Anda di halaman 1dari 64

Jihad Fi Sabilillah Ibnu Asyur

( Pendekatan Tafsir Maqashidi)


Proposal Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk untuk memenuhi persyaratan
MemperolehGelar Sarjana Agama (S.Ag)

Dosen pembimbing: Drs. H Ahmad Rifqi Mukhtar, MA

Disusun Oleh: Raayyanita Nur Rahmah Sari

NIM: 11180340000134

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS

USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2022 M/1442 H


Daftar Isi

Abstrak

Kata Pengantar

Pedoman Transliterasi

Daftar Isi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Identifikasi Masalah

C. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

E. Telaah Pustaka

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

2. Metode Pengumpulan Data

3. Teknik Analisis Data

G. Sistematika Penulisan

BAB II: IBN ASYUR DAN PEMIKIRANNYA

A. Biografi Ibn Asyur


B. Pendidikan dan Karir Intelektual
C. Karya-Karya dan Pemikiran
1. Karya-karya
D. Pemikiran Maqasid Ibn Asyur
1. Maqasid al-Syari‟ah al-Ammah
2. Maqasid syari‟ah al-Khassah
E. Karakteristik Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir
1. Latar belakang penyusunan
2. Karakteristik Tafsir
3. Metode Penulisan Tafsir
4. Sumber Penafsiran

A. BAB III DISKURSUS KAJIAN TAFSIR MAQASIDI Kajian Tafsir Maqashidi dalam
Lintas Sejarah
B. Urgensi Tafsir Maqashidi

BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN IBN ASYUR TENTANG JIHAD FISABILILLAH

A. Penafsiran Ayat-ayat Jihad fi sabillah dengan tafsir maqashidi

1. Makna jihad fi sabillah dalam konteks perang

2. Makna jihad fi sabilillah dalam konteks perjuangan

B. Relevansi makna jihad fi sabillah di era saat ini

1. Relevansi makna jihad fi sabilillah dalam konteks perang

2. Relevansi makna jihad fi sabilillah dalam konteks perjuangan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
C. Daftar Pustaka
1
Bab 1

Pendahuluan
A. Latar Belakang

Al-Qur‟an merupakan sumber hukum pertama dalam Islam. Allah


telah mengatur segala macam aspek kehidupan manusia secara rinci
melalui firman-Nya. Baik itu berupa hukum suatu perkara maupun solusi
problematika kehidupan manusia. Al-Qur‟an memiliki posisi penting
sebagai buku petunjuk yang diyakini sebagai cara pandang hidup yang
senantiasa sesuai di setiap waktu dan tempat. Maka upaya interpretasi al-
Qur‟an dipandang sebagai sebuah keniscayaan.1

Kata Jihad fi sabilillah berasal dari bahasa arab, terdiri dari empat
kata yang dirangkai menjadi satu ungkapan, yakni lafaz jihad fi – sabil –
Allah. Jihad merupakan derivasi dari lafadz jahada yang berarti bentuk
perbuatan dari dua pihak dengan mengerahkan segala kekuatan untuk
menghadapi lawannya. Sabil makna aslinya adalah “at-Thariq artinya
jalan.”dalam al-Qur‟an kata “sabil” diulang sebanyak 166 kali, kata
“Sabilillah” 68 kali dan kata fi sabilillah 46 kali.2

Lafal jihad berasal dari “al-jahdu” yang berarti kesulitan. Ada juga
yang mengatakan berasal dari kata “al-juhdu” yakni kapasitas dan
kemampuan diri. Al-Naisaburi mengatakan jihad adalah mencurahkan
daya upaya dalam menghasilkan tujuan yang dikehendaki. Jihad
merupakan perjuangan secara terus-menerus di mana orang Islam secara
individual dan secara kelompok berjuang ke arah yang lebih baik; ke arah
pembangunan dan peningkatan, untuk mewujudkan ideal-ideal yang
tercantum dalam Al-Qur‟an dan sunah Nabi Muhammad sallallhu „alaihi
wa sallam. Jihad secara umum berarti mencurahkan segala kemampuan,

1
Ahmad Husnul Hakim, Kaidah Tafsir Berbasis Terapan, (Depok: Yayasan Elsiq), 2

2
Muhammad Fu‟ad Abd Baqiy, Mujam al-Mufahrasy li Alfadzil Qur’an, (Berut: Dar el Fikr,
1996), 43

3
baik harta maupun raga untuk memperjuangkan agama Allah Swt. dengan
niat yang ikhlas karena Allah Swt.3

Secara terminologi fī sabīllah berarti di jalan Allah, yakni jalan yang


mengantarkan seseorang sampai kepada Allah. Secara umum makna
sabīlillah mencakup segala perbuatan atau amal yang ikhlas, yang
dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan
segala perbuatan yang wajib maupun yang sunah, seperti penyampaian
dakwah Islam, pemberantasan buta aksara Al-Qur‟an, penerjemahan Al-
Qur‟an sesuai dengan bahasa pada tiap-tiap bangsa, pembuatan madrasah,
rumah sakit, dan lain lain. Menurut pendapat al-Maraghi jalan Allah
adalah jalan menuju keridhaan dan pahala-Nya. Fi sabilillah tidak hanya
berperang saja melainkan seluruh kebaikan atau kemaslahatan untuk
umat.4

Jihad fī sabīlillāh untuk membela agama melalui sudut pandang


formalistic yakni menginterpretasikan jihad sebagai perang suci untuk
menyebarluaskan agama Islam, sehingga dengan demikian, istilah jihad
bagi nonmuslim berkonotasi sebagai tindakan mati-matian dari orang
irasional fanatik dan ingin memaksakan pandangan mereka terhadap orang
lain. Di zaman dewasa ini seruan jihad fi sabilillah sering kali dikaitkan
dengan tindakan terorisme mulai dari mengkafirkan orang-orang yang
tidak sefaham, merusak tempat peribadatan, melakukan aksi pengeboman,
membunuh nyawa tak berdosa, dan lain lain.5.

Ayat jihad fi sabilillah diturunkan secara bertahap dari masa ke masa


sesuai dengan perkembangan masyarakat Islam pada zaman nabi
Muhammad SAW. Perintah ini diturunkan secara bertahap sesuai dengan
kondisi masyarakat Islam yang selalu mengalami perkembangan dari masa
ke masa. Adapun fase tersebut dimulai dari fase jihad tanpa kekerasan.

3
Muchlis Muhammad Hanafi dkk, Jihad Makna dan Implementasinya, (Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur‟an, 2012) , 38
4
Jamalia Idrus, Makna Fi sabilillah dalam al-Qur’an.( Skripsi ,Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri SultanKasim, 2011), 4
5
Moh. Khoirul Fatih, Menepis Wacana Jihad Masa Kini (Telaah Jihad fi Sabilillah daIam
Islam),jurnal alamtara, Vol. 3, No. 1, 2019, 41
4
Mulanya jihad dilakukan dengan cara mengajak manusia kepada Islam
dengan cara mauidzah hasanah (nasihat yang baik), berdasarkan argument
yang logis, dan mengamalkan dengan ikhlas.6

Adapun selanjutnya yakni fase jihad dengan perintah perang. Perintah


perang ini bagi orang-orang yang memerangi Islam. Adapun orang kafir
yang berdamai dengan kaum muslim seperti kafir dzimmi maka tidak
boleh diperangi Maka orang kafir yang tidak memerangi Islam tidak boleh
diperangi. Jadi peperangan pada fase ini bersifat sebagai sebuah bentuk
pertahanan diri, dan mengantisipasi segala kemungkinan yang tidak
dikehendaki.7Adapun izin perang terhadap kaum musyrikin baik mereka
mendahului penyerangan maupun tidak. Izin tersebut diturunkan ketika
sikap kaum kafir telah melampaui batas terhadap nabi dan kaum muslim.
Setelah kondisi dan situasi ayat-ayat jihad terpenuhi maka turunlah
perintah perang secara mutlak bagi kaum muslim untuk mmerangi seluruh
kaum kafir baik secara ofensif maupun defensive.

Jihad perlawanan fisik (jihad qitali) hanya untuk pertahanan dan


pembelaan serta pembebasan diri dari belenggu penindasan. Jihad qitali
memiliki syarat yang ketat menurut pendapat ahli hukum Islam.
Perlawanan fisik yang dilakukan umat Islam tidak boleh diarahkan kepada
penduduk sipil dan hanya pemimpin yang berhak untuk menyatakan jihad
qitali.8 Berbeda halnya dengan ekstremes muslim membunuh nyawa tak
berdosa, merusak tempat peribadatan, melakukan aksi pengeboman.
Mereka melakukan hal-hal yang melanggar konsep dari maqashid syari‟ah
yang lima yakni hifdz al-din (menjaga agama), hifdz al-mal (menjaga
harta benda), hifdz al-nafs (menjaga kelangsungan hidup), dan hifdz al-
„aql (menjaga intelektual).

6
Moh. Khoirul Fatih, Menepis Wacana Jihad Masa Kini (Telaah Jihad fi Sabilillah daIam
Islam),jurnal alamtara, Vol. 3, No. 1, 2019), 47
7
Abdul Baqi Ramadhan, Jihad Jalan Kami, (Solo: Era Intermedia, 2002), 25
8
Abd A‟la, Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Kekerasan, (LKIS, Printis Cemerlang, 2014),
19
5
Ekstremis muslim ini muncul bukan karena al-Qur‟an dan sunnah
mengajarkan hal itu melainkan kekeliruan mereka dalam memahami teks
agama. Mereka melegitimasi dengan menyeru jihad menebar teror atas
nama tuhan.9 Interpretasi ayat jihad fi sabilillah seringkali disalahgunakan
untuk legitimasi terorisme. Terorisme dan jihad merupakan dua hal yang
sangat berbeda. Jihad adalah sebuah upaya dengan rasa sungguh-sungguh
untuk melaksanakan perintah Allah dan tidak ada perintah membunuh di
dalamnya. Namun, terorisme adalah sebuah tindakan yang mengancam
nyawa orang lain dan menganggu harmonisitas sosial yang sudah
dibangun.Pada zaman Nabi Muhammad SAW. Al-Qur‟an ditafsirkan
secara langsung oleh beliau. Namun seiring dengan perkembangan zaman
penafsiran ayat-ayat jihad disusupi oleh ideology, sosial maupun
interpretasi yang telah bergeser dari makna aslinya sehingga mengalami
penyelewengan dan distorsi makna al-Qur‟an.10

Pemahaman dan penafsiran al-Qur‟an menuntut adanya metode dan


pendekatan . Kebutuhan akan ,metode dan pendekatan merupakan suatu
keniscayaan bagi diri seorang pengkaji al-Qur‟an. Terlebih terdapat
perbedaan yang cukup mendasar dan tak berujung dalam sejarah manusia,
serta kenyataan yang difahami bahwa nash al-Qur‟an terbatas secara
kuantitatif, sementara peradaban (peristiwa hukum) selalu berkembang.
Untuk itu diperlukan kreativitas yang berkesinambungan dalam
metodologi memahami al-Qur‟an.11

Terdapat beragam pemahaman dan penafsiran al-Qur‟an yang


menuntut adanya seperangkat metode dan pendekatan. Kebutuhan akan
metode dan pendekatan merupakan sebuah kebutuhan bagi pengkaji al-
Qur‟an. Berbagai macam metode dari penggunaan riwayat hingga
penggunaan ra‟yu telah diterapkan untuk mengungkap makna yang

9
Siti Juhro, Radikalisme dalam Perspektif al-Qur’an (Kajian Tafsir al-Azhar),(Skripsi, Fakultas
Ushuluddin, Institut Ilmu al-Qur‟an, 2015) , 211
10
Muhammad Bakir, “Konsep Maqasid al-Qur’an menurut Badi’ alzaman Said Nursi”, Jurnal el-
Furqania Vol. 01, No. 01, Agustus 2015, 16

Widya Oktavia, “Tafsir Maqasidi Mahar Ibn Asyur”,2020 (Skripsi, Fakultas Ushuluddin
11

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta),. 6

6
tersimpan di dalam rangkaian ayat-ayat al-Qur‟an. Ragam corak juga ikut
andil menjadikan keluasan khazanah tafsir tersebut. Khazanah tafsir yang
begitu luasnya tidak diimbangi dari sisi formil. Pendekatan berbasis
linguistik menjadi kajian yang sangat dominan dalam ilmu tafsir. Ayat al-
Qur‟an merupakan sebuah teks yang untuk memahaminya perlu kaidah-
kaidah kebahasaan. Namun, teks juga merupakan bagian yang terintegrasi
dengan konteks, melucuti konteks yang seharusnya melekat pada teks
yang berpotensi menimbulkan kesenjangan makna. Pesan-pesan yang
terdapat dalam konteks gagal ditranformasikan untuk diterapkan di
masyarakat.

Maqasid al-Qur‟an merupakan istilah yang menjelaskan tujuan-tujuan


universal dari seluruh ayat-ayat al-Qur‟an, karena mustahil Allah
menurunkan al-Qur‟an ke muka bumi hampa dari maksud dan tujuan.
Pendekatan maqashid merupakan pendekatan yang dapat menjembatani
kesenjangan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Penafsiran ayat-
ayat jihad berkutat seputar kebahasaannya saja dan belum sampai kepada
maksud dan tujuan ayat-ayat jihad fi sabilillah dalam al-Qur‟an.

Berdasarkan Identifikasi masalah diatas, penulis menemukan 14 ayat


yang menggunakan term jihad fi sabilillah dengan berbagai derivasi
katanya. Dari ke 14 ayat tersebut terdapat pada QS. Surat al-Baqarah/2:
218, QS. an-Nisa‟ /4:95, QS. al-Maidah‟/5: 54, QS. al-Anfal/8: 72, QS. al-
Anfal/8: 74, QS. at-Taubah/9:19, QS. at-Taubah/9:20, QS. at-Taubah/
9:24, QS. at-Taubah/ 9:41, Qs. at-Taubah/9:44, QS. at-Taubah/ 9:81, QS.
al-Hujurat 49:15, QS. al-Mumtahanah/60:1, QS. As-Shaff/ 61:11.

Kami akan meneliti kitab al-Tahrir wa al-Tanwir karangan Muhammad


Thahir Ibnu Asyur yang lebih banyak membahas maqashid syari‟ah
dengan judul “Jihad fi Sabilillah Ibn Asyur (Pendekatan Tafsir
Maqashidi)”.

B. Identifikasi Masalah

7
Terdapat beberapa masalah yang diuraikan dari permasalahan di atas
yaitu:

1. Terdapat perbedaan pandangan mengenai Jihad fi sabilillah


2. Ayat jihad fi sabilillah dilegitimasi sebagai sebuah aksi terorisme
3. Tujuan adanya Jihad fi sabilillah
4. Penafsiran Ibnu Asyur mengenai ayat-ayat jihad fi Sabilillah dalam
kitab al-Tahrir wa al-Tanwir.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari rumusan masalah diatas kami akan meneliti kitab al-Tahrir wa al-
Tanwir karangan Muhammad Thahir Ibnu Asyur yang lebih banyak membahas
maqashid syari‟ah dengan judul “Jihad fi Sabilillah Ibn Asyur (Pendekatan Tafsir
Maqashidi)”.

Kami membatasi masalah penelitian pada QS. al-Baqarah 2:218


(kebolehan jihad) , QS. an-Nisa‟ 4:95 (keutamaan yang berperang dengan yang
tidak dalam perang Badar), al-Ma‟idah/5:54(Kaum murtad diganti dengan kaum
yang berjihad) , al-Anfal/8:74 (ciri-ciri orang beriman), At-Taubah 9:20 (ciri-ciri
orang beruntung), QS. at-Taubah 9:41 (perintah jihad), QS. As-Shaff/61:11.

Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah :

1. Untuk mendeskripsikan penafsiran Ibnu Asyur terhadap


ayat-ayat fi Sabillah dalam al-Qur‟an.
2. Untuk mendeskripsikan tujuan (maqashid) ayat-ayat jihad fi
sabillah menurut Ibnu Asyur

3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana penafsiran Ibnu Asyur terhadap ayat-ayat jihad fi sabillah


dalam Al-Qur‟an?

D. Tinjauan Pustaka

8
1. Skripsi yang ditulis Jamalia Idrus pada tahun 2011 yang berjudul “Makna
fiSabilillah dalam al-Qur‟an” (suatu kajian tafsir maudhu‟i). Pada skripsi ini
membahas tentang makna QS. at-Taubah ayat 60. Terdapat dua penafsiran yakni
makna sempit yang bermakna jihad atau perang di jalan Allah dan yang
semisalnya dan bermakna luas yakni semua jenis kebaikan, ketaatan, dan semua
bentuk kegiatan sosial.12 Sedangkan dalam skripsi yang dijadikan objek penelitian
ialah ayat-ayat jihad fi sabilillah dengan menggunakan metode tematik perspektif
Ibnu Asyur.

2. Skripsi yang ditulis Ahmad Suhaemi pada tahun 2013 yang berjudul
“Konsep Jihad: Studi Komparatif Pemikiran Sayyid Quthb dan Ibnu Katsir. Skripsi
ini membandingkan penafsiran jihad Sayyid Quthb dan Ibnu Katsir. Sayyid Quthb
mewajibkan perang karena ia berasal dari Negara yang dijajah namun Ibnu Katsir
sebaliknya.13 Sedangkan dalam skripsi ini membahas jihad fi sabilillah pemikiran
Ibnu Asyur.

3. Skripsi yang ditulis Siti Juhro pada tahun 2015 yang berjudul “Radikalisme
dalam Perspektif al-Qur‟an” (Kajian Tafsir al-Azhar). Pada skripsi ini membahas
tentang ayat-ayat radikalisme perspektif Buya Hamka dalam kitab tafsir al-
Azhar.14 Sedangkan dalam skripsi ini yang dijadikan objek penelitian adalah ayat-
ayat jihad fi sabilillah perspektif Ibu Asyur dalam kitab tahrir wa al-tanwir..

4. Tesis yang ditulis Alinur Rofiq pada tahun 2017 yang berjudul
“kontekstualisasi makna Jihad”. Pada tesis ini membahas tentang ayat-ayat jihad
perspektif Buya Hamka dalam kitab Tafsir al-Azhar.15 Sedangkan dalam skripsi ini
yang membahas ayat-ayat jihad fi sabilillah perspektif Ibnu Asyur dalam kitab
Tahrir wa at-Tanwir.

