Anda di halaman 1dari 21

AGAMA DAN PERDAMAIAN DUNIA

DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Untuk Memenuhi Tugas Makalah Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu:
Faisal Rahman, M.Pd

Disusun Oleh:
Lukmanul Hakim 2021110011
Rahmatullah 2021110020
Sarmilawati 2021110024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
SYEKH MUHAMMAD NAFIS
TABALONG
2021
A. PENDAHULUAN
Ada persepsi dari sekelompok orang atau golongan bahwa Islam dipandang
sebagai agama yang jauh dari kata perdamaian. Padahal kita tahu, sebagai seorang
muslim bukanlah orang yang benci pada perdamaian. Anggapan-anggapan
semacam tadi lahir adalah karena ulah segelintir orang yang mengatasnamakan
jihad untuk menghalalkan segala cara memerangi orang-orang kafir dan orang
yang munafik.
Munculnya isu-isu mengenai kekerasan dalam Islam (radikalisme Islam)
merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk memberikan solusi dan jawaban
yang tepat. Isu ini sebenarnya sudah ada sejak lama, terutama di tingkat
Internasional. Radikalisme Islam (kekerasan dalam Islam) merupakan masalah
yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat
kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi
masyarakat nasional dan dunia.
Kalangan luar, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat menyebut gerakan
Islam sebagai agama yang radikal, kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam
kanan, fundamentalisme sampai terrorisme. Bahkan di negara-negara barat pasca
hancurnya ideologi komunisme (perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah
gerakan yang menakutkan.
Pada satu sisi, konflik antara Islam dan Barat, merupakan produk dari
perbedaan, terutama konsep muslim yang memandang islam sebagai way of life
(Jalan hidup) yang menyatukan agama dan politik. 1 Selain itu, dengan adanya
sentimen keagamaan yang masih kental hingga kini, terutama dampak yang
sangat panjang akibat peristiwa perang salib yang masih melekat dalam benak
orang barat, yang kemudian menjelma menjadi “prasangka buruk” terhadap ajaran
Islam dan umat Islam.
Tidak ada gerakan yang lebih ditakuti melebihi gerakan Islam yang diberi label
sebagai radikalisme Islam. Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Revolusi Islam
Iran, Partai FIS Al-Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan Mu’ammar
Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan
masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, merebaknya solidaritas Muslim
Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas dan sebagainya, adalah
fenomena yang dijadikan media Barat dalam mengkampanyekan label radikalisme
Islam.
Dalam perspektif Barat, gerakan Islam sudah menjadi fenomena yang perlu
dicurigai. Terlebih-lebih pasca tragedi 11 September hancurnya gedung WTC
New York yang dituduhkan dan dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (Al-
Qaeda dan Taliban) semakin menjadikan Islam sebagai agama yang benar-benar
radikal. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan sekelompok Islam dengan
membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh orang-orang Barat.
Sehingga Islam terus menerus dipojokkan oleh kalangan publik.

1
Nanat Fatah Natsir, The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban
Dunia (Bekasi: Penerbit Media Maxima, 2012), hlm. 53

1
2

Sekarang, Barat cenderung lebih hirau kepada masalah terorisme ketimbang isu
demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Mengaitkan Islam dan terorisme di
kalangan para pengambil keputusan di Barat, tatanan politik global semakin
diperumit oleh ketegangan antara Barat dengan dunia Islam ataupun negara yang
berkependudukan mayoritas Muslim. 2
Islam sebagai agama sangat menjunjung tinggi perdamaian dalam normatifitas
teks wahyu dan sunnah yang termanifestasi dalam sejarah Islam awal dan di
abadikan dalam Firman Allah (Q.S Al-Baqarah: 256):

‫َ َا ِِ ۡللعُ ۡر اَةِ ۡال ُۡ ۡث َٰى اَل‬


‫اَۡ اَۡ ا‬ ِ ‫ِ اَي ُۡۡم ِۡن ِِ ه‬
ۡ ‫لّٰل فاَا ِد‬ َّ ‫الر ۡشد ُ ِم ان ۡالغ ِاىۚ فا اَ ۡن ي َُُّۡۡ ۡر ِِلل‬
ِ ۡۡ ُُ‫َّل‬ ُّ ‫ا َۤل ا ِۡك اراها فِى الد ِۡي ِن قاد تَّبايَّنا‬
ٌ‫َِ ِۡي‬ ‫لم لا اهلؕ اَ ه‬
‫ّٰللُ ۡاَ ِۡيٌ ا‬ ‫ص ا‬‫ا ْن ُِ ا‬
Artinya:“ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut [1] dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Islam secara normatif dan historis (era Nabi) sama sekali tidak pernah
mengajarkan praktek radikalisme atau kekerasan sebagaimana terminologi yang
ada di Barat. Islam tidak memiliki keterkaitan dengan gerakan radikal
(kekerasan), bahkan tidak ada pesan moral Islam yang menunjuk kepada ajaran
radikalisme baik dari sisi normatif maupun historis kenabian.3
Lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan
Islam tertua dalam sejarah Indonesia seringkali diasosiasikan sebagai ‘markas
atau sentral pemahaman Islam yang sangat fundamental’ yang kemudian menjadi
akar bagi gerakan radikal mengatas namakan Islam. Pemahaman Islam
fundamental yang sempit membawa kepada radikalisme Islam oleh segelintir
orang santri alumni Pondok Pesantren. Gerakan radikalisme Islam oleh segelintir
alumni pesantren dilakukan dalam bentuk aksi teror bom tidak berprikemanusiaan
yang ditujukan kepada sasaran sipil bahkan petugas kepolisian.
Penangkapan terduga pelaku teror yang berasal dari kalangan santri
memberikan stigma negatif terhadap pesantren dan berbagai kompomen yang ada
di dalamnya; tidak hanya santri tetapi juga termasuk Kiyai dan ajaran-ajaran Islam
yang diajarkan di pondok pesantren. Bahkan sampai kepada tuduhan yang
tendensius oleh pihak Barat dan orang-orang yang khawatir dan anti Islam
terlontar dengan menyatakan bahwa agama Islam-lah yang sebenarnya memicu
tindakan teror.4

2
Nanat Fatah Natsir, The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban
Dunia (Bekasi: Penerbit Media Maxima, 2012), hlm. 44
3
Nur Hidayat, Nilai-nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian (Kajian antara Teori dan Praktek),
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Indonesia,
Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 17, No. 1, 2017, 15-16
4
Eneng Muslihah, PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PERDAMAIAN
Studi Kasus di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten, Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten: Jurnal Studi
Keislaman, Volume 14, Nomor 2, Desember 2014, hlm 312-313
3

Dapat diketahui bahwa pendidikan yang humanis diimbangi dengan


pengetahuan agama yang mumpuni akan melahirkan pribadi yang berpengetahuan
sekaligus memiliki sikap toleransi, karena merasa bahwa dari sumber yang sama
manusia diciptakan. Manakala sikap ini dilaksanakan, maka Islam akan muncul
dengan wajah yang santun, yakni rahmat bagi seluruh alam dan Islam yang
demikian akan menangkal gerakan-gerakan radikalisme (agama).
Sisi yang lain, yakni agama dapat memunculkan sikap radikal manakala
didasari dengan latar belakang pemahaman keagamaan yang terbatas, yakni dari
pemahaman agama yang tekstual dan sepotong-sepotong. Penyebab lainnya ialah
faktor ketimpangan dan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang masih
mengakar dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa fragmentasi politik
dan sosial yang menjalar keberbagai lapisan masyarakat, baik di akar rumput
maupun kalangan terdidik berpotensi dapat menimbulkan konflik horizontal yang
laten dan luas.5
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang memiliki beragam budaya.
Budaya yang beragam tersebut di satu sisi menjadi salah satu daya tarik
internasional terhadap pariwisata Indonesia, akan tetapi, di sisi lain akan memicu
terjadinya permasalahan nasional yang serius.
Kedamaian berada dalam pikiran setiap manusia yang perlu dikembangkan.
Pendidikan kedamaian dapat berkontribusi membangun perdamaian dan
rekonsiliasi serta mencegah terjadinya konflik. Penerapan pendidikan kedamaian
di Indonesia tidak hanya bisa diterapkan di pendidikan tingkat menengah dan
tinggi, melainkan juga bisa diterapkan di pendidikan tingkat dasar. Penerapan
pendidikan kedamaian yang diterapkan sejak pendidikan dasar di Indonesia secara
khusus diharapkan dapat menumbuhkan pemikiran yang damai pada diri setiap
siswa. Selain itu, pendidikan kedamaian yang diterapkan sejak pendidikan dasar
di Indonesia secara umum juga diharapkan dapat mencegah dan meminimalisir
terjadinya kekerasan dalam konflik-konflik yang terjadi.

