Anda di halaman 1dari 12

MUSLIM MINORITAS DI NEGARA NON MUSLIM

Oleh: Reza Fahmi


Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang
rezafahmi@uinib.ac.id

Abstrak

Studi Islam di Barat, khususnya di Amerika Serikat, tidak ragu lagi, merupakan bidang kajian
tersendiri yang cukup kompleks. Adalah na’if menganggap studi Islam di Barat/AS sebagai
seragam; terdapat berbagai corak dan kecenderungan dalam studi-studi Islam di Barat—
khususnya di AS yang perlu kita cermati. Tetapi, terlepas dari keragamannya, studi Islam di
Barat, sulit dipungkiri, turut membentuk cara pandang sarjana-sarjana Muslim-termasuk yang
berasal dari Indonesia-tamatan universitas-universitas Barat terhadap Islam. Studi Islam di Eropa
dan AS merupakan bagian integral dari arus intelektual lebih luas di Barat; bahkan pada masa
awal menjadi bagian tak terlepaskan dari arus politik di Barat—yang selanjutnya memunculkan
apa yang disebut ‘orientalisme’. Sebagai bagian dari arus intelektual itu, setiap pembicaraan dan
kajian tentang Islam di Barat jelas banyak dipengaruhi perkembangan intelektualisme ‘saintifik’
sebagai hasil dari perkembangan dunia keilmuan secara keseluruhan.

Kata Kunci : Muslim, Non-Muslim, Minoritas, Negara Non-Muslim

Pendahuluan
Kita tahu bahwa sebagian besar umat Islam yang pindah ke Barat adalah awam di bidang ilmu-
ilmu keislaman. Karena itu, sesampainya di tanah tujuan (Barat), banyak di antara mereka yang
gagap dan bingung. Di satu sisi umat Islam yang pindah itu harus tetap bekerja di sejumlah
perusahaan Barat untuk memenuhi nafkah keluarga. Namun, di sisi lain, mereka menghadapi
sebuah kenyataan betapa tak mudah melaksanakan ajaran Islam di Barat yang mayoritas
penduduknya non-Muslim.

Perlakuan diskriminatif di berbagai negara yang di dalamnya ada umat Islam minoritas
merupakan dilematis yang berkepanjangan. Dilema yang mereka hadapi adalah kegamangan
dalam menjatuhkan pilihan antara bergabung dengan sistem politik yang berlaku atau tetap
menjadi Muslim dan tetap wajib terikat pada aturan-aturan Allah di manapun mereka berada.
Mereka juga menghadapi konflik identitas menyangkut dua pilihan tersebut. Masing-masing
pilihan memiliki risiko yang mau tidak mau harus ditanggung oleh umat Islam minoritas1

1
Perlakuan diskriminasi oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas Muslim dapat terjadi dalam bidang ekonomi,
sosial dan politik. Diskriminasi di bidang ekonomi dengan cara menghilangkan posisi-posisi yang berpengaruh
kekuatan minoritas secara ekonomi atau mengambil alih kekayaan seperti tanah dari tangan minoritas Muslim.
Perlakuan diskriminasi di bidang sosial adalah masalah penyerapan sosial oleh mayoritas melalui proses asimilasi
yang panjang yang berakibat terkikisnya ciri-ciri keislaman dari minoritas hingga lenyap sama sekali. Diskriminasi
di bidang politik berupa pengingkaran secara berangsur-angsur hak-hak politik terhadap orang-orang Muslim seperti
tidak mengakui entitas Islam karena sesuatu dan lain hal. M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini,
terj. Zarkowi Soejoeti (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.12-18.
Apabila memilih membaur dan bergabung dalam sistem politik yang berlaku di negara
tempat mereka tinggal, berarti harus mengadopsi keyakinan yang berlaku di negara itu yang
kebanyakan sekuler. Sementara sistem sekuler jelas bertentangan dengan Islam. Di samping itu,
pilihan ini juga menemui kendala mengingat jumlah Muslim yang minoritas sehingga akan sulit
memengaruhi kebijakan yang sekiranya dapat member pencerahan terhadap komunitas Muslim
yang minoritas di negeri di mana mereka bermukim. harus siap menghadapi perlakuan-perlakuan
diskriminatif dalam berbagai aspek. Di sisi lain seringkali kaum Muslim Eropa merespon
persoalan konflik identitas ini secara emosional dan penuh ketakutan yang justru memperuncing
masalah yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan mereka cenderung reaktif dan defensif
sehingga kadang-kadang merusak citra diri kaum Muslim itu sendiri. Yang menjadi pertanyaan
besar adalah, adakah jalan tengah yang mampu melerai ketegangan antara umat Islam minoritas
dan pihak penguasa selaku penduduk mayoritas?2
Asal-asul terbentuknya minoritas Muslim di berbagai negara, berbeda-beda antara negara
satu dengan yang lain. M. Ali Kettani menjelaskan ada tiga bentuk munculnya minoritas Muslim.
Pertama, suatu komunitas Muslim dijadikan tidak efektif oleh kelompok non-Muslim yang
menduduki wilayah komunitas Muslim, meskipun umat Islam di wilayah itu secara jumlah
tergolong mayoritas. Dalam rentangan waktu yang lama karena pengaruh pendudukan oleh
komunitas non-Muslim tersebut, komunitas Muslim yang tadinya secara jumlah mayoritas,
berubah menjadi minoritas karena pengusiran secara besar-besaran oleh komunitas non-Muslim.
Di sisi lain terjadi gelombang imigran nonMuslim secara besar-besaran. Kedua, ketika
pemerintah Muslim di suatu negara tidak berlangsung cukup lama, atau usaha menyebarkan
Islam tidak cukup efektif untuk mengubah Muslim menjadi mayoritas dalam jumlah di negeri-
negeri yang mereka kuasai. Berbagai kekuasaan politiknya tumbang dan umat Islam mendapati
dirinya turun status dari mayoritas menjadi minoritas dalam negerinya sendiri seperti India dan
Balkan.
Ketiga, minoritas Muslim terjadi ketika non-Muslim di lingkungan non-Muslim pindah
agama menjadi Muslim. Jika pemeluk Islam yang baru ini menyadari akan pentingnya keyakinan
Islam mereka dan memberikan prioritas atas ciri-ciri lain dan mencapai solidaritas sesama karena
mereka memiliki keyakinan yang sama maka terbentuklah suatu minoritas Muslim baru.
Biasanya arus imigran dan muallaf menyatu untuk membentuk suatu minoritas Muslim seperti
kasus Srilangka. Di negeri ini umat Islam merupakan penyatuan antara imigran Arab selatan dan
Muslim muallaf Srilangka3.
Fenomena Islam Minoritas di Negara Non-Muslim

