Anda di halaman 1dari 16

Setelah tragedi WTC 11 September 2002 lalu, muncul berbagai implikasi yang sangat merugikan dunia Islam khususnya

sebagai akibat dari respon negara-negara Barat (dalam hal ini Amerika) yang menyikapi tragedi tersebut secara berlebihan, sepihak dan membabi buta. Setelah tragedi WTC, misalnya, pemerintah Amerika menyerukan dan mengajak negara-negara lain untuk memerangi segala bentuk terorisme, termasuk terorisme Islam. Presiden Bush memang mencoba meyakinkan dunia bahwa perang melawan terorisme (Islam) yang diwakili oleh sosok Osama Bin Laden, bukanlah perang melawan Islam. Namun, sejumlah langkah Amerika rasanya mengaburkan pemilahan tadi: karena, serangan Amerika ke Afganistan, dalam rangka memburu Osama, nampak lebih bertujuan untuk melakukan perubahan rezim yang menguntungkan pihak Amerika sendiri, daripada menangkap Osama, hidup atau mati. Tindakan Amerika menumbangkan rezim Saddam Hussein yang berkuasa di Irak juga lebih terlihat sebagai upaya perubahan rezim untuk menunaikan kepentingan egosentrisme Amerika (dan Israel). Lebih jauh, tudinganya terhadap Indonesia sebagai sarang teroris juga lebih merupakan tekanan terselubung agar negara Muslim terbesar didunia ini mau bergabung dalam keluarga besar perang melawan terorisme yang dipimpin Amerika. Pernyataan Bush bahwa Amerika tak hanya memburu teroris, tapi juga negara-negara yang melindungi teroris, telah secara efektif mengaburkan batas antara teroris Islam dan Islam secara keseluruhan. Imbasnya, muncul stigma yang negatif dinegara-negara Barat dengan adanya pencitraan negatif Islam sebagai agama teroris. Buku ini sesungguhnya merupakan kajian kritis, untuk tidak mengatakannya sebagai upaya pembelaan, atas terjadinya pencitraan negatif Islam sebagai agama teroris di satu sisi, dan sebagai upaya melihat realitas sesungguhnya yang terjadi dikalangan orang Barat (Amerika) dalam memandang Islam, di sisi yang lain. Dengan demikian, melalui buku ini Alwi Shihab ingin menyampaikan 2 pesan penting berkaitan dengan kedua hal di atas. Pertama, pencitraan negatif Islam sebagai agama teroris oleh beberapa negara Barat (termasuk Amerika) sangat tidak beralasan, baik dari segi teologis (ajaran Islam) maupun segi sosiologis (hubungan Islam dengan agama lain). Kedua, kebijakan luar negeri pemerintah Amerika yang selama ini merugikan dunia Islam juga tidak selalu merepresentasikan keinginan masyarakat Amerika secara keseluruhan. Artinya, terdapat perbedaan mendasar dalam cara pandang pemerintah Amerika dan masyarakatnya (yang dalam buku ini diwakili mahasiswa) terhadap Islam. Untuk menyampaikan kedua pesan penting di atas, Alwi Shihab membagi buku ini menjadi 6 bab. 3 bab pertama merupakan penjabaran dari pesan pertama, sementara pesan kedua dijabarkan dalam 3 bab selanjutnya. Bab pertama buku ini mengetengahkan judul menghikmahi tragedi September. Di sini Alwi ingin mengajak pembacanya menganalisis fenomena tragedi ini dari 2 hal. Pertama bahwa aksi teror merupakan aktivitas yang tidak mengenal agama, ras, bangsa dan batas geografis karena sepanjang sejarah kita jumpai banyak aksi teror dengan berbagai latar belakang dan motivasi yang berbeda-beda. Kedua, Islam sangat tidak membenarkan aksi teror yang membinasakan manusia yang tidak bersalah. Bukti ini dapat kita lihat dalam Al-Quran 5:32, 33 dsb. Selanjutnya, menurut Alwi, jika terdapat nilai positif dari tragedi September adalah bahwa tragedi tersebut telah membuka mata banyak orang Barat tentang Islam, dan tanpa disadari mengundang rasa keingintahuan (curiousity) mereka atas Islam dan ajaranya yang sebenar-benarnya. Dalam bab 1 ini Alwi juga menyakatan bahwa terdapat 2 faktor penyebab yang memicu lahirnya tragedi September yakni faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yakni sikap antipati terhadap Amerika dari sebagian dunia Islam, yang mencapai puncaknya dengan tragedi tersebut dan ini dipicu oleh sejarah konflik yang cukup lama dan mengakar diantara kedua belah pihak. Sementara, faktor internalnya yakni implikasi penjajahan Barat terhadap Islam, yang tampak sangat nyata ketika kita telusuri sejarah kelahiran gerakan-gerakan Islam modern. Gerakan ini, lebih lanjut, digolongkan menjadi 2 kategori yakni, gerakan puritan wahabi-nya Muhamad Ibnu Abdul Wahab dan gerakan moderat yang mencoba mempertemukan Barat dan Islam seperti Jamaludin Al-Afgani dan M.Abduh. Dalam 2 bab berikutnya, Alwi memotret realitas keagamaan yang sekarang berkembang di Amerika, yang kita kenal sebagai agama madani (civil religion). Dalam konteks masyarakat Amerika, agama madani bertolak dari adanya diferensi fungsional kelompok-kelompok keagamaan terutama tentang legitimasi. Artinya, karena negara tidak terikat dengan salah satu agama, maka ia tidak mengurusi soal benar tidaknya satu agama dan yang lainnya. Dan, dalam hal ini yang menjadi konsern negara adalah jika kriteria kebenaran agama menjadi konflik dimasyarakat dapat didamaikan dan negara menjadi penengahnya. Hal ini tentu saja mengisyaratkan adanya kesadaran pluralistik masyarakat Amerika terhadap realitas keagamaan yang memang plural. Selanjutnya, Alwi juga mengidentifikasi interaksi Islam dan Barat (dalam hal ini Kristen) untuk melihat sejauh mana pandangan pemerintah dan masyarakat Amerika terhadap Islam bila dilihat dalam konteks sejarah hubungan antara keduanya. Menurut Alwi, saat ini Islam memang bukanlah agama yang asing bagi masyarakat Amerika. Namun berbagai literatur kesejarahan Islam yang ada pada umumnya didominasi oleh kecenderungan yang bersifat antipati, prejudice dan polemis terhadap Islam. Warisan abad pertengahan Kristen yang kurang bersahabat dengan Islam ini dampaknya masih terasa sekali sampai sekarang, meski dalam skala dan intensitas yang lebih kecil. Inilah juga yang menurut Alwi melatar belakangi warna-warni persepsi dan sikap masyarakat Amerika terhadap Islam. Untuk menyampaikan pesan keduanya melalui 3 bab terakhir dalam buku ini, Alwi menjabarkan bahwa terdapat