B. PEMBAHASAN
1. Keterkaitan antara Islam dan Perdamaian
Indonesia merupakan negara yang majemuk karena kaya akan budaya, adat
istiadat, dan bahasa. Ia mengakui 6 agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Budha,
Hindu, dan Konghucu. Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia dan
negara demokrasi ketiga setelah India dan Amerika Serikat.
Menurut Azyumardi Azra,6 Islam Indonesia adalah “Islam dengan wajah
tersenyum” yang penuh damai dan moderat sehingga tidak ada masalah dengan
modernitas, demokrasi, hak asasi manusia, dan tren lainnya di dunia modern.
Menjaga keberagaman memang tidak mudah.

5
Abdul Kholik, Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama, Tegal: Jurnal
Kependidikan, Vol. 05, No. 1, Mei 2017, hlm. 11
6
Subandi, Implementation of Multicultural and Moderate Islamic Education at the Elementary
Schools in Shaping the Nationalism, Tadris: Jurnal Keguruan dan Ilmu Tarbiyah, Vol. 4 (2), hlm.
247

3
4

Sebagai negara yang kaya akan keragaman agama, adat istiadat, budaya, dll,
tidak sedikit konflik yang terjadi karenanya. Berbagai konflik skala besar maupun
kecil yang terjadi sejak zaman orde lama hingga era revolusi industri saat ini
membentuk sejarah yang tidak akan terlupakan. Contohnya adalah maraknya
kasus penistaan agama akhir-akhir ini. Sebagai salah satu yang hidup di era ini,
solusi dari permasalahan tersebut adalah tanggung jawab kita bersama. Sudah
banyak solusi yang dilakukan seperti penguatan keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menumbuhkan rasa nasionalisme (patriotisme), saling menghargai
pendapat, menerapkan pendidikan multikultural, menanamkan nilai-nilai Islam
moderat, dll.
Dari sekian banyak solusi yang ada, pendidikan multikultural dan Islam
moderat memiliki peran besar dalam menyelesaikan konflik keragaman (suku,
agama, ras dan antar golongan) Multikulturalisme di era revolusi industri 4.0
penting untuk mengendalikan konflik yang terjadi melalui ranah digital
Pemahaman pendidikan multikultural telah ada sejak berakhirnya Perang Dunia
II. Hal ini disebabkan masuknya orang-orang dari luar negeri yang
mengakulturasi budayanya ke Indonesia.
Islam moderat sendiri merupakan bentuk menghindari ekstremisme agama, hal
ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang intoleran. Islam moderat
adalah sikap mengambil jalan tengah dalam beragama. Jika ditinjau kembali,
adanya konflik terkait kebhinekaan yang sering terjadi adalah karena masih
banyaknya paham radikal tanpa pemahaman Islam yang moderat.
Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan adanya praktek
kekerasan. Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan
apa yang dianggap sakral bukanlah cara-cara yang Islami. Di dalam tradisi
peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya label radikalisme.
Perdamaian merupakan hal yang pokok dalam kehidupan manusia, karena
dengan kedamaian akan tercipta kehidupan yang sehat, nyaman dan harmonis
dalam setiap interaksi antar sesama. Dalam suasana aman dan damai, manusia
akan hidup dengan penuh ketenangan dan kegembiraan juga bisa melaksanakan
kewajiban dalam bingkai perdamaian.
Oleh karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu. Bahkan
kehadiran damai dalam kehidupan setiap mahluk merupakan tuntutan karena
dibalik ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan
dan keadilan. Dari paradigma ini, Islam diturunkan oleh Allah SWT ke muka
bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia
untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan bukan hanya untuk pengikut
Muhammad semata.
Islam pada intinya bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi
seluruh manusia, sesuai dengan nama agama ini: yaitu al-Islām. Islam bukan
nama dari agama tertentu, melainkan nama dari persekutuan agama yang dibawa
oleh Nabi-Nabi dan dinisbatkan kepada seluruh pengikut mereka. Itulah misi dan
tujuan diturunkannya Islam kepada manusia. Karena itu, Islam diturunkan tidak
untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam di antara umat
manusia.
5

Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukan, bagaimana sikap tasāmuh


(toleran) dan kasih sayang kaum muslim terhadap pemeluk agama lain, baik yang
tergolong ke dalam ahl al-Kitab maupun kaum mushrik, bahkan terhadap seluruh
makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian.
Di dalam Islam gagasan tentang perdamaian merupakan pemikiran yang sangat
mendasar dan mendalam karena berkait erat dengan watak agama Islam, bahkan
merupakan pemikiran universal islam mengenai alam, kehidupan, dan manusia.
Yang dimaksud universal disini adalah pemikiran Islam yang sama tujuannya
dengan ajaran-ajaran Nabi-Nabi terdahulu dalam upaya menciptakan
kemanusiaan dan keadilan di muka bumi.
Nilai-nilai perdamaian pada hakikatnya banyak termaktub dalam Al-Qur’an
dan juga secara jelas diindikasikan dalam berbagai riwayat Hadis Nabi. Tidak ada
satu ayat pun dalam Al-Qur’an, dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan
semangat kebencian, permusuhan, pertentangan, atau segala bentuk perilaku
negatif yang mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Al-Qur’an
menegaskan bahwa Rasulullah SAW diutus oleh Allah untuk menebarkan kasih
sayang.
Adapun nilai-nilai ajaran Islam yang berorientasi kepada pembentukan
perdamaian di tengah umat manusia, sehingga mereka dapat hidup sejahtera dan
harmonis, diantaranya:
1. Larangan melakukan kedzaliman
2. Adanya Persamaan Derajat
3. Menjunjung Tinggi Keadilan
4. Memberikan Kebebasan
5. Menyeru Hidup Rukun dan Saling Tolong Menolong.
6. Menganjurkan Toleransi
7. Meningkatkan Solidaritas Sosial. 7
Ada berbagai pendapat tentang kejelasan maksud arti dari “rahmat bagi
semesta alam”, ada yang berpendapat bahwa rahmat tersebut hanya berlaku untuk
orang Islam saja dan ada yang mengatakan bahwa rahmat tersebut berlaku untuk
seluruh umat manusia. Kami sepakat dengan pendapat yang kedua bahwa kasih
sayang diberikan kepada siapa saja yang berada di muka bumi tanpa
membedakan dari segi apapun baik suku, bangsa, agama, ras dan lain sebagainya
sesuai dengan watak perdamaian dalam Islam. 8
Di samping sumber dari Al-Qur’an, hadits-hadits juga banyak mencantumkan
tema perdamaian. Sebagai contoh, “Allah mencintai kelembutan, Allah
memberikan keberkahan atas kelembutan, dan bukan atas kekerasan” (H.R.
Muslim).