2
Istilah “minoritas” didefinisikan sebagai bagian dari penduduk yang beberapa cirinya tak sama dan sering
mendapat perlakuan berbeda. Kata kunci dari definisi ini adalah adanya ciri-ciri dan perlakuan berbeda. Ciri-ciri
yang berbeda itu dapat berbentuk fisik seperti warna kulit dan bahasa. Istilah Muslim dalam kajian Muslim
minoritas dipergunakan untuk menunjukkan semua orang yang mengakui bahwa Muhammad Saw putra Abdullah
adalah utusan Allah yang terakhir dan mengakui bahwa ajarannya benar tanpa memandang seberapa jauh mereka
tahu tentang ajarannya, atau seberapa jauh mereka mereka dapat hidup sesuai dengan ajarannya tersebut. Pengakuan
ini dengan sendirinya menimbulkan perasaan identitas dengan semua orang yang memiliki keyakinan yang sama.
Dengan demikian, minoritas Muslim adalah bagian penduduk yang berbeda dari penduduk lainnya karena anggota-
anggotanya mengakui bahwa Muhammad putra Abdullah menjadi utusan Allah yang terakhir dan meyakini
ajarannya adalah benar dan yang sering mendapat perlakuan berbeda dari orang-orang yang tidak mempunyai
keyakinan seperti itu. (Misalnya perlakuan berbeda yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap warga kulit hitam
sehingga muncul minoritas kulit hitam. Lihat, Ibid., h. 1-2). Misalnya ketika nasionalisme yang terilhami oleh
bangsa Eropa mulai bersaing dengan kesetiaan Muslim terhadap identitas Islam maka minoritas bahasa mulai
muncul yang akhirnya membawa kepada perpecahan negara usman Muslim. Lihat, Ibid.
3
Ibid., h. 6-7.
Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam: teologis dan
sejarah agama-agama. Pendekatan kajian teologis, yang bersumber dari tradisi dalam kajian
tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif mengenai agama-agama. Karena
itu kajian-kajian diukur dari kesesuaiannya dengan dan manfaatnya bagi keimanan. Tetapi
dengan terjadinya marjinalisasi agama dalam masyarakat Eropa, kajian teologis normatif
semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji agama-agama.
Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman tentang
fenomena historis dan empiris, sebagai manifestasi dan pengalaman masyarakat-masyarakat
agama. Penggambaran dan analisis dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau kurang
mempertimbangkan klaim keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama
itu sendiri. Sesuai dengan perkembangan keilmuan di Barat yang sejak abad 19 semakin
fenomenologis dan positivis, pendekatan sejarah agama menjadi paradigma dominan dalam
kajian agama, termasuk Islam, di Barat.
Sebelum kita merinci lebih jauh tentang kedua bentuk pendekatan ini ada baiknya
dikemukakan lebih dulu, bahwa sarjana dan pengkaji Islam di Barat berakar pada beberapa
disiplin tradisional. Pertama, adalah mereka yang berakar pada disiplin humaniora tradisional,
mencakup filologi, filsafat, literatur dan sejarah. Kedua, yang berakar pada disiplin-disiplin
teologis dan teologi, seperti sejarah kitab suci dan sejarah institusi agama. Ketiga, yang berakar
pada ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi, linguistik dan psikologi. Keempat, yang berakar
pada studi kawasan-ini sebenarnya merupakan salah satu titik tolak Orientalisme, yakni Dunia
Timur-khususnya kajian Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Terlepas dari tingkat penggunaannya, kedua bentuk pendekatan yang tadi merupakan
tradisi sentral kajian Islam yang terus dipegangi sepanjang setengah abad terakhir. Dalam
pendekatan pertama tadi, eksplorasi dilakukan atas apa yang disampaikan kepada Muslim atau
Nabi Muhammad yang kemudian diartikulasikan menjadi sistem-sistem teologi, hukum dan
ibadah. Eksplorasi ini dilakukan terutama dengan menggunakan metode-metode yang
dikembangkan para filolog, yakni metode pengkajian teks secara seksama. Berdampingan
dengan itu, terdapat peningkatan minat mengkaji Islam sebagai sistem praktek keagamaan yang
hidup dalam masyarakat-masyarakat tertentu. Minat ini terlihat jelas dalam kajian pionir yang
dilakukan sarjana semacam Goldziher, Massignon atau Snouck Hurgronje, yang selanjutnya
dikembangkankan para sarjana yang terlatih dalam disiplin humaniora, seperti sejarah; dan ilmu-
ilmu sosial, khususnya antropologi dan politik.
Pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai tradisi keagamaan yang hidup,
yang historis ketimbang “kumpulan tatanan doktrin”, yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits,
menemukan momentumnya kuat dalam pertumbuhan kajian Islam di beberapa universitas besar
dan terkemuka di Amerika Serikat. Tradisi ini tentu saja pertama kali bertumbuh di Eropa, yang