5. Skripsi yang ditulis Lia Lianti pada tahun 2019 yang berjudul “Jihad dalam
Tafsir”. Pada skripsi ini membahas tentang QS. at-Taubah: 44-45 dengan
membandingkan dari delapan kitab tafsir yang berbeda.16 Sedangkan dalam
skripsi ini membahas jihad fi sabilillah dalam kitab Tahrir wa al-Tanwir.

12
Jamalia Idris, Makna Fi sabilillah dalam al-Qur’an.( Skripsi ,Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri SultanKasim, 2011), 2
13
Ahmad Suhaemi, “Konsep Jihad: Studi Komparatif Pemikiran Sayyid Quthb dan Ibnu Katsir,
“(skrispi Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Bandung, 2013), 2
14
Siti Juhro, Radikalisme dalam Perspektif al-Qur’an(Kajian Tafsir al-Azhar), (Skripsi Fakultas
Ushuluddin, Institut Ilmu al-Qur‟an, 2015) , 10

9
15
Ali Nur Rofiq, Kontekstualisai Makna Jihad,(Tesis, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Tulungagung, 2017), 7

16
Lia Lianti. Jihad dalam Tafsir kajian atas QS. al-Taubah 9:44-45, (skripsi, Fakultas Ushuludin,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2019), 8

10
6. Skripsi yang ditulis Widya Oktavia pada tahun 2020 yang berjudul “Tafsir
Maqashidi Mahar Ibnu Asyur”.17 Pada skripsi ini membahas tentang ayat-ayat
jihad fi sabillah perspektif Ibnu Asyur dalam kitab Tahrir wa al-Tanwir.

7. Skripsi yang ditulis Nur karimah Imania pada tahun 2021 yang berjudul
“Makna Hijrah dalam Perspektif al-Qur‟an (Aplikasi Teori Tafsir Maqashidi Abdul
Mustaqim). Pada skripsi ini membahas tentang ayat-ayat jihad fi sabilillah
perspektif Ibnu Asyur.18

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan


mengumpulkan data dan meneliti dari buku-buku kepustakaan dan karya-karya
dalam bentuk lainya. Penelitian ini menggunakan pustaka karena sumber data dan
data penelitian ini berbentuk literatur-literatur kepustakaan.

Dalam hal ini penelitian ini akan menggali bagaimana penafsiran Ibn
Asyur dalam kitab Tahrir wa al-Tanwir. Mulai dari mendalami kehidupan penafsir
tersebut sampai pada apa yang telah ia tuangkan dalam tafsirnya. Karena untuk
menemui secara langsung kepada narasumber tidka mungkin karena sudah wafat.
Oleh karena itu untuk menggali informasi tersebut penulis berusaha mencari data-
data dari buku-buku dan dokumen-dokumen yang ditulis oleh narasumber yang
ditulis oleh para peneliti dari berbagai literature yang relevan yang terdiri dari
buku , jurnal, artikel online dan data yang terkait dengan penelitian ini.

1. Sumber Data

Adapun sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini ada dua
yaitu primer dan sekunder yang akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Data Primer

Sumber data (utama) primer yang penulis gunakan kitab tafsir tahrir wa
al-tanwir.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data selain dari data utama atau data yang bisa
mendukung sebuah penelitian, seperti data yang bentuk buku, , kitab tafsir seperti
Tahrir wa al-Tanwir, tafsir al-Munir, kamus bahasa arab, artikel, buku, jurnal,
17
Widya Oktavia, Tafsir Maqashidi Mahar Ibn Asyur, (Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2020), 6

18
Nur Karimah Imania, Makna Hijrah dalam perspektif al-Qur’an (Aplikasi Teori Tafsir Maqashidi
Abdul Mustaqim), (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Institut Ilmu al-Qur‟an,2021), 4

11
skripsi, tesis serta kajian-kajian lainya yang berkenaan dan dapat mendukung
terhadap penelitian ini.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menerapkan kajian tematik (maudu‟i), 19 karena di dalam penelitian


ini tugas penulis ialah bagaimana menghimpun dan memahami ayat-ayat yang
memiliki kaitan dengan topik atau tema yang dibahas baik secara langsung
maupun tidak langsung, lalu disusun secara utuh dan sistematis dalam pandangan
al-Qur‟an.20

3. Metode Pengumpulan Data

Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif,


yang mana data-data yang telah didapat dan dikumpulkan akan diolah dengan cara
sebagai berikut:

a. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema


danmasalah yang diangkat.

b. Mencari dan menetapkan masalah al-qur‟an yang akan dikaji, kata


jihadfi sabilillah adalah pembahasan yang diangkat.

c. Memadukan literatur-literatur buku dan kitab-kitab tafsir yang


sesuaidengan pokok pembahasan untuk mendapatkan data-data yang akurat.

4. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan penguraian data


dengan melalui tahapan, kategori, dan klasifikasi, serta pencarian hubungan antar
data secara spesifik. Data dicari, dikumpulkan dan diseleksi, setelah itu
diklasifikasikan menurut kategori tertentu. Lalu yang dianalisis disini mengenai
ayat-ayat yang berkaitan dengan jihad fi sabilillah di dalam al-qur‟an disertai
dengan literatur-literatur lain yang masih berhubungan dengannya.

1. Teknik Penulisan

Adapun pedoman dalam teknis penulisan yang digunakan pada skripsi ini
berpedoman pada SK. Rektor 507 tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Transliterasi Arab Latin SKB 2 Menteri No. 158 tahun 1987 dan Penulisan
Catatan Kaki dan Daftar Pustaka model Turabian (Chicago 2) versi Program Studi
19
Tafsir maudui ialah menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai maksud yang sama
dalam arti sama-sama membicarakan satu topic masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi
sebab turunnya ayat.

12
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press
20

Yogyakarta, 2014), 58

13
IAT 2019 serta seluruh ayat dan terjemahnya menggunakan Qur‟an Kemenag in Word
dan Terjemah Kemenag 2019.

G. Sistematika penulisan

Supaya penelitian ini dapat ditulis secara sistematis, maka penelitian ini
dibagi menjadi lima bab serta masing-masing bab terdiri dari sub bab yang akan
dijelaskan sebagai berikut:

Bab I, berisi pendahuluan yang merupakan kerangka pikiran yang bersifat


teoritis dan metodologis atas pembahasan dalam penelitian ini. Di dalamnya
terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian metode pengumpulan data, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.

Bab II, dalam bab ini berisi tentang pembahasan Ibn „Asyur dan
pemikirannya. Pembahasan tentang Ibn „Asyur meliputi biografi Ibn „Asyur,
riwayat pendidikan, perkembangan karir intelektual, karya-karya dan cara
pandang Ibn „Asyur terhadap tafsir maqasidi serta karakteristik tafsir Tahrir wa al-
Tanwir.

Bab III, berisi pemaparan tafsir maqasidi berupa pengertian secara singkat,
sejarah perkembangan, urgensi tafsir maqasidi dan membahas tentang konsep
jihad fi sabilillah dalam al-Qur‟an disertai asbab al-Nuzul dan munasabah ayat.

Bab IV, memuat analisi komprehensif yang merupakan kelanjutan dari


analisis yang telah dimuat pada bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini diuraikan
permasalahan-permasalahan dengan mencantumkan beberapa ayat al-Qur‟an yang
terkait dengan tema jihad fi sabilillah. Langkah pertama dalam membahas dan
mengurai ayat-ayat jihad fi sabillah tinjauan tafsir maqasidi menurut Ibn Asyur
dengan merujuk pada penafsirannya yang termuat dalam kitab tafsirnya Tahrir wa
al-Tanwir. Selain itu dikemukakan pula pandangan dan penafsiran lain yang
dijadikan sebagai perbandingan ataupun perluasan cakupan pembahasan.

Bab V, mengenai penutup yang merupakan solusi atas permasalahan yang


telah dipaparkan, yang berisi kesimpulan penelitian dan saran untuk penelitian
selanjutnya.

14
15
16
BAB II

IBN ASYUR DAN PEMIKIRANNYA

Untuk mengetahui pemikiran dan kepribadian Ibn Asyur, maka perlu


mengetahui dan menelusuri latar belakang kehidupannya, mulai dari riwayat
kehidupannya, karir intelektualnya, dan karya-karyanya, berikut akan dijelaskan
riwayat kehidupan Ibn Asyur.

A. Biografi Ibn Asyur

Nama lengkap Ibnu Asyur adalah Muhammad al-Tahir Ibn


Muhammad al-Tahir Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Syadili ibn Abd
al-Qadir Ibn Muhammad Ibn Asyur. Ayahnya bernama Muhammad Ibn
Asyur dan ibunya bernama Fatimah binti al-Syekh al-Wazir Muhammad
al-Aziz ibn Muhammad al-Habib Ibn Muhammad al-Taib Ibn Muhammad
Ibn Muhammad Bu’atur . Ibunya merupakan putri dari perdana menteri
Muhammad al-Aziz bin Buatur (1882-1902). Ibnu Asyur lahir pada bulan
Jumadal Ula tahun 1296 H bertepatan dengan bulan September tahun
1879 M. Ibnu Asyur lahir dalam keluarga yang mencintai ilmu. Beliau
merupakan seorang yang jenius dan cinta kepada ilmu. Beliau terlahir dari
keluarga yang terhormat yang berasal dari Andalusia.1

Ibnu Asyur berasal dari keluarga pengungsi dari Andalusia Spanyol.


Pada abad ke-16 leluhur Ibnu Asyur hijrah dari Andalusia Spanyol
menuju Tunisia untuk menyelamatkan agamanya dari kerajaan-kerajaan
Kristen. Keluarga Asyur merupakan keluarga yang mempelajari agama
Islam dengan sungguh-sungguh, mengajarkannya di masjid dan menjadi
keluarga terhormat. Ibnu Asyur menghafal al-Qur’an dan menghafal
matan-matan (bait/syair) dari berbagai disiplin ilmu. Pada tahun 1310 H
beliau masuk ke universitas al-Zaituniah pada usia 14 tahun. Ibnu Asyur

1
Abdul Qadir Muhammad Salih, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-Asr al-Hadits arud wa dirasah
mufassilah li ahammi kutub al-tafsir al-Muasir, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 109.

17
mempelajari ilmu adab, syari’at, bahasa, tafsir, bahkan kedokteran. Ibnu
Asyur menulis karya di berbagai disiplin ilmu. Diantara karangan beliau
adalah kitab ushul al-nidham, maqashid syar’iyyah dan kitab tafsirnya
yang monumental yakni al-Tahrir wa al-Tanwir.2

Ibnu Asyur dikenal sebagai mufasir karena kitab tafsirnya. Selain


itu, ia juga seorang al-hafizh di bidang hadits. Ia memiliki sanad pada dua
kitab hadis monumental yakni kitab Bukhari dan Muslim. Banyak para
ulama di negaranya mendatanginya untuk berguru padanya. Ibnu Asyur
dikenal mahir di bidang ilmu bahasa. Ia banyak mengarang bait yang telah
diterbitkan sebagian dan sebagiannya masih dalam bentuk manuskrip.
Ibnu Asyur juga memiliki pengetahuan yang luas di bidang filsafat dan
mantiq. Ia banyak merujuk pendapat filsuf, mendukung pendapat mereka
dan metode mereka dalam menelaah sesuatu. kemasyhuran Ibnu Asyur di
wilayah Arab bagian Barat dikarenakan beliau memiliki kecerdasan dan
kepandaian dalam segala bidang ilmu agama.3

Ibnu Asyur merupakan ulama besar Islam yang berkiprah besar


dalam dunia Islam. Yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu.
Diantara karangan ibnu Asyur yang fenomenal yakni kitab alaisa shubhu
bi qarib, maqashid syari’ah dan kitab tafsir at-Tahrir wa Tanwir. Ibnu
Asyur wafat pada tahun 1393H atau 1973 dengan meninggalkan berbagai
harta karun dan pemikiran melalui karya-karya dalam berbagai macam
disiplin ilmu seperti tafsir, maqashid syari’ah dan lain sebagainya.
Berbagai karangan itulah yang menjadi bukti kedalaman ilmu yang ia
miliki.4

2
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Al-Taqrib Litafsirihi al-Tahrir wa al-Tanwir li Ibni Asyur,
(Riyadh: Dar Ibnu Khuzaimah), 15.
3
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, 15-18.
4
Mohammad Anang Firdaus, The Maqasid Thought of Ibn Ashur and Development of
Interdisciplinary Islamic Studies: Searching for the Correlation of the Concept,, Jurnal Incre 2020,
4.

18
B. Pendidikan dan Karir Intelektual

Muhammad Tahir Ibnu Asyur tumbuh dalam keluarga yang mencintai


ilmu. Kakek dari ayahnya merupakan hakim agung dan kakek dari pihak
ibu adalah wazir agung. Ia menghafal al-Qur’an sejak usia dini seperti
anak-anak seusianya di masa itu. Kemudian menghafal matan ilmiah di
kuttab (semacam TPA) seperti matan Ibnu Asyir, matan jurumiyah, dll.5

Pada awal abad 14 H ketika usianya 7 tahun Ibnu Asyur memulai


perjalanannya menuntut ilmu di lembaga pendidikan Zaitunah di Tunisia.
Zaitunah merupakan masjid yang berfungsi sebagai lembaga keagamaan
dan lembaga pendidikan. Masjid ini setelah beberapa periode berfungsi
sebagai pusat pendidikan, informasi dan penyebaran ilmu pengetahuan. Ia
memiliki semangat dan kesungguhan dalam belajar serta mendapat
dukungan dari ayah dan kakeknya.6

Ibnu Asyur dalam hal menerima pelajaran dari gurunya terbiasa


menganalisis dengan kritis dan melakukan perbandingan. Ibnu Asyur
menempuh pendidikan di Zaitunah selama delapan tahun (1317 H). Mata
kuliah yang dipelajari diantaranya adalah: Nahwu, Balaghah, Lughah,
Mantik, Ilmu kalam, Fikih, Faraid, Usul Fikih, Hadis, Sirah, dan Tarikh.7

Ibnu Asyur diangkat menjadi guru pada tahun 1320H/ 1903 M di


Zaitunah. Ia diangkat sebagai anggota di bidang akademis pada sekolah
yang sama pada tahun 1326 H. Pada tahun 1913 H ibnu Asyur diangkat
menjadi qadi (mazhab maliki) dan diangkat menjadi mufti pada tahun

5
Indra, Maqashid Syari’ah Menurut Muhammad Tahir Ibnu Asyur (Tesis, Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara, 2016), 29.
6
Widya Oktavia, Tafsir Maqashidi Mahar Ibnu Asyur (skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta), 20.
7
Indra, Maqashid Syari’ah Menurut Muhammad Tahir Ibnu Asyur (Tesis, Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara, 2016), 30.

19
1911 M. Ia juga seorang mufasir, sastrawan, muhaddits, ahli nahwu, dan
ahli sastra.8

Ibnu Asyur menulis kitab tafsirnya Tahrir wa al-Tanwir pada saat


ia lengser dari kedudukannya sebagai syaikh Islam. Ibnu Asyur dicopot
dari jabatannya karena pemerintahan dipimpin oleh seorang dictator
Akhirnya ia berdiam diri di rumah dan menikmati kegiatan rutin membaca
dan menulis. Dalam masa-masa itu, ia menulis karyanya yang
monumental.9

Diantara guru Ibnu Asyur adalah:


1. Muhammad al-Nakhliy, dari gurunya ini Ibnu Asyur mempelajari
ilmu al-Nahwi menggunakan kitab muqaddimah al-I’rab, balaghah
yang membahas kitab alTahdzid, ushul fiqh, dengan mempelajari
al-Hithab ‘ala al-Waraqh, dan Fiqh Malikiy dengan membahas
kitab Muyarah ‘ala al-Mursyid, dan kitab Kifayah al-Thalib ‘ala al-
Risalah.
2. Syeikh Abd al-Qadir al-Tamimiy, Ibnu Asyur mempelajari ilmu al-
Qiro’at dan ilmu tajwid dari gurunya ini
3. Syekh Muhamad Shalih, dari gurunya ini Ibnu Asyur mempelajari
kitab al-Makwidy ‘al al-Khulashah tentang ‘ilmu al-Nahwi,
manthiq dengan membahas kitab al-Sulam, ilmu maqashid dengan
membahas kitab Mukhtashar al-Su’ud, dan fiqh dengan membahas
kitab Tawadiy ‘ala al-Tuhfah.
4. Amru ibn Asyur, Ibnu Asyur mempelajari kitab mukhtashar al-
Su’ud tentang balagah, fiqih, dan ilmu faraidh serta kitab Ta’liq al-
Dimamainiy ‘ala al-Mughniy karya Ibn Hisyam tentang ilmu
Nahwu.

8
Abdul Halim, “Kitab Tafsir Tahrir wa al-Tanwir Karya Ibn Asur dan Kontribusinya, 20.
9
Widya Oktavia, Tafsir Maqasidi Mahar Ibn Asyur, (skripsi: Universitas Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2020), 21

20
5. Syekh Muhammad al-najar, dari gurunya ini Ibn Asyur
mempelajari kitab al-Makwidy ‘ala al-khulashah, kitab Mukhtashar
al-Su’ud, al-Muwaqif tentang ilmu kalam, dan al-Baiquniyah
tentang Musthalah al-Hadits.
6. Syeikh Muhammad Thahir Ja’far, dari gurunya ini Ibnu Asyur
mempelajari kitab syarh al-Mahalli ‘ala Jam’u al-Jawami’ tentang
ushul fiqih, dan kitab al-syihab al-Khafajoy ‘ala al-Syifa’ karya
Qhadi Iyadh tentang sirah Nabawiyah.
7. Syeikh Muhammad al-Arabiy al-Dur’iy, Ibnu Asyur mempelajari
ilmu fiqh dengan membahas kitab Kafayah al-Thalib ‘ala al-
Risalah.

Sebagai seorang guru besar di Universitas al-Zaituniyyah, Ibnu


Ashur memiliki banyak murid. Berikut nama-nama murid Ibnu
Ashur yang terkenal;10
1. Shaikh Muhammad al-Fadl Ibn Asyur yang merupakan putra
pertama Ibnu Asyur.
2. Shaikh Abd al-Humaid Buidris.
3. Shaikh al-Fadl Muhammad al-Shadhili al-Naisaburi.
4. Shaikh Muhammad al-Habib bin al-Kajjah.

