Anda di halaman 1dari 5

Islam Moderat Atau Islam Radikal?

Oleh: Arief B. Iskandar, Khadim Majelis an-Nahdhah dan Roudhotul Quran

Seiring dengan ‘meledaknya’ kembali isu terorisme belakangan ini, wacana ‘Islam Radikal’ versus
‘Islam Moderat’ kembali mengemuka.

Dengan adanya asumsi yang dipaksakan bahwa terorisme terkait erat dengan radikalisme dalam
beragama, dimunculkanlah kembali wacana tentang pentingnya moderasi Islam. Lalu muncullah
istilah ‘Islam Radikal’ versus ‘Islam Moderat’.

Terkait itu, beberapa tahun lalu Rektor Universitas Paramadina yang saat itu dijabat oleh Anies
Baswedan bertemu dengan Presiden SBY. Agenda yang dibicarakan oleh keduanya adalah
bagaimana memperkuat ‘Islam Jalan Tengah’ di Indonesia (Republika, 29/2/2008).

‘Islam Jalan Tengah’ adalah istilah lain dari ‘Islam Moderat’. ‘Islam Moderat’ tentu merupakan istilah
baru. Istilah ini tidak pernah dikenal dalam khazanah keilmuan Islam klasik (baik dalam terminologi
pemikiran maupun fikih Islam) ataupun dalam konteks siyasah Islam.

Para pemikir Islam maupun para ulama fikih selama berabad-abad tidak pernah memunculkan
kedua istilah ini. Demikian pula para ulama siyasah Islam. Kedua istilah ini tidak lain dimunculkan
oleh para pemikir dan politisi Barat ketika mereka menilai kecenderungan kaum Muslim dengan
melakukan kategorisasi: ‘Islam Moderat’ versus ‘Islam Radikal’. ‘Islam Radikal’ juga sering disebut
dengan istilah ‘Islam Garis Keras’ atau ‘Islam Ekstrem’ yang dikesankan ‘angker’. Istilah ini juga
sering diidentikkan dengan kaum fundamentalis bahkan teroris.

Pertanyaannya: Benarkah Islam itu dibagi dua: moderat dan radikal? Ataukah Islam itu satu; tidak
mengenal moderat ataupun radikal?

Jika tidak ada ‘Islam Moderat’ maupun ‘Islam Radikal’, lalu apa motif sebagian kalangan, khususnya
kalangan Barat, memunculkan kedua istilah tersebut di tengah-tengah kaum Muslim?

Inilah yang coba dikupas dalam tulisan ini.

Sesuai Selera Barat

Dua belas tahun lalu, tepatnya Rabu (29/3/2006), PM Inggris saat itu, Tony Blair, pernah berkunjung
ke Indonesia. Sekretaris Negara saat itu, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan bahwa PM Blair
menunjukkan minatnya dalam diskusi tentang kemajuan Islam di Indonesia. Selain bertemu dengan
Presiden SBY, Blair juga bertemu dan berdialog dengan para pemuka agama Islam di Indonesia.
Yusril mengatakan, dialog difokuskan pada kemajuan apa yang disebut sebagai ‘Islam Moderat’ dan
cara-cara untuk menghadapi pemahaman yang salah tentang agama Islam. (Eramuslim.com,
30/3/2006).

Kita tahu, Blair sebelumnya telah mempertajam ‘perang melawan terorisme’ (war on terrorism) ala
Amerika menjadi ‘perang melawan ideologi setan’ (war on evil ideology).

Sepekan setelah peledakan di London (16/7/2005), Blair mengajak dunia untuk memerangi
ekstremisme Islam yang dihasilkan oleh sebuah ideologi yang dia sebut—juga pernah disebut oleh
Presiden AS George Bush—sebagai ‘ideologi setan’.

Walhasil, baik Blair maupun Bush telah memvonis Islam dengan ‘ideologi setan’. Bukan suatu
kebetulan jika pernyataan-pernyataan Bush maupun Blair saat itu diamini dan didukung oleh
Gerhard Schroeder (Kanselir Jerman), Berlusconi (PM Italia) serta para pemimpin, politisi,
akademisi dan banyak masyarakat Barat.

Dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris, Blair menjelaskan apa
yang dia maksudkan dengan ‘ideologi setan’ itu.

Ciri ‘ideologi setan’ tersebut adalah: (1) menolak legitimasi Israel; (2) memiliki pemikiran bahwa
syariah adalah dasar hukum Islam; (3) kaum Muslim harus menjadi satu kesatuan dalam naungan
Khalifah; (4) tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.

Siapapun yang memiliki pemikiran tersebut dia golongkan sebagai ekstremis yang harus diperangi.