selanjutnya dikembangkan lebih komprehemsif di AS oleh sarjana semacam D. B. Macdonald
(1863-1943) dan H. A. R. Gibb. Macdonald mengajar di Hartford Seminary, Connecticut, AS,
sejak 1893. sedangkan Gibb mengajar di Oxford sampai 1955 sebelum menjadi guru besar di
Harvard.
Macdonald dan Gibb terutama tertarik kepada kehidupan historis masyarakat-masyarakat
Muslim. Ini terlihat dari buku Macdonald, The Religious Attitude and Life in Early Islam (1909),
atau karya Gibb, Modern Trends in Islam (1949). Keduanya memperingatkan bahaya mengkaji
hanya Islam normatif, seperti dirumuskan para ‘ulama, dengan mengabaikan Islam yang hidup di
tengah masyarakat umum. Gagasan ini mendapatkan lahan subur dalam diri para ahli kajian
Islam di sejumlah universitas AS yang memperoleh pendidikan sebagai sejarawan dan ilmuwan
sosial. Sejak 1950-an sejumlah universitas di AS mulai mengembangkan pusat-pusat studi
kawasan (area studies) Islam, yang pada dasarnya mencakup berbagai disiplin berbeda tetapi
memperoleh pendidikan khusus dalam bahasa, kebudayaan dan masyarakat Muslim di wilayah
tertentu4.
Dengan penekanan pada kajian historis, tidak heran kalau di AS dan Barat umumnya
bertumbuh minat kuat pada apa yang disebut sebagai ‘popular Islam’, khususnya tareka-tarekat
sufi. Seperti diketahui, sejak masa Goldziher, tarekat sufi telah diakui sebagai saluran tempat
mengalirnya arus spiritualitas Islam. Terdapat berbagai cara mempelajari fenomena tarekat sufi.
Tentu saja terdapat kajian tradisional yang menggunakan pendekatan teologi dengan mengkaji
teks di mana diungkapkan tentang cara atau metode untuk dekat kepada dan mencapai
pengalaman langsung dengan Tuhan. Tetapi pada pihak lain, kian banyak kajian antropologis
yang menjelaskan fenomena tarekat dari segi kepercayaan dan praktek yang berkembang di
sekitar tasawuf terorganisasi ini; kultus terhadap para wali, ziarah ke tempat suci, kepercayaan
pada validitas washilah (intercession), dan seterusnya.
Kajian-kajian semacam ini dapat dikatakan merupakan upaya untuk keluar dari jebakan
konseptual yang muncul sebagai akibat pembedaan yang tajam antara ‘Islam yang sebenarnya’
(true Islam) sebagaimana terdapat dalam kitab suci atau dirumuskan ‘ulama dengan ‘Islam yang
tidak murni’ (impure Islam), ‘Islam peripheral’ dan semacamnya. Dalam perspektif ini, apapun
yang dipercayai rakyat sebagai Islam adalah Islam; dan apa yang disebut sebagai ‘popular Islam’
memiliki signifikansi khas, meski para ahli syari’ah dan mutakallimun mungkin akan
mengutuknya sebagai ‘Islam yang tidak benar’. Tetapi, dari wawasan ini mncullah perluasan
penting dalam kajian tentang Islam di Barat. ‘Popular Islam’ tidak lagi dipandang semata-mata
sebagai ‘bid’ah sesat’ atau ‘keimanan dan praktek menyimpang’ dari ‘Islam yang sebenarnya’.
Tetapi merupakan ekspresi historis yang absah dari Islam.
4
Suasananya lebih tampak seperti di Indonesia ketimbang di Vietnam, lantaran para perempuan tersebut hampir
semuanya mengenakan baju gamis dan berkerudung. Pada tataran empiris persoalan Islam minoritas di negara
Non0Muslim tergambar di Vietnam. Di mana suasananya lebih tampak seperti di Indonesia ketimbang di Vietnam,
lantaran para perempuan tersebut hampir semuanya mengenakan baju gamis dan berkerudung. Sementara beberapa
lelaki terlihat menggunakan sarung dan peci terlihat tengah duduk di depan masjid Al Ehsan di Da Phouc, dekat kota
Chau Doc di Provinsi An Giang. Ketika adzan yang menandakan salat ashar berkumandang dari masjid Al Ehsan
tampak puluhan lelaki menghentikan pekerjaan mereka dan beranjak ke dalam masjid. Di Provinsi An Giang, ada
lima desa yang dihuni oleh etnis Cham, tetapi hanya satu desa di sekitar Masjid Al Ehsan, Da Phouc, An Phu yang
seluruh penghuninya beragama Islam. “Ada sekitar 600 kepala keluarga atau 2.000 orang di sini dan semua
penghuninya adalah etnis Cham,” jelas Imam masjid Al Ehsan, Ibrahim Sulaiman . Dulu etnis Cham menganut
Hindu, yang merupakan mayoritas penduduk di Kerajaan Champa, yang menguasai wilayah selatan dan tengah
Vietnam. Tetapi kemudian secara bertahap mereka berpindah menganut Islam. Di An Giang, mereka menyebut
dirinya sebagai etnis Cham Melayu. Ini tidak terlalu mengherankan, karena percampuran budaya Cham dan Melayu
di daerah ini sangat terasa. Sejak dulu banyak pendatang dari Malaysia dan Indonesia ke An Giang, ungkap Imam
Besar Masjid Mubarak yang terletak di Tan Chau, Mohamad Yousuf. "Sejak dulu banyak pendatang dari Malaysia
dan Indonesia. Mereka menikah dengan orang sini, orang Cham di Vietnam," kata Yousuf. Para pendatang dari
