Anda di halaman 1dari 5

Nama: Ali Mursyid Azisi

NIM: E92218061
Mata Kuliah: Pluralisme Agama
Perihal: Resume The Place of Tolerance in Islam (Tempat Toleransi dalam Islam)

Dalam isi tulisan “The Place of Tolerance in Islam” pada bagian pertama menjelaskan
tentang kasus pengeboman yang dilakukan oleh Islam garis keras yang sangat eksklusif di
Menara kembar New York. Kelompok ini bernama kelompok jihadis ekstrem al-Qaidah yang
dipimpin oleh Osamah bin Laden. Dari adanya kasus pengeboman ini lahirlah sebuah
pemahaman umum bahwa terjadinya peristiwa tersebut oleh masyarakat awam Amerika
dikenal dengan clash peradaban antara barat dan Islam. Faktor dasar pengeboman tersebut
dikarenakan adanya perbedaan nilai-nilai dari dunia barat dan dunia Islam yang di anut oleh
kelompok Islam garis keras tersebut. Nilai-nilai barat sendiri oleh para awam dianggap
bertentangan dengan ajaran Islam yang mana lebih menekankan pada hak kolektif (bukan
kebebasan individu), kewajiban individu (bukan hak asasi manusia), berorientasi pada hukum
yang ketat seperti halnya yang terdapat di kitab fikih, sistem pemerintah despotisme/otoriter,
dan intoleransi. Karena hal tersebut membuat Amerika menyamakan Muslim yang
melakukan penyerangan tersebut dengan musuh masa lalunya Uni Sovyet yang kini dikenal
dengan Russia.
Tulisan ini merupakan karya dari Khaled Abou el Fadl seorang Muslim, yang mana
dilatarbelakangi oleh aksi pengeboman/penyerangan di Gedung WTC New York City oleh
kelompok teroris Muslim jaringan al-Qaidah. Dalam tulisan ini menguraikan berbagai fakta
tentang kasus penyerangan tersebut serta mengurai adanya kesalahpahaman terhadap kasus
tersebut. Amerika semenjak Muslim jaringan al-Qaidah melakukan penyerangan tersebut,
publik Amerika memandang jelek terhadap Islam. Sebaliknya kebanyakan kaum Muslim juga
memandang Amerika juga demikian, padahal tidak tahu sesuai fakta. Bukan karena bahwa
segala ajaran Islam baik, lalu dalam pandangan kita semua umat Muslim baik, tidak juga.
Dari kasus penyerangan tersebut, dalam tulisan lain el-Fadl di minta maaf kepada publik
Amerika kala itu. Akan tetapi el-Fadl menjawab kalau ada orang Islam membunuh orang
lain, saya tidaklah bisa dianggap bersalah hanya saya beragama Islam. Kejahatan tetap
kejahatan dan tidak harus di bela hanya karena sesama Agama. jika membela kejahatan atas
dasar karena se agama, dapat di pastikan ada yang salah dalam cara kita beragama. Tanpa di
sadari, kita memahami agama dengan semangat kekerasan dan sebagai bukti adalah membela
tindak kejahatan atas nama agama.
Semenjak peristiwa itu, Islam oleh Amerika dipandang bertolak belakang dengan
nilai-nilai hak individu dan pluralisme. Pandangan Amerika yang semacam itu memang
tidaklah seluruhnya salah, pernyataan tersebut akan dibenarkan jika ditujukan terhadap
kelompok-kelompok ektremis, eksklusif, dan intoleran seperti kelompok jihadis al-Qidah
pimpinan Osamah bin Laden, Wahabi, Taliban, dan kelompok jihadis yang lain. Padahal
Islam sesungguhnya tidaklah seperti itu, justru cinta damai dan penuh kasih sayang, hanya
saja terdapat kelompok garis keras yang merasa paling benar yang jumlahnya minoritas.
Mereka sangat mengklaim bahwa mereka Islam sejati, dan di luar dari keyakinannya baik non
Muslim ataupun Muslim mereka anggap sesat, kafir, dan wajib di perangi dan di tundukkan.
Kelompok ini merasa unggul sendiri di banding dengan aliran Islam lainnya dan mereka
sangat bertentang dengan nilai-nilai barat dan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Maka
tidak heran jika mereka melakukan penyerangan/teror memerangi setiap orang yang beda
dengan keyakinannya sendiri. Kelompok ini beranggapan bahwa jalan keselamatan
sepenuhnya ada dalam syariat, yang mana etika dan moral juga ada di sana.