kecenderungan persepsi dan sikap keagamaan masyarakat Amerika (yang dalam hal ini diwakili para mahasiswa) kedalam 4 kelompok yakni: (1) kelompok dengan komitmen mendalam dan cenderung kaku dalam menyikapi agama, (2) kelompok dengan komitmen mendalam tapi bersikap luwes dan terbuka, (3) kelompok yang cenderung bersikap kritis dan (4) kelompok yang cenderung sinis dan tidak mengacuhkan komitmen keagamaan. Alwi merekam keempat kelompok ini dalam diskusi kelas selama beliau mengajar di Amerika dan melalui mailing list yang ia beri nama Religion31. Keempat kelompok ini, menurut Alwi, merupakan miniatur yang dapat menggambarkan kecenderungan umum masyarakat Amerika terhadap agama (Islam). Dari penelusuran persepsi mahasiswa Amerika terhadap Islam juga ternyata banyak pemahaman yang didominasi oleh gambaran yang keliru. Hal ini dikarenakan banyaknya media dan hal lain yang menyangkut informasi tentang Islam yang bersifat stereotipe, prejudice dan cenderung memusuhi Islam. Namun demikian, para mahasiswa Amerika ratarata dapat berfikir logis dan kritis serta tidak menerima begitu saja hal-hal tersebut sehingga kebanyakan sampai pada kesimpulan bahwa Islam has been worth while learning about (Islam berguna untuk dipelajari). Dengan cukup jeli dan akurat, Alwi dapat memotret apa yang terjadi dalam suatu diskusi milist tentang Islam, dimana rata-rata mahasiswa Amerika bersikap apresiatif dan kritis dalam menyikapi apa yang terjadi didunia Barat (Amerika) yang berkaitan dengan dunia Islam. Secara demikian Alwi merasa perlu untuk menambahkan bab terakhir dalam buku ini yang menjelaskan ketertarikan mahasiswa Amerika terhadap tasawuf. Meskipun ajaran spiritual tasawuf kebanyakan kontras dengan realitas dunia mereka yang materialistik, namun mereka menyatakan bahwa tasawuf merupakan tradisi spiritual yang luas dalam sejarah agama-agama. Dengan demikian para mahasiswa menyakatan ada beberapa dimensi tertentu dari tasawuf yang bisa mengakomodir dan mempertemukan kepentingan berbagai agama. Karena itulah mereka menyatakan ketertarikannya untuk mempelajari tasawuf, termasuk tasawuf Islam. Kajian dalam buku ini pada akhirnya menggelontorkan beberapa hal penting. Berkait dengan perkembangan teoritis tentang wacana Barat-Islam, buku ini berusaha mensintesiskan dua arus pemikiran yang berkembang dikalangan Islam tentang dunia Barat dan yang berkembang dikalangan Barat tentang dunia Islam. Dengan demikian, ide untuk memunculkan sintesis pemikiran antara kedua belah pihak tersebut diharapkan dapat memunculkan wacana teoritis yang lebih dialogis diantara keduanya. Sementara itu, berkaitan dengan arah perkembangan masyarakat Muslim Indonesia yang ada sekarang, buku ini diharapkan dapat memberi kesadaran baru terhadap pembacanya untuk bisa secara lebih jeli melihat realitas internal dunia Islam yang sesungguhnya menekankan prinsip rahmatan lil Alamin, sehingga tidak akan pernah mentolerir wacana kekerasan dalam bentuk apapun. Meskipun materi kajian buku ini terbilang basi, dalam arti bahwa wacana yang menyangkut interaksi Barat-lslam sudah banyak dibahas, namun relevansi buku ini tetap kuat karena buku kajian Barat-Islam yang mengambil obyek/responden dari pihak Barat sendiri masih terbilang amat langka di Indonesia. Dengan demikian buku ini menjadi amat penting artinya dalam konteks melihat realitas hubungan Islam dan Barat dengan menggunakan both sides perspective. (1) Suratno, Dosen Departemen Falsafah dan Agama, dan Peneliti PSIK, Universitas Paramadina, Jakarta. Ia juga Dosen STAINU dan Wakil-Direktur LP3M, Jakarta. Sebelumnya: GANDHI: MANUSIA BIJAK DARI TIMUR Selanjutnya : RETHINKING TRANSFORMASI PLURALISME AGAMA