Malaysia kemudian membangun masjid tertua di kampung ini yaitu Masjid Mubarok pada 1750. Etnis Cham dari
wilayah ini juga banyak yang meneruskan pendidikan agama melalui beasiswa dari berbagai negara, karena sarana
pendidikan yang kurang di Vietnam, jelas Gazali Bin Ahmad, guru Agama di Masjid Mubarok. “Ada yang belajar di
Malaysia, Indonesia, Madinah. Anak-anak itu belajar dengan gratis, karena Muslim di Vietnam tidak memiliki uang
untuk belajar, dan nanti ketika pulang mereka mengajar di kampung,” jelas Gazali. Gazali mengatakan para lulusan
luar negeri itu akan mengajarkan pendidikan al Qur’an kepada anak-anak madrasah-madrasah di Vietnam.
Hasil-hasil yang disodorkan kajian antropologis dan historis seperti ini, bagaimanapun
pada gilirannya mendorong munculnya pertanyaan: sekali kita melangkah keluar definisi
normatif yang diberikan ahli fiqh dan mutakallimun tentang apa sebenarnya yang dimaksud
dengan ‘masyarakat Islam’? Apakah ‘Islam’ itu ‘satu’ atau justru terdapat banyak ‘Islam’; dan
jika terdapat banyak ‘Islam’, apakah ini abadi? Batas-batas apakah yang membuat suatu
masyarakat dapat disebut ‘Islami’?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini dicoba jawab khususnya oleh sejumlah antropolog
Amerika khususnya. Clifford Geertz, misalnya, dalam Islam Observed (1972)menggunakan
bahan dari Jawa dan Maroko untuk menjawab pertanyaan: dalam pengertian apakah masyarakat-
masyarakat di Indonesia dan Marokko dapat disebut ‘Ialami’? Apakah kesamaan dasar yang
membuat keduanya ‘Islami’. Dalam menjawab pertanyaan ini, sayangnya, Geertz terlalu
menekankan Islam kultural sehingga mengabaikan Islam doktrinal yang sedikit banyak
membentuk ‘teks’ Islam kultural tersebut.
Michael Gilsenan, antropolog yang banyak mengkaji fenomena sufi di Timur Tengah,
berpendapat bahwa Islam jika dilihat dari konteks sosial bukanlah obyek tunggal. Kata ‘Islam’
dapat mengacu kepada konsep-konsep, simbol-simbol dan ritual tertentu yang turut membentuk
kesadaran bersama (collective consciousness) berbagai masyarakat yang menganut Islam. Tetapi
Islam itu sendiri tak urung pula dibentuk mereka. Tegasnya, menurut Gilsenan, Islam adalah
sebuah kata yang mengidentifikasikan berbagai hubungan praktek, representasi, simbol, konsep
dan pandangan dunia di dalam masyarakat tertentu dalam hubungan tersebut, dan mereka
berubahsecara signifikan sepanjang waktu.
Dalam kajian-kajian Barat tentang Islam memang masih menjadi masalah, bahwa
sekalipun kata ‘Islam’ didefinisikan dengan sangat hati-hati, tetap dapat dipersoalkan apakah ia
dapat digunakan sebagai kategori untuk menjelaskan sejarah masyarakat-masyarakat yang
kebanyakan penduduknya adalah Muslim. Terdapat keengganan di kalangan banyak ahli-Barat
atau Timur-untuk menggunakan kategori ‘Islam’ dan sebaliknya menggunakan kategori
‘Muslim’. Karena itulah kita menemukan judul karya ‘sejarah masyarakat [atau ummat] Muslim’
ketimbang ‘sejarah Islam’, atau ‘Dunia Muslim’ ketimbang ‘Dunia Islam’. Dengan demikian,
secara implisit diakui adanya distansi antara Islam dengan realitas empiris, sosiologis dan
historis masyarakat-masyarakat penganut Islam. Terlepas dari masalah senang atau tidak, ini
sekaligus mengisyaratkan terdapatnya semacam problem dalam kategori ‘Islam’ itu sendiri.
Karena itulah di beberapa negara Barat, khususnya AS dan Prancis, sejarawan dan ilmuan
sosial membawa kategori-kategori mereka sendiri, yang bersumber dari budaya sosiologis dan
kultural pada mereka sendiri, yang bersumber dari budaya sosiologis dan cultural di masa
mereka. Di antara yang paling banyak digunakan pula dalam kajian Islam adalah kategori Marxis
atau post-Marxis, atau kategori-kategori yang dikembangkan sejarawan yang berasosiasi dengan
jurnal Prancis, Annales. Dalam konteks ini, sejarawan Prancis, Fernand Braudel, dalam Le
Méditerranée et le monde méditerranéen a l’epoque de Philippe II (1949) mencoba menjelaskan
sifat perkembangan seluruh dunia yang terbentang di sekitar Laut Tengah, dan dengan demikian
konsep yang sekaligus lebih luas dan lebih sempit dari pada ‘Dunia Muslim’.
Jadi, kategori ‘Islam’ cukup jarang masuk ke dalam kajian-kajian tentang Islam di AS
atau Barat umumnya. Ini secara mencolok terlihat dalam suatu studi seminal tentang sejarah
Timur Tengah yang ditulis di masa kontemporer oleh Andre Raymond berjudul Artisans et
commercant au Caire au 18eme siècle (1999). Faktor-faktor pokok penjelasan yang diberikan
Raymond adalah sistem administrasi dan fiskal Turki Utsmani dalam hubungannya dengan
