Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH MASAIL FIQHIYAH JINAYAH SIYASAH

TENTANG
JIHAD, BOM BUNUH DIRI DAN TERORISME DALAM PANDANGAN ISLAM

Dosen Pengampu:
Askana Fikriana, SH., MH.

Oleh Kelompok V:
Muhammad Sobri Dalimunte (11820415210)
Ratu Anggia Rahmawati (11820420946)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2021

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmad taufik dan hidayah-Nya sehingga atas kasih sayang-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Jihad, bom bunuh diri dan
Terorisme dalam pandangan Islam”.

Sholawat dan salam taklupa terucapkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad


Shallallahu ‘alaihi Wasaallam, yang telah menjadi tauladan bagi umat manusia.

Pada kesempatan penulisan ini pula, kami menyampaikan dengan tulus ucapan
terimakasih kepada dosen pengampu Ibu Askana Fikriana, SH.,MH. selaku yang
mengajar mata kuliah Masail Fiqhiyah Jinayah Siayasah yang telah memberi ilmu,
mengajarkan moral dan juga bimbingannya kepada kami selama mengikuti pembelajaran,
dan terima kasih juga kepada teman-teman yang telah memberi dukungannya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu
kritik dan saran sangatlah berguna bagi kami.

Semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua, untuk menambah
wawasan serta mencontohkan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Amin ya Rabbal Alamin.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhir-akhir ini banyak sekali bermunculan kasus-kasus di media social,


televisi, dan alat komunikasi lain seperti kasus bom bunuh diri, terorisme dan sebagainya.
Hari ini terorisme merupakan kasus yang paling disorot oleh media internasional,
dikarenakan kejadiananya dan jaringannya yang sangat luas. Seperti yang kita ketahui
terorisme adalah suatu komitmen kepada perubahan keseluruhan yakni yang menantang
struktur dasar atau fundamental, tidak hanya pada lapisan-lapisan superfisial.
Dewasa ini kasus-kasus terkait terorisme selalu disangkutpautkan dengan
agama islam, bahkan kegiatan yang dianggap baik buat agama islam terlihat buruk di
mata agama lain. Banyak sekali orang beranggapan kasus trorisme dalangnya adalah
orang islam, sebenarnya hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar, bisa saja yang
melakukan hal tersebut adalah orang di luar agama islam. Sebagai contoh kasus yang
hangat diperbicangkan, kasus penembakan di New Zealand, berdasarkan hasil olah TKP
dan pendalaman kasus terhadap si pelaku, ternyata pelaku adalah non muslim, dan ini
jelas terbukti kalau teroris itu tidak melulu disamaratakan dengan agama islam.
Oleh sebab itu kami mengangkat tema “jihad, bom bunuh diri dan terorisme
dalam pandangan islam” sebagai bahan diskusi kami untuk mengkaji lebih dalam
mengenai pandangan islam terkait terorisme, hubungan kenapa islam selalu dihubungkan
dengan terorisme, dan juga penjelasan-penjelasan lain yang menyangkut tema "jihad,
bom bunuh diri dan terorisme.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu jihad?


2. Bagaimana pandangan islam terhadap bom bunuh diri?
3. Bagaimana pandangan islam terhadap terorisme?
4. Bagaimana sikap umat islam terhadap terorisme?

C. Tujuan

1. Mengetahui apa itu jihad.


2. Mengetahui apa itu bom bunuh diri.
3. Mengetahui bagaimana cara pandang islam terhadap terorisme.
4. Mengetahui bagaimana sikap umat terhadap terorisme.
5. Mengetahui bagaimana kekerasan yang mengatasnamakan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama Islam

Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan 1,8
miliar orang pengikut di seluruh dunia, Islam menjadi agama terbesar kedua di dunia
setelah Kristen. Islam memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya
kepada Tuhan. Pengikut ajaran Islam disebut Muslim yang berarti "seorang yang
tunduk kepada Tuhan", atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan
Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah adalah satu-satunya tuhan
yang berhak disembah dan Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke
dunia oleh Allah.