balas

http://suratno77.multiply.com/reviews/item/10?&show_interstitial=1&u= %2Freviews%2Fitem


KOLOM, 12/06/2005

Refleksi Kasus Guantanamo:Merumuskan

Ulang Hubungan Islam

dan Barat
Oleh Abd. Malik Utsman
Baru-baru ini, kita kembali dikejutkan isu pelecehan Alquran yang dilakukan tentara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba. Peristiwa itu telah membakar emosi umat Islam di berbagai negara. Ribuan massa di Jakarta, Kabul, Cairo dan Islamabad memadati jalan-jalan ibukota masing-masing untuk mengungkapkan kutukan mereka pada Amerika. Persoalan di atas hanya bagian kecil dari bentuk perbenturan Barat (khususnya Amerika) dan Islam. Bila bangunan toleransi dan saling memahami tidak kembali ditata, agresi dan teror akan terus mewarnai hubungan Islam-Barat. Islamolog John L Esposito pernah menyatakan bahwa tragedi 11 September 2001 telah merombak tatanan kontsruktif hubungan Islam dan Barat yang telah dibangun berbagai pihak sejak lama. Kini, hubungan itu kembali tegang. Baru-baru ini, kita kembali dikejutkan isu pelecehan Alquran yang dilakukan tentara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba. Peristiwa itu telah membakar emosi umat Islam di berbagai negara. Ribuan massa di Jakarta, Kabul, Cairo dan Islamabad memadati jalanjalan ibukota masing-masing untuk mengungkapkan kutukan mereka pada Amerika. Persoalan di atas hanya bagian kecil dari bentuk perbenturan Barat (khususnya Amerika) dan Islam. Bila bangunan toleransi dan saling memahami tidak kembali ditata, agresi dan teror akan terus mewarnai hubungan Islam-Barat. Tidak terlalu sulit meledakkan konflik dalam skala global, mengingat sejarah pertemuan Islam dan Barat lebih banyak berupa ketegangan dan konflik daripada harmoni. Berbagai kejadian aktual kini akan dirujukkan kembali pada sejarah masa lalu. Karena itu, tesis Huntington yang menyebut konflik global akan dipicu perbedaan kultural dari peradaban yang berbeda, tampaknya bukan sekadar provokasi. Sebab, salah satu faktor dominan dalam perbenturan itu adalah adalah arogansi Barat sendiri dan militansi Islam. Harus diakui, sikap arogan Barat yang intervensionis terhadap dunia muslim, dan reaksi balik umat Islam dengan cara-cara yang militan dan radikal, tidak jarang menumbuhkan kekerasan. Tapi tidak hanya karena itu. Pertentangan Islam dan Barat juga banyak didasari oleh rasa ketakutan dan kekhawatiran masing-masing. Barat khawatir Islam tumbuh dan berkembang sebagai rival perpolitikan Barat. Revolusi Iran yang sudah berlangsung lama sejak 1979 misalnya, dan beberapa gerakan revivalis Islam, semakin meyakinkan Barat bahwa ideologi Islam adalah ancaman pascakomunisme. Sementara itu, umat Islam juga selalu khawatir apabila modernisme, sekularisme dan materialisme yang berkembang baik di Barat akan mengikis tradisi suci mereka. Karena itu, dunia Islam selalu