7
Nur Hidayat, Nilai-nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian (Kajian antara Teori dan Praktek),
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Indonesia,
Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 17, No. 1, 2017, 17-18
8
Nur Hidayat, Nilai-nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian (Kajian antara Teori dan Praktek),
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Indonesia,
Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 17, No. 1, 2017, 17-18
6

Dalam hadits tersebut, perdamaian digambarkan dengan kelembutan. Artinya,


perdamaian akan tercipta jika setiap orang melakukan sesuatu dengan
kelembutan. Misalnya di Negara kita yang multikultural ini, perbedaan-
perbedaan akan selalu ada, baik agama, kebudayaan, warna kulit dan lain
sebagainya. Maka jika kelembutan tidak kita terapkan dalam menerima
perbedaan tersebut maka perdamaian tidak akan terwujud. Adapun nilai-nilai
ajaran Islam yang berorientasi kepada pembentukan.
Adanya kecenderungan memberikan label yang bersifat generalisasi dari
masyarakat Barat mengenai Islam, tanpa melihat kenyataan secara jernih menjadi
salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dalam jangka waktu yang
sangat lama dan relatif masih saja terjadi hingga kini, prasangka semacam itu
selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.
Aksi kekerasan/terorisme yang melanda Indonesia, dari Bom Malam Natal
tahun 2000, kediaman kedutaan Philipina tahun 2001, Bom Bali I tahun 2002,
Kedutaan Australia tahun 2004, dan Bom Bali II Oktober 2005. Pada tanggal 12
Oktober 2002 pukul 23.15 WITA terjadi ledakan bom di Bali tepatnya di Paddy’s
Cafe dan Sari Club di Jalan Legian. 9
Adapun penanganan tersebut diatas seperti radikalisme/terorisme/non-
perdamaian. Pertama, Perlu dilakukan secara terus menerus dan mutlak
memerlukan kerjasama yang terpadu lintas instansi dan lintas negara. Untuk itu
diperlukan penanggulangan secara komprehensif yang melibatkan peran dan
fungsi berbagai instansi Pemerintah baik pusat maupun daerah dan bekerjasama
dengan komunitas internasional dengan dukungan dan partisipasi segenap
komponen bangsa.
Meskipun bangsa Indonesia tengah menghadapi masalah terorisme namun
demikian ternyata dalam masyarakat masih terjadi perdebatan tentang penanganan
terorisme di Indonesia oleh pemerintah. Bagi sebagian kelompok di masyarakat,
penanganan terorisme di Indonesia hanyalah untuk mengikuti keinginan Amerika
Serikat. Perang dianggap sebagai bentuk perpanjangan tangan kepentingan
Amerika Serikat dalam memerangi Islam.
Kedua, Lebih jauh lagi, pesan-pesan perdamaian yang ada dalam Islam tidak
hanya berupa nilai-nilai normatif belaka. Fakta sejarah telah membuktikan adanya
usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tataran realita. Piagam
Madinah, misalnya, merupakan contoh konkrit upaya Nabi SAW mewujudkan
perdamaian. Tujuan utama dari Piagam yang berjumlah 47 pasal itu, pada
hakekatnya adalah mewujudkan prinsip perdamaian serta mengembalikan
keharmonisan pada masyarakat Madinah pada masa itu.
Secara eksplisit, ketetapan prinsip ini juga terekam dalam beberapa pasal
dalam Piagam itu. Antara lain pada pasal 17 yang menyatakan bahwa seluruh
umat Islam harus bersatu dan mengambil peran yang sama bila mengadakan
perdamaian dengan pihak lain. Di samping itu, pada pasal 45 juga dinyatakan
bahwa agar orang-orang mukmin aktif dan gemar dalam menerima serta
memprakarsai perdamaian.
9
Nur Hidayat, Nilai-nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian (Kajian antara Teori dan Praktek),
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Indonesia,
Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 17, No. 1, 2017, hlm. 21
7

Ketiga, Agama Islam yang disebarkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad
merupakan agama yang ditujukan demi kesejahteraan dan keselamatan seluruh
umat sekalian alam. Kata Islam sendiri yang berasal dari bahasa Arab berarti
tunduk, patuh, selamat, sejahtera, dan damai. Maka, agama Islam mengajarkan
umatnya untuk selalu menegakkan perdamaian di dunia sehingga persaudaraan
dapat terjalin dengan erat.
Keempat, Sebelum Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk mengajarkan
agama Islam, sejarah mencatat bahwa kehidupan manusia pada waktu itu dikenal
sebagai masa Jahiliah. Di zaman Jahiliah itu banyak terjadi kezhaliman seperti
pembunuhan, permusuhan, penindasan, dan lain sebagainya. Namun, setelah Nabi
Muhammad saw diutus sebagai Rasul Allah dan menyampaikan ajaran Islam,
bukti bahwa Islam agama perdamaian terwujud.
Pengikut Nabi Muhammad SAW berangsur-angsur banyak, Islam menjadi
agama yang menjanjikan keselamatan dan kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan
firman Allah swt, QS. Al Anbiya: 107 “Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya: 107)
Kelima, Islam juga mengajarkan bagaimana menghadapi perpecahan dan
segala perselisihan yang bermaksud memecah belah umat. Nilai-nilai perdamaian
pada hakikatnya banyak termaktub dalam alQur’an dan juga secara jelas
diindikasikan dalam berbagai riwayat Hadis Nabi. Tidak ada satu ayat pun dalam
al-Qur’an, dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan semangat kebencian,
permusuhan, pertentangan, atau segala bentuk perilaku negative dan represif yang
mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Dalam Al Quran dijelaskan
bahwa sejak zaman Rasul pun Islam selalu mendapat pertentangan dan serangan
dari musuh-musuh Islam. Rasulullah saw difitnah dan dimusuhi. Namun beliau
tetap istiqomah menjalankan syariat dari Allah swt.
Sifat Rasul dalam menyampaikan ajaran Islam di zaman itu bisa menjadi
teladan kita di tengah adanya berbagai fitnah maupun usah pemecahbelahan umat
Islam yang akhir-akhir ini semakin menjadi, baik berupa film, tulisan, buku, dan
lain sebagainya. Keimanan kita sebagai umat Islam sedang diuji oleh Allah swt, di
mana kita merasa marah di kala kesucian Islam diporak-porandakan, sehingga
Islam memiliki image yang buruk di mata dunia.

2. Radikalisme
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme memiliki arti antara lain:
a. (Hilang) sampai keakar-akarnya sekali–dengan sempurna
b. (Haluan politik yang) amat keras menuntut perubahan undang-undang,
ketatanegaraan.
c. Radikalisme adalah 1). Paham atau aliran yang radikal dalam politik 2).
Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial
dan politik dengan cara kekerasan atau drastis,3). Sikap ekstrem dalam aliran
politik.
8