C. Karya-Karya dan Pemikiran


1. Karya-Karya

Ibnu Asyur merupakan ulama yang produktif. Karya-karya Ibn Asyur


melingkupi berbagai macam disiplin keilmuan, seperti fiqih, ushul fiqih,
maqashid syari’ah, ushul fiqh, dan lain lain.11

10
Balqasim al-Gally, Syaikh al-Jami’ al-A’zam Muhammad al-Tahir Ibn Asyur Hayatuhu wa
Asaruhu, 40.
11
Balqasim al-Gally, Syaikh al-Jami’ al-A’zam Muhammad al-Tahir Ibn Asyur Hayatuhu wa
Asaruhu, 68-71.

21
Dengan kecintaan terhadap ilmu, kejeniusan, keikhlasan komitmen paa
pendidikan dan kewaraannya mendorong Ibnu Asyur untuk mengabdikan
diri pada ilmu, menjadi guru, tokoh agama waktunya dihabiskan untuk
mengajar dan menulis dua buku yang menjadi rujukan yakni maqashid
syari’ah dan kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Adapun karya-karya Ibn
Asyur mencakup berbagai macam disiplin keilmuan , seperti tafsir,
maqashid syari’ah, fiqih, ushul fiqih, dan lain-lain. Berikut beberapa karya
Ibnu Asyur antara lain:

a. Al-Nazar al-fasih inda madayiq al-Anzar fi al-Jami’ al-Shahih


b. al-Tahrir wa al-Tanwir
c. Al-Taudih wa al-Tashih
d. Kasyfu al-Mugatti min al-ma’ani wa al-Fadli al-Waqi’ah fi al-
Muwata’
e. Wajiz al-Balaghah
f. Maqashid Syari’ah al-Islamiyah
g. Syarah al-Muqaddimah al-Adabiyah li al-Syarh al-Imam
alMarzuki Ali Diwan al-Hamasyah li Abi Tamam
h. Usul al-Nidam al-Ijtima’ fi al-Islam
i. Qisah al-Maulid
j. Alaisa al-Shubhu bi Qarib
k. Usul al-Insya wa al-Khitobah
l. Naqd Ilmi li Kitab al-Islam wa Usul al-Hikam.
m. Al-Maqashid al-Shar’iyyah fi al-hajj
n. Al-Munasabah al-Shar’iyyah
o. Al-Istinsakh fi Dou’I al-Maqashid
p. Hashiyah ‘ala al-Qatr

22
q. Hasyiyah ‘ala al-Mahalli
r. Hashiyah ‘ala Ibn Saud al-‘Ushmuni
s. Hashiyah ‘ala Sharh al-Islam li Risalati al-Bayan‘12

D. Pemikiran Maqasid Ibn Asyur

Ibn Asyur mengkritik gagasan al-Syatibi tentang lima kebutuhan dasar


manusia kurang komprehensif. Ibnu Asyur mengemukakan gagasan kesucian,
toleransi, kebebasan, keadilan,kebebasan sebagai bagian dari kebutuhan dasar
manusia. Dia juga membagi maqashid syari’ah menjadi maqasid syari’ah al-
ammah dan maqasid al-syari’ah al-khassah bi anwa ‘ almu’amalat (khusus pada
masing-masing kelompok hukum muamalat).13

1. Maqasid al-Syari’ah al-Ammah

Ibnu Asyur berpendapat bahwa maqashid syari’ah al-‘ammah adalah


hikmah-hikmah dan makna-makna yang dikehendaki oleh pencipta syari’at
(Allah) dalam seluruh atau sebagian besar ahwal pembentukan syari’at yang tidak
tertentu pada hukum-hukum syari’ah (fiqih) semata. Dengan demikian termasuk
sifat-sifat syari’at, tujuan umum syari’at, hikmah-hikmah yang menjadi tujuan
syara’ dan hikmah yang dipandang beberapa hukum, sekalipun tidak pada hukum
secara universal.14

Dalam perspektif Ibnu Asyur terdapat empat hal yang menjadi dasar maqashid
syari’ah, yakni:

1. Al-fitrah (naluri beragama)

12
Faizah ali Syibromalisi dan Jauhar Aziziy, Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern, 106.
13
Widya Oktavia, Tafsir Maqasidi Mahar Ibn Asyur, (skripsi: Universitas Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2020), 23.
14
Ibn Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis: Ad-Daar at-Tunisiyyah linnatsr, 1884), jilid 1,
251.

23
Fitrah menurut KBBI adalah kesucian, sifat asal, bakat, pembawaan.
Fitrah menurut Ibnu Asyur adalah suatu system yang diciptakan Allah
pada tiap makhluk. Sedangkan fitrah yang khusus untuk manusia adalah
segala sesuatu yang seperti Allah menciptakan manusia secara jasmani dan
akli. Oleh karena itu berjalan dengan kaki merupakan fitrah jasmani, dan
mengambil sesuatu dengan dengan kaki berselisih dengan fitrah jasmani.
Adapun menyimpulkan segala sesuatu berdasarkan sebab merupakan fitrah
akal,Sebaliknya menarik kesimpulan tanpa sebab tertentu adalah
menyelisihi fitrah akal.Hal ini didasarkan pada surat ar-Rum ayat 30:15

‫علَ ْي َها ۚ َل‬


َ ‫اس‬ َ ‫ط َر ٱل َن‬ َ َ‫ّلل ٱلَتِى ف‬ ِ َ ‫ط َرتَ ٱ‬ ْ ِ‫ِين َحنِيفًا ۚ ف‬ِ ‫فَأَقِ ْم َوجْ َهكَ ِللد‬
ِ َ‫ّلل ۚ َٰذَلِكَ ٱلدِين ٱ ْلقَيِم َو َٰلَ ِك َن أَ ْكثَ َر ٱلن‬
َ‫اس َل يَ ْعلَمون‬ ِ ‫تَ ْبدِي َل ِلخ َْل‬
َِ ‫قٱ‬

Fitrah pada ayat tersebut meliputi akidah dan syari’at agama. Ulama
beberbeda pendapat dalam menginterpretasi makna fitrah, ada yang
menyatakan fitrah adalah sesuatu yang terdapat dalam jiwa manusia untuk
membedakan ciptaan Allah dan bisa dijadikan bukti atau eksistensi rabb-
nya lalu beriman dan mengetahui syari’at-syari’at Islam. Adapun al-
Zamakhsyari menginterpretasikan dengan ciptaan Allah untuk menerima
tauhid dan agama Islam dalam diri manusia.16

Fitrah manusia adalah kondisi akal manusia murni seperti ketika


diciptakan Allah, tidak terkontaminasi pola pikir dan kebiasaan-kebiasaan
buruk yang memungkinkan lahirnya sifat terpuji.17

15
Ibn Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis: Ad-Dar at-Tunisiyyah linnatsr, 1884), jilid 1,
90.
16
Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, (Riyadh: Maktabah al-Ubaikan, 1998), Juz iv,
577.
17
Ibn Asyur, Maqashid Syari’ah al-Islamiyah, (Jordania: Dar al-Nafa’is, 2001), 263-264.

24
Ibnu Asyur mengelompokkan fitrah pada dua bagian, yaitu fitrah
diniyah dan jasadiyah. Fitrah diniyah adalah fitrah pada diri manusia untuk
tunduk serta patuh pada ilahi dan kecenderungan untuk menyukai
kejujuran, keadilan, kebaikan, dan lain lain. Sedangkan fitrah jasadiyah
adalah kecondongan organ tubuh manusia untuk bekerja sebagaimana
fungsinya.18

Sebab itulah syari’at Islam mendorong umat manusia sejakan fitrahnya


untuk memperbaiki, memelihara fitrah serta menghidupkan sesuatu yang
terhapus darinya. Dengan demikian menyusui, menikah merupakan bagian
dari fitrah. Perlindungan nasab dan jiwa juga termasuk fitrah. Begitu juga
peradaban yang hak dan segala macam ilmu pengetahuan adalah bagian
dari fitrah.19

1. Samahah

Samahah adalah sikap moderat antara kesempitan dan kemudahan


yang berhukum pada sifat adil dan moderat. Samahah merupakan
kemudahan yang tidak menjerumuskan pada kerusakan yang diperkirakan
oleh manusia mengandung kesempitan dan kekerasan.Salah satu ajaran
pokok yang terkandung dalam ayat al-Qur’an dan hadis adalah sikap
samahah.20

Islam merupakan agama samahah. Syari’atnya bersifat tolean, moderat


dan mudah. Syari’at Islam memiliki visi menjadikan umatnya menjadi
pribadi yang berada pada dimensi moderat. `Al-samahah menurut Ibnu
Asyur adalah kemudahan yang terpuji atas sesuatu yang dianggap sulit

18
Chamim Tohari, “Pembaharuan Konsep Maqasid al-Syari’ah Dalam Pemikiran Muhammad al-
Tahir Ibnu Asyur”, Al-Maslahah 13. No. 1 April (2017), 12.
19
Mahmud Ibn Ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, (Riyadh: Maktabah al-Ubaikan, 1998), Juz 1,
265.
20
Ainol Yaqin, “Revitalisasi Maqashid al-Syari’ah dalam Istinbath Hukum Islam: Kajian atas
Pemikiran Muhammad Al-Thahir Ibnu ‘Asyur”, Asy-Syir’ah, Vol. 50, No. 2 Desember 2016, 328.

25
oleh orang lain. Disebutkan sebagai “kemudahan yang terpuji” karena
dalam kemudahan yag dimaksud tidak terdapat unsur marabahaya. Allah
menganugrahkan sifat “ummatan wasatan” kepada kaum muslimin
karenakaum muslimin meliki kewajiban untuk menegakkan syari’at Islam
dan terdapat doktrin al-samahah di dalamnya.21 Sebagaimana terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 143,

َ ‫َو َكذَ ِلكَ َجعَ ْلنَاك ْم أ َمةً َو‬


‫سطا‬

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil.

3. Al-Musawah

Islam memandang bahwa seliruh manusia dihadapan hukum-hukum


syar’I diberlakukan secara setara. Ibnu Asyur berpendapat bahwa al-
musawah sangat penting diterapkan terutama pada lima prinsip dasar
syari’at Islam (al-daruriyyat al-khamsah), yaitu hifdzhu al-din (menjaga
agama), hifzh al-mal (menjaga harta), hifzh al-nasl (menjaga keturunan),
hifzh al-nafs (menjaga jiwa), hifzh al’aql (menjaga akal).22Ibnu Asyur
mengambil surat al-Nisa’ ayat 135 sebagai dalil

‫علَى أَ ْنف ِسك ْم أَ ِو‬


َ ‫ّلل َولَ ْو‬ ِ ‫امينَ ِب ْال ِقس‬
ِ َ ِ ‫ْط ش َه َدا َء‬ ِ ‫َياأَيُّ َها الَذِينَ آ َمنوا كونوا قَ َو‬
‫اّلل أَ ْولَى ِب ِه َما فَ ََل تَتَ ِبعوا ْال َه َوى‬
َ َ‫يرا ف‬ َ ‫ْال َوا ِل َدي ِْن َو ْاْل َ ْق َر ِبينَ ِإ ْن َيك ْن‬
ً ‫غنِيًّا أَ ْو فَ ِق‬
َ َ ‫أَ ْن تَ ْعدِلوا َو ِإ ْن ت َْلووا أَ ْو ت ْع ِرضوا فَإِ َن‬
ً ‫َّللا َكانَ ِب َما تَ ْع َملونَ َخ ِب‬
‫يرا‬

21
Ibn Asur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis: Ad-Daar at-Tunisiyyah linnatsr, 1884), jilid 1,
60-61.
22
Irham Sya’roni, “Maqasid al-Syari’ah dalam Nalar Ilmiah Thahir Ibnu Asyur”,(Universitas
Islam Indonesia:makalah) 11-12.

26
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.

4. Al-Hurriyah

Lafaz al-hurriyah dalam bahasa Arab memiliki dua arti;(1) al-hurriyah


sebagai lawan dari perbudakan (al-‘ubudiyah), yakni kebebasan berbuat
tanpa terbelenggu dengan campur tangan orang lai. (2) al-hurriyah yang
berarti seseorang melakukan suatu hal atas dasar pilihannya. Kedua makna
tersebut sesuai dengan syara’ karena bersumber dari prinsip al-fitrah dan
al-musawah.23

Kebebasan terbagi dalam beberapa bagian;perkataan, akidah dan


perbuatan. Kebebasan berpendapat adalah kebebasan untuk
mengemukakan pemikiran dan keyakinannya. Termasuk dalam bagian ini
adalah mengajar, menuntut ilmu, dan sebagainya. Adapun kebebasan
akidah tercermin dalam ayat al-Qur’an yang menegaskan tiada paksaan
dalam agama. Menurut Ibnu Asyur ketika seseorang diberlakukan sama
secara hukum dari segala bentuk perbuatan maka disitulah letak al-
hurriyah (kemerdekaan).Kebebasan dalam Islam tidaklah bersifat mutlak
sebagaimana digaungkan oleh kalangan Barat. Pelanggaran atas kebebasan
adalah salah satu bentuk keezaliman terbesar menurut Ibnu Asyur. Oleh

23
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, juz 1, 330.

27
karena itu,kadar kemerdekaan yang diberikan kepada seseorang dalam
syara’ diwakilkan pada pihak yang berwenang untuk memberi putusan.24

2. Maqasid al-Syari’ah al-Khassah

Maqasid al-syari’ah al-khassah menurut Ibnu Asyur adalah tujuan


syari’at yang khusus tentang muamalat, yang terdapat di dalamnya
membahas berbagai isu maqasid al-syari’ah misalnya maqasid syariah
hukum perundang-undangan dan kesaksian, maqasid al-syari’ah
penguunaan harta, dan lain-lain.25

E. Karakteristik Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir


1. Latar Belakang Penulisan

Judul lengkap kitab Tafsir Ibnu Asyur adalah Tahrir al-Ma’na al-
Shadid wa al-Tanwir al-‘Aql al-Jadid min Tafsir al-Kitab al-Majid
yang lebih dikenal dengan nama tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir. Latar
belakang penulisan kitab tafsir ini adalah salah satu keinginan
terbesarnya yang sudah terpendam sejak lama. Ibnu Asyur mulai
menulis kitab tafsirnya setelah menjadi mufti (1923 M). Tafsir 30 juz
sebanyak 15 jilid menghabiskan waktu 39 tahun meskipun diselingi
dengan karya-karya yang lain.26
Penulisan tafsir ini diwarnai oleh berbagai peristiwa yang terjadi di
masyarakat Tunis. Usaha merebut kemerdekaan dari penjajah serta
tantangan yang dihadapi gerakan reformasi berpengaruh pada
penafsiran Ibnu Asyur. Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh mulai
mempengaruhi para intelektual Tunis tak terkecuali Ibnu Asyur.27

24
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, juz 1, 339.
25
Widya Oktavia, Tafsir Maqasidi Mahar Ibn Asyur, (skripsi: Universitas Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2020), 30.
26
Ibn Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Ad-Dar at-Tunisiyah linnatsr: 1884), jilid 1,6.
27
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, 106.

28
2. Sumber Penafsiran

Literatur yang digunakan Ibnu Asyur dalam menulis kitab tafsirnya


banyak menggunakan literature yang sudah ada sebelumnya. Literatur
yang digunakan untuk menafsirkan tidak hanya berupa kitab tafsir
beliau juga menggunakan berbagai literature dari berbagai cabang
keilmuan sebagai alat untuk memperkuat penafsirannya. Berikut
literature yang digunakan oleh kitab al-Tahrir wa al-Tanwir.

a) Kitab Tafsir28
a. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya al-Baidawi
b. Al-Kashshaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyuni al-Aqawil fi
Wujuh al-Ta’wil karya al-Zamakhsyari
c. Al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz Karya Abu
Abdu al-Haq bin ‘Atiyyah
d. Mafatih al-Ghaib karya al-Razi
e. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim wa al-Sab,i al-
Mathani karya al-Alusi
f. Al-Kashf wa al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya al-Tha’labi
g. Tafsir al-Mannar karya Muhammad Rasyid Rida
h. Ma’ani al-Qur’an karya Ibnu Ziyad al-Farra’
i. Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya al-Tabrisi
j. Tafsir Shamsh al-Din Mahmud ibn Abdurrahman al-‘Asfahani
k. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim karya Ibnu Kathir
l. Ma’alim al-Tanzil karya al-Farra’ al-Baghawi
m. Tafsir Abi al-Qasim al-Husain ibn ‘Ali
n. Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Badruddin al-Zarkashi
o. Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas
p. Durrat al-Tanzil kitab ini dinisbatkan kepada al-Razi

28
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir,
(Mesir: al-Dar al-Misriyyah, 2001), 16-20.

29
q. Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an karya al-Tabari
r. Tafsir al-Shaikh Muhammad Ibn ‘Arafah al-Tunisi
s. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Abu Abdillah al-Ansari al-
Qurtubi
t. Irshad al-‘Aql al-Samim ila Mazaya al-Kitab al-Karim karya
Abu al-Sa’ud al-Imari
b) Kitab Hadith29
a. Sahih Bukhari
b. Sahih Muslim
c. Sunan Abu Dawud
d. Sunan al-Tirmidhi
e. Sunan al-Nasa’i
f. Sunan Ibnu Majah
g. Al-Muwatta’ karya Imam Malik
h. Al-Musnad Ibnu Hanbal
i. Shu’bu al-Iman karya al-Baihaqi
j. Kutub al-Ilzamat karya al-Daruqutni
k. Fath al-Bari karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani
l. Sharh Sahih al-Bukhari karya al’Aini
m. Tuhfat al-Ahwadzi karya al-Ashbili
n. Dan lain lain.
c) Kitab Fikih30
a. Adab al-Nikah karya Qasim bin Ya’mun al-Ahmasi
b. Al-Aridah karya al-Ashbili
c. Al-Bayan wa al-Tahsil karya al-Walid bin Muhammad bin
Ahmad bin Rushd

29
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir,
20-21.
30
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir,
21-23.