B. Pengertian Jihad dalam Agama Islam

Jihad menurut agama Islam adalah sebagai penyempurnaan segenap ibadah,


karena jihad itulah tiang ibadat sebagai perwujudan dari cinta kasih kepada Allah
seorang hamba rela merelakan jiwa dan raganya serta harta bendanya dalam
perjuangan. Perjuangan dimaksud adalah untuk mewujudkan perdamaian, keadilan,
dan kehormatan atas dasar nilai-nilai kemanusiaan. Terorisme sebagai kekerasan
politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan.
Agama Islam menganjarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan
kemanusiaan universal. Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan
perdamaian, keadilan, dan kehormatan, akan tetapi, perjuangan itu tidak harus
dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Dengan kata lain, untuk
mencapai suatu tujuan yang baik sekali pun Islam tidak memperkenankan
menghalalkan segala cara apalagi cara-cara kekerasan.
Menurut Quraish Shihab, kata Jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak 41 kali
dengan berbagai bentuknya. Kata jihad terambil darikata “jahd” yang berarti
“letih/sukar”. Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang
berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata “juhd” yang berarti “kemampuan”. Ini
karena jihad menuntut kemampuan, dan harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari
kata yang sama tersusun ucapan “jahidah bir-rajul” yang artinya “seseorang sedang
mengalami ujian”. Terlihat bahwa kata ini mengandung makna ujian dan cobaan, hal
yang wajar karena jihad memang merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.
Firman Allah berikut ini menunjukkan betapa jihad merupakan ujian dan
cobaan :
“Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi
Allah orang yang berjihad antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar”.
(Q.S Ali Imran (3) : 142).

Dari firman tersebut di atas, bahwa jihad merupakan cara yang ditetapkan Allah
untuk menguji manusia. Tampak pula kaitan yang sangat erat dengan kesabaran
sebagai isyarat bahwa jihad adalah sesuatu yang sulit, memerlukan kesabaran, serta
ketabahan.
Jihad juga mengandung arti “kemampuan” yang menuntut sang mujahid
mengeluarkan segala daya dan kemampuannya demi mencapai tujuan. Karena itu,
jihad adalah pengorbanan, dan dengan demikian sang mujahid tidak menuntut atau
mengambil, tetapi memberi semua yang dimilikinya. Ketika memberi, dia tidak
berhenti sebelum tujuannya tercapai atau yang dimilikinya habis. Said Aqil Siraj
mengatakan bahwa, “Tema jihad itu sendiri berasal dari kata “jahada”, berarti usaha
atau upaya. Derivasinya, jahada, yajhadu, jihad, dan mujahada. Maka, membicarakan
jihad berarti membicarakan juga derivasi atau mustaqqatnya, yaitu istihad dan
mujahada berasal dari satu akar kata yang bermakna keseriusan dan kesungguha.
Perbedaan antara tiga kata tersebut terletak pada wilayah atau tujuannya. Jihad
berada pada wilayah keseriusan atau usaha yang sungguh-sungguh secara fisik atau
non fisik, istihad berupaya membangun sisi intelektualitas dalam memecahkan
persoalan umat, sedangkan mujahada upaya bersungguh-sungguh membangun
spiritualitas individu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT guna mencapai
tingkat “ insan kamil”.
Dari ke tiga kata tersebut, ternyata kata jihad mendapat perhatian lebih
dibandingkan dua kata lainnya. Hanya saja, pengetahuan yang terbatas akan referensi
Islam mengakibatkan tema jihad dipahami sebagai sebuah gerakan fisik yang
berkonotasi kekerasan, kekejaman, kebrutalan, dan bahkan pertumpahan darah.
Trend pemaknaan jihad seperti ini makin diperparah dengan kemunculan
beberapa tragedi kemanusiaan yang diklaim sebagai akibat gerakan “ Islam garis keras
”. Opini dunia pun mengarah kepada Islam.
Islam sebagai agama rahmatan lil‘alamin, agama penabur kasih bagi seluruh
alam, lagi-lagi menjadi tergugat. Kekeliruan dalam menafsirkan kata jihad tersebut
berakibat timbulnya berbagai opini negatif terhadap agama Islam, karena seakan-akan
Islam mengajarkan atau menganjurkan bagi pemeluknya untuk menyelesaikan masalah
dengan cara-cara kekerasan atau teror. Opini demikian harus diantisipasi oleh umat
Islam dengan cara melakukan kebajikan-kebajikan yang diperintahkan Allah untuk
kemasalatan umat manusia di seluruh dunia.