Mereka yakini bahwa Tuhan termanifestasikan ke dalam syariat dan juga berisikan
petunjuk untuk melakukan segala hal dan menerapkan hukum sesuai syariat. Karena Tuhan
termanifestasikan ke syariat maka segala apa-apa yang terdapat dalam syariat harus di
lakukan termasuk juga sangat tekstualis dalam memahami Qur’an. Semisal, seseorang yang
di nyatakan bahwa telah melakukan pembunuhan, bagi kelompok tersebut tidak ada hukuman
lain selain hukuman yang setimpal yaitu di bunuh juga/di pancung sesuai syariat Islam. Jika
terdapat model hukuman lain terhadap si pembunuh tersebut, maka bagi kelompok ini hukum
tersebut di klaim sesat. Kelompok ini merasa superior karena mengklaim dirinya adalah
tantara Allah. Kelompok puritan seperti ini sudah tersebar ke Indonesia hingga saat ini yang
sedikit-sedikit berbicara dalil dan cenderung mewujudkan kemahasempurnaan Tuhan di
muka bumi. Oleh karena itu mereka menyerang negara-negara yang mereka anggap tidak
berbasis syariah dan sudah menyerang ranah sosial politik dan budaya. Kelompok ini dalam
memahami teks Qur’an maupun Hadis sesuai dengan pendapatnya sendiri, dan pendapat
selainnya meskipun sesame Islam akan di anggap sesat.
Pada abad pertengahan, kelompok ektrem ini merupakan khawarij yang membantai
banyak orang baik muslim maupun non muslim, bahkan dalam catatan sejarah juga Sayyidina
Ali dan khalifah ke empat juga di bunuh oleh kelompok ini. sampai sekarang keturunan kaum
khawarij ini masih ada tepatnya berada di Aljazair dan Yaman. Namun juga terdapat
kelompok lain yakni Assassin dan Qaramita yang juga dijadikan referensi oleh kelompok
extrem ini. Dalam tulisan ahli fikih, sejarawan dan ahli ilmu kalam menganggap kelompok
ini merupakan sempalan. Kelompok-kelompok fanatik semacam ini memperole premis
teologis puritanisme yang intoleran salah satunya Wahabi dan salafi. Wahhabisme di dirikan
oleh penginjil abad ke 18 Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di semenanjung Arab yang
berusaha menyingkirkan Islam dari korupsi yang ia yakini telah merayap ke dalam negara.
Pada bagian ke tiga dalam tulisan The Place of Tolerance in Islam menjelaskan
tentang teologi dari kelompok intoleransi. Pada pembahasan kali ini, kelompok puritan
tersebut dalam hal teologi sangat intoleransi karena memahami Qur’an secara tekstual.
Contoh dalam Qur’an disebutkan bahwa non Muslim tidak boleh dijadikan teman karena
berbahaya, lalu dalam Qur’an ada perintah untuk memerangi umat non Muslim. Nah
kelompok tersebut melakukan sesuai apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Padahal turunnya
ayat tersebut disesuaikan dengan keadaan zaman dahulu ketika Islam di serang oleh non
Islam, dan sangat jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Menurut Khalid Abu Fadhol,
berbagai kelompok extrem sejenisnya tersebut membenarkan teologi intoleransi dengan
memahami Qur’an secara harfiah dan tidak mendudukkan ayat sesuai konteks zaman. Zaman
dahulu sangatlah beda dengan yang sekarang. Ayat yang digunakan kelompok ektrem untuk
mendukung gerakan teologi intoleransi seperti halnya Wahabi dan sejanisnya ini merupakan
ayat yang tentang larangan umat Islam untuk bersekutu dengan Yahudi dan Kristen dan juga
ayat tentang memerangi kelompok kafir.
Jika ayat ini dipahami secara literal tanpa memperhatikan konteks zaman, maka
kesimpulannya akan membuat umat Islam merasa Eksklusif/Intoleransi, tidak berteman,
berhubungan, bekerjasama dengan umat agama lain. Padahal ayat tersebut seperti yang sudah
di jelaskan di atas merupakan ayat yang turun ketika situasi peperangan kala itu ketika
kelompok luar Islam menyerang Islam dan di anjurkan untuk memerangi balik non Islam kala
itu. Jika diterapkan dalam konteks zaman sekarang tidak tepat, karena zaman sekarang sama
sekali tidak dalam situasi peperangan. Meskipun terdapat perang antar negara, maka perang
tersebut bukan perang agama karena di setiap negara terdapat beragam agama. Contoh:
andaikan Thailand dan Indonesia berperang, maka apakah perang ini antara Buddha dan
Islam? sama sekali tidak, karena di Thailand juga terdapat Islam dan di Indonesia juga ada
orang yang menganut Buddha.
Oleh karenanya jika memahami ayat Qur’an secara harfiah dan di terapkan dalam
konteks zaman sekarang nantinya akan hanya melahirkan Muslim yang eksklusif.
