Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Islam Dan Globalisasi

          Islam berasal dari bahasa arab, yaitu salima yang yang mengandung arti selamat, damai
dan sentosa. Dari kata salima, selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti aslama
yang berarti berserah diri masuk kedamaian.  Islam adalah agama Allah yang SWT, yang
diturunkan pada Nabi Muhammad SAW untuk mengajarkan dan menyampaikan pada
Umatnya.
           Adapun globalisasi berasal dari kata Global. Globalisasi merupakan proses menuju
arah global. Arti global adalah menyeluruh atau menyatu, dari berbagai unsur menjadi satu.
           Globalisasi adalah era global atau modern bahwa dunia ini terasa seperti kampong
kecil. Interaksi antarnegara, peradaban, dan budaya semakin mudah dalam melakukannya,
proses tersebut saling mempengaruhi antara satu budaya dengan budaya lain dengan proses
yang cepat, baik budaya itu positif maupun negatif. Pada akhirnya, globalisasi menjadi alat
untuk saling mempengaruhi antara peradaban, antarnegara, budaya, dan agama.

C. Karakteristik Islam Globalisasi


   Ungkapan Islam, Globalisasi, Peradaban dunia menjelaskan pada Pertentangan,
Persinggungan atau Persamaan, Oleh Karena itu Islam memiliki karakter sebagai Berikut :
1.  Menjanjikan keselamatan dunia dan akhirat
2.  Penyerahan diri seorang muslim kepada Allah SWT.
3.  Penyelamatan yang dijanjikan islam dengan kesempurnaan
4. Islam sebagai agama yang sempurna.
5.  Islam menjelaskan segala sesuatunya itu untuk keselamatan manusia.
6. Tidak ada satu pun yang dibiarkan dan tidak diperhatikan di dalam islam.
7. Tebaran penyelamatan islam mencakup pada seluruh alam semesta, lebih dari sekadar
globalisme.

D. Karakteristik Globalisasi
Dalam hal-hal yang bersifat duniawi, umat islam diberi kebebasan seluas-luasnya untuk
beradaptasi, berdialog, hidup berdampingan dengan non islam. Tetapi ia harus mengetahui
prinsip-prinsip islam. globalisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Internasionalisasi dari daerah menuju ke arah wilayah yang lebih luas.
2. Liberalisasi paham menuju arah serba bebas dan melepaskan norma-norma yang telah
mapan, antaralain norma-norma agama islam.
3. Universalisasi dunia telah menjadi dalam kesatuan, tetapi tidak ada wilayah yang melekat
antara wilayah stu dengan wilayah lain sebagai berkah untuk memajukan IPTEK, terutama
teknologi dan informasi.
4. Westernisasi arah peradaban dari dunia timur menuju arah kultural dunia barat yang
bercirikan sekularisme, individualisme, kapitalisme, liberalisme, dan hedonisme.
5. Suprateritoalisme ruang-ruang sosialitas mulai tidak ada lagi dari jaraknya dan batas-batas
wilayahnya. Dengan demikian, dunia adalah satu wilayah.
Secara singkat, bahwa globalisasi dapat dikatakan terjadinya keterbukaan wilayah atau
Negara sehingga memungkinkan terjadi interaksi antara wilayah atau Negara tersebut. Seperti
dalam ekonomi, politik, budaya dan lain-lain.
E. Moderenisme
Kata modern, medernitas, modernisasi dan modernisme, seperti kata lainnya yang berasal
barat, telah dipakai dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata
modern diartikan sebagai yang terbaru, secara baru, mutakhir Dalam masyarakat barat kata
modernisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha untuk mengubah
paham-paham, adat istiadat, institusi-instintusi lama dan sebagainya, agar semua itu sesuai
dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Perubahan dilakukan untuk menyesuaikan zaman dan
keadaan masyarakat dalam mengejar bangsa lain agar memberi solusi nyata dengan
mendatangkan paradigma baru dalam suatu masyarakat supaya mewujudkan kebangkitan
bagi umat islam.
Dalam masyarakat barat, modernisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha
untuk mengubah paham-paham dan institusi-institusi lama untuk disesuaikan dengan suasana
baru ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, modern
lebih mengacu pada dorongan untuk melakukan perubahan karena paham-paham dan
institusi-institusi lama dinilai tidak relevan. Kaum modernis kebanyakan lebih percaya bahwa
keterbelakangan umat islam karena disebabkan oleh kesalahan sikap mental, budaya, atau
teologi mereka. Pandangan kaum modernis lebih merujuk pada pemikiran modernis
Muktazilah, yang cenderung bersifat antroposentris karena bagi Muktazilah, manusia itu
dapat menentukan perbuatannya sendiri.

