Dosen Pengampu:
Faisal Rahman, M.Pd
Disusun Oleh:
Lukmanul Hakim 2021110011
Rahmatullah 2021110020
Sarmilawati 2021110024
1
Nanat Fatah Natsir, The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban
Dunia (Bekasi: Penerbit Media Maxima, 2012), hlm. 53
1
2
Sekarang, Barat cenderung lebih hirau kepada masalah terorisme ketimbang isu
demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Mengaitkan Islam dan terorisme di
kalangan para pengambil keputusan di Barat, tatanan politik global semakin
diperumit oleh ketegangan antara Barat dengan dunia Islam ataupun negara yang
berkependudukan mayoritas Muslim. 2
Islam sebagai agama sangat menjunjung tinggi perdamaian dalam normatifitas
teks wahyu dan sunnah yang termanifestasi dalam sejarah Islam awal dan di
abadikan dalam Firman Allah (Q.S Al-Baqarah: 256):
2
Nanat Fatah Natsir, The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban
Dunia (Bekasi: Penerbit Media Maxima, 2012), hlm. 44
3
Nur Hidayat, Nilai-nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian (Kajian antara Teori dan Praktek),
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Indonesia,
Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 17, No. 1, 2017, 15-16
4
Eneng Muslihah, PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PERDAMAIAN
Studi Kasus di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten, Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten: Jurnal Studi
Keislaman, Volume 14, Nomor 2, Desember 2014, hlm 312-313
3
B. PEMBAHASAN
1. Keterkaitan antara Islam dan Perdamaian
Indonesia merupakan negara yang majemuk karena kaya akan budaya, adat
istiadat, dan bahasa. Ia mengakui 6 agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Budha,
Hindu, dan Konghucu. Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia dan
negara demokrasi ketiga setelah India dan Amerika Serikat.
Menurut Azyumardi Azra,6 Islam Indonesia adalah “Islam dengan wajah
tersenyum” yang penuh damai dan moderat sehingga tidak ada masalah dengan
modernitas, demokrasi, hak asasi manusia, dan tren lainnya di dunia modern.
Menjaga keberagaman memang tidak mudah.
5
Abdul Kholik, Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama, Tegal: Jurnal
Kependidikan, Vol. 05, No. 1, Mei 2017, hlm. 11
6
Subandi, Implementation of Multicultural and Moderate Islamic Education at the Elementary
Schools in Shaping the Nationalism, Tadris: Jurnal Keguruan dan Ilmu Tarbiyah, Vol. 4 (2), hlm.
247
3
4
Sebagai negara yang kaya akan keragaman agama, adat istiadat, budaya, dll,
tidak sedikit konflik yang terjadi karenanya. Berbagai konflik skala besar maupun
kecil yang terjadi sejak zaman orde lama hingga era revolusi industri saat ini
membentuk sejarah yang tidak akan terlupakan. Contohnya adalah maraknya
kasus penistaan agama akhir-akhir ini. Sebagai salah satu yang hidup di era ini,
solusi dari permasalahan tersebut adalah tanggung jawab kita bersama. Sudah
banyak solusi yang dilakukan seperti penguatan keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menumbuhkan rasa nasionalisme (patriotisme), saling menghargai
pendapat, menerapkan pendidikan multikultural, menanamkan nilai-nilai Islam
moderat, dll.
Dari sekian banyak solusi yang ada, pendidikan multikultural dan Islam
moderat memiliki peran besar dalam menyelesaikan konflik keragaman (suku,
agama, ras dan antar golongan) Multikulturalisme di era revolusi industri 4.0
penting untuk mengendalikan konflik yang terjadi melalui ranah digital
Pemahaman pendidikan multikultural telah ada sejak berakhirnya Perang Dunia
II. Hal ini disebabkan masuknya orang-orang dari luar negeri yang
mengakulturasi budayanya ke Indonesia.