30
d. Al-Dhakhirah karya Abu al-‘Abbas al-Qarafi
e. Al-Kulliyat karya Abu al-Baqa’ al-Kafawi
f. Al-Mahalli karya Ibnu Hazm al-Zahiri
g. Al-Mustakhrajat min al-Asma’iyyah karya al-‘Itabi
h. Al-Muwafaqat fi Usul al-Fiqh karya al-Shatibi
i. Aqwal Ibnu Ashur karya kakek Ibnu Ashur
j. Aqwal Ibnu Huwaiz Mundha’
k. Basa’ir Dhawi al-Tamyiz karya Ibnu Ya’qu al-Fairuz Abadi
l. Mamu’ al-Rasa’il wa al-Masa’il karya Ibnu Taimiyah al-
Harani
m. Rasa’il fi ‘Ilmi Usul al-Fiqh karya Muhammad bin Idris al-
Syafi’i
d) Kitab Nahwu31
a. Kitab-kitab ilmu Nahwu dari kalangan al-Andalusi
b. Kitab-kitab ilmu Nahwu dari kalangan al-Basrah
c. Kitab-kitab ilmu Nahwu dari kalangan al-Kufah
d. Kitab-kitab ilmu Nahwu dari kalangan al-Misriyyah
e. Kitab-kitab ilmu Nahwu dari kalangan Baghdad
e) Kitab Lughat (bahasa)32
a. Al-Muqamat karya Abu Muhammad al-Qasim
b. Al-Qamus al-Muhit karya Abu Muhammad al-Qaim
c. Al-Shahhah karya Abu Nasr
d. Al-Ta’rifat karya Ali bin Muhammad al-Sharif al-Jurjani
e. Amali al-Qani karya Abu ‘Ali
f. Kitab Gharib al-Hadith karya Abu Ubaid al-Qasim bin
Salam
g. Lisan al’Arab karya Ibnu Manzur
h. Majalis al-Thalab karya Abu al-Abbas
i. Mufradat Gharib al-Qur’an karya al-Raghib al-Asfahani
j. Mu’jam Maqayis Lughah karya Abu al-Husain

k. Tabsirat al-Mutadhakkir karya al-Kawashi

31
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir,
23-25.
32
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, 29-
30.

31
l. Tahdhib al-Lughah karya Abu Mansur
m. Taj al-‘Arus karya Abu al-Faid
f) Kitab Balaghah33
a. Al-Bayan wa al-Tabyin karya Abu ‘Utshman
b. Al-Kalim al-Nawabigh karya Mahmud bin Umar al-
Zamakhsyari
c. Al-Miftah karya Abu Ya’qub al-Sakaki
d. Al-Muntakhab min Kinayat al-Adibba’ wa Isharat al-
Bulagha’ karya Abu al-Abbas al-Jurjani
e. Al-Shafiyyah karya Abd al-Qahir al-Jurjani
f. Asas al-Balaghah karya Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari
g. Asrar al-Balaghah wa Dala’il al-I’jaz karya al-Qahir al-
Jurjani
h. I’jaz al-Qur’an karya Abu Bakr al-Baqillani
i. Talkhis al-Miftah karya al-Khatib al-Qazwaini
j. Sirr al-Fasashah karya Ibnu Sinan al-Khafaji al-Halabi
g) Kitab al-Ghazali34
a. Al-Muqsid al Asna fi Asma’I Allah al-Husna
b. Al-Mustasfa fi ‘Ilm al-Ushul
c. Al-Mustazhiri
d. Ihya’ Ulum al-Din
h) Kitab Tasawuf35
a. Al-Futuhat al-Makkiyah karya Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi
b. Al-Mi’yar ‘an Kitab Siraj al-Muridin karya Abu Bakr bin
Arabi
c. Aqwal al-Hasan al-Basri karya al-Hasan al-Basri
d. Hayakil al-Nur karya Shihab al-din al-Sahrawardi
e. Hikmat al-Israq karya Shihab al-din al-Sahrawardi
i) Kitab Filsafat36

a. Al-Isharat karya Abu ‘Ali al-Husain Ibnu Sina

33
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir,
30-31.
34
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir,
31
35
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir,
31-32.
36
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir,
32

32
b. Al-Muqaddimat al-Mumahhidat karya Ibnu Rushd
c. Aqwal Saqarat wa Aflatun
d. Fasl al-Maqal Fima Baina al-Shari’at wa al-Hikmat min
al-Ittisal karya al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rushd
j) Kitab Biografi37
a. Al-Anwar al-Nabawiyyah fi ‘Aba’ Khair al-Bashariyyah
karya Muhammad bin ‘Abd al-Rafi’
b. Al-Isabat fi Ma’rifat al-Sahabah karya Ibnu Hajar
al’Asqalani
c. Al-Shifa’ fi Fada’il al-Mustafa karya Ibnu Hajar al-
Asqalani
d. Jumharat Ansab al’Arab karya Ali bin Ahmad bin Hazm
al-Zahiri
e. Mu’jam al-Adibba’ karya Yaqut al-Hammawi
f. Tadhkirat al-Huffaz karya syamsuddin ‘Umar al-Dhahhabi
k) Kitab-Kitab Lain38
a. A-Injil
b. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Jalaluddin al-Suyuti
c. Al-Milal wa al-Nihal karya Abu al-Fath al-Shahrastani
d. Al-Sirah al-Nabawiyyah karya Abu Bakr Muhammad bin
Ishaq
e. Al-Taurat
f. Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi
g. Dan lain lain

3. Corak dan Metode Penafsiran

Tafsir Ibnu Asyur ini memiliki corak lughawi adabi ijtima’i


(bahasa sastra dan sosial) ini dapat dilihat dari banyaknya corak
ilmu balaghah dalam menafsirkan suatu ayat serta menonjolkan
aspek kebahasaannya. Selain itu tafsir Ibnu Asyur ini juga dikenal
sebagai kitab tafsir maqasidi, dengan kata lain pendekatan yang
juga digunakan kitab tafsir ini adalah pendekatan maqashid al-
syari’ah.

37
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir,
34
38
Nubail Ahmad Saqar, Manhaj al-Imam al-Tahir Ibn ’Asyur fi al-Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir,
32-33

33
Penafsitan Ibnu Asyur dapat dikatakanberdasarkan metode
tahlili (analisis) yakni menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan
berdasarkan susunan yang ada di mushaf dan menafsirkan ayat per
ayat. Berikut merupakan metode yang digunakan Ibnu Asyur
dalam kitab tafsirnya.
a. Menyebutkan Nama Surat dan Menjelaskan Sebab Penaman
Surat

‫سورة يونس‬
‫سميت في المصاحف وفي كتب التفسير والسنة سورة يونس‬
‫ أنهم آمنوا بعد أن‬،‫ْلنها انفردت بذكر خصوصية لقوم يونس‬
39
.‫توعدهم رسولهم بنزول العذاب فعفا هللا عنهم لما آمنوا‬
“Surat ini dinamakan surat Yunus dalam mushaf, kitab tafsir
dan sunnah karena khusus menyebutkan kaum Yunus, mereka
beriman setelah rasul mereka menjanjikan turunnya adzab lalu
Allah mengampuni mereka karena keimanan mereka. Setiap
membahas penamaan sebuah surat, Ibnu Asyur mencantumka
hadis, perkataan sahabat atau tabi’in ebagai rujukan.”

b. Menjelaskan Tartib al-Nuzul (Urutan Turunnya Surat)

‫ وهي السورة الثالثة‬.‫ وقبل سورة الحجر‬،‫نزلت بعد سورة هود‬


40.‫والخمسون في ترتيب نزول السور على قول الجمهور‬

Ibnu Asyur menyebutkan secara rinci tentang urutan turunnya


suatu surat. Beliau juga menyebutkan surat yang turun sebelum
dan sesudahnya.
c. Menjelaskan Asbabun Nuzul
:‫وسبب نزولها على ما في «الصحيحين» عن ابن عباس قال‬
‫«صعد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ذات يوم على الصفا‬
‫ «ياصباحاه» (كلمة ينادى بها لإلنذار من عدو يصبح‬:‫فنادى‬
‫ إني نذير لكم بين يدي عذاب‬:‫القوم) فاجتمعت إليه قريش فقال‬
‫شديد أرأيتم لو أني أخبرتكم أن العدو ممسيكم أو مصبحكم‬
‫ تبا‬:‫ فقال أبو لهب‬،‫ ما جربنا عليك كذبا‬:‫أكنتم تصدقوني؟ قالوا‬
41
‫ تبت يدا أبي لهب‬:‫لك سائر اليوم ألهذا جمعتنا؟! فنزلت‬

39
Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 11, 77.
40
Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 12, 97.
41
Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 30, 599.

34
Ibnu Asyur menyebutkan asbabun nuzul ayat-ayat yang
memiliki asbabun nuzul. Beliau selalu merujuk dari hadis nabi
atau penjelasan dari sahabat.

d. Menyebutkan Jumlah Ayat

‫سورة التين‬
42
‫وعدد آياتها ثمان‬
Sebelum menafsirkan ayat pertama Ibnu Asyur
menyebutkan jumlah ayat yang terdapat pada sebuah surat.Ibnu
Asyur menukil pendapat dari ulaa atau membaningkannya
dengan ulama ahli qira’at.

e. Menyebutkan Makkiyah atau Madaniyyah Suatu Surat dengan


Dasar Riwayat dari Sahabat Nabi

‫وهذه السورة مكية في قول مجاهد وروايته عن ابن عباس‬


‫ورواية علي بن أبي طلحة وسعيد بن جبير عنه وهو قول‬
43
‫قتادة‬
Ibnu Asyur menyebutkan surat tersebut tregolong makkiyah
atau madaniyah serta menyebutkan ayat mana saja dalam surat

yang termasuk makkiyah dan termasuk madaniyah sebelum


memulai menafsirkan aayat pertama dari sebuah surat.
Penjelasan beliau merujuk kepada hadis nabi, perkataan
sahabat, tabi’I ataupun penjelasan dari jumhur ulama.

f. Menyebutkan Kandungan Surat

‫ وإبطال إحالة المشركين‬،‫إشتملت على إثبات البعث والجزاء‬


44
‫ وتهويل يومه وما يعتري الناس حينئذ من الوهل‬.‫وقوعه‬
Sebelum menafsirkan ayat pertama Ibnu Asyur menjelaskan
kan dungan setiap surat.

42
Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 30, 419.
43
Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 13, 75.
44
Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 30, 59.

35
‫‪g. Mengumpulkan Satu atau‬‬ ‫‪Beberapa‬‬ ‫‪Ayat‬‬ ‫‪Kemudian‬‬
‫‪Menafsirkannnya Tiap Lafadz‬‬

‫يءٍ قَد ٌ‬
‫ِير (‪)1‬‬ ‫ش ْ‬ ‫تَبا َركَ الَذِي ِب َي ِد ِه ْالم ْلك َوه َو َ‬
‫على ك ِل َ‬
‫وفعل تبارك يدل على المبالغة في وفرة الخير‪ ،‬وهو في مقام‬
‫الثناء يقتضي العموم بالقرينة‪ ،‬أي يفيد أن كل وفرة من الكمال‬
‫ثابتة هلل تعالى بحيث ل يتخلف نوع منها عن أن يكون صفة له‬
‫‪45‬‬
‫تعالى‬
‫‪h. Menafsirkan Ayat dengan Ayat yang Lain‬‬

‫الَذِينَ آ َمنوا َولَ ْم يَ ْلبِسوا إِي َمانَه ْم بِظ ْل ٍم أولَئِكَ لَهم ْاْل َ ْمن َوه ْم‬
‫م ْهت َدونَ (‪)82‬‬
‫والظلم‪ :‬العتداء على حق صاحب حق‪ ،‬والمراد به هنا‬
‫إشراك غير هللا مع هللا في اعتقاد اإللهية وفي العبادة‪ ،‬قال‬
‫تعالى‪ :‬إن الشرك لظلم عظيم [لقمان‪ْ ]13 :‬لنه أكبر العتداء‪،‬‬
‫إذ هو اعتداء على المستحق المطلق العظيم‪ْ ،‬لن من حقه أن‬
‫يفرد بالعبادة اعتقادا وعمَل وقول ْلن ذلك حقه على‬
‫مخلوقاته‪.‬‬
‫‪Disini Ibnu Asyur menafsirkan QS. al-An’am 82 dengan Q.S‬‬
‫‪Luqman 13.‬‬

‫‪i. Menafsirkan dengan Menggunakan Hadith Nabi‬‬

‫ع َلى أَ ْه ِل َها‬ ‫غي َْر بيو ِتك ْم َحتَى تَ ْستَأْ ِنسوا َوت َ‬
‫س ِلموا َ‬ ‫َياأَ ُّي َها الَذِينَ آ َمنوا َل تَدْخلوا بيوتًا َ‬
‫ذَ ِلك ْم َخي ٌْر لَك ْم لَعَلَك ْم تَذَ َكرونَ (‪ )27‬فَإِ ْن لَ ْم ت َِجدوا فِي َها أَ َحدًا فَ ََل تَدْخلوهَا َحتَى‬
‫ار ِجعوا ه َو أَ ْز َكى لَك ْم َو َ‬
‫َّللا ِب َما تَ ْع َملونَ َ‬
‫ع ِلي ٌم‬ ‫يؤْ ذَنَ لَك ْم َو ِإ ْن قِي َل لَكم ْ‬
‫ار ِجعوا فَ ْ‬
‫(‪)28‬‬

‫وعن ابن سيرين‪« :‬أن رجَل استأذن على النبيء صلى هللا عليه وسلم فقال‪ :‬أأدخل؟ فأمر‬
‫النبيء رجَل عنده أو أمة اسمها روضة فقال‪ :‬إنه ل يحسن أن يستأذن فليقل‪ :‬السَلم عليكم‬
‫أأدخل‪ .‬فسمعه الرجل فقال‪ :‬السَلم عليكم أأدخل‪ .‬فقال‪ :‬ادخل ‪46‬‬

‫‪Ibnu Asyur menafsirkan Q.S an-Nur 27-28 dengan‬‬


‫‪penjelasan nabi bahwa datang seseorang untuk menemui nabi‬‬
‫‪45‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 29, 9.‬‬
‫‪46‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 18, 187.‬‬

‫‪36‬‬
‫‪lalu ia meminta izin untuk masuk. Kemudian Nabi bersabda‬‬
‫‪untuk mengucapkan salam lalu meminta izin. Ia pun‬‬
‫‪melakukannya dan nabi memperbolehkannya untuk masuk‬‬

‫‪j. Menafsirkan dengan Perkataan Para Sahabat‬‬


‫َّللا أَ ْن تَعودوا ِل ِمثْ ِل ِه أَ َبدًا ِإ ْن ك ْنت ْم مؤْ ِمنِينَ (‪َ )17‬وي َب ِين‬
‫َي ِعظكم َ‬
‫ح ِكي ٌم (‪)18‬‬‫ع ِلي ٌم َ‬
‫َّللا َ‬ ‫َّللا لَكم ْاْليَا ِ‬
‫ت َو َ‬ ‫َ‬

‫قال هشام بن عمار (‪« : )1‬سمعت مالكا يقول‪ :‬من سب أبا بكر وعمر‬
‫أدب‪ ،‬ومن سب عائشة قتل ْلن هللا يقول‪ :‬يعظكم هللا أن تعودوا لمثله‬
‫أبدا إن كنتم مؤمنين فمن سب عائشة فقد خالف القرآن ومن خالف‬
‫القرآن قتل» اهـ‪ .‬يريد بالمخالفة إنكار ما جاء به القرآن نصا وهو يرى‬
‫أن المراد بالعود لمثله في قضية اإلفك ْلن هللا برأها بنصوص ل تقبل‬
‫التأويل‪ ،‬وتواتر أنها نزلت في شأن عائشة‪ .‬وذكر ابن العربي عن‬
‫الشافعية أن ذلك ليس بكفر‪ .‬وأما السب بغير ذلك فهو مساو لسب‬
‫‪47‬‬
‫غيرها من أصحاب النبيء صلى هللا عليه وسلم‪.‬‬
‫‪k. Menafsirkan dengan Perkataan Tabi’in‬‬

‫عد ًْوا بِغَي ِْر ِع ْل ٍم‬ ‫َّللاِ فَيَسبُّوا َ َ‬


‫َّللا َ‬ ‫ون َ‬‫َو َل تَسبُّوا الَذِينَ يَدْعونَ ِم ْن د ِ‬
‫ع َملَه ْم ث َم إِلَى َربِ ِه ْم َم ْر ِجعه ْم فَينَبِئه ْم بِ َما‬
‫َكذَلِكَ زَ يَنَا ِلك ِل أ َم ٍة َ‬
‫َكانوا يَ ْع َملونَ (‪)108‬‬
‫عن قتادة قال كان المسلمون يسبون أوثان الكفار فيردون ذلك عليهم‬
‫‪48‬‬
‫فنهاهم هللا أن يستسبوا لربهم‬
‫‪Dalam tafsir ini Ibnu Asyur menjelaskan makna Q.S al-‬‬
‫‪An’am 108 dengan perkataan Qatadah yang merupakan tabi’in.‬‬
‫‪l. Menafsirkan dengan Kisah-Kisah‬‬

‫غي ِْري فَأ َ ْوقِ ْد ِلي‬ ‫ع ْون يَاأَيُّ َها ْال َم ََل َما َ‬
‫ع ِل ْمت لَك ْم ِم ْن إِلَ ٍه َ‬ ‫َوقَا َل فِ ْر َ‬
‫ط ِلع إِلَى إِلَ ِه‬‫ص ْر ًحا لَعَ ِلي أَ َ‬ ‫ين فَاجْ عَ ْل ِلي َ‬ ‫علَى ِ‬
‫الط ِ‬ ‫يَاهَا َمان َ‬
‫سى َو ِإنِي َْلَظنُّه مِنَ ْال َكا ِذ ِبينَ (‪)38‬‬ ‫مو َ‬
‫فهذه قصة محاورة بين فرعون وملئه في شأن دعوة موسى فهي حقيقة‬
‫بحرف العطف كما ل يخفى‪ .‬أراد فرعون بخطابه مع ملئه أن يثبتهم‬
‫على عقيدة إلهيته فقال ما علمت لكم من إله غيري إبطال لقول موسى‬
‫المحكي في سورة الشعراء [‪ ]26‬قال ربكم ورب آبائكم اْلولين وقوله‬

‫‪47‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 18, 183.‬‬
‫‪48‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 7, 428.‬‬