perdagangan internasional. ‘Islam’ masuk ke dalam anaisis hanyalah sebagai faktor subsider,
yakni sejauh hukum Islam mempengaruhi harta waris dan distribusi kekayaan dalam masyarakat
Muslim Kairo.
Contoh menarik lainnya adalah berkenaan dengan dilakukannya kolokium internasional
pada tahun 1965 untuk mempertimbangkan gagasan tentang ‘kota Islam’, yang diasumsikan
mempunyai karakteristik tersendiri baik dalam formasi fisik maupun struktur sosialnya yang
bersumber dari ajaran dan hukum Islam. Kesimpulan yang dihasilkan kolokium adalah konsep
‘Islamic city’ kurang bermanfaat sebagai kategori penjelasan dari pada, misalnya, kategori-
kategori ‘kota abad pertengahan’ atau ‘kota praindustri’ atau bahkan ‘kota Timur Dekat’ atau
‘kota Afrika Utara’.
Pengabaian kategori Islam seperti ini dalam kajian Islam di AS atau Barat umumnya,
sebagaimana bisa diduga, tentu saja menimbulkan kegusaran baik di kalangan ahli Barat sendiri
dan, apalagi, di kalangan banyak sarjana Muslim. Dalam kaitan ini, argumen kuat yang paling
sering dikemukakan adalah: orang tidak dapat mengabaikan bahwa Islam memang menjadi
kategori dan faktor dalam perkembangan masyarakat-masyarakat yang memeluk agama ini.
Tegasnya, dalam masa awal kebangkitan dan pertumbuhan Islam, orang tak bisa menolak
kenyataan agama baru ini menyebar di berbagai wilayah untuk kemudian membentuk dan
mengembangkan sistem sosial budaya atau peradaban umumnya, yang unik dan khas.
Usaha paling ambisius untuk menggunakan Islam sebagai kategori yang dilengkapi
penjelasan-penjelasan historis lainnya untuk memahami Islam dan Dunia Muslim dilakukan M.
G. S. Hodgson, gurubesar University of Chicago, dalam karya besarnya sebanyak 3 jilid, The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Society (1974). Lebih dari itu, seperti
tersirat dalam anak judul karya ini, Hodgson juga berusaha menempatkan Islam dalam konteks
sejarah universal. Ini menunjukkan kepedulian pengarang terhadap hubungan antara
individualitas dan kolektivitas, dan juga kesadarannya tentang tempat ‘Dunia Islam’ [perhatikan
penggunaan istilah ini secara eksplisit] dalam kesatuan sejarah lebih luas. Dengan demikian, ia
juga melihat sejarah Islam sebagai kerangka temporal lebih luas-sebagai kontinuitas tradisi
kultural lebih tua di wilayah ‘Bulan Sabit Subur’ (Fertile Crescent), Iran, dan Mesir, menjangkau
kebudayaan Babylonia dan Mesir Kuno, yang sekarang diekspresikan dalam bahasa Arab dan
dalam respons intelektual dan artistik terhadap kitab suci baru (al-Qur’an).
Kajian Islam yang dilakukan di AS dan Barat umumnya, jelas tengah mengalami
perubahan. Penelitian dan kajian yang dilakukan di tengah kehadiran subyek yang mereka teliti
dan kaji. Semakin banyak ahli Barat yang menyadari kehadiran Islam dan Dunia Muslim yang
hidup dan berubah; tidak sekedar catatan masa silam. Peningkatan apresiasi terhadap Islam di
kalangan sarjana Barat inilah yag kemudian memunculkan apa yang oleh sebagian orang disebut
sebagai Orientalisme Baru (new Orientalism).
Kebangkitan Orientalisme Baru membuka peluang lebih besar bagi terciptanya interaksi
dan pertukaran keilmuan lebih dinamis dan positif di antara sarjana-sarjana Barat non-Muslim
dengan sarjana-sarjana Muslim. Bahkan riset dan pemikiran terus dilakukan secara bersama
dalam suasana dialogis. Masyarakat internasional studi Islam sekarang lebih dari komunitas
terbuka. Dalam kongres Orientasi Internasional yang diselenggarakan pada 1928 di Oxford,
terdapat tidak lebih selusin sarjana Muslim dari 750 peserta; dan sarjana Muslim ini memainkan
peran sangat kecil dalam proceedings. Sekarang, konperensi-konperensi Asosiasi Kajian Timur
Tengah di Amerika Utara, melibatkan sejumlah besar sarjana Muslim; dan sebagian mereka
menjadi anggota paling aktif dan menonjol.
Perkembangan seperti ini memunculkan pergeseran keseimbangan dalam beberapa
disiplin kajian Islam di antara sarjana-sarjana Muslim dengan non-Muslim. Tak sedikit sarjana
Muslim yang begitu menonjol sehingga mempengaruhi seluruh sarjana lain dalam kajian yang
mereka lakukan. Salah satu contoh adalah Halil Inalcik, yang karya tentang sejarah Dinasti
Utsmani membentuk paradigma dan mempengaruhi pandangan seluruh spesialis dalam sejarah
‘Utsmani. Atau Fazlur Rahman, gurubesar asal Pakistan yang mengajar di University of
Chicago, yang karyanya menjadi rujukan penting bagi sarjana baik di Barat maupun di negara-
negara Muslim.
Meski terjadi perkembangan positif seperti itu, harus diakui, kritik terhadap studi Islam di
AS dan Barat umumnya tetap bergema. Terdapat sedikitnya dua kritik yang dikemukakan secara