defensif terhadap Barat. Tidak hanya defensif, umat Islam juga aktif menolak apapun yang berbau Barat, terutama produk-produk pemikirannya. Padahal, di situlah terletak salah satu faktor kemunduran Islam. Saling khawatir dan takut antar Islam dan Barat juga bersumber dari ketidaktahuan. Akibatnya, Barat selalu memandang Islam dengan perspektif yang negatif. Montgomery Watt misalnya mengatakan bahwa Barat telah lama menjadi ahli waris prasangka masa lalunya. Citra negatif Islam itu, di dunia Barat masih saja membekas dan terus menerus mendominasi pemikiran Barat. Pandangan Barat terhadap Islam, sampai kini masih banyak terpengaruh warisan dendam masa lalu. Pengetahuan Barat terhadap Islam juga bersifat parsial dan bias. Barat selalu gagal dalam memahami Islam. Masyarakat Islam selalu didudukkan sebagai barbar, primitif dan gemar berperang. Dari situlah muncul arogansi Barat untuk memaksa gagasan dan konsep mereka sebagai peradaban universal. Terhadap Islam, Barat lalu menyajikan dua pilihan saja: tetap setia pada Islam tapi tidak menggapai kemajuan materi, atau maju sembari meninggalkan nilai-nilai Islam. Di pihak lain, mayoritas muslim juga punya pandangan tersendiri tentang peradaban Barat. Barat selamanya ditempatkan bukan sebagai mitra dialog antar budaya, tapi sebagai musuh yang selalu menjajah. Barat juga dinilai telah mengalami krisis spiritual dan mestinya harus kembali kepada semangat Islam. Ilmu pengetahuan dan teknologi Barat dianggap tidak lagi membawa kesejahteraan. Lalu, muncul pula arogansi Islam yang terlalu percaya diri mendeklarasikan sains Islam dan segala proyek islamisasinya. Karena itu, hubungan Islam-Barat sampai kini belum punya pijakan yang jelas. Kekhawatiran dan pandangan konservatif yang sepihak masih saja mengental antara kedua belah pihak. Arogansi kedua belah pihak semakin mengental; militansi dan fundamentalisme juga semakin berkembang. Padahal, masa depan peradaban global salah satunya ikut ditentukan oleh harmonisasi dua peradaban ini. Karena itu, bukan saatnya lagi mendudukkan Islam dan Barat secara dikotomik, baik secara ideologi maupun politik. Keduanya harus dilihat dalam bingkai dialektika peradaban kemanusiaan. Prinsip dialektika peradaban itulah yang akan menghapus pola konflik, disintegrasi dan destruksi yang selama ini terjadi. Dialektika peradaban mengandaikan tidak adanya satu peradaban yang universal dan absah untuk dipaksakan pada semua kelompok. Peradaban manusia dipandang terus bergulir dalam proses menjadi, dan tidak diandaikan langsung sempurna. Karena itu baik umat Islam maupun orang Barat, semuanya berpeluang untuk duduk bersama sebagai mitra dialog antar budaya. Keberhasilan dialektika peradaban itu, kiranya sangat bergantung pada beberapa hal berikut. Pertama, Barat harus berupaya menghapus arogansinya ketika memaklumkan peradabannya sebagai peradaban universal. Tidak ada peradaban yang universal, kecuali peradaban yang diabdikan untuk kemanusiaan.