F. Purintanisme
Secara garis besar, kata puritanisme secara etimologis berasal dari bahasa yunani, pure yang
berarti murni. Purntanisme, berarti paham dan tingkah laku yang didasarkan pada ajaran
kaum puritan. Puritan memiliki arti orang yang hidup saleh dan yang menganggap
kemewahan dan kesenangan sebagai dosa.
Purintanisme menurut istilah memiliki dua arti, yaitu di lapangan pemikiran dan
kepercayaan. Purintanisme di lapangan pemikiran, misalnya pada lapangan ilmu pengetahuan
berupa tidak mau mengunakan kata atau ejaan yang mirip dengan perkataan atau ejaan
bangsa asing. Dalam lapangan kepercayaan sendiri, misalnya sikap hanya berpegang pada
ajaran yang termuat dalam suatu kitab suci sesuai dengan arti kata. Pengertian yang tidak
sama dengan arti kata dianggapnya berbahaya atau salah, selain makna ajaran agama islam
pada beberapa golongan, yang mengikuti pada cara hidup yang sederhana dan tidak
menggangu pada kesehatan.
Dalam islam, purintanisme disamakan sengan istilah sufi. Pemurnian ditunjukan untuk
mengembalikan umat islam pada ajaran yang murni berasal dari pembawanya Nabi
Muhammad SAW yaitu Al-Quran dan hadist agar bersih dari perilaku takhayul, bidah, dan
khurafat yang dapat merusak pada ajaran dan akidah umat islam.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemurnian itu adalah kembali pada ajaran
islam yang murni, yaitu kembali pada ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya
yaitu Al-Quran dan Hadist sahih untuk menyesuaikan zaman yang semakin aktual dengan
ajaran islam yang murni.