‫‪37‬‬
‫هناك رب السماوات واْلرض وما بينهما إن كنتم موقنين (‪)1‬‬
‫[الشعراء‪:‬‬
‫‪ . ]24‬فأظهر لهم فرعون أن دعوة موسى لم ترج عنده وأنه لم يصدق‬
‫‪49‬‬
‫بها فقال ما علمت لكم من إله غيري‪.‬‬
‫‪m. Menafsirkan dengan Menggunakan Nasikh dan Mansukh‬‬

‫لرسو ِل َو ِلذِي‬ ‫علَى َرسو ِل ِه ِم ْن أَ ْه ِل ْالق َرى َ ِ َ ِ‬


‫لِلَف َو ِل َ‬ ‫َّللا َ‬‫َما أَفَا َء َ‬
‫ي َل يَكونَ دولَةً بَيْنَ‬ ‫سبِي ِل َك ْ‬
‫ين َواب ِْن ال َ‬
‫سا ِك ِ‬‫ْالق ْربَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم َ‬
‫ع ْنه فَا ْنتَهوا‬‫الرسول فَخذوه َو َما نَ َهاك ْم َ‬ ‫اء ِم ْنك ْم َو َما آتَاكم َ‬ ‫ْاْل َ ْغنِ َي ِ‬
‫ب (‪)7‬‬ ‫شدِيد ْال ِعقَا ِ‬ ‫َواتَقوا َ‬
‫َّللاَ إِ َن َ‬
‫َّللاَ َ‬
‫أن تكون أموال بني النضير مما يخمس ولم يرو أحد أن رسول هللا‬
‫صلى هللا عليه وسلم خمسها بل ثبت ضده‪ ،‬وعلى هذا يكون حكم أموال‬
‫بني النضير حكما خاصا‪ ،‬أو تكون هذه اْلية ناسخة لآلية التي قبلها إن‬
‫كانت نزلت بعدها بمدة‪50.‬‬

‫‪Menurut‬‬ ‫‪Ibnu‬‬ ‫‪Asyur‬‬ ‫‪ayat‬‬ ‫‪ini‬‬ ‫‪menaskh‬‬ ‫‪ayat‬‬


‫‪sebelumnya.menjadi “apa saja harta rampasan yang diberikan‬‬
‫‪Allah kepada rasul-Nya supaya harta itu jangan beredar di‬‬
‫‪antara orang-orang kaya saja”.‬‬
‫‪n. Menafsirkan dengan Menafsirkan dengan Qira’at‬‬

‫كهيعص (‪)1‬‬

‫وقرأ الجمهور جميع أسماء هذه الحروف الخمسة بإخَلص الحركات‬


‫والسكون بإسكان أواخر أسمائها‪ .‬وقرأ أبو عمرو‪ ،‬والكسائي‪ ،‬وأبو بكر‬
‫عن عاصم‪ ،‬ويعقوب اسم الحرف الثاني وهو ها باإلمالة‪ .‬وفي رواية‬
‫عن نافع وابن كثير (ها) بحركة بين الكسر والفتح‪ .‬وقرأ ابن عامر‪،‬‬
‫وحمزة‪ ،‬والكسائي (يا) باإلمالة‪ .‬وقرأ نافع‪ ،‬وابن كثير‪ ،‬وعاصم‪ ،‬وأبو‬
‫جعفر بإظهار دال (صاد) ‪ .‬وقرأ الباقون بإدغامه في ذال ذكر رحمت‬
‫ربك [مريم‪ ]2 :‬وإنما لم يمد (ها) و (يا) مع أن القارئ إنما ينطق‬
‫‪51‬‬
‫بأسماء هذه الحروف‪.‬‬
‫‪o. Menafsirkan dengan Taurat dan Injil‬‬

‫َّللاِ ِإلَيْك ْم‬


‫سى ا ْبن َم ْريَ َم يَابَنِي ِإس َْرائِي َل ِإنِي َرسول َ‬ ‫َو ِإ ْذ قَا َل ِعي َ‬
‫ي مِنَ التَ ْو َرا ِة َوم َب ِش ًرا ِب َرسو ٍل َيأْتِي ِم ْن‬ ‫ص ِدقًا ِل َما َبيْنَ َي َد َ‬
‫م َ‬
‫‪49‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 20, 121.‬‬
‫‪50‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 28, 82.‬‬
‫‪51‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 16, 60.‬‬

‫‪38‬‬
‫بَ ْعدِي اسْمه أَ ْح َمد فَلَ َما َجا َءه ْم بِ ْالبَيِنَا ِ‬
‫ت قَالوا َهذَا ِسح ٌْر مبِي ٌن‬
‫(‪)6‬‬
‫ويصح اعتبار أحمد تفضيَل حقيقيا في كَلم عيسى عليه السَلم‪ ،‬أي‬
‫مسماه أحمد مني‪ ،‬أي أفضل‪ ،‬أي في رسالته وشريعته‪ .‬وعبارات‬
‫اإلنجيل تشعر بهذا التفضيل‪ ،‬ففي إنجيل يوحنا في اإلصحاح الرابع‬
‫عشر «وأنا أطلب من اْلب (أي من ربنا) فيعطيكم‪( .‬فارقليط) آخر‬
‫ليثبت معكم إلى اْلبد روح الحق الذي ل يستطيع العالم أن يقبله ْلنه ل‬
‫يراه ول يعرفه‪ .‬ثم قال‪ :‬وأما الفارقليط الروح القدس الذي سيرسله‬
‫اْلب (هللا) باسمي فهو يعلمكم كل شيء ويذكركم بكل ما قلته لكم» ‪،‬‬
‫أي في جملة ما يعلمكم أن يذكركم بكل ما قلته لكم‪ .‬وهذا يفيد تفضيله‬
‫على عيسى‬
‫بفضيلة دوام شريعة المعبر عنها بقول اإلنجيل «ليثبت معكم إلى‬
‫اْلبد» وبفضيلة عموم شرعه لَلحكام المعبر عنه بقوله‪« :‬يعلمكم كل‬
‫‪52‬‬
‫شيء» ‪.‬‬
‫‪p. Menafsirkan dengan Sya’ir‬‬

‫(‪)2‬‬ ‫َحتَى ز ْرتم ْال َمقَا ِب َر‬


‫زرتم المقابر لتعدوا القبور‪ ،‬والعرب يكنون بالقبر عن صاحبه قال‬
‫النابغة‪:‬‬
‫لئن كان للقبرين قبر بجلق ‪ #‬وقبر بصيداء الذي عند حارب‬
‫وقال عصام بن عبيد الزماني‪ ،‬أو همام الرقاشي‪:‬‬
‫قبرا وأبعدهم من منزل الذام‪#‬لو عد قبر وقبر كنت أقربهم‬
‫‪53‬‬
‫أي كنت أقربهم منك قبرا‪ ،‬أي صاحب قبر‪.‬‬
‫‪Disini Ibnu Asyur menafsirkan kata “qabr” dalam ayat zurtum‬‬
‫‪al-maqabir” dengan sya’ir-sya’ir Arab.‬‬

‫‪q. Menafsirkan dengan Kajian Kebahasaan‬‬


‫(‪)1‬‬ ‫ت ْال َواقِ َعة‬
‫ِإذَا َوقَ َع ِ‬
‫ت‪ ،‬يقَال‪َ :‬وقَ َع أَ ْم ٌر‪ ،‬أَ ْ‬
‫ي‬ ‫ص َل ْ‬‫ي َح َ‬ ‫ت‪ ،‬أَ ْ‬ ‫صل َها‪ْ :‬ال َحا ِدثَة َالتِي َوقَ َع ْ‬
‫َو ْال َواقِ َعة أَ ْ‬
‫ي ك َْو ِن ا ْل َم ْعنَى ا ْل َم ْفه ِ‬
‫وم‬ ‫طابَقَته ِل ْل َواقِ ِع‪ ،‬أَ ْ‬‫ص َدق ا ْل َخبَ ِر م َ‬‫ص َل َك َما يقَال‪َ :‬‬ ‫َح َ‬
‫ع َلى‬ ‫اصل أَو المتوقع َ‬ ‫س َمى ذَلِكَ ْال َم ْعنَى فِي ْالوجو ِد ْال َح ِ‬ ‫ِم ْنه م َوافِقًا ِلم َ‬
‫ار‪،‬‬ ‫ب يقَال‪َ :‬واقِعَة ذِي قَ ٍ‬ ‫ب ذَلِكَ ا ْل َم ْعنَى‪َ ،‬و ِم ْن ذَلِكَ َحا ِدثَة ا ْل َح ْر ِ‬ ‫س ِ‬ ‫َح َ‬
‫سيَ ِة‪.‬‬‫َو َواقِعَة ْالقَا ِد ِ‬

‫‪52‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 28, 184.‬‬
‫‪53‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 30, 520.‬‬

‫‪39‬‬
‫ع ِة‪َ ،‬وه َو تَأْ ِن ٌ‬
‫يث‬ ‫ع ْوا فِي تأنيثها معنى ا ْل َحادِث أَ ِو ا ْلكَائِنَ ِة أَ ِو السَا َ‬ ‫فََ را َ‬
‫ع ْوا فِي ِه ِإ َل َم ْعنَى‬‫ب َل يَكونونَ َرا َ‬ ‫ع َلى أَ ْل ِسنَ ِة ا ْلعَ َر ِ‬ ‫ير فِي ال ُّلغَ ِة َج ٍ‬
‫ار َ‬ ‫َكثِ ٌ‬
‫ع َل ْي ِه الدَائِ َرة‪،‬‬ ‫ار ْ‬
‫ت َ‬ ‫ع ِة أَ ْو نَحْ ِو ذَلِكَ ‪َ ،‬وقَ ِريبٌ ِم ْنه قَ ْوله ْم‪َ :‬د َ‬ ‫ا ْل َحا ِدثَ ِة أَ ِو السَا َ‬
‫قَا َل تَ َعا َلى‪:‬‬

‫صي َبنا دا ِئ َرة ٌ [ا ْل َما ِئ َدة‪َ ]52 :‬و َقالَ‪َ :‬‬


‫ع َل ْي ِه ْم دا ِئ َرة‬ ‫َيقولونَ ن َْخشى أَ ْن ت ِ‬
‫الس َْو ِء [التَ ْوبَة‪. ]98 :‬‬
‫ع َل ًما َل َها بِا ْلغَ َلبَ ِة فِي‬
‫صف َ‬ ‫َوا ْلم َراد بِا ْل َواقِعَ ِة هنَا ا ْل ِقيَا َمة فَج ِع َل َهذَا ا ْل َو ْ‬
‫ت ا ْلوا ِق َعة [الحاقة‪َ ]15 :‬ك َما‬ ‫ح ا ْلق ْر ِ‬
‫آن قَا َل تَ َعا َلى‪ :‬فَ َي ْو َم ِئ ٍذ َوقَ َع ِ‬ ‫ص ِط ََل ِ‬
‫ا ْ‬
‫ار‬
‫ال ْعتِبَ ِ‬‫ع ِة ا ْل َواقِ َع ِة‪َ .‬وبِ َهذَا ْ ِ‬‫طا َمة َو ْاْل ِزفَة أَي ِ السَا َ‬ ‫صا َخة َوال َ‬ ‫ت ال َ‬ ‫س ِميَ ِ‬
‫يس‪.‬‬ ‫ت ا ْلواقِعَة م ْح ِسن التَجْ نِ ِ‬ ‫ار فِي قَ ْو ِل ِه‪ِ :‬إذا َوقَعَ ِ‬ ‫ص َ‬ ‫َ‬
‫وع‪َ ،‬وه َو ْالحدوث‪، .‬‬
‫‪54‬‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫والواقِ َعة‪ :‬ال َم ْوصوفَة ِبالوق ِ‬
‫ْ‬

‫‪r. Menafsirkan dengan Ilmu Balaghah‬‬

‫ع َل ْمتَنَا ِإنَكَ أَ ْنتَ ْال َع ِليم ْال َ‬


‫ح ِكيم (‪)32‬‬ ‫قَالوا س ْب َحانَكَ َل ِع ْل َم َلنَا ِإ َل َما َ‬
‫قال الشيخ في «دلئل اإلعجاز» (‪ )1‬ومن شأن إن إذا جاءت على هذا الوجه (أي أن تقع‬
‫إثر كَلم وتكون لمجرد الهتمام) أن تغني غناء الفاء العاطفة (مثَل) وأن تفيد من ربط‬
‫الجملة بما قبلها أمرا عجيبا فأنت ترى الكَلم بها مقطوعا موصول‪ ،‬وأنشد قول بشار‪:‬‬

‫بكرا صاحبي قبل الهجير ‪ ...‬إن ذاك النجاح في التبكير‬

‫وقول بعض العرب‪:‬‬

‫فغنها وهي لك الفداء ‪ ...‬إن غناء اإلبل الحداء‬

‫فإنهما استغنيا بذكر إن عن الفاء‪ ،‬وإن خلفا اْلحمر لما سأل بشارا لماذا لم يقل‪« :‬بكرا‬
‫فالنجاح في التبكير» أجابه بشار بأنه أتى بها عربية بدوية ولو قال‪« :‬فالنجاح» لصارت من‬
‫كَلم المولدين (أي أجابه جوابا أحاله فيه على الذوق) وقد بين الشيخ عبد القاهر سببه‪ .‬وقال‬
‫الشيخ في موضع‬

‫‪54‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 27, 282.‬‬

‫‪40‬‬
‫آخر (‪ ) 1‬أل ترى أن الغرض من قوله‪« :‬إن ذاك النجاح في التبكير» أن يبين المعنى في‬
‫قوله لصاحبيه «بكرا» وأن يحتج لنفسه في اْلمر بالتبكير ويبين وجه الفائدة منه» ‪55‬‬

‫’‪s. Menafsirkan dengan Pendapat Fuqaha‬‬

‫َّللا فَ َم ِن اضْط َر َ‬
‫غي َْر‬ ‫ير َو َما أ ِه َل بِ ِه ِلغَي ِْر َ ِ‬ ‫حْم ْال ِخ ْن ِز ِ‬
‫علَيْكم ْال َم ْيتَةَ َوالد ََم َولَ َ‬
‫إِنَ َما َح َر َم َ‬
‫ور َر ِحي ٌم (‪)173‬‬‫َّللا غَف ٌ‬ ‫عا ٍد فَ ََل ِإثْ َم َ‬
‫علَ ْي ِه ِإ َن َ َ‬ ‫اغ َو َل َ‬ ‫بَ ٍ‬
‫اختلف الفقهاء في النتفاع بجلد الميتة (‪ )1‬إذا دبغ فقال أحمد ابن حنبل‪ :‬ل يطهر جلد الميتة‬
‫بالدبغ‪ ،‬وقال أبو حنيفة والشافعي‪ :‬يطهر بالدبغ ما عدا جلد الخنزير ْلنه محرم العين‪،‬‬
‫ونسب هذا إلى الزهري‪ ،‬وألحق الشافعي جلد الكلب بجلد الخنزير‪ ،‬وقال مالك يطهر ظاهر‬
‫الجلد بالدبغ ْلنه يصير صلبا ل يداخله ما يجاوره‪ ،‬وأما باطنه فَل يطهر بالدبغ ولذلك قال‪:‬‬
‫يج وز استعمال جلد الميتة المدبوغ في غير وضع الماء فيه‪ ،‬ومنع أن يصلى به أو عليه‪،‬‬
‫‪56‬‬
‫وقول أبي حنيفة أرجح‪.‬‬

‫‪t. Menafsirkan dengan Pendapat Filusuf‬‬

‫َّللا ذَلِكَ‬
‫ق َِ‬ ‫ع َل ْي َها َل تَ ْبدِي َل ِلخ َْل ِ‬
‫اس َ‬ ‫ط َر ال َن َ‬ ‫َّللا الَتِي َف َ‬ ‫ِين َحنِيفًا فِ ْ‬
‫ط َرتَ َ ِ‬ ‫فَأَقِ ْم َوجْ َهكَ ِللد ِ‬
‫اس َل َي ْعلَمونَ (‪)30‬‬ ‫الدِين ْالقَ ِيم َولَ ِك َن أَ ْكثَ َر النَ ِ‬
‫وقد بين أبو علي ابن سينا حقيقة الفطرة في كتابه «النجاة» فقال‪« :‬ومعنى الفطرة أن يتوهم‬
‫اإلنسان نفسه حصل في الدنيا دفعة وهو عاقل لكنه لم يسمع رأيا ولم يعتقد مذهبا ولم يعاشر‬
‫أمة ولم يعرف سياسة‪ ،‬ولكنه شاهد المحسوسات وأخذ منها الحالت‪ ،‬ثم يعرض على ذهنه‬
‫شيئا ويتشكك فيه فإن أمكنه الشك فالفطرة ل تشهد به وإن لم يمكنه الشك فهو ما توجبه‬
‫الفطرة‪ ،‬وليس كل ما توجبه فطرة اإلنسان بصادق إنما الصادق فطرة القوة التي تسمى‬
‫عقَل‪ ،‬وأما فطرة‬

‫الذهن بالجملة فربما كانت كاذبة‪ ،‬وإنما يكون هذا الكذب في اْلمور التي ليست محسوسة‬
‫بالذات بل هي مبادئ للمحسوسات‪ .‬فالفطرة الصادقة هي مقدمات وآراء مشهورة محمودة‬
‫أوجب‬

‫التصديق بها‪ :‬إما شهادة الكل مثل‪ :‬أن العدل جميل‪ ،‬وإما شهادة اْلكثر وإما شهادة العلماء‬
‫أو اْلفاضل منهم‪ .‬وليست الذائعات من جهة ما هي ذائعات مما يقع التصديق بها في الفطرة‬
‫‪55‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 1, 414-416.‬‬
‫‪56‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 2, 116.‬‬

‫‪41‬‬
‫فما كان من الذائعات ليس بأولي عقلي ول وهمي فإنها غير فطرية‪ ،‬ولكنها متقررة عند‬
‫اْلنفس ْلن العادة مستمرة عليها منذ الصبا وربما دعا إليها محبة التسالم والصطناع‬
‫المضطر إليهما اإلنسان (‪ ، )1‬أو شيء من اْلخَلق اإلنسانية مثل الحياء والستئناس (‪)2‬‬
‫أو الستقراء الكثير‪ ،‬أو كون القول في نفسه ذا شرط دقيق ْلن يكون حقا صرفا فَل يفطن‬
‫‪57‬‬
‫لذلك الشرط ويؤخذ على اإلطَلق‪.‬‬
‫‪u. Menafsirkan dengan Ilmu Tasawuf‬‬