Islam moderat sendiri merupakan bentuk menghindari ekstremisme agama, hal
ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang intoleran. Islam moderat
adalah sikap mengambil jalan tengah dalam beragama. Jika ditinjau kembali,
adanya konflik terkait kebhinekaan yang sering terjadi adalah karena masih
banyaknya paham radikal tanpa pemahaman Islam yang moderat.
Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan adanya praktek
kekerasan. Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan
apa yang dianggap sakral bukanlah cara-cara yang Islami. Di dalam tradisi
peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya label radikalisme.
Perdamaian merupakan hal yang pokok dalam kehidupan manusia, karena
dengan kedamaian akan tercipta kehidupan yang sehat, nyaman dan harmonis
dalam setiap interaksi antar sesama. Dalam suasana aman dan damai, manusia
akan hidup dengan penuh ketenangan dan kegembiraan juga bisa melaksanakan
kewajiban dalam bingkai perdamaian.
Oleh karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu. Bahkan
kehadiran damai dalam kehidupan setiap mahluk merupakan tuntutan karena
dibalik ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan
dan keadilan. Dari paradigma ini, Islam diturunkan oleh Allah SWT ke muka
bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia
untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan bukan hanya untuk pengikut
Muhammad semata.
Islam pada intinya bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi
seluruh manusia, sesuai dengan nama agama ini: yaitu al-Islām. Islam bukan
nama dari agama tertentu, melainkan nama dari persekutuan agama yang dibawa
oleh Nabi-Nabi dan dinisbatkan kepada seluruh pengikut mereka. Itulah misi dan
tujuan diturunkannya Islam kepada manusia. Karena itu, Islam diturunkan tidak
untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam di antara umat
manusia.
5
7
Nur Hidayat, Nilai-nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian (Kajian antara Teori dan Praktek),
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Indonesia,
Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 17, No. 1, 2017, 17-18
8
Nur Hidayat, Nilai-nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian (Kajian antara Teori dan Praktek),
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Indonesia,
Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 17, No. 1, 2017, 17-18
6
Ketiga, Agama Islam yang disebarkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad
merupakan agama yang ditujukan demi kesejahteraan dan keselamatan seluruh
umat sekalian alam. Kata Islam sendiri yang berasal dari bahasa Arab berarti
tunduk, patuh, selamat, sejahtera, dan damai. Maka, agama Islam mengajarkan
umatnya untuk selalu menegakkan perdamaian di dunia sehingga persaudaraan
dapat terjalin dengan erat.
Keempat, Sebelum Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk mengajarkan
agama Islam, sejarah mencatat bahwa kehidupan manusia pada waktu itu dikenal
sebagai masa Jahiliah. Di zaman Jahiliah itu banyak terjadi kezhaliman seperti
pembunuhan, permusuhan, penindasan, dan lain sebagainya. Namun, setelah Nabi
Muhammad saw diutus sebagai Rasul Allah dan menyampaikan ajaran Islam,
bukti bahwa Islam agama perdamaian terwujud.
Pengikut Nabi Muhammad SAW berangsur-angsur banyak, Islam menjadi
agama yang menjanjikan keselamatan dan kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan
firman Allah swt, QS. Al Anbiya: 107 “Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya: 107)
Kelima, Islam juga mengajarkan bagaimana menghadapi perpecahan dan
segala perselisihan yang bermaksud memecah belah umat. Nilai-nilai perdamaian
pada hakikatnya banyak termaktub dalam alQur’an dan juga secara jelas
diindikasikan dalam berbagai riwayat Hadis Nabi. Tidak ada satu ayat pun dalam
al-Qur’an, dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan semangat kebencian,
permusuhan, pertentangan, atau segala bentuk perilaku negative dan represif yang
mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Dalam Al Quran dijelaskan
bahwa sejak zaman Rasul pun Islam selalu mendapat pertentangan dan serangan
dari musuh-musuh Islam. Rasulullah saw difitnah dan dimusuhi. Namun beliau
tetap istiqomah menjalankan syariat dari Allah swt.