C. Bom bunuh diri dalam pandangan Islam

Istilah bom bunuh diri yang diklaim sebagai bom syahid mulai dikenal sejak
abad ke-20. Bergeliatnya negara-negara Islam baik dalam konflik internal atau dengan
kelompok Zionis, seperti di Palestina, memunculkan perlawanan dengan bom syahid.
Banyak yang mempertanyakan, apakah bom bunuh diri yang dilakoni pejuang-pejuang
Islam seperti di Palestina bisa mendapatkan ganjaran sebagai seorang syuhada?
Bukankah Islam melarang mencelakai diri sendiri apalagi sampai bunuh diri?
Terkait masalah ini, ada dua pendapat ulama yang saat ini terus berseberangan.
Ada kelompok yang melarang keras aksi bom bunuh diri meski untuk menyerang
musuh. Kelompok lain, seperti Syekh Yusuf al-Qaradhawi, memperbolehkan dengan
beberapa ketentuan. Mereka yang membolehkan berdalil seperti kisah Ashabul
Ukhdud. Di dalam syarah Riyadus Shalihin Jilid 1 halaman 165-166 disebutkan,
seseorang boleh mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan kaum Muslimin secara
umum. Ashabul ukhdud (pemuda yang mengorbankan dirinya) itu merelakan dirinya
untuk dipanah oleh raja yang zhalim. Ia menahan panah dengan harapan rakyat yang
menyaksikannya bisa beriman. Benar saja, setelah si raja membaca “bismi rabbil
ghulam” (dengan nama Tuhan si pemuda ini) menggugah hati rakyat di negeri itu.
Akhirnya, seluruh rakyat beserta si raja beriman dengan pengorbanan si pemuda tadi.
Dr Yusuf al-Qaradhawi termasuk dari kalangan yang paling gigih membela
bom bunuh diri yang disebut bom syahid tersebut. Ulama muda Saudi, seperti Syekh
Salman al-Audah dan Syekh Sulaiman Nashir al-Ulwan, juga mendukung aksi ini.
Menurut mereka, pengorbanan pemuda yang melakoni bom bunuh diri untuk membela
rakyat Palestina yang dibantai. Mereka tidak mempunyai model perlawanan efektif,
selain dari bom bunuh diri.
Sedangkan, beberapa ulama dari Saudi menolak keras model bom bunuh diri.
Apalagi, sampai menyebut pelaku bom mendapatkan syahid di sisi Allah SWT. Mufti
Arab Saudi Syekh Abdul Aziz al-Syaikh menyebutkan, mereka yang menjadi pelaku
bom bunuh diri tidak bernilai syahid di sisi Allah. “Membunuh diri sendiri merupakan
kejahatan berat dan dosa besar. Mereka yang melakukan bunuh diri dengan cara
meledakkan diri menggunakan bahan peledak (bom) termasuk penjahat yang
mempercepat perjalanan mereka ke neraka. Hati mereka telah menyimpang jauh dari
jalan yang benar, pikiran mereka telah diserang oleh kejahatan,” demikian petikan
fatwa Syaikh al-Syaikh.
Para ulama yang menolak bom bunuh diri berdalil dengan ayat, “Janganlah
kalian membunuh diri kalian sendiri karena sesungguhnya Allah sangat penyayang
kepada kalian.” (QS an-Nisaa’ [4]: 29). Dan, hadis Rasulullah SAW, “Siapa yang
membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan di tangannya,
ditusukkan ke perutnya di neraka jahannam dia kekal di dalamnya.” (HR Bukhari
Muslim).
Ulama kelompok kedua juga menilai dari segi kemaslahatan. Bom bunuh diri
pada realitasnya tidak membuat musuh Islam jera. Berbeda dengan kisah pemuda
ashabul ukhdud di atas. Bisa saja, dengan serangan bom bunuh diri membuat musuh
Islam lebih congkak dan bringas. Mereka membalasnya dengan perbuatan yang lebih
kejam kepada kaum Muslimin. Mengenai sebutan syahid bagi seseorang yang tewas,
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memberikan beberapa kriteria. Syahid yang
terikat dengan suatu sifat, seperti setiap orang yang dibunuh fisabillah merupakan
syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya termasuk syahid, orang yang
mati karena penyakit tahun merupakan syahid dan yang semacamnya. Mereka yang
syahid seperti ini terdapat dalam nash hadis Nabi. Kedua, mengklaim seseorang syahid
tanpa alasan yang jelas seperti di atas, hal ini tidak diperbolehkan. Berpedoman pada
khotbah Umar bin Khattab, “Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si Fulan
syahid dan si Fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang.
Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana
sabda Rasulullah SAW, ‘Barang siapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia
syahid’.” (HR Ahmad).
Jadi, menjustifikasi seseorang telah mati syahid tidak boleh sembarangan.
Karena syahid adalah tempat yang mulia di sisi Allah SWT dan tidak sembarangan
orang yang mendapatkannya. Orang yang syahid langsung diterima di surga serta ia
bisa memberi syafaat kepada 60 orang yang ia suka pada hari kiamat.
Ibnu Taimiyah menerangkan, mengklaim seseorang mendapatkan mati syahid
berarti juga bersaksi bahwa orang tersebut masuk surga. Konsekuensi ini amatlah
berat, kecuali dengan sifat yang telah disebutkan oleh Rasulullah SAW atau disaksikan
langsung oleh Beliau.