Pemahaman yang eksklusif semacam ini sebagaimana yang dikembangkan oleh Muslim
militan akhirnya membuat kita tidak fair/adil. Sebagai contoh ketika tsunami aceh 2004,
ketika itu banyak bantuan dari segala penjuru dunia atas nama kemanusiaan kala itu. Akan
tetapi sifat eksklusif ini nantinya akan membuat kita tidak mau melakukan hal yang sama
ketika umat non-Muslim tertimpa musibah/bencana. Kita tidak berbagi nilai-nilai normative
yang sama saat orang lain tertimpa bencana. Kelompok eksklusifisme untuk menunjukkan
bahwa mereka yang paling benar, dapat di tampilkan melalui simbol-simbol yang beda dari
kelompok yang di anggapnya kafir, sesat. Misalnya, bagi laki-laki tidak cukup hanya dengan
becelana menutup aurat dan memenuhi kriteria kesantunan yang di desain sedemikian rupa
agar tampak berbeda dengan kelompok lain. Saperti juga fenomena yang terjadi sekarang
mulai dibangunnya tempat-tempat yang serba Syariah dan marak sekali perumahan kini
khusus untuk Islam saja. Begitu juga memperlakukan umat non-Muslim. Umat non-Muslim
dilarang untuk menggunakan symbol-simbol yang selama ini di klaim sebagai milik Islam.
Contoh: dilarangnya penggunaan model kubah dalam bengunan jenis gereja (Sumatera),
orang Kristen di larang menggunakan kata Allah untuk menyebut nama Tuhannya
(Malaysia), dan adanya pelarangan seorang pendeta memakai kopyah.
Dalam teologi kelompok eksklusivisme ini memandang bahwa hanya Islam yang
dapat menghantarkan pada keselamatan di luar itu sesat, kafir, di cap ahli neraka.
Sesungguhnya pandangan tersebut tidaklah masalah. Masalah baru muncul ketika kita tidak
menyadari bahwa di setiap agama mempunyai klaim kebenaran semacam itu. Maka dari itu,
klaim kebenaran tersebut hanya di miliki oleh pengikut semua agama. Dampak dari sifat
eksklusiv ini nantinya akan mendorong seseorang untuk bertindak agresif terhadap orang lain
baik non-Muslim maupun muslim yang tidak sependapat dengannya. Sangat berbahaya sekali
sikap eksklusiv ini yang menganggap paling benar sendiri, maka dari itu inilah yang disebut
oleh Khalid bahwa Muslim yang ektrem ini memiliki teologi suprematis, yakni teologi yang
menganggap dirinya paling unggul dan juga berhak mendominasi kelompok lain. Karena
mereka berpedoman pada Qur’an secara tekstualis tanpa memandang konteks zaman
sekarang. Mungkin saja kelompok ini menerima hadirnya agama lain terutama Yahudi dan
Nasrani, akan tetapi tidak mau berteman dan mengembangkan sikap permusuhan.
Pada dasarnya Al-Qur’an sendiri merujuk pada kewajiban, moral umum seperti
rahmat, keadilan, dan keadilan. Al-Qur’an tidak secara jelas mendefinisikan kategori tersebut,
akan tetapi menggunakan pengandaian-pengandaian kejujuran moral pada sebagian pembaca.
Al-Qur’an juga pada dasarnya secara terus menerus memerintah untuk melakukan kebaikan
untuk membangun pemahaman normatif. Secara harfiah arti ihsan selain bermaksud untuk
kebaikan, akan tetapi berarti juga meningkatkan dan mempercantik. Penting sekali
ditekankan dalam menganalisis teks Al-Qur’an harus paham keadaan sejarah turunnya ayat
tersebut dan dalam konteks keadaan zaman dahulu. Terdapat hal di dalamnya seperti pajak,
pungutan suara atau membentuk aliansi dengan non-Muslim hanya bisa dipahami ketika kita
paham betul dengan situasi kondisi praktik sejarah seputar turunnya ayat tersebut. Ketika
dalam memahami Al-Qur’an tanpa memahami konteks turunnya wahyu tersebut dan tidak
melihat konteks sejarah, maka akan melahirkan paham puritan yang menafsirkan ayat secara
tekstualis dan tidak berkomitmen secara moral.
Dalam isi Qur’an sebenarnya banyak sekali dengan mudah di temukan untuk
bertoleransi dan isi Qur’an juga mengakui adanya perbedaan dan keragaman setiap manusia.