Sifat Rasul dalam menyampaikan ajaran Islam di zaman itu bisa menjadi
teladan kita di tengah adanya berbagai fitnah maupun usah pemecahbelahan umat
Islam yang akhir-akhir ini semakin menjadi, baik berupa film, tulisan, buku, dan
lain sebagainya. Keimanan kita sebagai umat Islam sedang diuji oleh Allah swt, di
mana kita merasa marah di kala kesucian Islam diporak-porandakan, sehingga
Islam memiliki image yang buruk di mata dunia.
2. Radikalisme
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme memiliki arti antara lain:
a. (Hilang) sampai keakar-akarnya sekali–dengan sempurna
b. (Haluan politik yang) amat keras menuntut perubahan undang-undang,
ketatanegaraan.
c. Radikalisme adalah 1). Paham atau aliran yang radikal dalam politik 2).
Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial
dan politik dengan cara kekerasan atau drastis,3). Sikap ekstrem dalam aliran
politik.
8
10
Abdul Kholik, Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama, Tegal: Jurnal
Kependidikan, Vol. 05, No. 1, Mei 2017, hlm. 12-13
11
Nanat Fatah Natsir, The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban
Dunia (Bekasi: Penerbit Media Maxima, 2012), hlm. 49
12
Nanat Fatah Natsir, The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban
Dunia (Bekasi: Penerbit Media Maxima, 2012), hlm. 51
9
Soviet sebagai musuh utama AS. Islam Militant inilah yang kemudian ditengarai
sebagai mereka yang disebut “para teroris”. 13
Padahal Islam mengajarkan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan pada
seluruh umat manusia. Sebagaimana doktrin utamanya, yakni rahmatallil ‘alamin.
Pertanyaannya adalah mengapa dunia Islam di Timur Tengah seringkali
memunculkan kekerasan sehingga radikalisme Islam identik dengan Timur
Tengah? Adakah yang salah dengan Timur Tengah, ataukah terdapat kesalahan
dengan pemahaman Islam di Timur Tengah? Beberapa pertanyaan menjadi
penting dikemukakan di sini mengingat Islam seringkali diidentikkan dengan
Timur Tengah sehingga citra Islam menjadi sangat peyoratif (merendahkan) di
hadapan publik dunia.
Ada kesalahan pemahaman yang sering terjadi dan berulang kali dilakukan
bahwa kekerasan dan radikalisme merupakan satu yang menyatu, sehingga Islam
tidak lain adalah kekerasan. Perspektif semacam ini dilakukan oleh beberapa
cendikiawan semacam Bassam Tibi ketika membahas fenomena radikalisme
Islam di kawasan Timur Tengah dan kawasan negara lain, dengan tegas dia
mengatakan bahwa fenomena radikalisme merupakan fenomena Islam politik,
bukan merupakan fenomena teologis sebab secara doktrin Islam tidak
mengajarkan kekerasan terhadap sesama muslim ataupun kepada orang yang
berbeda agama.
Islam terjebak dalam konflik yang berkepanjangan antar sesama muslim
disebabkan karena faktor politik kekuasaan sepeninggal Muhammad SAW.
Kemudian berlangsung untuk beberapa saat didunia Islam. Sekalipun sebagai
fenomena politik, kehadiran radikalisme Islam apalagi yang mengarah pada
kekerasan sistematik, kekerasan aktual maupun kekerasan simbolik tetaplah
mengancam dunia sebab salah satu karakteristik dari gerakan radikalisme Islam
(Islamic Radicalism) adalah tidak bersedia mendialogkan dengan pihak lain apa
yang menjadi gagasannya, tetapi memaksakan pendapatnya pada pihak lain
dengan segala cara untuk kemudian pendapatnya diterima. 14
Oleh sebab itu, ketika pendapatnya berbeda dengan pihak lain dan pihak lain
tidak bersedia menerimanya maka akan dipaksakan, bahkan penggunaan istilah
yang sangat menyesatkan tidak jarang digunakan seperti istilah takfir, sehingga
mereka yang dianggap kafir, maka berhak bahkan wajib diperangi sampai titik
darah penghabisan. Inilah bentuk ancaman yang paling nyata dari radikalisme
Islam maupun radikalisme agama lainnya.