Kedua,Barat harus mengikis arogansinya di bidang politik, ekonomi dan militer, serta mesti selalu menghargai kemerdekaan dan kemandirian suatu bangsa.Ketiga,Barat harus memulai dan merintis kembali pandangan dan kajiannya yang simpatik atas Islam sebagaimana yang telah banyak dilakukan beberapa inteletual Barat selama ini. Sembari itu, umat Islam juga harus lebih terbuka dan mampu berdialog dengan peradaban lain. Bagaimanapun juga, kebesaran Islam tidak terletak pada sikap bertepuk dada pada tradisi masa lampaunya, tetapi lebih pada kemampuan membangun kontak peradaban dengan tradisi lain. Islam juga harus mengembangkan peradaban yang ilmiah, yakni peradaban yang menghargai nilai-nilai kebebasan dan rasionalitas. Peredaban Islam juga mesti dikembangkan sebagai peradaban yang mengajarkan nilainilai kemanusiaan. Terakhir, Islam juga harus dikembangkan sebagai peradaban yang berkomitmen untuk mendukung perdamaian global. Abd. Malik Utsman, pemerhati sosial-keagamaan, tinggal di Yogyakarta.
12/06/2005 | Kolom, | #

Komentar Masuk (2)


(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending) Saya tidak setuju bahwa dalam tulisan anda mengatakan antara barat dan islam. Saya setuju jika anda mengatakan negara barat dan negara arab. Dilihat dari sudut geografis Nagara barat tidak jauh dari negara arab. Dari Roma 2,5 jam dengan pesawat sudah sampai di Mesir. Satu jam naik kapal feri dari spanyol ke Maroko. Tiga hari dari Brusel ke irak lewat darat. Dimasa lampau Spanyol pernah dijajah Maroko. Kaisar Agustus pernah menjajah sampai jazirah arab.Sehingga jika dilihat dari kependudukan; di barat banyak orang arab dan islam yang tinggal disana dan di negara arab banyak juga orang barat dan yahudi. Tetapi mereka sudah menyatu dalam satu koloni yaitu dalam sebuah negara. Sangat janggal jika ada teman yang mengatakan bahwa para peneliti islam di barat adalah peneliti murahan karena belum mengerti islam dan arab. Sedangkan kita lebih mengerti dan tahu tentang islam dan sejarahnya. Karena mereka sebetulnya adalah negara tetangga tentunya banyak masalah-masalah kecil dan besar dimasa lampau maupun sekarang, seperti juga kita dengan Australia, Papua, Pilipina dan Malaysia. Karena jenjang keadaan ekonomi dan politik yang sangat jauh berbeda, menyebabkan banyak orang arab yang miskin ( dan tertindas lagi oleh sistem politik)ingin pergi ke eropa untuk mencari kerja. Yang lebih menyebalkan negara barat pada saat ini adalah banyaknya pengungsi dan orang dari negara arab yang mencari kerja ke eropa secara legal maupun ilegal(sepeti kita pergi ke Malaisia). Dan diantara mereka banyak muslim fundamentalis yang datang ke eropa hanya untuk tujuan meneror. Dengan begitu rusaklah citra islam.rusaklah citra orang miskin arab di eropa yang hanya ingin mencari sesuap nasi. Posted by Bandono on 06/14 at 07:06 PM

Saya sedikit mau memberi pandangan saya tentang clash of civilisation. Adalah tidak pernah dalam sejarah manusia hidup tanpa pertentangan peradaban yang notebene disebabkan oleh perbedaan ideologis. Ada masa-masa damai memang dalam sejarah manusia, betapapun panjangnya masa itu, tetap merupakan masa laten atau saya istilahkan masa reorganisasi internal dimana tiap peradaban terutuma peradaban besar dunia (baca: peradaban islam dan barat yang mewakili Kristen) berusaha mematangkan diri dan mereview kembali eksistensi ideologi mereka sekaligus ideologi lain disekitar. Adalah bagian dari Sunnatullah, bahwa peradaban yang berjaya akan dipergilirkan dan itu adalah fungsional dari keterikatan suatu komunitas terhadap ideologi dasar mereka. Masa damai atau harmonisasi yang yang diusahakan secara artificial adalah semu adanya. Sudah jelas dari sejarah bahwa manusia sudah terbagi dengan kuatnya oleh agama, dan usaha apapun tidak bisa menghasilkan sinkretisme antar agama. Saya sakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah peradaban yang akan berjaya kembali seiring dengan kesadaran umat yang semakin mengental untuk kembali ke islam. Faktor ideologis adalah faktor yang membedakan manusia secara psikologis dan tentu saja cara pandangnya tentang dunia. wassalam
Posted by aminuddin on 06/13 at 04:06 PM