‫ب فَأولَئِكَ‬ ‫َّللا ِللَذِينَ يَ ْع َملونَ ال ُّ‬


‫سو َء بِ َج َهالَ ٍة ث َم يَتوبونَ ِم ْن قَ ِري ٍ‬ ‫علَى َ ِ‬
‫إِنَ َما التَ ْوبَة َ‬
‫ح ِكي ًما (‪)17‬‬‫ع ِلي ًما َ‬ ‫علَ ْي ِه ْم َو َكانَ َ‬
‫َّللا َ‬ ‫َّللا َ‬
‫يَتوب َ‬
‫ولعل هذا المعنى هو الذي نظر إليه الغزالي إذ قال في كتاب التوبة «إنك إذا فهمت معنى‬
‫القبول لم تشك في أن كل توبة صحيحة هي مقبولة إذ القلب خلق سليما في اْلصل‪ ،‬إذ كل‬
‫مولود يولد على الفطرة وإنما تفوته السَلمة بكدرة ترهقه من غيرة الذنوب‪ ،‬وأن نور الندم‬
‫يمحو عن القلب تلك الظلمة كما يمحو الماء والصابون عن الثواب الوسخ‪58.‬‬

‫‪Dalam tafsir ini Ibnu Asyur mengutip perkataan al-Ghazali bahwa‬‬


‫‪cahaya penyesalan dari taubat itu dapat menghapus kedhaliman‬‬
‫‪sebagaimana air dan sabun yang dapat membersihkan baju yang kotor.‬‬

‫‪v. Menyebutkan Perbedaan Penafsiran antar Mufasir‬‬

‫صفًا (‪)2‬‬
‫ع ْ‬ ‫فَ ْال َع ِ‬
‫اصفَا ِ‬
‫ت َ‬
‫وقال الجمهور‪ :‬العاصفات‪ :‬الرياح ولم يحك الطبري فيه مخالفا‪ .‬وقال‬
‫القرطبي قيل العاصفات‪ :‬المَلئكة‪.‬‬
‫وفالفارقات لم يحك الطبري إل أنهم المَلئكة أو الرسل‪ .‬وحكى‬
‫‪59‬‬
‫القرطبي عن مجاهد‪ :‬أنها الرياح‪.‬‬
‫‪Dalam menafsirkan, Ibnu Asyur‬‬ ‫‪banyak‬‬ ‫‪mengutip‬‬
‫‪perbedaan penafsiran antar mufassir.‬‬

‫‪57‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 21, 90-91.‬‬
‫‪58‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 4, 280.‬‬
‫‪59‬‬
‫‪Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 29, 419-420.‬‬

‫‪42‬‬
Bab III

Mengenal Tafsir Maqashidi

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup manusia dari zaman ke zaman. Kajian


al-Qur’an semakin matang dan melahirkan berbagai macam bidang disiplin
keilmuan, baik berupa ilmu keagamaan maupun yang berkaitan dengan konsep
sosial seperti psikologi, sains dan lain sebagainya. Konsep pendekatan maqasidy
merupakan sebuah temuan baru dalam kajian al-Qur’an, hal ini berasal dari kaidah
dasar yang sudah terkenal sejak lama dalam konsentrasi metodologi dalam ilmu
al-Qur’an yakni Asbab al-Nuzul.

A. Maqashid al-Syari’ah
1. Definisi Maqashid al-Syari’ah

Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah.
Maqasid adalah bentuk jamak dari kata maqsad, yang merupakan masdar mim
dari kata qashada. Secara etimologi qashada memiliki makna adil, berpegang
teguh dan menyengaja, dekat, mendatangi sesuatu, dan jalan yang lurus. 60 Ibnu
Jinni menjelaskan kata maqsad berasal dari huruf “qaf, sad, dan dal”, yang dalam
penggunaan lisan orang Arab memiliki makna focus, kemajuan, menuju sesuatu,
dan niat.61 Ibnu Asyur mengemukakan maqasid juga berarti interpretasi suatu
teks. Ibnu Asyur menjabarkan maqashid ialah cara-cara yang dikehendaki
pembuat syari’at untuk mewujudkan keinginan-keinginan manusia yang
bermanfaat.62

Ar-Raisuny membagi maqashid syar’ah menjadi dua yaitu maqashid al-


khitab dan maqashid al-ahkam. Adapun maqashid al-Kkhitab adalah aturan
hukum yang diambil dari pemahaman nash al-Qur’an dan hadis, yang dikehendaki
oleh syari’at untuk dilaksanakan oleh mukallaf. Sedangkan maqashid al-ahkam
adalah hasil, hikmah, dan tujuan yang berasal dari pelaksanaan hukum oleh
mukallaf.63

60
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Vol. 3, (Beirut: Dar Sadir,t.t), 353-354
61
Ibnu Manzur, 355.
62
Ibnu Asyur, Maqashid Syari’ah al-Islamiyyah, h. 415
63
Ahmad ar-Raisuny, Madkhal ila Maqasid asy-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Kalimah, 2009), h. 9-12

43
Adapun kata syari’ah, berasal dari akar kata syara’a yang bermakna jalan
menuju sumber air. Secara etimologi syari’ah memiliki beberapa makna,
diantaranya agama. metode dan permulaan jalan.64 Adapun secara terminologi
syari’ah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah kepada hamba-Nya
melalui al-Qur’an dan sunnah.65

Penyandingan kata maqasid dan al-syari’ah dapat disimpulkan bahwa


maqasid al-syari’ah merupakan tujuan dari syari’at. Ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikan maqasid al syari’ah. Ibnu Asyur mendefinisikan maqasid
al-syari’ah secara umum sebagai berikut:

‫علم مقاصد الشريعة فهو عبارة عن الوقوف على المعاني والحكم الملحوظة‬
َ ‫للشارع في جميع أحوال التشريع أو مع‬
‫ظ ِمها‬
Ilmu maqashid syari’ah adalah ibrah dari beberapa makna dan hikmah yang
disimpulkan bagi pentasyri’ pada semua atau sebagian besar syari’at.

Adapun secara khusus Ibnu Asyur mendefinisikan maqashid syari’ah adalah:

‫ أو لحفظ مصالحهم‬،‫الكيفيات المقصودة للشارع لتحقيق مقاصد الناس النافعة‬


‫العامة في تصرفاتهم الخاصة‬
Hal-Hal yang dikehendaki pentasyri’ (Allah) untuk mewujudkan maksud dan
tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum
dalam tindakan-tindakan mereka secara khusus.

Definisi maqashid syari’ah secara istilah berkembang dari yang sederhana


hingga makna holistic. Pada masa klasik yakni sebelum al-Syatibi,belum
ditemukan definisi yang konkret tentang maqashid syari’ah.66 Definisi pada saat
itu condong pada makna bahasa dan menyebutkan sinonim maknanya. Asnawi
mendefinisikan sebagai tujuan-tujuan hukum. Al-Samarqandi menyamakan
maqashid al-syari’ah dengan makna-makna hukum. Adapun al-Amidi, al-Ghazali
dan Ibn al-Hajib mendefinisikan sebagai hal untuk mencapai kemaslahatan dan
menolak kerusakan. Berbagai macam bentuk definisi tersebut menjelaskan bahwa

64
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, vol.8 (Beirut: Dar Sadir, t.t), 175-176
65
Halya Millati, “Pendekatan Tafsir Maqashidi Ibnu Ashur Pada Ayat-Ayat Gender Dan Posisinya
Dalam Diskursus Kesetaraan” (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2019), h. 23.
66
Ahmad al-Raisuni, Imam al-Shathibi’s Theory of the Higher Objective and Intents of Islamic
Law, (Washington: IIIT, 2005), xxii.

44
terdapat hubungan erat antara maqashid al-syari’ah dengan illat, hikmah,
kemaslahatan, dan tujuan atau niat.67

Sedangkan al-Syatibi mendefinisikan maqashid syari’ah sebagai tujuan


yang dikehendaki teks dan hukum –hukum juz’iyyah untuk diwujudkan dalam
kehidupan manusia yang berupa mubah, perintah dan larangan, bagi
umat,jama’ah, keluarga, dan individu. Al-Syatibi menjelaskan lebih lanjut
maqashid syari’ah adalah hikmah yang menjadi tujuan adanya hukum bukan
sebagai illat yang bersifat jelas, tetap, dan sesuai hukum.68

Definisi tentang makna kebahasaan maqashid syari’ah kemudian


disempurnakan oleh al-Syatibi, pendiri ilmu maqashid al-syari’ah. Al-Syatib
memaparkan bahwa tujuan syari’ah itu terfokus pada tiga hal: Kebutuhan pokok
atau primer (daruriyat), kepentingan sekunder (hajjiyat), dan kebutuhan tersier
(siniyat). Allah sebagai pembuat syari’at (syari’) memiiki tujuan dalam setiap
penentuan hukum yang ada, yakni adanya maslahah umat dunia dan akhirat.69

2. Perkembangan Maqashid al-Syari’ah

Dengan mengacu pada tujuan maqashid syari’ah yakni kemaslahatan umat.


Maka dapat diketahui bahwa maqashid syari’ah sudah ada pada masa Rasulullah
SAW. meskipun hanya dalam bentuk embrio.70 Adapun perkembangan maqasid
al-syari’ah dari awal hingga menjadi suatu dsiplin ilmu dapat dikategorikan
menjadi tiga fase sebagai berikut.

a. Masa Ta’sis

Terdapat perbedaan antara ulama atau pengkaji ilmu tentang pelopor


maqashid syari’ah. Adapun yang penulis temukan tentang orang yang
memperhatikan maqashid al-syari’ah adalah Ibrahim al-Nakha’I (w. 96) dari
kalangan tabi’in. Al-Nakha’I menjelaskan bahwa setiap hukum Allah pasti
memiliki tujuan tertentu berupa kemaslahatan untuk manusia. Bahkan jumhur
ulama menjadikan maslahah sebagai dasar setiap mazhab.71

Kemaslahatan umat menjadi pertimbangan dalam mengambil suatu


kebijakan. Hal tersebut dapat dilihat dari perisiwa khalifah Umar bin Khattab

67
Umar bin Shalih bin Umar, Maqashid al-Syari’ah ‘Inda al Imam al-Izz bin Abd alSalam,
(Urdun: dar al-nafa’is li al-Nashr wa al-Tawz, 2003), h. 88.
68
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Maqasid al-Syari’ah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), h. 17.
69
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah,
2004), h. 221.
70
Siti Fathimatuzzahrok, Pemeliharaan Lingkungan Dalam Tinjauan Tafsir Maqasidi (Ayat-Ayat
Ekologi dalam Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir), (skripsi, Insttitut Agama Islam Negeri
Salatiga, 2020),H. 22
71
Hammadi al-ubaydi, al-Shatibi, Al-Shatibi wa Maqashid al-Syari’ah (Beirut: Dar Qutaybah,
1996),h. 135.

45
ketika memutuskan suatu perkara. Sebelum masa khalifah Umar bin Khattab
kaum muslimin yang mengikuti perang mendapat hak untuk memiliki hak
kepemilikan pada tanah dan segala sesuatu hasil rampasan perang. Namun, pada
saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah peraturan ini berubah. Tanah
yang telah ditaklukkakn oleh kaum muslimin hak miliknya tetap berada pada
pemiliknya dan mereka hanya perlu membayar pajak bumi yang disebut dengan
kharaj.

Kharaj adalah hak kaum muslimin atas tanah yang ditaklukkan dari kaum
kafir baik dengan jalan paksaan maupun jalan damai. Kharaj merupakan sejenis
pajak pada tanah yang ditaklukkan dengan jalan paksaan baik pemiliknya orang
dewasa, di bawah umur, orang merdeka, hamba sahaya, muslim maupun non
muslim. Harta rampasan perang pada zaman nabi Muhammad SAW. baik melalui
jalan damai maupun perang dibagikan kepada glongan yang terdapat dalam syrat
al-Anfal: 41

‫لرسو ِل َو ِلذِي ْالق ْربَى َو ْاليَتَا َمى‬ َ ‫سه َو ِل‬ َ ‫ّلل خم‬ ِ َ ِ ‫يءٍ فَأ َ َن‬ َ ‫غنِ ْمت ْم ِم ْن‬
ْ ‫ش‬ َ ‫َوا ْعلَموا أَنَ َما‬
ِ َ‫ع ْب ِدنَا َي ْو َم ْالف ْرق‬
‫ان َي ْو َم‬ َ ‫علَى‬ َ ‫اّلل َو َما أَ ْنزَ ْلنَا‬
ِ َ ‫س ِبي ِل ِإ ْن ك ْنت ْم آ َم ْنت ْم ِب‬
َ ‫ين َواب ِْن ال‬ َ ‫َو ْال َم‬
ِ ‫سا ِك‬
ٌ ‫يءٍ قَد‬
‫ِير‬ ْ ‫ش‬َ ‫علَى ك ِل‬ َ ‫َّللا‬ ِ َ‫ْالتَقَى ْال َج ْمع‬
َ ‫ان َو‬
Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman
kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami
(Muhammad di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah
maha kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Anfal/8: 41).72

Rasulullah membagi harta rampasan perang sesuai dengan ayat di atas.


Beliau mengambil bagian seperlima untuk nafkah dirinya dan keluarga. Lalu
sisanya dibagikan kepada orang miskin, ibnu sabil, kerabat, dan anak yatim. Pada
masa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bagian Rasulullah dan kerabatnya
tidak diberikan karena nabi Muhammad SAW. telah meninggal.73 Adapun
tentang harta rampasan perang Umar mengambil bagian seperlima dan
membagikan empat perlima kepada masing-masing tentara.

Adapun tentang tanah pertanian Umar berpendapat bahwa tanah tersebut


tidak dibagi-bagikan dan harus disita. Sikap Umar ini selaras dengan saran dari
Mu’adz bin Jabal yang tidak menghendaki pembagian tanah hasil ghanimah
karena jika membagi suatu tanah maka keseluruhan akan menjadi milik

72
Lajnah pentashih Mushaf al-Qur’an, “Qur’an Kemenag”, dalam https://quran .kemenag.go.id//
diakses 19 Juli 2023.
73
Muhammad Rawwa Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih: Umar Bin Khattab ra, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 85.

46
perseorangan saja. Tanah-tanah tersebut menjadi kepemilikan negara yang berada
di tangan pemilik yang terdahulu lalu mereka dikenakan pajak (kharaj). Hasil
pajak inilah yang digunakan untuk membayar gaji para tentara yang ditempatkan
di kamp pertahanan dan negeri yang dibebaskan. Dan sisa pajak ini dibagikan
kepada seluruh muslim.

Dasar dari pendapat Umar adalah negeri-negeri yang telah ditaklukkan


membutuhkan tentara untuk menjaga keamanan, dan tentu para tentara ini
memerlukan gaji. Jika tanah habis dibagi-bagikan bagaimana menggaji tentara?
Dan Allah tidak menyukai harta kekayaan hanya berpusat pada kaum kaya saja.
Apabila tanah-tanah pertanian di Irak, Mesir, Persia, dan Syiria hanya dibagikan
kepada beberapa ribu sahabat saja, maka harta kekayaan mereka semakin
menumpuk dan terjadi ketimpangan ekonomi.

b. Masa Tadwin

Pada abad 1 hingga abad 3 H ilmu maqashid belum menjadi fan ilmu
tersendiri. Namun, pada masa ini beberapa ulama sudah banyak yang
memcicarakan dan mempraktekkannya. Lalu pada abad 5 H mulai muncullah
karya yang membahas maqashid al-syari’ah. Berikut merupakan kitab-kitab yang
ditulis dalam fase ini diantaranya adalah sebagai berikut:74

1). Kitab al-Risalah karya imam Syafi’i (w. 204 h).

Imam Syafi’I (w. 204 H) pada mulanya memberi nama kitab al-Risalah
dengan nama al-Kitab. Namun, karena kitab ini merupakan hasil surat menyurat
natara Imam Syafi’i yang bermukim di Mesir dan Abd ar-Rahman bin Mahdi
yang tinggal di Iraq buku ini lalu diberi nama ar-Risalah yang berarti sepucuk
surat. Dalam kitab al-Risalah Imam Syafi’i memuat tentang al-Qur’an, bayan
sunnah tentang al-Qur’an, dan ijtihad yang diformulasikan dalam bentuk qiyas
dan istinbath hukum.75

2). Kitab al-Shalah wa Maqashiduha karya al-Tirmidzi al-Hakim (w. 320 H).

Imam al-Tirmidzi al-Hakim (w. 320 H) merupakan pelopor yang


menggunakan nama maqashid dalam judul kitab yaitu al-Shalah wa
Maqashiduha. Kitab ini memuat tentang rahasia spiritual dan hikmah dibalik
dzikir dan gerakan shalat.76

3). Kitab Ma’khaz al-Syara’i karya Abu Manshur al-Maturidy (w. 333 H).

74
Ahmad al-Raisuni, Nazariyyah al-Maqashid ‘Inda al-Imam al-Syatibi, (Herndon: Ma’had
al’alami li al-Fikr al-Islami, 1995), h. 40-68.
75
Abu Yasid, Logika Ushul Fiqih (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), h. 79-80.
76
Ahmad al-Raisuni, h. 40-41.

47
4). Kitab Mahasin al-Syari’ah karya Abu Bakr al-Qaffal al-Syasyi ( w.365
H).

5). Kitab Mas’alah al-Jawab wa al-Dala’il wa al-Illal karya Abu Bakr al-
Abhari (w. 375 H).

6). Kitab al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Tariq al-Ijtihad karya al-Baqilani


(w. 403 H).

7). Kitab al-Burhan fi Usul al-Fiqh karya Imam al-Juwaini (w. 478 H).

Imam al-Juwaini dalam kitab al-Burhan fi Usul al-Fiqh membagi maqashid


menjadi tiga tingkatan, yakni: al-Daruriyat, al-Hajiyat, dan al-Tahsiniyat. Al-
Daruriyat adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial
bagi kehidupan manusia. Adapun al-Hajiyat yaitu maslahat yang bersifat
sekunder, sedangkan al-Tahsiniyat yaitu maslahah yang merupakan tuntutan
moral dan untuk memelihara kebaikan dan kemuliaan.77

8). Kitab al-Mustasfa fi Usul al-Fiqh dan Syifa al-Galil fi Bayan al-Syabah
wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil karya Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).