Perang atas radikalisme akhirnya terjadi, sebab penggunaan takfir seringkali
menjadi pembenar oleh mereka yang radikal untuk menghadapi yang non radikal.
Pemboman yang muncul di beberapa daerah adalah salah satu bukti pemakaian
istilah takfir dalam dunia Islam itu sendiri. Fenomena maraknya kekerasan dalam
13
Nanat Fatah Natsir, The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban
Dunia (Bekasi: Penerbit Media Maxima, 2012), hlm. 54
14
Suciati and Azizah Maulina Erzad, THE EXISTENCE OF KUDUS ISLAMIC LOCAL
CULTURE TO PREVENT RADICALISM IN GLOBALIZATION ERA, STAIN Kudus, Central
Java, Indonesia: Qudus International Journal of Islamic Studies Volume 6, Issue 1, February 2018,
hlm 52-53
10
bentuk bom bunuh diri, pengantin bom dan sejenisnya adalah bagian respon umat
Islam atas globalisasi yang telah melanda dunia. 15
Kehadiran aksi-aksi radikal yang berkembang belakangan ini dipicu oleh
kelompok-kelompok tertentu yang sulit menerima pluralisme di masyarakat.
Mereka tidak menyukai keragaman dan memaksakan terciptanya keseragaman
sehingga timbul tindakan radikal seperti itu. Dengan demikian, dibutuhkan
akulturasi, yaitu memadukan perbedaan yang ada sehingga menjadi satu kesatuan
agar tidak terjadi kekerasan.
Hilangnya identitas lokal yang menimpa generasi muda belakangan ini menjadi
alasan munculnya radikalisme. Kehilangan identitas lokal menyebabkan
hilangnya nilai-nilai tradisional, sehingga konsep radikalisme dapat dengan
mudah diterima.
Banyak generasi muda yang telah melupakan nilai-nilai tradisi nenek moyang
seperti angsana diri (mawas diri), ang adohana ing perpadu (jauhi pertengkaran),
dan kanden wanci (menjauhkan akhlak). Budaya Jawa mengandung nilai-nilai
kebenaran, keutamaan, nilai-nilai yang dapat memperkaya rasa keadilan,
kemampuan bertanggung jawab, kemandirian, persatuan, cita-cita dan budi
pekerti. Sebenarnya nilai-nilai tersebut berasal dari potensi budaya Jawa yang
bersifat lokal tetapi nilai-nilai tersebut bersifat universal, sehingga dapat dijadikan
nilai bersama dan dapat digunakan oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
3. Pendidikan Kedamaian
Berdasarkan studi perdamaian dan resolusi konflik, definisi pendidikan
perdamaian adalah “mengajarkan kompetensi informasi, sikap, nilai, dan perilaku
yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan dan untuk
membangun dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan dan
harmonis” Hal ini juga dicatat pada Banding Den Haag untuk Kampanye
Perdamaian Global untuk Pendidikan Perdamaian. 16
Pendidikan kedamaian telah menjadi aliran yang mulai berkembang di dunia
internasional, termasuk di Indonesia. Pendidikan kedamaian telah memiliki
definisi yang berbeda tergantung pada konteks dan konten yang akan diatasi.
Menurut Fountain17 menyebutkan bahwa UNICEF mendefinisikan pendidikan
kedamaian sebagai proses mempromosikan pengetahuan, keterampilan, sikap dan
nilai-nilai yang diperlukan untuk membawa perubahan perilaku yang akan
memungkinkan anak-anak, remaja dan orang dewasa untuk (a) mencegah konflik
dan kekerasan, baik terang-terangan dan struktural; (b) untuk menyelesaikan
konflik secara damai; dan (c) untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi
perdamaian, apakah pada intrapersonal, interpersonal, antar kelompok, tingkat
nasional atau internasional.