d. Agama: ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan


peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungan. 10
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat diketahui bahwa radikalisme agama
adalah paham atau aliran yang keras dalam suatu ajaran agama tertentu. Menurut
aliran ini setiap permasalahan/ persoalan harus disikapi dengan tegas dan keras,
tidak setengah-setengah apalagi ragu-ragu dalam beridak demi tegaknya ajaran
agama tesebut. Namun terkadang aliran ini dalam bertindak melebihi aturan yang
ada atau bahkan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan.
Fukuyama11 menyoroti dua kelompok agama yang menurutnya sangat sulit
untuk menerima demokrasi, yaitu Yahudi Ortodoks dan Islam fundamentalis.
Meskipun agama itu bias menerima demokrasi, tetapi sangat sulit menerima
liberalisme, khususnya tentang kebebasan beragama.
Radikalisme merupakan sebuah proses politik yang mengancam dunia (Islam
maupun nonIslam) sebagai sebuah gerakan politik keagamaan. Radikalisme
memang bukan fenomena Islam saja, tetapi fenomena global yang melanda dunia,
ketika kondisi dunia tidak sesuai dengan apa yang menjadi gagasannya. Itulah
sebuah gagasan tentang ‘’dunia idaman’’ di masa lampau, dengan menjadikan
apa-apa yang terjadi, dan yang ada sekarang dianggap tidak sesuai dengan ajaran
kita sehingga harus dirombak
Dalam kasus radikalisme Islam, terdapat hal yang sangat kontras, yakni dia
hadir dan bermula dari negara-negara di kawasan Timur Tengah sebagai tempat
yang secara geografik merupakan tempat turunnya agama Islam.
Bernard Lewis12 mengemukakan tesis tentang siapa yang akan menjadi musuh
baru bagi peradaban Barat tersebut dalam bukunya “Islam and the West”. Lewis
menulis bahwa islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah membuat barat
tidak merasa aman. Sehingga berdasarkan inspirasi dari buku tersebutlah
kemudian muncul apa yang Huntington istilahkan sebagai benturan
antarperadaban (clash of civilazation). Kemudian dia meneruskan pemikirannya
ini dalam bukunya “Who Are We” Di sinilah Huntington lebih jelas lagi
memvonis Islam sebagai musuh Barat menggantikan posisi komunis pasca perang
dingin.
Dalam buku the clash of civilizations Huntington masih tidak terlalu tegas
dalam menyebut Islam sebagai alternatif musuh baru bagi Barat. Namun, dalam
buku selanjutnya Huntington lebih mempertegas bahwa musuh utama Barat pasca
Perang Dingin adalah Islam yang ia tambah dengan predikat “militant”.
Huntington menempatkan satu sub-bab yang berjudul Militant Islam vs America,
yang menekankan, bahwa saat ini, Islam Militant telah menggantikan posisi Uni

10
Abdul Kholik, Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama, Tegal: Jurnal
Kependidikan, Vol. 05, No. 1, Mei 2017, hlm. 12-13
11
Nanat Fatah Natsir, The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban
Dunia (Bekasi: Penerbit Media Maxima, 2012), hlm. 49
12
Nanat Fatah Natsir, The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban
Dunia (Bekasi: Penerbit Media Maxima, 2012), hlm. 51
9

Soviet sebagai musuh utama AS. Islam Militant inilah yang kemudian ditengarai
sebagai mereka yang disebut “para teroris”. 13
Padahal Islam mengajarkan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan pada
seluruh umat manusia. Sebagaimana doktrin utamanya, yakni rahmatallil ‘alamin.
Pertanyaannya adalah mengapa dunia Islam di Timur Tengah seringkali
memunculkan kekerasan sehingga radikalisme Islam identik dengan Timur
Tengah? Adakah yang salah dengan Timur Tengah, ataukah terdapat kesalahan
dengan pemahaman Islam di Timur Tengah? Beberapa pertanyaan menjadi
penting dikemukakan di sini mengingat Islam seringkali diidentikkan dengan
Timur Tengah sehingga citra Islam menjadi sangat peyoratif (merendahkan) di
hadapan publik dunia.
Ada kesalahan pemahaman yang sering terjadi dan berulang kali dilakukan
bahwa kekerasan dan radikalisme merupakan satu yang menyatu, sehingga Islam
tidak lain adalah kekerasan. Perspektif semacam ini dilakukan oleh beberapa
cendikiawan semacam Bassam Tibi ketika membahas fenomena radikalisme
Islam di kawasan Timur Tengah dan kawasan negara lain, dengan tegas dia
mengatakan bahwa fenomena radikalisme merupakan fenomena Islam politik,
bukan merupakan fenomena teologis sebab secara doktrin Islam tidak
mengajarkan kekerasan terhadap sesama muslim ataupun kepada orang yang
berbeda agama.
Islam terjebak dalam konflik yang berkepanjangan antar sesama muslim
disebabkan karena faktor politik kekuasaan sepeninggal Muhammad SAW.
Kemudian berlangsung untuk beberapa saat didunia Islam. Sekalipun sebagai
fenomena politik, kehadiran radikalisme Islam apalagi yang mengarah pada
kekerasan sistematik, kekerasan aktual maupun kekerasan simbolik tetaplah
mengancam dunia sebab salah satu karakteristik dari gerakan radikalisme Islam
(Islamic Radicalism) adalah tidak bersedia mendialogkan dengan pihak lain apa
yang menjadi gagasannya, tetapi memaksakan pendapatnya pada pihak lain
dengan segala cara untuk kemudian pendapatnya diterima. 14
Oleh sebab itu, ketika pendapatnya berbeda dengan pihak lain dan pihak lain
tidak bersedia menerimanya maka akan dipaksakan, bahkan penggunaan istilah
yang sangat menyesatkan tidak jarang digunakan seperti istilah takfir, sehingga
mereka yang dianggap kafir, maka berhak bahkan wajib diperangi sampai titik
darah penghabisan. Inilah bentuk ancaman yang paling nyata dari radikalisme
Islam maupun radikalisme agama lainnya.
Perang atas radikalisme akhirnya terjadi, sebab penggunaan takfir seringkali
menjadi pembenar oleh mereka yang radikal untuk menghadapi yang non radikal.
Pemboman yang muncul di beberapa daerah adalah salah satu bukti pemakaian
istilah takfir dalam dunia Islam itu sendiri. Fenomena maraknya kekerasan dalam

13
Nanat Fatah Natsir, The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban
Dunia (Bekasi: Penerbit Media Maxima, 2012), hlm. 54
14
Suciati and Azizah Maulina Erzad, THE EXISTENCE OF KUDUS ISLAMIC LOCAL
CULTURE TO PREVENT RADICALISM IN GLOBALIZATION ERA, STAIN Kudus, Central
Java, Indonesia: Qudus International Journal of Islamic Studies Volume 6, Issue 1, February 2018,
hlm 52-53
10

bentuk bom bunuh diri, pengantin bom dan sejenisnya adalah bagian respon umat
Islam atas globalisasi yang telah melanda dunia. 15
Kehadiran aksi-aksi radikal yang berkembang belakangan ini dipicu oleh
kelompok-kelompok tertentu yang sulit menerima pluralisme di masyarakat.
Mereka tidak menyukai keragaman dan memaksakan terciptanya keseragaman
sehingga timbul tindakan radikal seperti itu. Dengan demikian, dibutuhkan
akulturasi, yaitu memadukan perbedaan yang ada sehingga menjadi satu kesatuan
agar tidak terjadi kekerasan.
Hilangnya identitas lokal yang menimpa generasi muda belakangan ini menjadi
alasan munculnya radikalisme. Kehilangan identitas lokal menyebabkan
hilangnya nilai-nilai tradisional, sehingga konsep radikalisme dapat dengan
mudah diterima.
Banyak generasi muda yang telah melupakan nilai-nilai tradisi nenek moyang
seperti angsana diri (mawas diri), ang adohana ing perpadu (jauhi pertengkaran),
dan kanden wanci (menjauhkan akhlak). Budaya Jawa mengandung nilai-nilai
kebenaran, keutamaan, nilai-nilai yang dapat memperkaya rasa keadilan,
kemampuan bertanggung jawab, kemandirian, persatuan, cita-cita dan budi
pekerti. Sebenarnya nilai-nilai tersebut berasal dari potensi budaya Jawa yang
bersifat lokal tetapi nilai-nilai tersebut bersifat universal, sehingga dapat dijadikan
nilai bersama dan dapat digunakan oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja.

3. Pendidikan Kedamaian
Berdasarkan studi perdamaian dan resolusi konflik, definisi pendidikan
perdamaian adalah “mengajarkan kompetensi informasi, sikap, nilai, dan perilaku
yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan dan untuk
membangun dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan dan
harmonis” Hal ini juga dicatat pada Banding Den Haag untuk Kampanye
Perdamaian Global untuk Pendidikan Perdamaian. 16
Pendidikan kedamaian telah menjadi aliran yang mulai berkembang di dunia
internasional, termasuk di Indonesia. Pendidikan kedamaian telah memiliki
definisi yang berbeda tergantung pada konteks dan konten yang akan diatasi.
Menurut Fountain17 menyebutkan bahwa UNICEF mendefinisikan pendidikan
kedamaian sebagai proses mempromosikan pengetahuan, keterampilan, sikap dan
nilai-nilai yang diperlukan untuk membawa perubahan perilaku yang akan
memungkinkan anak-anak, remaja dan orang dewasa untuk (a) mencegah konflik
dan kekerasan, baik terang-terangan dan struktural; (b) untuk menyelesaikan
konflik secara damai; dan (c) untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi
perdamaian, apakah pada intrapersonal, interpersonal, antar kelompok, tingkat
nasional atau internasional.