“Wahai manusia, Tuhan menciptakan kamu dari pria dan wanita dan membuat kamu beragam
bangsa dan suku sehingga kamu bisa saling mengenal satu sama lain, sesungguhnya diantara
kamu yang paling terhormat di hadapan Allah adalah yang paling benar. Al-Qur’an saja
sudah mengakui bahwa keragaman pasti ada dan manusia di ciptakan untuk saling mengenal,
memahami, toleransi dengan umat lain. Tidak seperti kelompok puritan/ekstrem yang
memahami ayat secara tekstualis dan memerangi non-muslim tanpa memahami konteks
turunnya ayat. Selain mengakui keragaman, Qur’an juga menerima gagasan lebih spesifik
tentang pluralitas kepercayaan dan juga hukum Agama. Meskipun menurut umat Islam
sendiri mengklaim bahwa Qur’an merupakan kebenaran ilahi dan juga menuntut untuk
beriman kepada Muhammad sebagai Nabi terakhir, pengklaiman kebenaran tersebut tidak
sepenuhnya satu-satunya jalan untuk mencapai keselamatan dan ada kemungkinan juga non-
Muslim baik Kristen, Yahudi, Hindu terdapat jalan keselamatan tersendiri. Dalam Isi Qur’an
dijelaskan bahwa semua kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Bisa jadi orang
yang berbeda keyakinan dengan Muslim seperti ahli kitab Yahudi, Kristen, siapa saja yang
percaya terhadap keagungan Tuhan dan hari akhir, selalu berbuat baik terhadap sesama, akan
mendapatkan balasan dari Tuhan mereka.
Seperti yang telah terjadi pada sejarah Nabi ketika di Madinah yang mana kala itu
hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani. Memang umat islam mendesak untuk
mendukung golongan Muslim, akan tetapi Yahudi dan Nasrani diterima hidup berdampingan
dan mendapat perlakuan yang sama dengan antara Islam, Yahudi dan Nasrani. Dengan begitu
yang diharapkan adalah hubungan timbal balik bagi umat Islam. Tentangan yang sering
dialami pada argument toleransi ini adalah masalah jihad. Jihad yang diartikan selama ini
sebagai perang suci yang mengatasnamakan tuhan untuk memerangi orang kafir, maka dari
itu jihad ini digambarkan sebagai gambaran bentuk intoleransi. Sebetulnya islam sendiri tidak
melarang seseorang untuk berpindah agama dari agama lain ke Islam. Islam sendiri tidak
menganjurkan unsur paksaan, karena masalah pindah agama kaitannya dengan iman
seseorang yang tidak dapat di paksakan.
Fakta yang sesungguhnya terkait gagasan perang suci “jihad” tersebut tidak ditujukan
untuk memerangi umat lain atau usaha mendapat keadilan. Akan tetapi perang suci tertinggi
yang dimaksud adalah suatu tindakan untuk membersihkan diri dari sifat buruk hati/rohaniah.
Sesungguhnya Qur’an menekankan boleh memerangi orang yang memerangi mereka terlebih
dahulu, bukan memerangi orang yang tidak bersalah. Qur’an juga memerintahkan untuk
memerangi non-Muslim jika mengancam keselamatan umat Islam, baik fisik, mengusir
Muslim dari tempat tinggalnya, maka Qur’an memerintahkan untuk boleh di perangi. Akan
tetapi jika umat non-Muslim mencari perdamaian, maka umat Islam harus memperlakukan
non-Muslim dengan baik demi perdamaian, karena Qur’an juga membicarakan perdamaian.
Sebagaimana yang termaktub dalam Qur’an yang berbunyi “ jika musuh kamu condong
terhadap perdamaian, maka kamu harus mencari perdamaian dan percaya terhadapTuhan”.
Fakta lainnya tentang toleransi dalam islam yaitu zaman dahulu ketika non-Muslim
tinggal di wilayah Muslim. Mereka dikenakan membayar pajak pungutan untuk mendapat
perlindungan dari negara Muslim. Akan tetapi ketika khalifah ke dua sahabat Umar, pajak
pungutan tersebut di kembalikan kepada ahli kitab yang ia tidak mampu lindungi dari agresi
Bizantium. Pada intinya teks-teks suci baik Qur’an maupun teks Islami lainnya berbicara
melalui pembacanya, tergantung bagaimana si pembaca menafsirkan. Jika menafsirkan hanya
tekstualis dan tidak mengaca pada sejarah Islam dahulu, maka akan menghasilkan Islam
puritan, supremasi dan intoleran. Akan tetapi jika menafsirkan dengan benar, maka akan
mendapat berkah karena menyesuaikan dengan zaman dan paham betul dengan sejarah
turunnya ayat tersebut. Peradaban Islam juga telah melahirkan tradisi humanistik dan
toleransi yang melestarikan filsafat Yunani fan menghasilkan banyak sains, seni dan
pemikiran sosial yang baik dan juga dalam sejarah Islam juga memunculkan kemampuan
untuk mengenali kemungkinan adanya toleransi antar umat beragama.

Anda mungkin juga menyukai