D. Terorisme dalam pandangan Islam

Umumnya Terorisme muncul dari pemahaman agama yang tertutup dan tekstual.
Kaum radikal selalu merasa sebagai kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan,
karena itu mereka suka mengkafirkan orang lain atau menganggap orang lain sebagai
sesat. Dalam sejarahnya, terdapat dua wujud radikalisme, yaitu (1) radikalisme dalam
pikiran, yang sering disebut sebagai fundamentalisme, dan (2) radikalisme dalam
tindakan, yang sering disebut sebagai terorisme.
Untuk menjinakkan terorisme dan radikalisme memerlukan pendekatan,
pemikiran dan strategi yang cerdas, komprehensif dan integratif. Memerlukan sinergi
oleh banyak pihak dan peran, baik untuk tingkat nasional, regional maupun global.
Pertanyaan yang wajib diketengahkan terlebih dahulu adalah, bahwa perang
terbuka melawan terorisme telah sejak lama digalakkan dengan berbagai cara dan
menelan biaya melimpah. Densus 88 dibentuk, pengejaran, pengepungan, saling baku
tembak bak dalam film sering kita saksikan, lalu hukuman mati ditegakkan. Namun,
kenapa terorisme tak pernah habis, bahkan semakin subur, cerdas, sistematis, kreatif
dan inovatif? Kenapa begitu? Karena terorisme dan radikalisme, khususnya yang
berkedok agama, memiliki akarnya. Dan perang terbuka seperti tergambar di atas tak
mampu membunuh akarnya. Akarnya masih tetap hidup dan terus menumbuhkan duri-
duri terorisme dan radikalisme kembali.
Akarnya banyak dan kadang sulit terbaca. Salah satunya adalah ideologi dan
doktrin keliru yang telah mencuci otak para teroris dan radikalis sehingga hal keliru
dianggap benar, pembunuhan dianggap jihad. Akhirnya, mereka pun tak segan-segan
melakukan perbuatan bodoh berupa teror dan radikal meskipun harus menghilangkan
nyawa sendiri. Ironisnya, ideologi itu dengan sangat mudahnya mereka dapatkan dari
para pengasongnya dengan cuma-cuma, bahkan sengaja dipaksakan tertanam dalam
otak mereka. Bisa secara oral, melalui kitab (baca-buku), media, dan yang paling
gencar adalah melalui internet. Jika akarnya adalah ideologi tentu logis jika teroris dan
radikalis terus merajalela meskipun telah berulangkali ditangkapi dan dibunuhi. Karena
yang terbunuh hanyalah raga semata sementara ideologinya tetap bergentayangan.
Dan, untuk membunuh ideologi kita memerlukan pisau ideologi lain yang lebih tajam.
Begitulah, bahwa untuk memerangi terorisme dan radikalisme memang
membutuhkan peran dari banyak elemen. Tapi peran paling fital adalah yang
seharusnya dilakukan oleh para ulama. Karena serangan yang paling kuat dalam upaya
meradikalkan seseorang menjadi teroris adalah ideologi. Seperti memetakan teks-teks
keagamaan yang telah diselewengkan kemudian dijadikan justifikasi atas tindak
terorisme dan radikalisme. Kemudian menginterpretasikan teks-teks tersebut secara
toleran dan moderat.
Pasca pengeboman terakhir yang terjadi beberapa waktu lalu, berkembang
berbagai opini dan penilaian tak menentu di masyarakat negeri ini tentang terorisme
dan para pelakunya, dengan berpatokan pada tanda-tanda yang serba bisa. Suasana ini
semakin diperparah dengan munculnya “tokoh-tokoh” memberikan berbagai komentar,
yang berbagai komentar tersebut kemudian dilansir oleh media. Kondisi ini
mendorong kami untuk tampil memberikan penjelasan singkat kepada kaum
muslimin :
Terorisme berlabelkan Islam yang muncul pada masa sekarang sebenarnya
berakar dan merupakan kelanjutan dari paham sesat khawarij, yang telah muncul pada
awal-awal Islam. Paham ini merupakan paham yang munculkarena semangat yang
tinggi membela Islam namun ekstrim dalammemahami dan menerapkan dalil-dalil Al-
Qur`an dan As-Sunnah, dengan bekal pemahaman yang pendek tanpa mau merujuk
kepada para „ulamaAhlus Sunnah wal Jama‟ah. Sehingga mereka salah total dalam
mengaplikasikan dalil-dalil.
Terorisme Khawarij bukan bagian dari agama Islam. Tindakan tersebut
bertentangan dengan agama Islam, di samping juga sangat berbahaya bagiagama Islam
dan bagi umat manusia. Tidak ada satu dalil pun dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah yang
menganjurkan atau membenarkanmemperjuangkan Islam dengan cara terorisme, atau
dengan aksi-aksikekerasan para teroris khawarij, baik dengan cara pengeboman,