15
Abdul Kholik, Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama, Tegal: Jurnal
Kependidikan, Vol. 05, No. 1, Mei 2017, hlm. 12-13
16
Jeanne Francoise, PESANTREN AS THE SOURCE OF PEACE EDUCATION, Indonesia
Defense University: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 25 No.1 2017, hlm. 44-45
17
Wahyu Nanda Eka Saputra, PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG PENERAPAN
PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI INDONESIA, Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal
CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah, Vol. 03, No. 3, Maret 2016, hlm. 90-91
11

Ada beberapa konsep dari kedamaian itu sendiri. Pertama konsep dari W.E.B.
Du Bois yang menyebut kedamaian adalah tanggung jawab tanpa kekuasaan
ejekan dan lelucon. Kedua, konsep dari Paolo Friere yang menyebut kedamaian
adalah dimensi kemurahan hati yang bertujuan untuk mengikis penyebab suatu
pertempuran. Kedua konsep tersebut menunjukkan bahwa pendidikan kedamaian
diharapkan dapat secara perlahan mengikis konflik-konflik yang telah terjadi dan
menimbulkan suatu ketenangan hati baik yang bersifat intrapersonal dan
interpersonal melalui usaha pendidikan.
Tokoh lain juga mendefinisikan hakekat pendidikan kedamaian. Anand
menjelaskan bahwa pendidikan kedamaian adalah suatu proses di mana individu
dapat mengubah sikap dan perilakunya tentang konflik kekerasan, memperoleh
nilai-nilai, pengetahuan dan mengembangkan keterampilan dan perilaku untuk
hidup dalam harmoni dengan orang lain.
Adeyemi & Salawudeen18 menjelaskan bahwa pendidikan kedamaian adalah
suatu filosofi dan proses yang berkaitan dengan akuisisi pengetahuan dan
keterampilan menciptakan perdamaian. Tujuan utama dari pendidikan kedamaian
adalah untuk mengekspos peserta didik dengan cara-cara non-kekerasan dalam
menangani konflik. Hal ini sesuai dengan pandangan dasar dari Mahatma Gandhi,
“Non-Violence”
Pendidikan kedamaian merupakan salah satu aliran pendidikan modern yang
berkembang saat ini. Guru yang menerapkan pendidikan kedamaian, mengajarkan
keterampilan non-kekerasan dan mempromosikan sikap yang penuh damai.
Harris19 mengemukakan bahwa pendidikan kedamaian memiliki lima postulat
utama, yaitu (1) menjelaskan akar permasalahan kekerasan; (2) mengajarkan
alternatif perilaku kekerasan; (3) mencari bentuk berbeda dari kekerasan dan
menghilangkannya; (4) perdamaian adalah proses yang beragam sesuai dengan
konteksnya; dan (5) konflik berpotensi terjadi di mana-mana.
Pendidikan kedamaian pada dasarnya sudah lama dirumuskan dalam agama
Islam. Hal ini dibuktikan dengan kalimat salam yang biasa diucapkan oleh umat
muslim. Ketika sesama muslim bertemu salah satunya akan menyampaikan
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, yang berarti adanya suatu
komitmen untuk tidak menyakiti umat muslim yang disapa.
Kemudian, umat muslim yang disapa akan menjawab, waalaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh, yang berarti adanya komitmen juga pada umat
muslim yang disapa untuk tidak menyakiti umat muslim yang menyapanya
berdasarkan kebiasaan mengucapkan salam antar umat muslim tersebut
menunjukkan bahwa umat muslim telah berusaha untuk menciptakan suatu
kedamaian melalui kegiatan yang sederhana, yaitu salam. Hal ini bertolak
belakang dengan banyaknya pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah
sarang radikalisme yang menyebabkan banyak konflik.

18
Wahyu Nanda Eka Saputra, PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG PENERAPAN
PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI INDONESIA, Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal
CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah, Vol. 03, No. 3, Maret 2016, hlm. 91
19
Wahyu Nanda Eka Saputra, PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG PENERAPAN
PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI INDONESIA, Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal
CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah, Vol. 03, No. 3, Maret 2016, hlm. 91
12

Konsep pendidikan kedamaian penting untuk diintegrasikan dalam kurikulum.


Guru perlu merancang kurikulum pendidikan kedamaian dengan baik dengan
tema perdamaian. Hal ini perlu dilakukan guru untuk mengembangkan sikap
empati pada siswa dan memberikan pemahaman hubungan antara kebutuhan dan
perasaan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendidikan kedamaian dapat menjadi
salah satu alternatif yang baik untuk menangani permasalahan yang melibatkan
konflik tertentu. Salah satunya penelitian yang dilakukan di Turki oleh Sagkal,
Ekpoh & Imo 20 menyimpulkan bahwa pendidikan kedamaian telah dilembagakan
ke dalam kurikulum sekolah, meskipun kegiatan budaya perdamaian belum
menjadi bagian penting dari kehidupan sekolah.
Hasil lebih lanjut mengungkapkan bahwa sekolah negeri dan swasta tidak
berbeda secara signifikan dalam pelembagaan pendidikan kedamaian dan budaya
perdamaian di tingkat sekolah pasca dasar di Calabar Calabar Education Zone,
Nigeria. Hasil penelitian tersebut memberi inspirasi bagi dunia pendidikan di
Indonesia untuk menerapkan pendidikan kedamaian yang saat ini Indonesia sering
terlibat dalam konflik.
Kurikulum pendidikan kedamaian di pendidikan tingkat dasar dapat
diwujudkan dengan metode yang sangat sederhana seperti bercerita, puisi, dan
permainan. Pendidikan kedamaian yang diterapkan di tingkat dasar juga dapat
menggunakan media film.
Hal ini didasarkan penelitian yang dilakukan oleh Akimoto21 yang
menganalisis film Grave of the Fireflies sebagai media dalam pendidikan
kedamaian. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa film Grave of the
Fireflies merupakan bentuk film yang mendukung anti perang yang berusaha
menyampaikan memori Perang Asia Pasifik dan dapat digunakan sebagai media
implementasi pendidikan kedamaian. Implementasi pendidikan kedamaian pada
pendidikan tingkat dasar di Indonesia juga dapat memanfaatkan film-film lain
yang sesuai dan memuat kaidah-kaidah pendidikan kedamaian dan karakteristik
siswa yang berada pada pendidikan tingkat dasar.