15
Abdul Kholik, Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama, Tegal: Jurnal
Kependidikan, Vol. 05, No. 1, Mei 2017, hlm. 12-13
16
Jeanne Francoise, PESANTREN AS THE SOURCE OF PEACE EDUCATION, Indonesia
Defense University: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 25 No.1 2017, hlm. 44-45
17
Wahyu Nanda Eka Saputra, PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG PENERAPAN
PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI INDONESIA, Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal
CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah, Vol. 03, No. 3, Maret 2016, hlm. 90-91
11
Ada beberapa konsep dari kedamaian itu sendiri. Pertama konsep dari W.E.B.
Du Bois yang menyebut kedamaian adalah tanggung jawab tanpa kekuasaan
ejekan dan lelucon. Kedua, konsep dari Paolo Friere yang menyebut kedamaian
adalah dimensi kemurahan hati yang bertujuan untuk mengikis penyebab suatu
pertempuran. Kedua konsep tersebut menunjukkan bahwa pendidikan kedamaian
diharapkan dapat secara perlahan mengikis konflik-konflik yang telah terjadi dan
menimbulkan suatu ketenangan hati baik yang bersifat intrapersonal dan
interpersonal melalui usaha pendidikan.
Tokoh lain juga mendefinisikan hakekat pendidikan kedamaian. Anand
menjelaskan bahwa pendidikan kedamaian adalah suatu proses di mana individu
dapat mengubah sikap dan perilakunya tentang konflik kekerasan, memperoleh
nilai-nilai, pengetahuan dan mengembangkan keterampilan dan perilaku untuk
hidup dalam harmoni dengan orang lain.
Adeyemi & Salawudeen18 menjelaskan bahwa pendidikan kedamaian adalah
suatu filosofi dan proses yang berkaitan dengan akuisisi pengetahuan dan
keterampilan menciptakan perdamaian. Tujuan utama dari pendidikan kedamaian
adalah untuk mengekspos peserta didik dengan cara-cara non-kekerasan dalam
menangani konflik. Hal ini sesuai dengan pandangan dasar dari Mahatma Gandhi,
“Non-Violence”
Pendidikan kedamaian merupakan salah satu aliran pendidikan modern yang
berkembang saat ini. Guru yang menerapkan pendidikan kedamaian, mengajarkan
keterampilan non-kekerasan dan mempromosikan sikap yang penuh damai.
Harris19 mengemukakan bahwa pendidikan kedamaian memiliki lima postulat
utama, yaitu (1) menjelaskan akar permasalahan kekerasan; (2) mengajarkan
alternatif perilaku kekerasan; (3) mencari bentuk berbeda dari kekerasan dan
menghilangkannya; (4) perdamaian adalah proses yang beragam sesuai dengan
konteksnya; dan (5) konflik berpotensi terjadi di mana-mana.
Pendidikan kedamaian pada dasarnya sudah lama dirumuskan dalam agama
Islam. Hal ini dibuktikan dengan kalimat salam yang biasa diucapkan oleh umat
muslim. Ketika sesama muslim bertemu salah satunya akan menyampaikan
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, yang berarti adanya suatu
komitmen untuk tidak menyakiti umat muslim yang disapa.
Kemudian, umat muslim yang disapa akan menjawab, waalaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh, yang berarti adanya komitmen juga pada umat
muslim yang disapa untuk tidak menyakiti umat muslim yang menyapanya
berdasarkan kebiasaan mengucapkan salam antar umat muslim tersebut
menunjukkan bahwa umat muslim telah berusaha untuk menciptakan suatu
kedamaian melalui kegiatan yang sederhana, yaitu salam. Hal ini bertolak
belakang dengan banyaknya pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah
sarang radikalisme yang menyebabkan banyak konflik.
18
Wahyu Nanda Eka Saputra, PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG PENERAPAN
PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI INDONESIA, Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal
CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah, Vol. 03, No. 3, Maret 2016, hlm. 91
19
Wahyu Nanda Eka Saputra, PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG PENERAPAN
PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI INDONESIA, Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal
CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah, Vol. 03, No. 3, Maret 2016, hlm. 91
12
20
Wahyu Nanda Eka Saputra, PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG PENERAPAN
PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI INDONESIA, Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal
CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah, Vol. 03, No. 3, Maret 2016, hlm. 91
21
Wahyu Nanda Eka Saputra, PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG PENERAPAN
PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI INDONESIA, Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal
CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah, Vol. 03, No. 3, Maret 2016, hlm. 92
13
tergantung pada keputusan guru karena tidak ada kurikulum yang harus diikuti.