Padahal keempat ciri yang disebut Blair mencerminkan ajaran Islam itu sendiri. Pasalnya, Islam
jelas menolak penjajahan Israel atas Palestina sebagai tanah milik kaum Muslim. Islam telah
menjadikan syariah sebagai dasar hukum. Islam juga telah mewajibkan kaum Muslim bersatu dalam
naungan Khilafah. Islam pun mengharamkan pengadopsian nilai-nilai liberal (hadharah) Barat.

Anehnya, pada sisi lain, Blair mempromosikan wajah Islam yang dia sebut ‘moderat’. Mereka yang
menyetujui Israel, menolak syariah, menolak kesatuan kaum Muslim dalam Kekhilafahan dan
mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat disebut oleh Blair memiliki prasyarat menjadi moderat.

Padahal ciri-ciri terakhir yang disebut oleh Blair ini tidak satu pun bersumber dari ajaran Islam, tetapi
murni bersumber sentimen ideologi Barat sendiri, yakni Kapitalisme sekular yang notabene bertolak
belakang dengan ajaran Islam.
Pertanyaannya, ketika Barat telah menyebut Islam sebagai ‘ideologi setan’, lalu apa perlunya
mereka memunculkan istilah ‘Islam Moderat’?

Ini berarti, apa yang disebut dengan ‘Islam Moderat’ adalah Islam yang sesuai dengan nilai-nilai
Barat. Frasa ‘Islam yang sesuai dengan nilai-nilai Barat’ ini juga sebetulnya rancu. Sebabnya, mana
ada ajaran Islam yang sesuai dengan nilai-nilai (baca: hadharah, peradaban), atau sebaliknya?
Tidak ada.

Yang lebih tepat barangkali, ‘Islam Moderat’ adalah Islam yang sesuai dengan selera Barat. Islam
jenis ini sesungguhnya bukanlah Islam, tetapi nilai-nilai Barat itu sendiri yang dibungkus dengan
label Islam.

Motif Politik

Memperkuat ‘Islam Moderat’ atau mendorong kaum Muslim agar bersikap moderat tanpa
mempersoalkan sikap radikal dan ekstremisme negara-negara Barat tentu aneh. Mengapa umat
Islam dituntut menjadi moderat, sementara negara-negara Barat mempraktikkan yang sebaliknya?

Barat sebagai pengusung utama gagasan moderasi sering menuduh kaum radikal/ekstremis dan
kelompok fundamentalis memiliki karakter menganggap dirinya paling benar. Padahal Baratlah yang
paling sering menganggap diri mereka paling benar dengan nilai-nilai liberalnya—seperti demokrasi,
HAM dan pluralisme. Negara-negara di dunia pun mereka paksa untuk memilih dua pilihan: “Ikut
kami (berikut sistem dan nilai-nilai Barat) atau ikut teroris.”

Kaum radikal/ekstremis juga mereka cirikan selalu menggunakan kekerasan untuk meraih
kepentingan mereka. Lalu bagaimana dengan tindakan AS yang membumihanguskan Irak sekaligus
membunuhi ratusan ribu penduduknya dengan alasan menyebarkan demokrasi, bahkan dengan
berbohong tentang senjata pemusnah massal?

Bagaimana pula sikap Barat dan AS yang selalu mendukung kekejaman Israel atas kaum Muslim
Palestina serta menopang para rezim diktator di Dunia Islam khususnya, seperti Musharraf, Husni
Mubarak, Asisi, Islam Karimov dll?

Melihat kontradiksi ini, kita dengan mudah menyimpulkan bahwa setiap gagasan dan wacana untuk
memperkuat ‘Islam Jalan Tengah’ atau ‘Islam Moderat’ ditengarai memiliki muatan-muatan politis,
yakni untuk mendukung kepentingan Barat dalam rangka terus melemahkan Islam dan kaum
Muslim agar tidak menjadi tantangan bagi Barat yang memiliki kepentingan atas Dunia Islam, yakni
penjajahan.

Beberapa rekomendasi yang dikeluarkan oleh peneliti Barat mengisyarakatkan hal ini.
Jauh-jauh hari Paul Reynolad (BBC 29/03/04), dalam artikelnya yang berjudul, Preventing a ‘Clash
of Civilisations’, pernah menulis bahwa AS menggunakan Islam tradisional untuk membendung
Islam ekstrem. Strategi yang digunakan Barat untuk menolak ‘Islam Ekstrem’ adalah dengan
mendukung ‘Islam Moderat’. Memperkuat ‘Islam Moderat’ ini pula yang direkomendasikan kepada
Pemerintah AS oleh the Rand Corporation dan Nixon Center.