4. Pendidikan Pesantren Berbasis Perdamaian


Secara umum, pesantren telah menjadi pusat pendidikan Islam yang mampu
mewariskan tradisi-tradisi Islam yang andal dari generasi ke generasi. Pesantren
bahkan diakui sebagai salah satu lembaga yang mampu mendukung terwujudnya
multikulturalisme dalam diri umat yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi
dan keberagaman.
Namun seiring dengan kemajuan zaman, pesantren juga mengalami
perkembangan peran dan fungsinya. Perkembangan ini tidak lepas dari perspektif
dan upaya dari pihak guru dan kiai. Bahan ajar, misalnya, semata-mata

20
Wahyu Nanda Eka Saputra, PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG PENERAPAN
PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI INDONESIA, Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal
CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah, Vol. 03, No. 3, Maret 2016, hlm. 91
21
Wahyu Nanda Eka Saputra, PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG PENERAPAN
PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI INDONESIA, Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal
CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah, Vol. 03, No. 3, Maret 2016, hlm. 92
13

tergantung pada keputusan guru karena tidak ada kurikulum yang harus diikuti.
Akibatnya, beberapa pesantren kemudian dapat menjadi tempat transmisi ajaran
yang menyimpang dari arus utama seperti yang radikal dan tidak toleran terhadap
kelompok tertentu.
Kehadiran pesantren mainstream yang berciri tradisional dan multikultural
menjadi penting untuk dibahas sejalan dengan maraknya tren radikalisme di
pesantren. Gerakan radikal dalam Islam pada awalnya dilatarbelakangi oleh
keyakinan teologis dan ideologis yang diwakili oleh Khawarij. Mereka tidak
segan-segan mengklaim bahwa kelompok mereka adalah yang paling benar dan
yang lain salah atau bahkan berdosa.
Sekte Wahabi di Arab Saudi melakukan gerakan yang sama seperti yang
dilakukan Khawarij. Dari sini, kelompok ini melakukan aksi radikal yang sarat
dengan kekerasan seperti membunuh umat Islam yang bukan aliran atau aliran
kepercayaannya.
Di era modern, munculnya ideologi al-Qaidah yang dikomandani oleh Osama
bin Laden menunjukkan kekuatan doktrin ideologis radikal yang memicu
munculnya gerakan lain di negara lain seperti ISIS (Negara Islam Irak dan
Suriah), IIS ( Negara Islam Indonesia), Jama'ah Islamiyah, dan lain-lain. Oleh
karena itu, pendidikan di pesantren harus diwarnai dengan ciri-ciri yang
menjunjung tinggi keragaman dan keragaman budaya. Dalam hubungan inilah
pendidikan multikultural harus dikembangkan di pesantren untuk menumbuhkan
sikap dan perilaku yang inklusif, toleran dan menjunjung tinggi perdamaian. 22
Kuesioner persepsi lingkungan damai di rumah dan pesantren, meliputi
persepsi santri tentang keadaan tenang, aman dan nyaman ketika berhadapan
dengan anggota keluarga di rumah (orang tua dan saudara kandung) dan
pesantren (sahabat dan guru/assatidz), bercirikan dengan tidak adanya kekerasan,
adanya penerimaan (toleransi), keadilan, dan komunikasi yang sehat.23
Pendidikan pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan
mengajarkan dasar-dasar agama Islam. Lembaga pendidikan ini tidak mencetak
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mau diperintah orang lain. Pesantren juga
merupakan lembaga pendidikan yang mencetak orang-orang yang tidak mau
tergantung pada orang lain, tetapi berdiri di atas telapak kaki sendiri.
Bila ditelusuri, pendidikan pesantren pada dasarnya berbasis pendidikan
perdamaian. Karena pendidikan perdamaian adalah fokus pada karakteristik
perdamaian, yaitu: (1) perdamaian itu dinamis; (2) perdamaian itu merupakan
penyelesaian masalah yang adil tanpa kekerasan; (3) perdamaian itu
menghasilkan keseimbangan dalam interaksi sosial, sehingga manusia hidup
dalam relasi yang harmonis; (4) perdamaian itu baik untuk masyarakat; (5) bila
ada kekerasan, tidak akan ada perdamaian; (6) supaya ada keseimbangan dalam

22
Marzuki, Miftahuddin, Mukhamad Murdiono, MULTICULTURAL EDUCATION IN
SALAF PESANTREN AND PREVENTION OF RELIGIOUS RADICALISM IN INDONESIA,
Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia: Cakrawala Pendidikan, Vol. 39, No. 1, February 2020,
hlm. 14
23
Ade Hidayat, Peaceful in Pesantren: The Involvement of Santri’s Peaceful Environment and
Personality, Universitas Mathla'ul Anwar Banten, Indonesia: AL-TA’LIM JOURNAL, Vol. 24, No.
2, 2017, hlm. 83
14

dinamika interaksi sosial, perdamaian harus berdiri di atas keadilan dan


kebebasan; (7) bila ada ketidak adilan dan ketidakbebasan, tidak akan ada
perdamaian24
Di era kekinian, model pendidikan pesantren tengah menerapkan
kontekstualisasi materi-materi khas pesantren dengan isu-isu kontemporer
(temporary humanity issues). Materi keislaman yang biasanya berkutat pada
kajian teks-teks klasik, sekarang nampak mulai diterjemahkan lebih membumi
seperti diintegrasikan pada kajian isu-isu kemanusiaan, hak asasi manusia,
gender, human traficking, global warming, ekologi, kemajuan teknologi, serta
dinamika persoalan kemanusiaan lainnya.
Pendidikan perdamaian merupakan upaya yang dilakukan untuk mewujudkan
nilai, perilaku dan cara hidup yang mendukung terciptanya budaya damai.
Menurut Asama, tujuan pendidika nperdamaian adalah untuk memberikan
pemahaman dan kesadaran tentang akar konflik, kekerasan dan ketidakdamaian
dalam lingkup personal, interpersonal, komunitas, nasional, regional dan
internasional. Tujuan akhir dari pendidikan perdamaian adalah terciptanya
pendidikan damai sebagaimana yang dideklarasikan oleh PBB pada 13
September 1999: yaitu sejumlah nilai, keyakinan, tradisi, perilaku dan gaya hidup
yang berbasis pada prinsip-prinsip non-kekerasan, toleransi, solidaritas,
menghargai hak asasi dan kebebasan, serta lebih khusus adalah menyediakan
ruang untuk partisipasi dan pemberdayaan perempuan. 25
Unsur-unsur yang ada dalam pendidikan perdamaian yang digagas oleh
UNESCO pada dasarnya diajarkan di pesantrenpesantren. Karena dipesantren
diajarkan ayat-ayat suci al-Qur’an di antaranya tentang agama Islam adalah
rahmatan lil ‘alamin.
Konsep rahmatan lil ‘alamin dalam Islam secara garis besar melihat
perdamaian dalam dua dimensi. Pertama, dimensi tauhidiah (ketuhanan); yaitu
konteks bahwa Allah adalah inspirasi dan sumber perdamaian. Kedua, dimensi
insaniah (kemanusiaan); artinya manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan
suci dan memiliki nilai asasi yang perlu dijaga dan dijunjung tinggi untuk bisa
hidup damai, tenang, rukun dan toleran.
Dimensi insaniah ini memiliki tiga landasan utama, yaitu: (a) damai dalam diri
sendiri; (b) damai dalam keluarga yang mengarahkan terjadi-nya hubungan yang
harmonis di lingkungan keluarga, sehingga tercipta ketenangan dan cinta kasih;
dan (c), damai dalam lingkungan masyarakat, sehingga terjadi hubungan sosial
yang harmonis, bebas dari berbagai macam diskriminasi26

24
Eneng Muslihah, PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PERDAMAIAN
Studi Kasus di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten, Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten: Jurnal Studi
Keislaman, Volume 14, Nomor 2, Desember 2014, hlm 315
25
Eneng Muslihah, PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PERDAMAIAN
Studi Kasus di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten, Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten: Jurnal Studi
Keislaman, Volume 14, Nomor 2, Desember 2014, hlm 316
26
Eneng Muslihah, PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PERDAMAIAN
Studi Kasus di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten, Fakultas Tarbiyah dan
15