Akibatnya, beberapa pesantren kemudian dapat menjadi tempat transmisi ajaran
yang menyimpang dari arus utama seperti yang radikal dan tidak toleran terhadap
kelompok tertentu.
Kehadiran pesantren mainstream yang berciri tradisional dan multikultural
menjadi penting untuk dibahas sejalan dengan maraknya tren radikalisme di
pesantren. Gerakan radikal dalam Islam pada awalnya dilatarbelakangi oleh
keyakinan teologis dan ideologis yang diwakili oleh Khawarij. Mereka tidak
segan-segan mengklaim bahwa kelompok mereka adalah yang paling benar dan
yang lain salah atau bahkan berdosa.
Sekte Wahabi di Arab Saudi melakukan gerakan yang sama seperti yang
dilakukan Khawarij. Dari sini, kelompok ini melakukan aksi radikal yang sarat
dengan kekerasan seperti membunuh umat Islam yang bukan aliran atau aliran
kepercayaannya.
Di era modern, munculnya ideologi al-Qaidah yang dikomandani oleh Osama
bin Laden menunjukkan kekuatan doktrin ideologis radikal yang memicu
munculnya gerakan lain di negara lain seperti ISIS (Negara Islam Irak dan
Suriah), IIS ( Negara Islam Indonesia), Jama'ah Islamiyah, dan lain-lain. Oleh
karena itu, pendidikan di pesantren harus diwarnai dengan ciri-ciri yang
menjunjung tinggi keragaman dan keragaman budaya. Dalam hubungan inilah
pendidikan multikultural harus dikembangkan di pesantren untuk menumbuhkan
sikap dan perilaku yang inklusif, toleran dan menjunjung tinggi perdamaian. 22
Kuesioner persepsi lingkungan damai di rumah dan pesantren, meliputi
persepsi santri tentang keadaan tenang, aman dan nyaman ketika berhadapan
dengan anggota keluarga di rumah (orang tua dan saudara kandung) dan
pesantren (sahabat dan guru/assatidz), bercirikan dengan tidak adanya kekerasan,
adanya penerimaan (toleransi), keadilan, dan komunikasi yang sehat.23
Pendidikan pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan
mengajarkan dasar-dasar agama Islam. Lembaga pendidikan ini tidak mencetak
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mau diperintah orang lain. Pesantren juga
merupakan lembaga pendidikan yang mencetak orang-orang yang tidak mau
tergantung pada orang lain, tetapi berdiri di atas telapak kaki sendiri.
Bila ditelusuri, pendidikan pesantren pada dasarnya berbasis pendidikan
perdamaian. Karena pendidikan perdamaian adalah fokus pada karakteristik
perdamaian, yaitu: (1) perdamaian itu dinamis; (2) perdamaian itu merupakan
penyelesaian masalah yang adil tanpa kekerasan; (3) perdamaian itu
menghasilkan keseimbangan dalam interaksi sosial, sehingga manusia hidup
dalam relasi yang harmonis; (4) perdamaian itu baik untuk masyarakat; (5) bila
ada kekerasan, tidak akan ada perdamaian; (6) supaya ada keseimbangan dalam
22
Marzuki, Miftahuddin, Mukhamad Murdiono, MULTICULTURAL EDUCATION IN
SALAF PESANTREN AND PREVENTION OF RELIGIOUS RADICALISM IN INDONESIA,
Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia: Cakrawala Pendidikan, Vol. 39, No. 1, February 2020,
hlm. 14
23
Ade Hidayat, Peaceful in Pesantren: The Involvement of Santri’s Peaceful Environment and
Personality, Universitas Mathla'ul Anwar Banten, Indonesia: AL-TA’LIM JOURNAL, Vol. 24, No.
