Anda di halaman 1dari 7

Perempuan dalam Pusaran Terorisme

 5 April 2021 aksi bom bunuh diri, aksi penembakan, Deradikalisasi, Radikalisme, Terorisme

Penulis: Arini Retnaningsih

MuslimahNews.com, FOKUS — Keterlibatan perempuan dalam kasus


pengeboman gereja di Makassar serta penembakan di Mabes Polri,
mengundang perhatian dari banyak pihak, termasuk dari para aktivis
perempuan. Memang mengundang tanya, bagaimana perempuan yang
dikenal dengan kelembutan hatinya, tega untuk membunuh orang lain?
Ada apa di balik fenomena ini?

Mengapa Melibatkan Perempuan?


Para pakar terorisme memberikan bermacam-macam analisis terkait
fenomena perempuan sebagai pelaku teror. Ada yang mengatakan 1S1S
mulai mengalami krisis maskulinitas, sehingga menurunkan perempuan
kombatan[1]. Ada juga yang melihat hal ini merupakan buah radikalisasi
perempuan yang membuat mereka ingin masuk surga bersama keluarga
sebagai syuhada.[2]
Namun, kalau kita analisis secara mendalam, terorisme ini merupakan
suatu rekayasa untuk memojokkan Islam. Pelibatan perempuan dalam
berbagai aksi teror hakikatnya merupakan salah satu bentuk upaya
kriminalisasi yang bertujuan untuk menciptakan teror yang lebih kuat.
Sebab, perempuan yang dikenal sebagai pihak yang lemah, telah berani
untuk melakukan pengeboman.

Efeknya adalah munculnya ketakutan secara menyeluruh terhadap kaum


muslimin, bukan hanya laki-lakinya saja, tetapi juga perempuan, karena
sama-sama berjiwa “teroris”. Inilah yang diinginkan siapa pun yang
berada di balik layar skenario pengeboman ini.

Islam Tak Pernah Mengajarkan Terorisme


Bila radikalisme diidentikkan dengan bom bunuh diri, aksi teror, dan
kekerasan di tengah massa, maka radikalisme yang seperti ini layak untuk
ditinggalkan. Pasalnya, ajaran Islam tentang jihad yang dianggap sebagai
pemicu munculnya aksi radikalisme, jauh dari gambaran tersebut.

Jihad dalam ajaran Islam memiliki makna syara’, yakni pengerahan


seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik
dengan jiwa, harta, lisan, ataupun yang lainnya (Al Kasani dalam
kitab Bada’i as-Shana’i).
Jihad dilakukan dalam rangka menjaga wilayah dan kehormatan kaum
muslimin serta untuk menghilangkan hambatan dakwah dalam
menerapkan sistem Islam.Saat ini, yang bisa dilakukan adalah jihad
defensif, yakni mempertahankan diri seperti jihadnya warga Palestina
menentang pendudukan Israel atas tanah mereka. Sedangkan jihad dalam
meninggikan kalimat Allah tidak bisa dijalankan tanpa adanya penguasa
yang menerapkan hukum Islam.

Ini seperti apa yang telah dicontohkan Rasulullah saw sepanjang sejarah
kenabiannya. Beliau tidak pernah melakukan upaya mengambil kekuasaan
dengan jalan kekerasan.

Beliau hanya mendatangi kabilah-kabilah, mendakwahi mereka dan


meminta mereka untuk memberikan nushrah (pertolongan) kepada kaum
muslimin. Hal tersebut terus berlangsung sampai kemudian kabilah Aus
dan Khazraj dari Yatsrib memberikan nushrah dan menyerahkan
kekuasaan kepada beliau.
Setelah itulah, dalam posisi beliau sebagai kepala negara, beliau
memimpin umat untuk melakukan jihad terhadap kaum yang memusuhi
Islam, serta yang menolak dakwah dan penerapan hukumnya.Namun,
perlu dicatat bahwa jihad memiliki adab yang mulia, seperti tidak boleh
membunuh perempuan  anak-anak, orang tua, dan para pemuka agama.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Aku mendapati seorang


wanita yang terbunuh dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah
saw. Kemudian beliau melarang membunuh kaum wanita dan anak-
anak dalam peperangan.” (HR Bukhari [3015] dan Muslim [1744]).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Berperanglah dengan menyebut nama
Allah dan di jalan Allah. Perangilah mereka yang kufur kepada
Allah. Berperanglah, jangan kalian berlebihan (dalam membunuh).
Jangan kalian lari dari medan perang, jangan kalian memutilasi,
jangan membunuh anak-anak, perempuan, orang yang sudah tua, dan
rahib di tempat ibadahnya.” (HR Muslim 1731, Abu Dawud 2613, at-
Tirmidzi 1408, dan al-Baihaqi 17935).
Dengan demikian, aksi-aksi teror seperti bom bunuh diri, penabrakan truk,
penembakan massal, dan sebagainya, yang dilakukan di tengah-tengah
masyarakat yang tidak dalam kondisi berperang, hukumnya adalah haram.

Agenda Moderasi Islam di Balik Isu Terorisme Perempuan


Kasus merebaknya pelaku pemboman dari kalangan perempuan, membuat
agenda kontraradikalisme di kalangan perempuan akan semakin diperkuat.
Jalur-jalur formal dan nonformal ditempuh untuk program ini. Dari jalur
pendidikan, berbagai pelatihan, pengajian serta penggunaan media massa
dan media sosial.