G. Eksistensi Islam Di Era Globalisasi


Globalisasi yang melanda dunia tidak hanya pada satu bidang saja, tetapi terdapat pada
berbagai bidang. Seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama. Globalisasi yang terjadi
di berbagai bidang tentu saja akan memberi pengaruh dan membawa perubahan bagi dunia di
masa yang akan datang.
Dalam era globalisasi saat ini, tentu akan terdapat perbedaan-perbedaan dalam peradaban.
Perbedaan tersebut kadangkala dapat memicu terjadinya pertarungan. Namun, ada kalanya
pertarungan peradaban tidak perlu dilakukan. Terlebih jika peradaban yang ada dapat hidup
berdampingan, terjadinya dialog, dan saling memberi. Tetapi, tetap saja, kita sebagai umat
muslim tidak boleh melupakan agenda besar dibalik globalisasi.
Pertarungan yang terjadi dapat berupa pertarunga ideologi, dan perebutan pengaruh antara
antara Islam dan Globalisasi. Globalisasi direpresentasikan melalui perdaban Barat dengan
spirit modernitasnya, yang dalam banyak wilayah tidak sejalan dengan prinsip Islam.
Sehingga dalam banyak perjalanan globalisasi, Islam kerap berbenturan dan atau bersilang
pendapat dengan Barat. Dalam keadaan seperti ini Islam harus mampu menemukan jati
dirinya ditengah menguatnya arus globalisasi yang mengancam kepunahan agama, tentunya
agar Islam mampu bertahan hingga akhir zaman.
Benturan Islam dan Barat merupakan isu yang selalu hangat diperbincangkan.  Dengan latar
belakang budaya dan ideologi yang khas di antara keduanya. Dan disinalah akan dikupas
secara mendalam apakah keduanya bisa berjalan secara harmonis, bagaimana globalisasi
dengan segala kekuatannya dan Islam yang memiliki setting dan alasan tersendiri yang
berbeda keberadaannya. Hal ini disebabkan karena sementara agama bertumpu pada apa yang
disebut Rodulf Otto the Holy atau the sacred dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi
dengan segala prangkatnya yang bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang justru
menyisihkan segala bentuk sakralitas. Islam adalah kekuatan dinamis masyarakat muslim
yang mengendalikan segala aspek kehidupan, mulai dari cara berpakaian, pergaulan, budaya,
politik, keilmuan dan seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan terus ada sekaligus menjadi ciri
khas bagi mereka. Namun, beberapa persoalan penting juga muncul bersamaan dengan
perkembangan situasii dan zaman.
Sebagai umat islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran dalam
merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia islam, baik di bidang
ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun Barat. Dari kekhawatiran
tersebut, mereka kemudian cendrung bersifat resisten demi melindungi nilai-nilai luhur
agama dan identitas umat islam dari pengaruh politik negatif berbagai pemikiran dan aliran
baru. Bahkan sampai tingkat tertentu, mereka berkeyakinan bahwa semua itu merupakan
sebuah perang atau konspirasi terencana untuk menghancurkan islam dan identitas kaum
muslimin.
Sementara pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat islam yanglain cendrung
menerima apa yang datang dari Timur maupun dari Barat tanpa reserve. Mereka
mengeluhkan hal itu dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok yang
bodoh, konservatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka, segala sesuatu yang datang
dari negara-negara maju merupakan faktor yang menjamin terselenggaranya kemajuan dan
perkembangan.
Namun untuk memposisikan Islam dalam tantangan arus global tersebut sejatinya umat islam
tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon. Sebagaimana tercermin dari dua kelompok
umat islam di atas, yang kecendrungannya menerima dan menolak secara mutlak setiap
pemikiran dan aliran yang timbul di Timur dan di Barat.
Memang umat islam dituntut untuk bersikap, tapi dengan kewaspadaan yang kuat, dalam
artian tidak sertamerta menutup setiap yang dibawa oleh aliran-aliran yang datang dari Timur
dan barat, serta tidak membuka pintu lebar-lebar terhadap kemajuan yang dibawa oleh arus
globalisasi tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam memandang persoalan tersebut, umat islam harus lebih kritis dengan menelaah setiap
persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau
menolak arus baru yang datang tanpa disetai kesadaran yang utuh. Oleh karena itu Mahmud
Hamdi Zaqzuq memberikan catatan penting yang harus digaris-bawahi dengan tegas.
Pertama, bahwa islam sebagai agama, bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena
temporal belaka seharusnya tidak perlu mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari luar,
kareana ia memiliki basis sejarah yang kokoh  dan landasan kuat, yang tidak dimiliki oleh
aliran-aliran baru yang bermunculan. Kedua, harus disadari bahwa globalisasi merupakan
suatu kenyataan yang tak mungkin ditolak. pada mulanya, ia merambah lewat jalur ekonomi,
kemudian melebar ke jalur politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma
menjadi sebuah fenomena tak terpungkiri yang muncul di hadapan kita. Ketiga, kita tak bisa