5. Paham Radikalisme yang Berkembang di Kalangan Intelektual


Sebuah riset yang dilakukan Center for Religious and Cross Cultural Studies,
Universitas Gajah Mada dan lembaga kajian Islam dan sosial (LKiS) Yogyakarta
dalam politik ruang publik sekolah bahwa di Yogyakarta terdapat beberapa
Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memiliki kecenderungan keras (radikal)
dalam memahami keagamaan yang selama ini dianut.
Radikalisasi yang mereka anut terjadi karena peran-peran para mentor yakni
para alumni SMA tersebut dalam memberikan pemahaman tentang keislaman
pada para siswa tersebut. Mereka adalah kaum muda yang rata-rata berumur 18-
19 tahun di mana mereka melakukan aktivitas ke-Islam-an di sekolah dengan
mendominasi ruang publik seperti menjadi pengurus OSIS sebuah organisasi
resmi milik sekolah menengah atas serta mendominasi kegiatan ke-Islam-an
dalam organisasi Unit Kerohanian Islam (Rohis) yang sejak 1990 menjalar di
mana-mana, hampir di setiap sekolah negeri yang ada di Yogyakarta, termasuk
sekolah-sekolah unggulan bahkan sekolah berstandar internasional. 27
Persoalan kaum muda yang radikal semakin membuat kita prihatin.
Berdasarkan laporan survey LAKIF (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian)
memberikan gambaran yang kuat dugaan radikalisasi dikalangan kaum muda
terutama siswa SMP dan SMA dikawasan Jabotabek memberikan indikasi
tentang aksi-aksi radikal yang mereka dukung dan berani lakukan sebagai bagian
dari jihad. Mereka tampaknya mendapatkan dukungan yang cukup luas dari
kalangan anak muda disekolah tingkat SMP dan SMA.
Ketika ditanyakan kepada mereka kepada 100 sekolah di jabotabek, dengan
590 guru, tentang apakah bersedia terlibat dalam aksi kekerasan, sebanyak 48,9
bersedia mendukung. Ketika ditanyakan apakah yang dilakukan Noordin M. Top
itu dapat dibenarkan, sebanyak 14,2 siswa menyatakan dapat membenarkan.
Sementara ketika ditanyakan apakah setuju dengan pemberlakuan syariat Islam,
sebanyak 84,8 (85%) menjawab setuju. Sementara ketika ditanyakan apakah
Pancasila masih relevan sebagai dasar negara, sebanyak 25,8 atau 26 %
menjawab tidak relevan.
Hasil survey di atas tentu saja membuat gerah banyak pihak termasuk aparat
keamanan dan pihak sekolah serta tentu saja negara. Negara dan aparat keamanan
akhirnya membuat program deradikalisasi di tingkat Sekolah Menengah Pertama
dan Sekolah Menengah Atas (SMP dan SMA) untuk membendung arus
radikalisasi yang dianggap berbahaya jika terus berkembang di tanah air.
Paham radikalisme kini tidak hanya menjangkiti kalangan bawah yang minim
pendidikan, tetapi juga mulai mewabah ke kalangan intelektual di perguruan
tinggi. Fenomena ini terekam pada hasil penelitian yang dilakukan pusat
penelitian kemasyarakatan dan kebudayaan ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
dalam satu dekade terakhir pasca Reformasi (Kompas, 19/2/2017).
Penelitian ini dibahas dalam diskusi di kantor LIPI Jakarta dengan tajuk
“Membedah pola gerakan Radikal di Indonesia’’. Anas Saidi sebagai pembicara

Keguruan Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten: Jurnal Studi
Keislaman, Volume 14, Nomor 2, Desember 2014, hlm 317
27
Abdul Kholik, Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama, Tegal: Jurnal
Kependidikan, Vol. 05, No. 1, Mei 2017, hlm. 14-15
16

(peneliti LIPI dalam bidang hukum) mengemukakan hasil penelitiannya yang


berjudul “Mahasiswa Islam dan masa depan demokrasi di Indonesia” tahun 2015
mengatakan bahwa faham radikal telah menguasai kampus-kampus besar di
Indonesia. Kendati ia telah mengambil study kasus di UGM, Anas mengkaji
kampus lain, seperti ITB , ITS, Universitas Brawijaya, Universitas Air Langga,
IPB, dan Universitas Diponegoro sebagai perbandingan.28
Menurutnya, ada beberapa agenda strategis untuk mengembalikan lembaga
pendidikan pada posisinya sesuai dengan tujuan awal (pendidikan), agar lembaga
ini berperan sebagaimana mestinya. Adapun agenda tersebut adalah:
a. Putar haluan dan posisi lembaga pendidikan, pada tujuan awal, yaitu sebagai
tempat untuk mencarai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, belajar bagi
siswa dan mengajar bagi guru.
b. Kelola lembaga pendidikan dengan baik dan benar, karena tanpa pengelolaan
yang baik, maka lembaga ini akan teringgal jauh dan yang pasti akan
ditinggalkan oleh peminatnya termasuk masyarakat.
c. Bentengi semua siswa, guru, pegawai yang ada di lembaga, dengan berbagai
ilmu, baik ilmu dunia terleih ilmu akhirat, karena bagaimanapun kedua ilmu
adalah merupakan sarana kehidupan kita, untuk kepentingan di dunia menuju
akhirat.

6. Pendidikan Multikultural dalam Surat al-Hujarat Ayat 12-13


Dalam surat al-Hujurat ayat 12-13 memiliki asbabun nuzul atau sebab turun
berupa sebuah riwayat dari Abu Mulaikah bahwa “pada peristiwa pembebasan
kota Makkah (Fathu Makkah), Bilal naik ke atas Ka’bah lalu mengumandangkan
adzan. Melihat hal itu, berkatalah ‘Attab bin Said bin Abi al-‘Ish, “Segala puji
bagi Allah yang telah mencabut nyawa ayahku, sehingga tiada menyaksikan hari
ini.” Sedang Al-Haris bin Hisyam berkata, “Muhammad tidak menemukan selain
burung gagak yang hitam ini untuk dijadikan mu’adzin.” Dan Suhail bin Amr
berkata, “Jika Allah menghendaki sesuatu maka bisa jadi Dia merunahnya.”
Maka datanglah Malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW. memberitahukan
terkait dengan apa yang mereka katakan.
Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan dalam kitab “al-Mubhamat” terkait dengan
asbabun nuzul ayat di atas, “saya menemukan tulisan tangan dari Ibnu Basyikual
yang menyebutkan bahwa Abu Bakar bin Abu Daud meriwayatkan dalam kitab
tafsirnya, “ayat ini turun berkenaan dengan Abi Hindun. Suatu ketika, Rasulullah
saw. menyuruh bani Bayadhah untuk menikahkan Abu Hindun dengan wanita
dari suku mereka. akan tetapi, mereka berkata, “wahai Rasulullah, bagaimana
mungkin kami akan menikahkan anak wanita kami dengan seorang budak?
Sebagai responnya, turunlah ayat tersebut”29

28
Abdul Kholik, Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama, Tegal: Jurnal
Kependidikan, Vol. 05, No. 1, Mei 2017, hlm. 14-15
29
Abdul Basid, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT
AYAT 12-13 SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA,
Purwokerto: Jurnal El-Hamra (Kependidikan dan Kemasyarakatan), Vol. 4. No. 1 Februari 2019,
hlm. 68
17