2, 2017, hlm. 83
14
24
Eneng Muslihah, PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PERDAMAIAN
Studi Kasus di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten, Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten: Jurnal Studi
Keislaman, Volume 14, Nomor 2, Desember 2014, hlm 315
25
Eneng Muslihah, PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PERDAMAIAN
Studi Kasus di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten, Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten: Jurnal Studi
Keislaman, Volume 14, Nomor 2, Desember 2014, hlm 316
26
Eneng Muslihah, PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PERDAMAIAN
Studi Kasus di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten, Fakultas Tarbiyah dan
15
Keguruan Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten: Jurnal Studi
Keislaman, Volume 14, Nomor 2, Desember 2014, hlm 317
27
Abdul Kholik, Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama, Tegal: Jurnal
Kependidikan, Vol. 05, No. 1, Mei 2017, hlm. 14-15
16
28
Abdul Kholik, Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama, Tegal: Jurnal
Kependidikan, Vol. 05, No. 1, Mei 2017, hlm. 14-15
29
Abdul Basid, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT
AYAT 12-13 SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA,
Purwokerto: Jurnal El-Hamra (Kependidikan dan Kemasyarakatan), Vol. 4. No. 1 Februari 2019,
hlm. 68
17
Pesan utama yang terkandung dalam ayat di atas adalah keragaman jenis
kelamin, individu, suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal. Sikap yang
ditimbulkan oleh komitmen untuk saling mengenal tersebut merupakan sikap
positif konstruktif yang bersifat aktif. Dengan mengenal diri pada orang lain pada
komitmen di atas, maka terjalinlah saling pengertian akan prilaku, keinginan,
kelebihan dan kekurangan masing-masing individu, suku atau bangsa.
At-Thabari mengatakan, Rasulullah saw. berkhutbah di Mina di tengah hari-
hari tasyriq, sedang beliau berada di atas untanya. Beliau berkata, “Hai manusia,
ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa dan ayahmu satu. Ketahuilah,
tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas seorang ‘Ajam (bukan Arab) maupun
orang ‘Ajam atas orang Arab, atau bagi orang hitam atas orang merah, atau bagi
orang merah atas orang hitam, kecuali dengan takwa.30
Diriwayatkan pula dari Abu Malik Al-Asy’ari, ia berkata bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “sesungguhnya Allah tidak memandang kepada pangkat-pangkat
kalian dan tidak pula kepada nasab-nasabmu dan tidak pula kepada tubuhmu, dan
tidak pula kepada hartamu, akan tetapi memandang kepada hatimu. Maka barang
siapa memiliki hati yang shalih, maka Allah belas kasih kepadanya. Kalian tiada
lain adalah anak cucu Adam dan yang paling dicintai Allah diantara kalian adalah
yang paling bertakwa diantara kalian.31
Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa, sesungguhnya Kami (Allah swt)
menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah
pengantar untuk menegaskan bahwa semua derajat kemanusiaannya sama disisi
Allah swt. Tidak ada perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Tidak ada perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan,
karena semua manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan. Allah
juga menjadikan manusia dengan bersukusuku, berbangsa-bangsa dan
berkelompokkelompok. Semua mendapat perlakuan yang sama oleh Allah swt.
Tujuannya haya satu, yaitu “li ta’arafu” (saling mengenal satu sama lain secara
baik).
Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan bahwa “sesungguhnya yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah swt. adalah yang paling bertaqwa”.
Dengan demikian, hal yang membedakan manusia satu dengan yang lain bukan
terletak pada sukunya, rasis ataupun bahasanya, tetapi lebih kepada tingkat
ketaqwaannya kepada Allah swt. Karena itu, berusahalah untuk meningkatkan
ketaqwaan agar menjadi yang termulia disisi Allah swt.
Jika keragaman individu, suku, bangsa dan agama dianalogikan dengan
tinjauan perspektif struktural fungsional, misalnya dianalogikan dengan
kemajemukan anggota tubuh pada diri seorang manusia.