Entah kebetulan atau tidak, hari ini AS merangkul NU yang dianggap kelompok moderat untuk
melawan apa yang dituding sebagai kelompok radikal.

Dengan demikian wajar jika ada yang mengaitkan upaya untuk ‘memoderatkan’ Islam sebagai
strategi Barat untuk menekan perlawanan kaum Muslim terhadap penjajahan Barat di negeri-negeri
Islam, terutama kalau itu ditujukan untuk menghapuskan jihad untuk melawan penjajah Barat yang
membunuhi kaum Muslim serta menghalangi perjuangan umat Islam untuk menegakkan syariah dan
Khilafah.

Semua ini pada akhirnya dimaksudkan demi melanggengkan penjajahan Barat atas Dunia Islam.
Inilah motif politik di balik gagasan dan wacana memperkuat ‘Islam Moderat’.

Khayalan Barat

Dalam tulisannya di Majalah Al-Wa‘ie, KH Hafidz Abdurrahman, MA, pernah menulis sebagai
berikut:

Islam adalah agama (ad-din) yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. untuk
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, diri dan sesamanya.

Dengan demikian Islam bukan hanya mengatur masalah akidah, ibadah dan akhlak; tetapi juga
mengatur masalah ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan, peradilan dan sanksi hukum serta
politik luar negeri. Inilah yang dimaksud dengan Islam kaffah, sebagaimana yang dinyatakan oleh
Allah dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 208).

Karena itu Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna sehingga Islam tidak lagi
membutuhkan agama atau ajaran lain (QS al-Maidah [5]: 3). Bahkan jika ada yang merasa perlu
untuk mengambil dari agama atau ajaran lain, dengan tegas Allah tolak, dan apa yang dia ambil itu
tidak akan pernah diterima (QS Ali Imran [3]: 85).

Karena itu pula, Islam—sebagai agama dan ajaran—harus dibedakan dengan pemeluknya.

Sebagai agama dan ajaran, Islam tidak pernah berubah. Islam sudah lengkap dan sempurna. Hanya
saja, pemahaman pemeluknya terhadap Islam itulah yang berbeda-beda. Ada yang lengkap dan
tidak. Ada yang memahami Islam dari satu aspek, sementara aspek yang lain ditinggalkan.
Misalnya, Islam hanya dipahami dengan tasamuh (toleransi)-nya saja, sementara ajaran Islam yang
lain, yang justru melarang tasamuh tidak dipakai.

Dari sini, seolah-olah Islam hanya mengajarkan tasamuh sehingga Islam terkesan permissif.
Padahal kenyataannya ada yang boleh di-tasamuh dan ada yang tidak. Dengan demikian, tetap
harus dipilah antara Islam dan orangnya.

Adapun kategorisasi Islam—Moderat, Liberal, Ekstrem, Radikal, Fundamentalis, dan sebagainya—


adalah mapping (pemetaan) yang berfungsi untuk memudahkan peneliti dalam memahami Islam.
Kategorisasi seperti ini merupakan bagian dari pemetaan yang dilakukan untuk memilah-milah Islam
berdasarkan kecenderungan orangnya.

Dari aspek ini saja sudah keliru. Sebabnya, Islam dinilai dengan menilai orangnya. Tentu ini bukan
dari orang Islam. Karena orang Islam tidak mempunyai kepentingan untuk melakukan itu.

Pemilahan atau pemetaan itu sengaja dilakukan oleh orang yang berada di luar Islam dalam rangka
mendekati orang Islam untuk kepentingan mereka.

Lalu apa kepentingan mereka? Jelas, yaitu: devide et impera; belah bambu; satu diinjak, yang lain
dirangkul. Tujuan akhirnya, agar orang Islam bisa dijinakkan dan dikuasai oleh penjajah.

Inilah strategi yang juga akui sendiri oleh George Tenet, mantan Direktur CIA; bahkan merupakan
rekomendasi terakhir Donald Rumsfeld sebelum lengser. Dia menegaskan, bahwa umat Islam tidak
bisa dikalahkan oleh orang luar, kecuali oleh orang Islam sendiri.

Jika demikian, benarkah ‘Islam Moderat’ itu ada?

Tentu tidak ada. ‘Islam Moderat’—dengan seluruh pemaknaan bahasa, istilah maupun politiknya—
sesungguhnya hanya ada dalam khayalan orang-orang kafir Barat, atau orang-orang Muslim yang
menjadi pembebek mereka.

Alhasil, tak usah bangga dengan klaim moderat jika itu hanya jadi mainan Barat.

Anda mungkin juga menyukai