pembunuhan, perampokan, penentangan terhadap pemerintah muslimin,dll.
Jihad merupakan amalan yang agung dan mulia dalam Islam. Jihad yang
diajarkan dalam Islam adalah jihad yang membawa rahmah. Jihad dalamIslam ada
aturan, syarat-syarat, dan rinciannya. Jihad dalam Islam ditentukan oleh para „ulama
Ahlus Sunnah. Bukan dilak
ukan dengansembarangan dan brutal, apalagi dengan cara-cara teror. Aksi-aksi
yangdilakukan oleh para teroris khawarij tersebut bukanlah jihad sama sekali.
Dakwah Salafiyyah adalah dakwah hikmah yang mengusung dakwah para Nabi
dan Rasul. Dakwah Salafiyyah jauh dan bersih dari paham sesatteroris khawarij.
Banyak pihak yang mengklaim Salafiyyah, namunmereka salah dalam memahami dan
menerapkan salafiyyah itu sendiri.
Tuduhan sebagian pihak bahwa Wahhabiyyah berada di balik berbagai
aksiterorisme, merupakan tuduhan yang salah besar. Wahhabiyyah adalah
Dakwah Tauhid yang ditegakkan oleh Syaikhul Islam Muhamad bin,
AbdilWahhab rahimahullah. Dakwah beliau tidak lain adalah melanjutkandakwah para
nabi dan rasul, dakwah yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas manhaj
Ahlus Sunnah wal Jama‟ah. Tentu saja merupakan dakwah yang ditegakkan di atas
hikmah dan kasih sayang, jauh darikekerasan apalagi terorisme. Istilah
Wahhabiyyah/Wahabisme merupakan istilah yang tidak benar, sengaja dimunculkan
oleh kaum syi‟ah, shufi, dan liberalis yang membenci Dakwah Tauhid yang dikibarkan
oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah, dalam upaya mereka
menjauhkan masyarakat muslim dari dakwah tauhid dan sunnah.
Berhukum dengan hukum Allah merupakan kewajiban setiap muslim,termasuk
pemerintah kaum muslimin. Namun tidak semua orang yangtidak berhukum dengan
hukum Allah serta merta divonis kafir dandinyatakan halal darahnya, atau divonis kafir
pemerintahnya. Semua ituada rinciannya dalam Islam.
Setiap mukmin harus berloyal kepada Islam dan kaum muslimin, di sisilain
setiap muslim harus berlepas diri dan benci kepada kekafiran danorang-orang kafir.
Namun dalam menerapkannya ada aturan dan rincian yang telah ditetapkan oleh
syari‟at. Tidak semua orang kafir boleh dibunuh atau diperangi.
Bahwa penampilan Islami, seperti jenggot, baju gamis, celana di atas matakaki,
istri bercadar, dll merupakan bagian dari Islam yang telah diajarkandan dicontohkan
oleh junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahualaihi wa sallam. Ini merupakan
ciri-ciri seorang muslim yang berpegangteguh pada agamanya. Wajib bagi kaum
muslimin untuk mencintai cara penampilan Islami tersebut. Namun kaum teroris
khawarij telah menodai ajaran Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tersebut, dengan
mereka terkadang juga berpenampilan dengan penampilan tersebut. Maka tidak boleh
bagi kaum muslimin untuk menganggap penampilan Islami tersebut sebagai ciri ciri
teroris khawarij.
Kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk kembali berpegangteguh
kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan cara pemahaman dan pengaplikasian yang
benar, yaitu dengan metode Ahlus Sunnah wal Jama‟ah yang sesuai dengan bimbingan
Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dan para shahabatnya. Dalam semua aspek,
baik dalam aqidah,ibadah, akhlak, maupun dalam bermuamalah. Sehingga kaum
muslimin bisa bersikap dan menilai segala hal di atas landasan agamanya. Termasuk
dalam menyikapi berbagai aksi terorisme kaum khawarij, kaum muslimin bisa bersikap
berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah, tidak terombangambing oleh pemberitaan
media maupun komentar tak bertanggungjawabdari para tokoh yang tidak jelas
motivator dan kapasitas ilmunya.
Satu-satunya cara untuk menyelesaikan dan memberantas terorisme khawarij
adalah semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat, harus kembali berpegang teguh
kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan cara pemahaman dan pengaplikasiann yang
benar, yaitu dengan metode Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dalam semua aspek, baik
dalam aqidah, ibadah, akhlak, maupun dalam bermuamalah.
BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Jihad dalam agama Islam adalah suatu upaya bersungguh-sungguh untuk