Pesan utama yang terkandung dalam ayat di atas adalah keragaman jenis
kelamin, individu, suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal. Sikap yang
ditimbulkan oleh komitmen untuk saling mengenal tersebut merupakan sikap
positif konstruktif yang bersifat aktif. Dengan mengenal diri pada orang lain pada
komitmen di atas, maka terjalinlah saling pengertian akan prilaku, keinginan,
kelebihan dan kekurangan masing-masing individu, suku atau bangsa.
At-Thabari mengatakan, Rasulullah saw. berkhutbah di Mina di tengah hari-
hari tasyriq, sedang beliau berada di atas untanya. Beliau berkata, “Hai manusia,
ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa dan ayahmu satu. Ketahuilah,
tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas seorang ‘Ajam (bukan Arab) maupun
orang ‘Ajam atas orang Arab, atau bagi orang hitam atas orang merah, atau bagi
orang merah atas orang hitam, kecuali dengan takwa.30
Diriwayatkan pula dari Abu Malik Al-Asy’ari, ia berkata bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “sesungguhnya Allah tidak memandang kepada pangkat-pangkat
kalian dan tidak pula kepada nasab-nasabmu dan tidak pula kepada tubuhmu, dan
tidak pula kepada hartamu, akan tetapi memandang kepada hatimu. Maka barang
siapa memiliki hati yang shalih, maka Allah belas kasih kepadanya. Kalian tiada
lain adalah anak cucu Adam dan yang paling dicintai Allah diantara kalian adalah
yang paling bertakwa diantara kalian.31
Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa, sesungguhnya Kami (Allah swt)
menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah
pengantar untuk menegaskan bahwa semua derajat kemanusiaannya sama disisi
Allah swt. Tidak ada perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Tidak ada perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan,
karena semua manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan. Allah
juga menjadikan manusia dengan bersukusuku, berbangsa-bangsa dan
berkelompokkelompok. Semua mendapat perlakuan yang sama oleh Allah swt.
Tujuannya haya satu, yaitu “li ta’arafu” (saling mengenal satu sama lain secara
baik).
Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan bahwa “sesungguhnya yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah swt. adalah yang paling bertaqwa”.
Dengan demikian, hal yang membedakan manusia satu dengan yang lain bukan
terletak pada sukunya, rasis ataupun bahasanya, tetapi lebih kepada tingkat
ketaqwaannya kepada Allah swt. Karena itu, berusahalah untuk meningkatkan
ketaqwaan agar menjadi yang termulia disisi Allah swt.
Jika keragaman individu, suku, bangsa dan agama dianalogikan dengan
tinjauan perspektif struktural fungsional, misalnya dianalogikan dengan
kemajemukan anggota tubuh pada diri seorang manusia.

30
Abdul Basid, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT
AYAT 12-13 SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA,
Purwokerto: Jurnal El-Hamra (Kependidikan dan Kemasyarakatan), Vol. 4. No. 1 Februari 2019,
hlm. 68
31
Abdul Basid, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT
AYAT 12-13 SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA,
Purwokerto: Jurnal El-Hamra (Kependidikan dan Kemasyarakatan), Vol. 4. No. 1 Februari 2019,
hlm. 69
Manusia memiliki kepala, badan, tangan dan kaki yang keseluruhannya
berbeda satu sama lain, namun tetap bersatu dalam satu kesatuan wujud manusia.
Masing-masing anggota tubuh memiliki fungsi yang unik. Masing-masing
berfungsi sesuai dengan proporsionalitasnya sehingga anggota yang satu meski
sedemikian vital fungsinya tidak akan dapat menggantikan organ lainnya.
Jika dikaitkan dengan masyarakat yang heterogen, setiap masyarakat memiliki
fungsifungsi tertentu dalam hubungan sosial, baik itu pada skala kecil seperti
hubungan antar keluarga dengan keluarga, maupun skala besar seperti hubungan
kelompok dalam masyarakat dalam negara. Dengan kata lain, keragaman etnis,
budaya, dan agama memiliki tempat tersendiri dalam membangun kebersamaan
untuk eksistensi bersama.
Masing-masing individu memiliki peranan yang penting dalam mewujudkan
kebersamaan. Oleh karena itu, seyogyanya setiap individu maupun kelompok
memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelestarian, ketenteraman, dan
kesejahteraan dalam mewujudkan eksistensi kebersamaan tanpa adanya
hegemoni kekuasaan terhadap kelompok minoritas atau sebaliknya. 32

C. PENUTUP
Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan adanya praktek
kekerasan. Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan
apa yang dianggap sakral bukanlah cara-cara yang Islami. Di dalam tradisi
peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya label radikalisme.
Islam moderat sendiri merupakan bentuk menghindari ekstremisme agama, hal
ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang intoleran. Islam moderat
adalah sikap mengambil jalan tengah dalam beragama. Jika ditinjau kembali,
adanya konflik terkait kebhinekaan yang sering terjadi adalah karena masih
banyaknya paham radikal tanpa pemahaman Islam yang moderat.
Ada kesalahan pemahaman yang sering terjadi dan berulang kali dilakukan
bahwa kekerasan dan radikalisme merupakan satu yang menyatu, sehingga Islam
tidak lain adalah kekerasan. Perspektif semacam ini dilakukan oleh beberapa
cendikiawan semacam Bassam Tibi ketika membahas fenomena radikalisme
Islam di kawasan Timur Tengah dan kawasan negara lain, dengan tegas dia
mengatakan bahwa fenomena radikalisme merupakan fenomena Islam politik,
bukan merupakan fenomena teologis sebab secara doktrin Islam tidak
mengajarkan kekerasan terhadap sesama muslim ataupun kepada orang yang
berbeda agama.
Dalam surat al-Hujurat ayat 12-13 mengandung pesan utama yaitu keragaman
jenis kelamin, individu, suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal. Sikap
yang ditimbulkan oleh komitmen untuk saling mengenal tersebut merupakan
sikap positif konstruktif yang bersifat aktif. Dengan mengenal diri pada orang

32
Abdul Basid, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT
AYAT 12-13 SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA,
Purwokerto: Jurnal El-Hamra (Kependidikan dan Kemasyarakatan), Vol. 4. No. 1 Februari 2019,
hlm. 68-69

18
lain pada komitmen di atas, maka terjalinlah saling pengertian akan prilaku,
keinginan, kelebihan dan kekurangan masing-masing individu, suku atau bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Basid, Abdul. 2019. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-


HUJARAT AYAT 12-13 SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN
DAN PERDAMAIAN DUNIA. IAIN Purwokerto: Jurnal El-Hamra. 4(1):
66-71
Francoise, Jeanne. 2017. PESANTREN AS THE SOURCE OF PEACE
EDUCATION, Indonesia Defense University: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan. 25(1): 41-62

Hidayat, Ade. 2017. Peaceful in Pesantren: The Involvement of Santri’s Peaceful


Environment and Personality, Universitas Mathla'ul Anwar Banten,
Indonesia: AL-TA’LIM JOURNAL. 24(2): 79-92

Hidayat, Nur. 2017. Nilai-nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian (Kajian antara
Teori dan Praktek). Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama.
17(1): 16-24

Kholik, Abdul. 2017. Pendidikan Islam dan Fenomena Radikalisme Agama.


Tegal: Jurnal Kependidikan. 5(1): 10-19

Saputra, Wahyu Nanda Eka. 2016. PENDIDIKAN KEDAMAIAN: PELUANG


PENERAPAN PADA PENDIDIKAN TINGKAT DASAR DI
INDONESIA. Universitas Ahmad Dahlan: Jurnal CARE Edisi Khusus Temu
Ilmiah. 03(3): 88-94

Marzuki. 2020. Miftahuddin, Mukhamad Murdiono, MULTICULTURAL


EDUCATION IN SALAF PESANTREN AND PREVENTION OF
RELIGIOUS RADICALISM IN INDONESIA, Universitas Negeri
Yogyakarta, Indonesia: Cakrawala Pendidikan. 39(1): 12-25

Muslihah, Eneng. 2014. PESANTREN DAN PENGEMBANGAN


PENDIDIKAN PERDAMAIAN Studi Kasus di Pesantren An-Nidzomiyyah
Labuan Pandeglang Banten. Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana
Hasanuddin Banten: Jurnal Studi Keislaman. 14(2): 311-340

Natsir, Nanat Fatah. 2012. The Next Civilazation Menggagas Indonesia Sebagai
Puncak Peradaban Dunia. Bekasi: Penerbit Media Maxima.

Subandi. 2019. Implementation of Multicultural and Moderate Islamic Education


at the Elementary Schools in Shaping the Nationalism Tadris: Jurnal
Keguruan dan Ilmu Tarbiyah. Vol. 4 (2). 247-255
Suciati and Azizah Maulina Erzad. 2018. THE EXISTENCE OF KUDUS
ISLAMIC LOCAL CULTURE TO PREVENT RADICALISM IN
GLOBALIZATION ERA, STAIN Kudus, Central Java, Indonesia: Qudus
International Journal of Islamic Studies. 6(1): 39-56

Anda mungkin juga menyukai