cukup keras baik dari kalangan sarjana Muslim maupun non-Muslim.
Kritik pertama datang dari sarjana Muslim taat, yang percaya, misalnya l-Qur’an dalam
pengertian literal adalah kata-kata Tuhan yang diwahyukan-Nya melalui Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad. Adalah mustahil bagi sarjana Muslim taat untuk menerima analisis ilmiah
apapun yang akan dan dapat mengurangi al-Qur’an menjadi sekedar hasil pemikiran
Muhammad. Secara tradisional terdapat kecenderungan di kalangan sarjana Barat non-Muslim
mengabaikan keimanan Muslimin ini. Padahal seharusnya, meski para sarjana Barat non-Muslim
tidak menerima keimanan tersebut, setidaknya mereka dapat menghormatinya. Karena sikap
kaum Muslim terhadap al-Qur’an mengekspresikan keimanan yang mereka pegangi, yang
membentuk kepribadian mereka secara individual maupun kolektif.
Di sini Fazlur Rahman dapat dikutip sebagai representasi ekspresi sarjana Muslim
tentang al-Qur’an. Menurutnya, adalah esensial memelihara al-Qur’an sebagai dasar keimanan,
pemahaman dan tingkah laku moral. Tetapi, menurut dia, al-Qur’an juga harus dilihat sebagai
buku bimbingan bagi seluruh umat manusia (huda li al-nas). Para ahli hukum (fuqaha) keliru
karena mengambil pernyataan-pernyataan tertentu dari al-Qur’an secara terpisah, dan
mengangkat dari ayat-ayat tersebut –melalui analogi/qiyas yang ketat –hukum-hukum dan
ketentuan yang berlaku sepanjang masa. Menurut Rahman, perlu memandang al-Qur’an secara
kritis sebagai kesatuan dalam kacamata keilmuan moderen, dengan memahami maksud
utamanya dan mengambil daripadanya ajaran-ajaran yang cocok untuk keadaan dalam waktu dan
tempat tertentu. Kritisisme terhadap al-Qur’an ini perlu pula diterapkan dalam melihat Hadits.
Kritik lainnya terhadap studi Islam di Barat datang dari sarjana umumnya, tidak hanya dari
mereka yang berpegang pada keimanan Islam. Kritik inilah yang sering disebut sebagai kritik
terhadap apa yang disebut ‘Orientalisme’. Terdapat tiga kritik dalam hal ini. Pertama, kajian-
kajian tentang Islam yang dilakukan di Barat cenderung bersifat esensialis yakni menjelaskan
seluruh fenomena masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim dalam kerangka
konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan kata lain, kajian Islam di Barat cenderung
menggeneralisasi fenomena yang berlaku pada masyarakat Muslim. Dalam contoh lebih jelas,
terdapatnya radikalisme kelompok-kelompok Muslim tertentu di Timur Tengah, misalnya,
dipandang sebagai berlaku dan absah juga dalam masyarakat-masyarakat Muslim di tempat-
tempat lain. Kedua, kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi kepentingan-kepentingan
politis. Inilah kritik paling populer hingga saat ini. Dalam konteks ini, menurut argumen para
pengkritik, kajian-kajian tentang Islam dilakukan untuk melanggengkan dominasi Barat terhadap
masyarakat-masyarakat Muslim, antara lain, dengan menciptakan citra tidak benar dan distortif
tentang Islam dan masyarakat Muslim. Ketakutan Eropa tentang revolusi Islam pada abad-abad
silam, misalnya, belakangan ini dihidupkan kembali melalui apa yang disebut sebagai ‘clash of
civilizations’ Ketiga, kajian-kajian tentang Islam di Barat senderung merupakan upaya
melestarikan kebenaran-kebenaran yang dicapai atas nama kehidupan intelektual dan akademis,
yang padahal tidak atau hampir tidak mempunyai dengan kenyataan yang hidup. Sarjana barat,
dalam usaha mereka memahami Islam dan masyarakat Muslim membawa kategori-kategori
penjelasan yang belum tentu mampu dan cocok untuk menjelaskan subjek kajian mereka tersebut
secara akurat. Sarjana-sarjan Barat, misalnya, mengunakan kategori-kategori Marxis untuk
menjelaskan perkembangan sejarah tertentu di kalangan kaum Muslim, seraya menolak dan
mengabaikan kategori-kategori Islam sendiri. Hasilnya adalah distorsi pemahaman terhadap
perkembangan historis dan sosiologis masyarakat-masyarakat Muslim.
Di sini ada baiknya sekali lagi kita mengutip pengakuan Fazlur Rahman. Ia mengatakan, terlepas
dari berbagai kelemahan kajian-kajian tentang Islam dari wawasan yang dikembangkan
sementara sarjana Barat, sama seperti ia juga banyak belajar dan memperoleh wawasan dasar
tentang Islam dari banyak guru Muslimnya.
Lebih jauh, menurut Rahman, memang adalah tugas sarjana Muslim menegakkan Islam. Tetapi
ini tidaklah harus menghalangi terciptanya kerjasama antara sarjana Muslim dengan non-
Muslim, khususnya pada tingkat pemahaman intelektual. Pemahaman intelektual dan apresiasi
terhadap Islam cukup mungkin muncul dari sarjan Barat non-Muslim yang tidak berprasangka,
sensitif dan berpengetahuan luas.