Lihat/Tulis Komentar
Top of Form

Bottom of Form

Rubrik

Agenda Buku Diskusi Editorial Gagasan Klipping Kolom Pernyataan Pers Suara Mahasiswa Tokoh Wawancara
Copyright 2001-2011 Jaringan Islam Liberal, All rights reserved. This website conform with XHTML, CSS, RSS, Section 508.
Powered by ExpressionEngine. Design and development by Digdaya.

http://islamlib.com/id/artikel/merumuskan-ulang-hubungan-islam-dan-barat

Apa Makna

Cetak

Demok rasi dalam Hubun gan Muslim -Barat


oleh Zainal Abidin Eko Putro
01 September 2006

Email

Jakarta Banyak yang sekarang ini berpendapat bahwa dunia saat ini diselimuti oleh suatu "benturan peradaban" yang menegangkan antara dunia Muslim dan Barat. Walaupun banyak yang menolak ide benturan internasional tersebut, jelas bahwa ketegangan hubungan antara MuslimBarat tengah terjadi dewasa ini di beberapa bagian dunia, dengan contoh terakhir peperangan antara Israel dan Hisbullah di Lebanon. Contoh benturan lain yang terjadi adalah benturan non-fisik yang terjadi dalam wacana demokrasi.

Kebanyakan negara Barat telah menerima ide demokrasi dan penerapan sistem politik demokratis. Namun, hanya sejumlah kecil negara Muslim yang telah menerapkan demokrasi bergaya Barat. Sebagian negara Muslim bahkan menolak istilah ini dan telah menciptakan sistem politik mereka sendiri yang berdasarkan pada prinsipprinsip tata pemerintahan berdasarkan Islam. Sebagai tambahan, ketika beberapa negara Muslim mengambil prinsip-prinsip demokrasi, hasilnya terkadang mengejutkan dan sering dianggap tidak memuaskan oleh dunia Barat. Khususnya, pembentukan pemerintahpemerintah tertentu yang berkuasa hasil dari pemilihan umum bebas yang dalam beberapa hal dikecam oleh Barat. Satu contoh terkenal

terjadi di Aljazair tahun 1990 ketika Front Islamique du Salut (FIS) memenangkan pemilihan umum, hanya untuk digulingkan oleh militer dukungan Barat. Kemenangan yang lebih kontroversial terbaru dalam pemilihan umum adalah kemenangan Hamas yang tidak disukai Amerika Serikat yang masih dikategorikan sebagai sebuah organisasi teroris, walaupun memenangkan pemilihan umum bebas di Palestina. Pemerintah Hamas belum menerima dukungan apapun dari negara-negara Barat yang berada di bawah pengaruh Amerika Serikat. Kesalahpahama n tentang prinsip-prinsip dan implementasi demokrasi telah menyebabkan kesalahpahama n yang besar antara kebudayaan Muslim dan Barat. Banyak

kaum Muslim takut kalau demokrasi di negara mereka akan menghasilkan kemunduran moral dan nilainilai keagamaan dan merupakan bentuk lain pendudukan nilai dan norma-norma Barat. Banyak kebudayaan Barat yang mempertanyaka n apakah demokrasi sesuai dengan Islam dan ketakutan akan bangkitnya partai-partai ekstremis Islam. Dan satu kekhawatiran khusus yang sering diperdebatkan oleh para akademisi Barat dan Muslim adalah apakah demokrasi memberi ruang bagi pelaksanaan syariah (hukum Islam). Namun terlepas dari hambatanhambatan ini, dunia Barat harusnya terus bekerja dengan negara-negara Muslim untuk membantu mereka membangun demokrasi menurut cara khas mereka sendiri. Usaha-