melaksanakan perintah Allah yang bertujuan untuk kemasalatan umat manusia
dengan cara-cara tidak bertentangan dengan kemanusiaan.
2. Terorisme adalah perbuatan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu
tujuan termasuk cara kekerasan, oleh karena itu jelas terorisme bertentangan dengan
ajaran agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Wahid, Abdul dan kawan-kawan, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM,
dan Hukum, Bandung : Rafika Aditama.
HAMKA, 1970, Falsafah Hidup, Jakarta : Djaja Murrni.
Mulyadi, Lilik, 2007, Peradilan Bom Bali, Jakarta : Djambatan
Rahmat, M. Imdadun, 2005, ARUS BARU ISLAM RADIKAL Transmisi Revivalisme
Islam Timur Tengah Ke Indonesia, Jakarta : Erlangga.
Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan AL-Qur’an Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung : Mizan.
Siroj, Said Aqil, 2006, Tasawuf Sebagai Krirtik Sosial, Bandung : Mizan dan Yayasan
Khas.
https://www.kompasiana.com/hariyantoimadha/552ba9266ea8346a548b4573/politik-
kejahatan-yang-mengatasnamakan-agama-islam diakses 19 September 2021
pukul 20.15 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Islam diakses 20 September 2021 pukul 22.22 WIB

Anda mungkin juga menyukai