Plus Minus Minoritas Muslim di Negara Non-Muslim

Secara kejiwaan, umat Islam tidak mudah menerima sisi positif dari peradaban Barat yang
sebenarnya sangat dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangannya. Contoh
yang dapat dikemukakan untuk hal ini, bahwa di beberapa Negara Islam—termasuk Indonesia—
sedang membawa negaranya menuju ke arah demokrasi. Untuk kepentingan ini negara Islam
mau tidak mau harus menengok ke Barat yang sistem demokrasinya sudah matang.

Secara politik, banyak umat Islam yang terobsesi untuk mengembangkan lewat dimensi
agama, semua kegiatan dalam rangka memajukan prinsip hubungan baik dengan Allah, akan
tetapi praktis tak peduli pada empasis yang mestinya sepadan dalam hal pelembagaan lewat
dimensi politik dalam rangka memajukan hubungan baik dengan sesama manusia; suatu prinsip
yang justru sangat diutamakan Barat lantaran arus kemajuan pemikiran dan praktik politiknya,
khususnya sejak zaman pencerahan.

Apabila dikelompokkan, keluhan minoritas Muslim tentang pelaksanaan ajaran Islam di


Barat menyentuh hampir semua aspek dalam Islam dan telah menjadi persoalan dilematis bagi
kaum Muslim minoritas di negara-negara Barat. Berbagai persolan dilematis tersebut di
antaranya:

1. keluhan di bidang ibadah mahdah (ibadah murni), seperti salat (termasuk salat Jum’at), dan
puasa. Mencari masjid untuk salat Jum’at di Barat susah. Umat Islam tak jarang harus
menempuh perjalanan jauh agar salat Jum’at bisa dilangsungkan sementara mereka harus
melaksanakan tugas-tugas studinya atau harus melaksanakan tugas bekerja di perusahaan.
Terlampau sering meninggalkan tugas studi atau pekerjaan dengan alasan salat Jum’at kadang
tak segera dipahami oleh pihak kampus atau atasan mereka di Barati

2. Kedua, dalam bidang ahwal syakhshiyyah (hukum keluarga). Di bidang ini, sebagian
minoritas Muslim di Barat menghadapi persoalan pelik mengenai status perkawinan. Banyak
dijumpai, suami dan istri pada mulanya beragama Kristen. Namun, seiring waktu kadang si istri
memeluk Islam, sementara si suami masih menganut agama lamanya. Konsisten dengan fikih
lama-konvensional maka si istri harus bercerai dari suaminya. Karena perempuan Islam tak
dibolehkan menikah dengan orang laki-laki bukan Islam. Sampai sekarang, pernikahan beda
agama masih sulit untuk ditembus kehalalannya karena begitu kukuhnya argumen naqliyah yang
mengharamkannya. Namun, tak jarang fikih Islam berkata “A”, umat Islam berkata “B”. Oleh
karenanya, tak sedikit umat Islam di Barat lebih mempertahankan pernikahannya sekalipun beda
agama, dengan alas an tak mungkin menghancurkan bangunan keluarga yang telah tegak dengan
peluh dan air mata. Demi anak dan keutuhan keluarga, mereka memilih mempertahankan
keluarga daripada menghancurkannya

Sedangkan di Vietnam, khususnya di daerah An Giang, masjid Al Ehsan, tengah dipugar


dengan sumbangan dari negara tetangga yang berpenduduk mayoritas Muslim. Meski
pemerintah negara ini menganut paham Komunis, dan mengontrol masyarakatnya dengan ketat,
tetapi Umat Muslim di Vietnam bebas menjalankan ibadah. Malah sebagai etnis minoritas,
pemerintah Vietnam memberikan fasilitas untuk warga Cham, seperti dijelaskan oleh Dosen
Fakultas Studi Oriental Universitas Social Science and Humanities Ho Chi Minch, Nguyen
Thanh Tuan. "Banyak bantuan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kepada etnis Cham,
terutama di masalah pendidikan," jelas Dia. Tetapi bantuan dari pemerintah tersebut dianggap
belum cukup, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama Islam, jelas Ibrahim. "Masih
kurang sekolah agama tingkat yang tinggi, sebaliknya madrasah di sini banyak sekali," jelas
Ibrahim. http://www.bbc.com diakses 10 Juni 2018. Selanjutnya Selain masalah pendidikan,
warga Cham di Vietnam masih sulit untuk mencari pekerjaan. Desa Cham Muslim di pinggiran
sungai Mekong, terutama Da Phuoc, merupakan tujuan wisata yang populer bagi turis. Namun
demikian, sebagian besar penduduknya tidak mendapatkan banyak keuntungan dari jutaan turis,
meski ada beberapa orang yang menjual barang-barang kerajinan dan hasil tenun ke para turis,
ungkap Sulaiman. “Kami tak mendapatkan keuntungan dari turis yang datang, tak ada dari kami
yang berbisnis di sana, ya kebanyakan orang Vietnam itu," jelas dia . Penduduk wilayah ini
kebanyakan bekerja sebagai nelayan, petani dan berdagang, tetapi sebagian besar dari mereka
memilih bekerja di kota lain. Kondisi yang sama dialami etnis Cham di pinggiran sungai
Mekong lainnya yang berada di seberang Kota Chau Doc, seperti disampaikan Gazali. "Di sini
sangat sedikit pekerjaan,” jelas Gazali. Seorang etnis Cham lainnya, Karim mengatakan dia
bekerja di Ho Chi Minh setelah lulus sekolah agama di Malaysia. “Saya bekerja dengan orang
Malaysia di Ho Chi Minh di perusahaan tour and travel dan sekarang sedang mengambil cuti
selama Ramadan ,” jelas Karim. http://www.bbc.com diakses 10 Juni 2018