usaha menuju pemahaman yang lebih besar tentang beragam pengertian dan pandangan tentang demokrasi dan ke arah pelaksanaan praktis dari demokrasi di negara berpenduduk kebanyakan Muslim harus diikuti dengan dukungan lebih besar dari Barat bagi proses ini. Satu negara yang sering dijadikan contoh positif dari suatu sistem politik demokratis di negara berpenduduk Muslim adalah Indonesia. Setelah kemerdekaanny a pada tahun 1945, Indonesia memutuskan untuk tidak menjadi negara Islam, tetapi sebuah negara bangsa demokrasi, dan tidak mengalami kebangkitan ekstremisme atau kekerasan berbau Islam. Pengalaman Indonesia dengan kemunculan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di urutan

keenam dalam pemilihan parlemen terakhir merupakan contoh yang menarik. Pada pemilihan parlemen 2004, tidak kurang dari 8,3 juta pemilih memberikan dukungannya kepada partai tersebut dan membantu menempatkan 45 wakilnya di parlemen. Partai yang juga berhasil menempatkan anggotaanggotanya sebagai menteri dalam kabinet yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tuduhan bahwa kemenangan besar PKS akan menyuburkan radikalisme Islam dan menelurkan kelompokkelompok teroris tidak beralasan. Sebaliknya, hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh harian Kompas tentang partai ini pada bulan Juni 2005 menunjukkan bahwa sementara kebanyakan

orang cenderung bersikap pesimistis terhadap masa depan program politik di Indonesia, pendapat ini tidak berlaku bagi PKS. Tidak kurang dari 60,4 persen responden menyatakan optimisme mereka tentang gambaran positif dari partai tersebut. Bagi banyak orang, kemenangan PKS dan kebangkitan partai-partai Islam lainnya dipandang sebagai langkah positif yang akan menghasilkan perubahan yang konstruktif. Sayangnya, sebagian orang telah salah melihat contoh ini sebagai kebangkitan dari radikalisme dan terorisme Islam di dunia Muslim. Namun, contoh Indonesia sesuai dengan kecenderungan yang juga terjadi di negaranegara lain ketika lebih banyak kelompok radikal, seperti IRA di Irlandia

Utara, mempunyai tempat untuk berperan serta dalam pemerintah, hasilnya adalah penurunan angka kekerasan dan ekstremisme. Hal ini menunjukkan bahwa Barat tidak seharusnya menghambat integrasi kelompokkelompok radikal Islam ke dalam sistem politik. Apa yang jelas terjadi adalah sebuah perspektif baru demokrasi di negara-negara berpenduduk kebanyakan Muslim, berdasarkan pada kebutuhan baik dari dunia Muslim dan Barat, harus dikembangkan dalam upaya untuk mencapai perdamaian jangka panjang. Lebih jauh, rakyat Muslim dan Barat harus berusaha mencapai tingkat pemahaman dan rasa empati yang lebih besar satu sama lain. Yang terpenting, dunia Barat harus mengambil

langkah nyata pertama dengan memberikan kesempatan kepada para ahli Muslim, pemerintah, dan aktivis masyarakat madani untuk mempraktikkan pemahaman mereka tentang demokrasi di negara mereka masing-masing dan mempertimban gkan peluangpeluang untuk memadukan hukum syariah dengan gagasan demokrasi. Beberapa intelektual Barat seperti John L. Esposito, John O. Voll, Jeff Haynes, dan Martin E. Marty telah mencoba untuk mendorong penerapan demokrasi di negara-negara Islam. Sesungguhnya, banyak yang percaya bahwa ada suatu sistem demokrasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar syariah. Ada tandatanda yang memberikan harapan bahwa langkahlangkah berikutnya dalam pembangunan

rasa saling memahami antara dunia Muslim dan Barat sedang mencari bentuk sehingga "benturan" yang terjadi saat ini mengenai istilah demokrasi mungkin akan menghasilkan versi baru yang menggabungkan manfaatmanfaat dari demokrasi di Barat dengan kebutuhan dan keadaan khas di negara-negara berpenduduk Muslim. ### Zainal Abidin Eko Putro adalah direktur eksekutif Center for Asian Studies (CeNAS) di Jakarta. Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan bisa diakses di www.commongr oundnews.org. Sumber: Kantor Berita Common Ground, 29 Agustus 2006 Website www.commongr oundnews.org Ijin hak cipta telah diperoleh untuk publikasi.

Anda mungkin juga menyukai