim liberal yang ada di kampus, ormas dan lembaga-lembaga
penelitian; (ii) para ulama, kyai dan ustadz-ustadz yang masih muda (young moderate
clerics)  dan berpikiran ‘terbuka’ untuk diajak berubah dan melakukan perubahan di
komunitas masing-masing; (iii) para aktivis organisasi yang mau bergerak
menyebarkan ide-ide baru kepada masyarakat dengan segala resikonya; (iv)
kelompok-kelompok pembela perempuan dan minoritas yang melawan status quo
dan mayoritas untuk menuntut hak-haknya; (v) para penulis, wartawan, dan figur
publik yang pandai berkomunikasi secara lisan maupun tulisan melalui media massa.
Lima kelompok inilah yang mesti digaet dan ‘dipelihara’ oleh AS dan sekutu-
sekutunya.

Masalah dana tak perlu dicemaskan, sebab jutaan dolar telah disiapkan dan
digelontorkan untuk proyek moderasi Islam ini.

Epilog

Wacana ‘Islam moderat’ yang diprakarsai oleh Amerika dan sekutu-sekutunya


merupakan bagian dari strategi perang melawan terorisme dan radikalisme dengan
kaum muslim sebagai mitra sekaligus targetnya. Walhasil terjadilah perpecahan dan
permusuhan antara sesama umat Islam yang berbeda kedudukan, berbeda
organisasi, berbeda partai politik, dan berbeda mazhab.

Saling curiga dan saling menyerang pun tak dapat dihindari. Yang menembak dan
ditembak sama-sama orang Islam. Pelaku maupun korban saudara seiman tetapi
bermusuhan karena berbeda pandangan dan haluan.

“Wa la yazaluna yuqatilunakum hatta yaruddukum ‘an dinikum inistatha‘u”,  firman


Allah dalam Al-Qur’an (2:217). Artinya, “Mereka akan terus memerangi kamu sampai
mereka dapat memurtadkan kamu dari agamamu, sebisa mungkin”.  Jelaslah bahwa
moderasi beragama yang dikehendaki Barat itu justru bertujuan untuk mengadu-
domba dan melemahkan komitmen orang Islam kepada agamanya. Wallahu a‘lam. []

Anda mungkin juga menyukai