Simpulan

Berbagai upaya telah ditempuh agar keharaman nikah beda agama bisa dilonggarkan.
Jika kita menganggap bahwa non-Islam di Barat adalah Ahli Kitab maka semestinya tak ada
masalah sekiranya orang Islam hendak menikahi perempuan Yahudi dan Kristen di sana. Al-
Qur’an dengan tegas mengatakan tentang kehalalan laki-laki Muslim menikah dengan
perempuan Ahli Kitab. Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya, membolehkan laki-laki Muslim
menikahi perempuan Yahudi-Israel. Sementara tentang pernikahan perempuan Muslim dengan
laki-laki Ahli Kitab, semua ulama cenderung mengharamkannya. Pengharaman ini muncul dari
sebuah kekhawatiran, bahwa jika laki-lakinya non-Muslim dan perempuannya yang Muslim
maka besar kemungkinan agama istri dan anak-anak akan mengikuti agama sang suami. Namun,
kekhawatiran ini tak banyak terbukti. Berbagai riset menunjukkan, anak-anak yang lahir dari
orang tua berbeda agama banyak mengikuti agama ibu. Di tengah masyarakat Barat yang
menjunjung tinggi kebebasan beragama, tekanan suami agar istri dan anak-anak mengikuti
agama dari si suami sebenarnya tak terlampau mengkhawatirkan.
Persoalan dalam perkawinan ini tak pelak juga akan berimbas pada pewarisan.
Pandangan fikih yang (konon) diacukan pada sebuah hadis melarang umat Islam mewariskan
hartanya pada keluarga atau keturunan non-Muslim. Perbedaan agama (ikhtilâf al-dîn) dianggap
sebagai penghalang (mâni’) terjadinya proses waris-mewarisi. Ketentuan ini tak mudah
ditunaikan bagi keluarga Muslim di Barat yang salah satu anggota keluarganya berbeda agama.
Dengan demikian diperlukan pemahaman yang lebih kontekstual terhadap ketentuan fiqhiyyah
seperti ini. Yusuf alQardhawi berusaha memberi solusi bahwa orang Islam boleh menerima
warisan dari orang non-Muslim, tapi tidak buat sebaliknya. Pendapat ini tanggung dan tak
menyelesaikan masalah. Orang akan menggugat pandangan al-Qardhawi ini bahwa umat Islam
hanya mencari enaknya saja alias siap menerima warisan tapi tak siap mewariskan. Ia dinilai
tidak adil (unfair).
Ketiga, dalam bidang muamalah juga ada masalah. Tak sedikit ulama fikih yang
berpendapat perihal haramnya umat Islam bersahabat dengan umat agama lain. Tak hanya itu,
bahkan juga diharamkan untuk memilih kepala negara non-Muslim. Menerapkan pandangan
fikih demikian di Barat potensial menimbulkan masalah. Umat Islam akan semakin teralienasi
dari komunitas besar di Barat. Padahal, sebagai warga negara, umat Islam mustinya
mengintegrasikan diri dalam sebuah komunitas. Ia tak boleh menarik diri dari lalu lalang
pergaulan masyarakat. Dalam keadaan demikian, sekalipun banyak teks agama yang melarang
umat Islam bergaul dengan umat non-Muslim, umat Islam di Barat akhirnya cenderung tak
mempedulikannya. Atas dasar itu, ulama Islam berpikir agar minoritas Muslim di Barat
mendapatkan penanganan khusus dari sudut pandang fikih. Sebab, bertumpu pada fikih arus
utama akan merepotkan posisi umat Islam di sana. Jabir Thaha al-‘Alwani dan Yusuf al-
Qardhawi menempuh solusi progresif dengan merintis fikih baru, fikih minoritas (fiqh al-
aqalliyyat). Di antaranya, Jabir al-‘Alwani menulis buku berjudul Toward a Fiqh for Minorities.
Sedangkan Yusuf al-Qaradhawi menulis buku Fi Fiqh alAqalliyyat al-Muslimah. Di Indonesia,
Ahmad Imam Mawardi menulis buku Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqashid
al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan.
Sebenarnya jika kembali kepada tuntunan etik-moral al-Qur’an dan sejarah keteladanan
Nabi Muhammad, kita akan menemukan petunjuk bahwa umat agama lain bukanlah merupakan
suatu ancaman bagi umat Islam. Pluralitas keagamaan itu menjelma dalam keluarga Nabi
Muhammad. Bahkan buku-buku sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad pernah memiliki
menantu musyrik (Abu al-‘Ash, suami dari Zainab binti al-Rasul), budak perempuan beragama
Kristen Koptik (Maria al-Qibthiyah) dan Yahudi (Raihanah), mertua beragama Yahudi
(ayahanda dari Shafiyah, istri nabi). Waraqah ibn Naufal yang memberi kesaksian dan
pengakuan atas kenabian Muhammad adalah saudara sepupu Khadijah binti Khuwailid (istri
nabi).

Daftar Rujukan
Abou El Fadl, Khaled, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa, Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Esack, Farid, Qur’an, Liberalism and Pluralism, England: One World, 1997.
Ghazali, Abdul Muqsyid, Minoritas Muslim Perlu Fiqih Minoritas, dalam http://islamlib.com,
diakses pada tanggal 20 Mei 2018.
http://www. muslimuda/forum/lofiversion/index, diakses tanggal 19 Mei 2018.
Kettani, M. Ali, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, terj. Zarkowi Soejuti, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005.
Khairon, Muhammad Nur, “Hubungan Islam-Kristen dan Persoalan Konstruksi Sosial Islam di
Indonesia Saat Ini”, dalam http://www. academia.edu/, diakses tanggal 20 Mei 2018.
Pabottingi, Mochtar dkk, Potret Politik Kaum Muslim di Perancis dan Kanada, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Ramadan, Tariq, Western Muslims and The Future of Islam, New York: Oxford Press, 2004,
Republika Online, 22 Juni 2006, diakses pada tanggal 20 Mei 2015.
R. Woodward, Mark, Islam Jalan Baru, terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, 1998.
Suaidi, Ahmad dkk, Islam dan Kaum Minoritas; Tantangan Kontemporer, Jakarta: Wahid
Institut, 2012.
Tahrir, Hizbut, Mengenal Hizbut Tahrir di Indonesia, Jakarta: LIPPI Press, 2005.
i

Anda mungkin juga menyukai