30
Abdul Basid, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT
AYAT 12-13 SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA,
Purwokerto: Jurnal El-Hamra (Kependidikan dan Kemasyarakatan), Vol. 4. No. 1 Februari 2019,
hlm. 68
31
Abdul Basid, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT
AYAT 12-13 SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA,
Purwokerto: Jurnal El-Hamra (Kependidikan dan Kemasyarakatan), Vol. 4. No. 1 Februari 2019,
hlm. 69
Manusia memiliki kepala, badan, tangan dan kaki yang keseluruhannya
berbeda satu sama lain, namun tetap bersatu dalam satu kesatuan wujud manusia.
Masing-masing anggota tubuh memiliki fungsi yang unik. Masing-masing
berfungsi sesuai dengan proporsionalitasnya sehingga anggota yang satu meski
sedemikian vital fungsinya tidak akan dapat menggantikan organ lainnya.
Jika dikaitkan dengan masyarakat yang heterogen, setiap masyarakat memiliki
fungsifungsi tertentu dalam hubungan sosial, baik itu pada skala kecil seperti
hubungan antar keluarga dengan keluarga, maupun skala besar seperti hubungan
kelompok dalam masyarakat dalam negara. Dengan kata lain, keragaman etnis,
budaya, dan agama memiliki tempat tersendiri dalam membangun kebersamaan
untuk eksistensi bersama.
Masing-masing individu memiliki peranan yang penting dalam mewujudkan
kebersamaan. Oleh karena itu, seyogyanya setiap individu maupun kelompok
memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelestarian, ketenteraman, dan
kesejahteraan dalam mewujudkan eksistensi kebersamaan tanpa adanya
hegemoni kekuasaan terhadap kelompok minoritas atau sebaliknya. 32
C. PENUTUP
Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan adanya praktek
kekerasan. Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan
apa yang dianggap sakral bukanlah cara-cara yang Islami. Di dalam tradisi
peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya label radikalisme.
Islam moderat sendiri merupakan bentuk menghindari ekstremisme agama, hal
ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang intoleran. Islam moderat
adalah sikap mengambil jalan tengah dalam beragama. Jika ditinjau kembali,
adanya konflik terkait kebhinekaan yang sering terjadi adalah karena masih
banyaknya paham radikal tanpa pemahaman Islam yang moderat.
Ada kesalahan pemahaman yang sering terjadi dan berulang kali dilakukan
bahwa kekerasan dan radikalisme merupakan satu yang menyatu, sehingga Islam
tidak lain adalah kekerasan. Perspektif semacam ini dilakukan oleh beberapa
cendikiawan semacam Bassam Tibi ketika membahas fenomena radikalisme
Islam di kawasan Timur Tengah dan kawasan negara lain, dengan tegas dia
mengatakan bahwa fenomena radikalisme merupakan fenomena Islam politik,
bukan merupakan fenomena teologis sebab secara doktrin Islam tidak
mengajarkan kekerasan terhadap sesama muslim ataupun kepada orang yang
berbeda agama.
Dalam surat al-Hujurat ayat 12-13 mengandung pesan utama yaitu keragaman
jenis kelamin, individu, suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal. Sikap
yang ditimbulkan oleh komitmen untuk saling mengenal tersebut merupakan
sikap positif konstruktif yang bersifat aktif. Dengan mengenal diri pada orang
32
Abdul Basid, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT
AYAT 12-13 SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA,
Purwokerto: Jurnal El-Hamra (Kependidikan dan Kemasyarakatan), Vol. 4. No. 1 Februari 2019,
hlm. 68-69
18
lain pada komitmen di atas, maka terjalinlah saling pengertian akan prilaku,
keinginan, kelebihan dan kekurangan masing-masing individu, suku atau bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Nur. 2017. Nilai-nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian (Kajian antara
Teori dan Praktek). Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama.
17(1): 16-24
Natsir, Nanat Fatah. 2012. The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai
Puncak Peradaban Dunia. Bekasi: Penerbit Media Maxima.