Narasi-narasi kontra radikalisme, deradikalisasi, dan moderasi Islam, kita


lihat sudah bertebaran di media massa hari-hari ini. Bahkan, khotbah
Jumat juga menyerukan hal yang sama, misalnya, memerangi ekstremisme
dan terorisme tidak akan berhasil dilakukan kecuali dengan
menyebarkan wasathiyyah; juga jika cahaya wasathiyyah telah tersebar,
api ekstremisme akan padam.[3]
Program kontraradikalisme melalui moderasi Islam ini sangat layak untuk
diwaspadai karena intinya adalah deislamisasi. Betapa tidak? Program ini
banyak mereduksi ajaran Islam. Jihad terutama, yang berusaha untuk
diubah makna dan hukumnya.

Jihad hanya dimaknai sebagai usaha sungguh-sungguh untuk berhasil,


bukan berperang. Begitu pun umat dijauhkan dari politik, baik secara
pemahaman maupun aktivitas politik yang benar.Maka, umat boleh salat,
berzakat, naik haji, dan berkegiatan Islam lainnya, tapi tidak boleh
mengkritik penguasa, tidak boleh menuntut penerapan syariat oleh negara,
tidak boleh menolak calon pemimpin kafir, dan harus mau menerima
demokrasi dan HAM, serta mau terlibat dalam peringatan hari raya agama
lain.

Intinya, mengubah pemahaman umat menjadi sekuler, moderat, liberal,


dan “toleran”. Ini adalah agenda besar yang diusung musuh-musuh Islam
untuk menghalangi kebangkitan Islam secara halus.

Mampukah Moderasi Islam Jadi Solusi?


Upaya moderasi Islam diyakini menjadi solusi bagi terorisme dan
radikalisme. Faktanya, sekian tahun program ini dijalankan, kasus
terorisme tidak berakhir. Mengapa? Moderasi Islam merupakan bentuk
penyimpangan pemahaman Islam. Justru ketika menghadapi moderasi
Islam, seorang muslim yang telah memiliki pemahaman dasar akan
menolaknya karena terlihat upaya penyesatan di baliknya.

Kondisi ini bisa berbalik menyebabkannya mencari pemahaman lain yang


boleh jadi akan membuat terjerumus dalam pemahaman teroris. Ia
menerimanya mentah-mentah karena menganggap inilah kebenaran yang
disembunyikan.

Mengembangkan moderasi juga akan berbahaya bagi keberlangsungan


umat Islam sendiri. Sebab, generasi penerus Islam akan kehilangan izzah-
nya, mereka tidak tahu bagaimana mempertahankan agama dan negaranya
dari musuh.
Kasus yang terjadi pada masyarakat Rohingya di Myanmar, yang memilih
lari daripada berjihad sehingga terhina di negaranya dan terhina di negeri
orang, cukuplah menjadi pelajaran bagi umat.

Hal ini tidak terjadi saat seorang muslim diberikan pemahaman Islam yang
benar. Dengan dalil dan hujah yang kuat, ia akan tunduk dan mengambil
pemahaman ini. Pemahaman yang benar terhadap jihad akan membuatnya
menolak bom bunuh diri atau bentuk-bentuk teror lain. Pemahaman yang
benar terhadap proses pengambilan hukum Islam akan membuatnya
memahami perbedaan dan menyikapinya dengan benar. Ia akan
mengembangkan toleransi yang benar. Ia akan memahami seperti apa
Islam sebagai rahmatan lil’alamiin.
Selain itu, perlu dipahami bahwa terorisme bukan hanya sekadar
pemahaman. Ada faktor-faktor lain yang memicunya, seperti yang
disampaikan Musni Umar, seorang sosiolog terkemuka.

Beliau menyebutkan antara lain faktor ketidakadilan ekonomi, ketakadilan


hukum, penjajahan, intervensi asing, pemahaman agama yang sempit, dan
keinginan mengubah negara atau sistem.[4] Tentu faktor-faktor ini tidak
akan bisa diselesaikan dengan Islam wasathiyah.

Solusi Terorisme pada Perempuan


Merupakan tugas dari seluruh pihak yang terkait dengan dakwah untuk
mengajarkan umat tentang Islam kafah, menanamkan akidah yang lurus,
dan membentuk kepribadian Islam.

Juga mengajarkan bahwa makna toleransi adalah “lakum dinukum


waliyadiin”; mengajarkan untuk menerima pluralitas tetapi menolak
pluralisme; dan mengajarkan untuk menerima Islam secara keseluruhan
dan memperjuangkannya, bukan menerima sebagian dan menolak
sebagiannya.
Sedangkan faktor lain seperti ketakadilan ekonomi, hukum, dan
seterusnya, persoalan ini tidak akan mampu dihilangkan selama
diterapkannya sistem kapitalisme.

Hanya Islam yang mampu memberikan solusi sempurna, karena syariat


Islam diturunkan dari sang Maha Pencipta, yang mengetahui secara detail
karakter ciptaan-Nya dan apa yang terbaik bagi mereka.
Maka, tak perlu takut menjadi radikal dalam makna menjalankan Islam
secara kafah. Justru inilah yang akan mengantarkan perempuan menjadi
ibu yang melahirkan umat terbaik bagi manusia. Insyaallah.

Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya,

“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk


manusia, (karena kamu) menyuruh berbuat yang ma’ruf, mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran[3]: 110).
[MNews/Gz]

Anda mungkin juga menyukai