Imam al-Ghazali mengembangkan pemikiran gurunya, yakni Imam al-


Juwaini. Al-Ghazali memaparkan bahwa tujuan inti dari maqashid adalah
maslahat, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan kemadaratan.
Maqashis al-syari’ah menurut al-Ghazali terdiri dari lima pokok cakupan
(al-kulliyah al-khams), yaitu hifzh al-din (menjaga agama), hifz al-Nafs
(menjaga jiwa), hifz al-nasl (menjaga keturunan), hifz al-mal (menjaga
harta), dan hifz al-aql (menjaga akal).78

9). Kitab al-Mahsul fi Ushul al-Fiqh karya Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H).

10). Kitab al-Ihkam fi Usul al-Ahkam karya Sayf al-Din al-Amidi (w. 631 H).

11). Kitab Muntaha al-Wushul wa al-Amal fi Ilmai al-Usul wa al-Jadal karya


Ibn al-Hajib (w. 646 H).

12). Kitab Minhaj al-Wushul fi ‘Ilm al-Usul karya al-Baidawi (w. 685 H).

77
Ahmad al-Raisuni, h. 47-51.
78
Ahmad al-Raisuni,h 51-56.

48
Imam al-Baidawi dalam kitab Minhaj al-Wushul fi ‘Ilm al-Usul
mengklasifikasikan maqashid menjadi dua yakni maqashid dunyawiyyah
(tujuan duniawi), dan maqashid ukhrawiyah (tujuan akhirat).79

13). Kitab Nihayah al-Sul fi Syarh Minhaj al-Wusul karya al-Isnawi (w. 772
H).
14). Kitab Jam’u al-Jawami’ karya Ibn al-Subki (w. 771 H)

Ibnu al-Subki dalam kitab Jam’u al-Jawami’ memaparkan bahwa al-


Daruriyat merupakan hifzh al-din (menjaga agama), hifz al-Nafs (menjaga
jiwa), hifz al-nasl (menjaga keturunan), hifz al-mal (menjaga harta), hifz al-
aql (menjaga akal) dan hifz al-ird. Al- Banani berpendapat bahwa
penggunaan wawu athaf antara tingkatan al-ird dan al-mal menunjukkan
adanya kesetaraan.80

15). Kitab Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam dan al-Fawa’id fi Ikhtisar


al-Maqashid karya ‘Izz al-Din bin ‘Abd al-Salam (w. 660 H).

Izzudin bin Abdussalam dalam kitab al-Fawa’id fi Ikhtisar al-Maqashid


menjelaskan bahwa pemikiran pokok dari maqashid syariah adalah dar'ul
maqashid dan jalb al-mashalih. Dia juga berpendapat bahwa: "hukum-hukum
taklif itu semua kembali kepada para hamba yaitu kemaslahatan di dunia dan
akhirat. Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari ibadah seorang
hamba, tidak bermanfaat baginya ketaatan hamba yang shalih, dan tidak
membahayakan pula baginya kemaksiatan pendosa.81
16). Kitab al-Furuq karya Syihab al-Din al-Qarafi (w. 685 H).

17). Kitab Majmu’ al-Fatawa karya Ibn Taimiyyah (w.768 H).

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menegaskan bahwa:" bahwa syariah datang


untuk memperbaiki maqashid dan menyempurnakannya serta mencegah dan
mengurangi kejahatan. Syari’ah itu mengutamakan kebaikan dari dua
kebaikan dan kejahatan dari dua kejahatan, dan maslahat yang terbesar itu
dicapai dari dua manfaat dengan menghilangkan yang lebih kecil dari
keduanya, dan menolak keburukan yang lebih besar dari dua keburukan
dengan kemungkinan yang lebih kecil dari keduanya.”82

18). Kitab I’lam al-Muwaqqi’in karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H).

79
Ahmad al-Raisuni, h. 60.
80
Ahmad al-Raisuni, h. 62-63.
81
Ahmad al-Raisuni, h. 65-67.

82
Ahmad al-Raisuni, h. 78

49
19). Kitab al-Zari’ah Ila Ma’rifah Asrar al-Syari’ah karya Najmuddin al-
Tufi (w. 716 H).
20). Kitab al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah karya al-Syatibi (w. 790 H).

Al Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat mengklasifikasikan maqashid menjadi


dua macam, yaitu qashd al-syar'i dan qashd al-mukallaf. Kitab al Syatibi menjadi
buku teks standar tentang maqashid al-syari’ah dalam keilmuan Islam sampai
abad ke-20, tapi proposal miliknya yang mengkaji maqashid sebagai 'dasar-dasar
syariah,' sebagai judul bukunya tidak diterima secara luas.83 Al-Shatibi
menggunakan, kurang lebih, terminologi yang sama dengan al-Juwayni dan al-
Ghazali berkembang. Namun, saya berpendapat bahwa dalam bukunya al-
Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah (Kesesuaian dalam Dasar-Dasar Yang
Diwahyukan Law), al-Shatibi mengembangkan teori al-maqashid sebagai tiga
cara substansial berikut:

(i) Perubahan maqashid dari maslahah mursalah menjadi dasar-dasar hukum.. Al-
Syatibi menganggap maqashid sebagai dasar-dasar agama, aturan dasar hukum,
dan keyakinan universal.
(ii) Perubahan maqashid dari ‘hikmah di balik hukum’ menjadi ‘dasar-dasar
hukum.’ Berdasarkan tentang fundamentalitas dan universalitas maqashid , al-
Syatibi menilai bahwa hukum 'universal (al-kulliyyah) tidak dapat
dikesampingkan oleh hukum-hukum yang parsial (al-juz’iyyat).’ Hal ini cukup
menyimpang dari fundamental tradisional, bahkan dalam mazhab Maliki, yang
selalu mengutamakan hukum parsial yaitu’dalil-dalil spesifik atas dalil-dalil
‘umum’ atau universal.
(iii) Perubahan maqashid dari yang awalnya sebuah 'ketidakpastian' (zanniyyah)
menjadi 'kepastian' (qathiyyah).
Al-Syatibi dijuluki sebagai bapak maqashid al-syari’ah berkat pemikirannya
tersebut.
c. Masa Tajdid

Masa tajdid adalah masa dimana ilmu maqashid al-syari’ah sudah menjadi
sebuah fan ilmu tersendiri. Pada masa tadwin maqashid masih bersifat penjagaan
(hifdz), dan pada saat masa tajdid maqashid perubah menjadi sebuah
perkembangan (tathawwur). Kitab-kitab yang dihasilkan pada masa ini adalah
sebagai berikut:

1. Kitab Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah karya Muhaammad Thahir Ibnu


Asyur

83
Jasser Auda, Maqashid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law a System approach, h. 21.

50
Ibnu Asyur merupakan ulama alumni universitas Zaituniah sekaligus
pemimpin mufti di Tunisia. Ilmu maqashid syari’ah mengalami masa stagnansi
sejak al-Syatibi wafat yakni pada abad ke-8 H hingga abad ke-15 H. Kemudian
muncul Ibnu Asyur yang dijuluki sebagai bapak maqashid modern.Ibnu Asyur
mengklasifikasikan maqashid menjadi dua bagian yaitu maqashid ‘amm (umum)
dan maqashid khash (khusus). Ibnu Asyur menambahkan beberapa nilai universal
yang harus memprioritaskan kemaslahatan individu dan sosial. Diantaranya
adalah fitrah (naturalis), samahah (toleran), musawah (egalitarianism), taisir
(kemurahan), dan hurriyah (nilai kebebasan).84

2. Kitab Maqashid Syari’ah wa Makarimuha karya Muhammad ‘Alal al-Fasi

Muhammad ‘Alal al-Fasi adalah alumnus universitas al-Kairouyien dan ulama


kontomporer asal Maroko. Alal al-Fasi dalam kitab Maqashid Syari’ah wa
Makarimuha membahas Maqashid al-Syari’ah secara komprehensif. Kitab ini
memuat tentang teori ijtihad dalam lintas sejarah, dasar-dasar landasan syari’ah,
hingga syari’at-syari’at yang terdahulu sebelum Islam. Ciri khas dari pemikiran
Alal al-Fasi adalah menjadikan akhlak yang terpuji sebagai tolak ukur
kemaslahatan umat dan tujuan syari’ah.85

3. Kitab Nazariyyah al-Maqashid Inda Imam al-Syatibi karya Ahmad al-


Raisuni

Ahmad al-Raisuni adalah seorang pakar maqashid syari’ah pada akhir


abad 20 dan guru besar ushul fiqih di universitas Muhammad v Rabat Maroko.
Kitab Nazariyyah al-Maqashid Inda Imam al-Syatibi dalah hasil dari disertasi
doctoral al-Raisuni yang tertarik dengan pemikiran dari al-Syatibi. Kitab
Nazariyyah al-Maqashid Inda Imam al-Syatibi memuat tentang maqashid al-
syari’ah secara komprehensif. Kitab ini berisi tentang sejarah, pemikiran, dan
sumber-sumber penemuan maqashid syari’ah. Al-Raisuni juga menuliskan
tentang tokoh kajian maqashid di masa klasik.86

4. Kitab Fiqh al-Maqashid Inatat al-Ahkam bi Maqasidiha karya Jasser


Auda

Jasser Auda adalah seorang pendiri Maqasid Research Center dan Filsafat
Hukum Islam di London. Pemikiran Jasser Auda banyak terinspirasi dari
pemikiran Ibnu Asyur. Jasser Auda mengembangkan enam fitur pendekatan
system, yaitu beriorientasi pada tujuan, keterbukaan, keutuhan, keterkaitan,
kognitif, dan multidimensi.87

84
Muhammad Tahir Ibnu Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, h. 176.
85
M. Coirun Nizar, “Literatur Kajian Maqahid Syari’ah,”Ulul Albab, no.35 Agustus,2016, h. 62.
86
M. Coirun Nizar, h. 63.
87
Jasser Auda, Maqashid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law a System approach, h. 45-51.

51
5. Kitab al-Syatibi wa Maqashid al-Syari’ah karya Dr. Hammadi al-Ubaidi

Dr. Hammadi al-Ubaidi dalam kitab al-Syatibi wa Maqashid al-Syari’ah


membahas tentang pemikiran al-Syatibi. Kitab ini membahas secara komprehensif
maqashid syari’ah. Kitab ini juga banyak membahas tentang definisi maqashid
al-syariah, tujuan, korelasi dengan ushul fikih, dan ta’lil ahkam. Selain itu, dalam
kitab ini juga menuliskan biografi imam al-Syatibi secara lengkap.88

Selain para ulama yang telah disebutkan diatas masih banyak ulama-ulama
lain yang turut serta dalam perkembangan maqashid syari’ah. Salah satunya yakni
Nuruddin al-Khadimi dengan karyanya al-Ijtihad al-Maqashidi yang menawarkan
metode baru dalam berijtihad yaitu dengan berorientasi pada maqashid al-syari’ah
untuk memecahkan problem yang bersifat kontemporer. Tujuannya adalah agar
syari’at Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman.89 Kemudian dr.
Abdullah Ibnu Bayyah dengan kitabnya ‘Alaqah maqashid Syari’ah bi Ushul al-
Fiqh yang memuat secara komprehensif tentang hubungan ilmu maqashid syari’ah
dengan ilmu ushul fikih. Terdapat pula keterangan tentang pendapat para Imam
Madzhab tentang maqashid dalam kitab ini.90

Perkembangan kajian maqashid al-syari’ah juga terjadi di Negara Barat.


Prof. Dr. Mohammad Kamal Imam menulis sebuah kitab yang berjudul Ad-Dalil
al-Irsyadi ila Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah yang diterbitkan di London.
Perkembangan maqashid syariah di Indonesia telah mengalami progres yang
signifikan dalam beberapa bidang selama beberapa dekade terakhir. Maqashid
syariah adalah konsep hukum Islam yang berfokus pada pemenuhan tujuan-tujuan
Islam yang lebih besar, seperti menjaga agama, jiwa, kehormatan, akal, dan harta.

Di Indonesia, ada beberapa faktor yang telah berperan dalam


meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap maqashid syariah. Salah
satunya adalah adanya institusi-institusi pendidikan yang mengkaji dan
menjalankan maqashid syariah, seperti perguruan tinggi dan lembaga pendidikan
Islam. Banyak mahasiswa dan akademisi yang tertarik untuk mempelajari dan
mengembangkan konsep ini dalam konteks Indonesia.

Di Indonesia terdapat seoang pakar maqashid al-syari’ah yang merupakan


guru besar tafsir di Universitas Sunan Kalijaga yakni Prof Abdul Mustaqim yang
menambahkan dua poin dalam dalam maqashid al-syari’ah yakni hifz al-daulah
(menjaga Negara) dan hifz al-bi’ah (menjaga lingkungan). Abdul Mustaqim
menjeaskan bahwa seorang hamba dapat menjalankan ibadah jika negaranya

88
M. Coirun Nizar, h. 65.
89
M. Coirun Nizar, h. 64.
90
M. Coirun Nizar, h. 66.

52
dalam kondisi aman, tidak terjadi konflik. 91 Selain itu juga di Indonesia terdapat
buku penafsiran suatu surat dengan metode tafsir maqashidi. Misalnya buku karya
Dr. Andi Rahman yang berjudul tafsir maqashidi surat yasin. Dalam buku ini
menjelaskan tentang pentingnya amal jariyah sebagai bekal untuk mendapatkan
kebahagiaan di akhirat.92

Pemerintah Indonesia juga telah memberikan perhatian terhadap


perkembangan maqashid syariah. Mereka telah mendorong pembentukan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Arab dan Bahasa Asing Indonesia
(BPPBABI) yang bertujuan untuk mengembangkan terminologi yang berkaitan
dengan maqashid syariah. Selain itu, Badan Wakaf Indonesia juga didirikan untuk
mendorong pengembangan wakaf yang berlandaskan pada maqashid syariah.
Perkembangan maqashid syariah di Indonesia juga didukung oleh lembaga
penelitian dan pemikiran Islam yang aktif mengkaji, mempublikasikan, dan
menyebarkan konsep ini. Penerbitan buku dan jurnal yang berfokus pada
maqashid syariah juga semakin meningkat, sehingga memperluas wawasan dan
pemahaman masyarakat terhadap konsep ini. Meski demikian, masih terdapat
tantangan dalam pengembangan maqashid syariah di Indonesia. Di antaranya
adalah perbedaan interpretasi dan pemahaman, adanya pembingkaian politis, serta
kebutuhan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang
maqashid syariah.

Setelah membahas tentang sejarah perkembangan maqashid al-syari’ah


dari awal terbentuk hingga masa sekarang, dapat diketahui bahwa maqashid al-
syari’ah telah mengalami perubahan yang cukup besar. Dari yang mulanya hanya
sebuah bagian kecil dari ilmu ushul fiqh hingga sekarang menjadi sebuah disiplin
ilmu sendiri. maqashid al-syari’ah juga mengalami perkembangan dari maqashid
al-syari’ah klasik ke maqashid al-syari’ah kontemporer.

B. Tafsir Maqashidi

1. Pengertian Tafsir Maqashidi

Tafsir maqashidi terdiri dari dua kata yang digabungkan menjadi satu,
yakni tafsir dan maqashidi. Lafadz tafsir merupakan masdar dari fi'il (kata kerja)
fassara-yufassiru-tafsiran) yang berarti mengungkap, menjelaskan, dan
menampakkan makna yang logis. Adapun tafsir secara terminologi memiliki
beberapa pengertian. Dalam kitab al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an al-Zarkasyi
mendefinisikan tafsir adalah sebuah ilmu untuk memahami al-Qur'an yang

91
Abdul Mustaqim, “Kuliah Online Tafsir Maqasidi Pertemuan 3-Aspek Maqashid, Tingkatan dan
Nilai Fundamental Maqashid, “LSQ TV, Diunggah pada 1 Oktober 2020, Video Youtube,
1:03;53, https://youtu.be/gokJqXTn-RA.
92
Andi Rahman, Tafsir Maqashid Surah Yasin, (Ciputat: Yayasan Wakaf DarusSunnah,2019), h.
25.

53
diwahyukan pada Rasulullah SAW. untuk menjelaskan hikmah, hukum, dan
makan yang terkandung di dalamnya dengan menguasai ilmu asbab al-nuzul,
nasikh mansukh, munasabah ayat, ilmu bahasa, ilmu balaghah, ilmu bayan, ilmu
qira'at, Nahwu, tashrif, ushul fikih dan lain-lain. Lafadz maqashidi adalah kata
maqashid yang ditambah dengan huruf ya' nisbah. Maqashid adalah jamak dari
kata maqsad yang berarti niat, prinsip, sasaran, dan tujuan.

Ulama' tafsir telah memberikan beberapa definisi dan gagasan tentang


tafsir maqashidi. Diantara pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Imam al-Syatibi (M. 1388 M)

Menurut imam al-Syatibi, tafsir maqashidi adalah tafsir yang menekankan


pada pemahaman tujuan dan dibalik hukum syari'at. Tujuan utama syari'at adalah
untuk memelihara darurat al-khams yaitu menjaga agama, akal, jiwa, keturunan,
dan harta.

2. Imam al-Razi (M. 1209 M)

Menurut imam al-Razi tafsir maqashidi adalah tafsir yang membahas


tujuan dibalik ayat-ayat al-Qur'an. Al-Razi juga berpendapat bahwa tujuan pokok
ayat al-Qur'an adalah mengesakan Allah, hukum syari'at, dan keadaan hari
akhirat.

3. Wasfi Asyur Abu Zaid

Menurut Wasfu Asyur Abu Zayd tafsir maqashidi merupakan salah satu
corak tafsir yang bertujuan menyingkap makna-makna logis dan tujuan yang
terdapat dalam al-Qur'an, baik yang berupa umum maupun khusus. Adapun
tujuannya adalah kemaslahatan umat.

4. Abdul Mustaqim mendefinisikan tafsir maqashidi sebagai sebuah model


pendekatan yang menekankan pada bidang maqashid al-Qur'an dan maqashid al-
syari'ah.

Pentingnya tafsir maqashidi dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an tidak


hanya terbatas pada ayat-ayat hukum. Tetapi juga dapat diterapkan pada ayat-ayat
teologis, sosial, kisah, amtsal, dan eskatologis. Sebagai contoh dalam tafsir ayat
kisah, tafsir maqashidi berusaha untuk mengungkapkan tujuan utama dari setiap
kisah tersebut. Secara ontologis gagasan tafsir maqashidi dapat dibagi menjadi
tiga kategori yaitu tafsir maqashidi sebagai filsafat tafsir, metodologi dan produk

54
tafsir. Sebagai filsafat tafsir, tafsir maqashidi menggunakan nilai-nilai maqashid
sebagai dasar filosofi dan semangat dalam proses penulisan al-Qur'an.

Hal ini tidak hanya memberikan semangat baru dalam produk penafsiran
al-Qur'an, tetapi juga dalam proses penafsiran itu sendiri. Sebagai metodologi
tafsir maqashidi mendorong perlunya merekonstruksi dan mengembangkan
penafsiran al-Qur'an berdasarkan teori maqashid, sedangkan sebagai produk tafsir,
tafsir maqashidi berfokus pada pembahasan tentang maqashid dari setiap ayat
alquran yang ditafsirkan.

Al-Qur'an merupakan kitab yang shalih li kulli zaman wa makan.


Maksudnya al-Qur'an adalah kitab suci yang sesuai petunjuknya dengan setiap
waktu dan tempat. Hal ini menjadikan para ahli tafsir untuk meneliti penafsiran al-
Qur'an secara lebih mendalam dan terus menerus untuk merespons problematika
kehidupan yang semakin kompleks seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini
terjadi karena pada suatu masalah belum ada di masa lalu dan di masa kini terjadi
serta membutuhkan jawaban.

Adapun penggunaan istilah maqashid dalam tafsir mungkin terjadi karena


tidak adanya perbedaan antara penafsiran maupun maqashid al-Qur'an. Ia
memiliki tujuan yang sama dan ruang lingkup yang sama. Otentisitas konsep
maqashid yang dapat mempertahankan makna Islam bagi masyarakat juga
merupakan ideal dalam penafsiran al-Qur'an. Maqashid al-syari'ah meliputi
wilayah hermeneutika fikih untuk memahami pesan Tuhan digunakan untuk
kemaslahatan manusia dan alam semesta. Prinsip dasarnya adalah memelihara
pesan universal al-Qur'an, agar selalu dapat menjawab permasalahan dan
perbedaan yang dihadapi orang. Sedangkan tafsir al-Qur'an juga adalah perangkat
metodis untuk mengungkapkan pesan al-Qur'an sebagai pedoman bagi manusia.

2. Sejarah Tafsir Maqashidi

Sejarah tafsir maqashidi tidak dapat terlepas dari sejarah perkembangan


tafsir itu sendiri. Dengan kata lain sekalipun munculnya tafsir maqashidi baru
muncul kemudian, tetapi benih dari aplikasi maqashid al-syari'ah sebagai pola
penafsiran terjadi pada masa awal tafsir. Zinal Hamam dan Halil Thahir
menelusuri sejarah penafsiran maqashidi ini dari tahap awal perkembangan
penafsiran al-Qur'an hingga periode tajdid.

Halil Thahir mengutip dari al-Dzahabi menuliskan bahwa sejarah


penafsiran al-Qur'an dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode nabi Muhammad
dan para sahabat (marhalah ta'sis), periode tabi'in (marhalah ta'shil), dan periode
tadwin (marhalah tadwin). Sholeh Abdul Fatah juga menambahkan satu periode
lagi yaitu periode keempat, periode tajdid.

55
Bukti adanya penerapan kemaslahatan dalam penafsiran telah terjadi pada
masa awal, yaitu keputusan yang berasal dari Abu Bakar terkait pengumpulan
mushaf al-Qur'an. Serta fatwa-fatwa Umar bin Khattab. Contoh fatwa Umar yang
dinilai lebih maslahat adalah talak tiga dalam satu majlis dianggap sebagai talak
tiga, dengan pertimbangan urf demi kemaslahatan.

Penggunaan istilah maqashid sebagai salah satu teori hukum Islam


pertama kali diperkenalkan oleh imam al-Haramain al-Juwainy dan kemudian
dikembangkan oleh muridnya al-Ghazali. Izzudin bin Abdus Salam dari kalangan
Syafi'iyah adalah ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus
membahas maqashid syari'ah. Pembahasan tentang maqashid syari'ah secara
sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah dalam
kitabnya, al-Muwafaqat. Selanjutnya maqashid al-syari'ah menjadi matang dan
menjadi disiplin ilmu yang mandiri melalui karya Ibnu Asyur. Melalui rangkaian
sejarah ini, konsep tafsir maqashidi kemudian dirumuskan sebagai istilah
keilmuan yang mandiri oleh para ulama-ulama kontemporer dan memiliki potensi
besar untuk menjadi tafsir yang paling dinamis dibawah lainnya.

3. Prinsip-Prinsip Tafsir Maqashidi

Tafsir Maqashidi disebut bapak dari semua tafsir yang ada berpendapat
bahwa setiap tafsir harus memiliki ruh maqashidi. Terlepas dari metode dan
pendekatan yang digunakan dalam interpretasi Al-Qur'an harus menjelaskan
tujuan yang diinginkan dan niat Allah dalam bukunya. Ini menunjukkan betapa
pentingnya interpretasi dan maqashidi pemahaman Alquran dalam interaksi
Alquran. Untuk memastikan tafsir maqashidi tidak beralih ke arah mazhab yang
ekstrem, perlu diterapkan prinsip-prinsip khusus baik secara teori maupun praktis.
Prinsip-prinsip tafsir maqashidi yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

a. Menentukan maqashid dari proses yang benar. Ibnu Asyur mengusulkan


langkah-langkah berikut untuk menentukan maqashid melakukan observasi
induktif atau istiqra' dengan mempelajari syari'at dari semua aspek, menemukan
dalil-dalil sunnah yang mutawatir.

b. Memenuhi syarat mufassir maqashidi. Syarat-syarat ini meliputi


kemampuan bahasa Arab, penghayatan al-Qur'an, pengamalan dan penyampaian
al-Qur'an, serta menjadikan al-Qur'an sebagai sumber inspirasi dalam
memecahkan masalah umat.

c. Mengutamakan maqashid tekstual dan asli dari al-Qur'an. Hal ini


dilakukan ketika terjadi pertentangan antara maqashid tekstual dan maqashid lain.

d. Memprioritaskan maqashid umum dari al-Qur'an dibandingkan dengan


maqashid lain dalam proses tafsir maqashidi.

56
e. Membuktikan konsisten antara kalimat, ayat, surah, dan ayat secara
keseluruhan.

B. Tafsir Maqashidi

1. Pengertian Tafsir Maqashidi

Tafsir maqashidi terdiri dari dua kata yang digabungkan menjadi satu,
yakni tafsir dan maqashidi. Lafadz tafsir merupakan masdar dari fi'il (kata kerja)
fassara-yufassiru-tafsiran) yang berarti mengungkap, menjelaskan, dan
menampakkan makna yang logis.93 Adapun tafsir secara terminologi memiliki
beberapa pengertian. Dalam kitab al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an al-Zarkasyi
mendefinisikan tafsir adalah sebuah ilmu untuk memahami al-Qur'an yang
diwahyukan pada Rasulullah SAW. untuk menjelaskan hikmah, hukum, dan
makan yang terkandung di dalamnya dengan menguasai ilmu asbab al-nuzul,
nasikh mansukh, munasabah ayat, ilmu bahasa, ilmu balaghah, ilmu bayan, ilmu
qira'at, Nahwu, tashrif, ushul fikih dan lain-lain.94 Lafadz maqashidi adalah kata
maqashid yang ditambah dengan huruf ya' nisbah. Maqashid adalah jamak dari
kata maqsad yang berarti niat, prinsip, sasaran, dan tujuan.95

Ulama' tafsir telah memberikan beberapa definisi dan gagasan tentang


tafsir maqashidi. Diantara pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Imam al-Syatibi (M. 1388 M)

Menurut imam al-Syatibi, tafsir maqashidi adalah tafsir yang menekankan pada
pemahaman tujuan dan dibalik hukum syari'at. Tujuan utama syari'at adalah untuk
memelihara darurat al-khams yaitu menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan
harta.96

2. Imam al-Razi (M. 1209 M)

93
Manna' al-Qaththan, Dasar-Dasar Ilmu al-Qur'an, ed. Umar Mujtahid (Jakarta: Ulumul Qur'an,
2018), h. 499.
94
Badr al-Din, Muhammad al-Zarkasyi, al-Burhan fi 'ulum al-Qur'an, Juz 1 (Beirut: Dar al-
Ma'rifah, 1957), h. 15.
95
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqashid Syari'ah, Terj. Rosidin dan Ali Abd
Mun'im (Bandung, Mizan, 2015), h. 32.
96
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi usul al-syari'ah, jilid 1,vol II, (al-Mamlakah al-'Arabiyah
al-Su'udiyah: Wizarah al-Shu'un al-Islamiyah wa al-Awqaf wa al-Da'wah wa al-Irsyad), h. 8.

57
Menurut imam al-Razi tafsir maqashidi adalah tafsir yang membahas tujuan
dibalik ayat-ayat al-Qur'an. Al-Razi juga berpendapat bahwa tujuan pokok ayat al-
Qur'an adalah mengesakan Allah, hukum syari'at, dan keadaan hari akhirat.97

3. Wasfi Asyur Abu Zaid

Menurut Wasfu Asyur Abu Zayd tafsir maqashidi merupakan salah satu corak
tafsir yang bertujuan menyingkap makna-makna logis dan tujuan yang terdapat
dalam al-Qur'an, baik yang berupa umum maupun khusus. Adapun tujuannya
adalah kemaslahatan umat.98

4. Abdul Mustaqim mendefinisikan tafsir maqashidi sebagai sebuah model


pendekatan yang menekankan pada bidang maqashid al-Qur'an dan maqashid al-
syari'ah.99

Pentingnya tafsir maqashidi dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an tidak


hanya terbatas pada ayat-ayat hukum. Tetapi juga dapat diterapkan pada ayat-ayat
teologis, sosial, kisah, amtsal, dan eskatologis. Sebagai contoh dalam tafsir ayat
kisah, tafsir maqashidi berusaha untuk mengungkapkan tujuan utama dari setiap
kisah tersebut.100 Secara ontologis gagasan tafsir maqashidi dapat dibagi menjadi
tiga kategori yaitu tafsir maqashidi sebagai filsafat tafsir, metodologi dan produk
tafsir. Sebagai filsafat tafsir, tafsir maqashidi menggunakan nilai-nilai maqashid
sebagai dasar filosofi dan semangat dalam proses penulisan al-Qur'an.101

Hal ini tidak hanya memberikan semangat baru dalam produk penafsiran
al-Qur'an, tetapi juga dalam proses penafsiran itu sendiri. Sebagai metodologi
tafsir maqashidi mendorong perlunya merekonstruksi dan mengembangkan
penafsiran al-Qur'an berdasarkan teori maqashid, sedangkan sebagai produk tafsir,

97
Muhammad Anas, Studi Komparatif Maqashid al-Qur'an, Abu Hamid Muhammad Ibn Hamid
al-Ghazali dan Rasyid Rida, (skripsi universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 1
98
Wasfi Asyur Abu Zayd, Metode Tafsir Maqashidi Memahami Pendekatan Baru Penafsiran Al-
Qur'an, terj. Ulya Fikriyati, (Jakarta: PT Qaf Media Kreatif, 2020), h. 20.
99
Abdul Mustaqim, Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi sebagai Moderasi Islam dalam
Pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar, (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2019), h 12-13.
100
Abdul Mustaqim,h. 11-13
101
Abdul Mustaqim,h.6

58
tafsir maqashidi berfokus pada pembahasan tentang maqashid dari setiap ayat
alquran yang ditafsirkan.102

Al-Qur'an merupakan kitab yang shalih li kulli zaman wa makan.


Maksudnya al-Qur'an adalah kitab suci yang sesuai petunjuknya dengan setiap
waktu dan tempat. Hal ini menjadikan para ahli tafsir untuk meneliti penafsiran al-
Qur'an secara lebih mendalam dan terus menerus untuk merespons problematika
kehidupan yang semakin kompleks seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini
terjadi karena pada suatu masalah belum ada di masa lalu dan di masa kini terjadi
serta membutuhkan jawaban.

Adapun penggunaan istilah maqashid dalam tafsir mungkin terjadi karena


tidak adanya perbedaan antara penafsiran maupun maqashid al-Qur'an. Ia
memiliki tujuan yang sama dan ruang lingkup yang sama. Otentisitas konsep
maqashid yang dapat mempertahankan makna Islam bagi masyarakat juga
merupakan ideal dalam penafsiran al-Qur'an. Maqashid al-syari'ah meliputi
wilayah hermeneutika fikih untuk memahami pesan Tuhan digunakan untuk
kemaslahatan manusia dan alam semesta. Prinsip dasarnya adalah memelihara
pesan universal al-Qur'an, agar selalu dapat menjawab permasalahan dan
perbedaan yang dihadapi orang. Sedangkan tafsir al-Qur'an juga adalah perangkat
metodis untuk mengungkapkan pesan al-Qur'an sebagai pedoman bagi manusia.103

2. Sejarah Tafsir Maqashidi

Sejarah tafsir maqashidi tidak dapat terlepas dari sejarah perkembangan


tafsir itu sendiri. Dengan kata lain sekalipun munculnya tafsir maqashidi baru
muncul kemudian, tetapi benih dari aplikasi maqashid al-syari'ah sebagai pola
penafsiran terjadi pada masa awal tafsir. Zinal Hamam dan Halil Thahir
menelusuri sejarah penafsiran maqashidi ini dari tahap awal perkembangan
penafsiran al-Qur'an hingga periode tajdid.104

102
Abdul Mustaqim, h. 33-41
103
Kusmana, "Epistemologi Tafsir Maqashidi",( Mutawatir 6, no. 2 Desember 2016), h. 208.
104
Zaenal Hamam dan A. Halil Thahir, "Menakar Sejarah Tafsir Maqashidi", QOF 2, no. 1, (22
Januari 2018), hlm 7.

59
Halil Thahir mengutip dari al-Dzahabi menuliskan bahwa sejarah
penafsiran al-Qur'an dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode nabi Muhammad
dan para sahabat (marhalah ta'sis), periode tabi'in (marhalah ta'shil), dan periode
tadwin (marhalah tadwin). Sholeh Abdul Fatah juga menambahkan satu periode
lagi yaitu periode keempat, periode tajdid.105

Bukti adanya penerapan kemaslahatan dalam penafsiran telah terjadi pada


masa awal, yaitu keputusan yang berasal dari Abu Bakar terkait pengumpulan
mushaf al-Qur'an. Serta fatwa-fatwa Umar bin Khattab. Contoh fatwa Umar yang
dinilai lebih maslahat adalah talak tiga dalam satu majlis dianggap sebagai talak
tiga, dengan pertimbangan urf demi kemaslahatan.106

Penggunaan istilah maqashid sebagai salah satu teori hukum Islam


pertama kali diperkenalkan oleh imam al-Haramain al-Juwainy dan kemudian
dikembangkan oleh muridnya al-Ghazali. Izzudin bin Abdus Salam dari kalangan
Syafi'iyah adalah ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus
membahas maqashid syari'ah. Pembahasan tentang maqashid syari'ah secara
sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah dalam
kitabnya, al-Muwafaqat. Selanjutnya maqashid al-syari'ah menjadi matang dan
menjadi disiplin ilmu yang mandiri melalui karya Ibnu Asyur. 107 Melalui
rangkaian sejarah ini, konsep tafsir maqashidi kemudian dirumuskan sebagai
istilah keilmuan yang mandiri oleh para ulama-ulama kontemporer dan memiliki
potensi besar untuk menjadi tafsir yang paling dinamis dibawah lainnya.

3. Prinsip-Prinsip Tafsir Maqashidi

Tafsir Maqashidi disebut bapak dari semua tafsir yang ada berpendapat
bahwa setiap tafsir harus memiliki ruh maqashidi. Terlepas dari metode dan
pendekatan yang digunakan dalam interpretasi Al-Qur'an harus menjelaskan
tujuan yang diinginkan dan niat Allah dalam bukunya. Ini menunjukkan betapa
pentingnya interpretasi dan maqashidi pemahaman Alquran dalam interaksi
Alquran. Untuk memastikan tafsir maqashidi tidak beralih ke arah mazhab yang

105
Zaenal Hamam dan A. Thahir, h. 2.
106
14. Zaenal Hamam dan A. Thahir, h. 12.
107
Zaenal Hamam dan A. Thahir, h. 12.

60
ekstrem, perlu diterapkan prinsip-prinsip khusus baik secara teori maupun praktis.
Prinsip-prinsip tafsir maqashidi yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
108

a. Menentukan maqashid dari proses yang benar. Ibnu Asyur mengusulkan


langkah-langkah berikut untuk menentukan maqashid melakukan observasi
induktif atau istiqra' dengan mempelajari syari'at dari semua aspek, menemukan
dalil-dalil sunnah yang mutawatir.

b. Memenuhi syarat mufassir maqashidi. Syarat-syarat ini meliputi kemampuan


bahasa Arab, penghayatan al-Qur'an, pengamalan dan penyampaian al-Qur'an,
serta menjadikan al-Qur'an sebagai sumber inspirasi dalam memecahkan masalah
umat.109

c. Mengutamakan maqashid tekstual dan asli dari al-Qur'an. Hal ini dilakukan
ketika terjadi pertentangan antara maqashid tekstual dan maqashid lain.

d. Memprioritaskan maqashid umum dari al-Qur'an dibandingkan dengan


maqashid lain dalam proses tafsir maqashidi.

e. Membuktikan konsisten antara kalimat, ayat, surah, dan ayat secara


keseluruhan.110

108
Zayd, Metode Tafsir Maqashidi Memahami Pendekatan Baru Penafsiran al-Qur'an, terj. Ulya
Fikriyati, h. 133-158.
109
Zayd, h. 111-132.
110
Abdul Mustaqim, Argumentasi keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Moderasi
Islam dalam Pidato Pengukuhannya Sebagai Guru besar, (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2019),
6-7.

61

Anda mungkin juga menyukai