terus berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama komunitas-komunitas lain di dunia.
Saat ini kita telah berada di era revolusi komunikasi dan informasi, revolusi, tekhnologi serta
era penuh keterbukaan yang tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita.
H. Dampak Globalisasi Dalam Dunia Islam
Globalisasi merupakan fenomena yang tak terbantahkan kedatangannya. Jika umat islam
menutup diri dan acuh tak acuh sama halnya dengan mengggali kuburan untuk kematiannya
sendiri, sedangkan membuka diri tanpa adanya filterisasi terhadap kedatangannya sama
halnya menjelma manusia robot yang dikontrol dan dikendalikan oleh kekuatan tekhnologi.
Untuk tidak terjebak pada keduanya, umat islam harus bersikap kritis terhadap perkembangan
yang dibawa oleh globalisasi.
Sejak zaman dahulu, umat islam telah mengambil hikmah dari peradaban-peradaban lain,
ketika mereka membangun tatanan peradabannya. Dalam konteks ini, seorang filosof muslim
terkemuka, Ibn Rusyd, mengatakan bahwa syariat telah mengajarkan kita agar mebaca
literatur-literatur klasik. Dan secara otomatis ajaran ini tentu mengandung anjurkan kita untuk
membaca literatur baru di kemudian hari. Ibn Rusyd juga meneguhkan dengan untkapannya,
“kita perlu menelaah apa yang diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam
literatur-literatur mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima
dengan senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita harus
berhati-hati dan menghindarinya.
Dengan begitu secara otomatis Ibn Rusyd mengiinkan umat islam untuk mengkritisi segala
yang ditimbulkan oleh globalisasi, termasuk kebudayaan-kebudayaan lain. Tentu dengan
memfungsikan akal dan fikiran, sehingga dengan masuknya kebudayaan modern kita tidak
gagap, kita bisa mengapresiasi dengan baik. Sebab Islam sebagai agama yang diturunkan
untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin rasanya menolak secara membabi-
buta suatu kebudayaan yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Dengan penyikapan
yang kritis ini, kita dalam satu sisi kita tetap bisa menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan
di sisi lain kita tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di
dalamnya.
Banyak kalangan bingung memahami Islam dan Muslim. Pemimpin kaum Muslim
mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan adil; namun Osama Bin Laden dan teroris
Muslim lainnya secara global membantai non-Muslim maupun Muslim. Presiden Goerge W
Bush menyebut Islam sebagai agama damai; penginjil Franklin Graham memandang Islam
sebagai agama setan. Samuel Huntington, profesor ternama dari Harvad dan penulis The
Clash of Civilizations menulis “Islam berlumur darah di luar dan dalam. Tetapi sebagaimana
dikemukakan presiden Barrack Obama Islam telah menunjukkan lewat kata-kata dan
perbuatan tentang peluang toleransi beragama dan kemitraan ras.
Satu paragrap diatas menunjukkan realitas multi wajah Islam dan Muslim dewasa ini. Di sisi
lain, makna implisit yang terkandung dalam satu paragrap diatas diatas adalah bahwasanya
kehidupan beragama kita tengah berada di bawah bayang-bayang globalisasi. Ketergantungan
hidup terhadap globalisasi, pada gilirannya akan berpengaruh terhadap cara pandang
beragama kita. Lalu muncul pertanyaan, sejauh mana Islam dengan ajaran-ajaran agamanya
mampu bertahan di tengah kehidupan global yang modern Di tengah kuatnya arus skularisasi.
Bila merujuk pada anasir-anasir para sosiolog bahwasanya agama akan sulit untuk bertahan
di abad dua puluh satu, cukup membuat risau masyarakat beragama. Lihat saja penggalan
kalimat terkenal agama adalah candu yang dianggap menjadi saripati konsepsi Marxis
tentang gejala keagamaan. Ungkapan yang sama dapat kita temukan dalam tulisan-tulisan
Kant, Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, juga Hencrich Heine.
Meski demikian, sampai hari ini; hari dimana kita hidup di abad dua puluh satu,
menunjukkan bahwa keberadaan agama-agama khususnya Islam masih menampakkan
eksistensinya. Tidak berniat menisbikan ramalan sosiolog diatas, tapi fakta statistikal
membeberkan bahwa Islam adalah agama dengan penganut terbesar di dunia hari ini. Dan
porsi terbesar dari 1,5 miliyar warga muslim dunia bukanlah bangsa Arab, melainkan Asia
atau Afrika.Fakta ini menunjukkan bahwa telah terjadi imgirasi besar-besaran umat Islam
bahkan hingga Eropa dan Amerika.
Dalam kondisi yang demikian, untuk menjaga eksistensinya di era globalisasi Islam harus
mampu menemukan posisi yang strategis dan memberikan sikap yang tegas terhadap banjir
bandang globalisasi. Sikap yang bisa diambil oleh Islam dalam memandang globalisasi
adalah mendukung, menolak, atau kompromi.
Sikap mendukung mesti diambil Islam bila Globalisasi yang dalam banyak tafsir lebih dilihat
membawa dampak negativ, bila dalam perjalanannya juga mengusung semangat perdamaian,
toleransi beragama, keadilan, dan sebagainya. Tidak ada alasan bagi Islam untuk menolak
spirit-spirit kehidupan yang demikian karena secara postulat keagamaan, Islam juga
mengajarkan hal demikian. Sikap menolak Islam akan terjadi bila globalisasi memberikan
dampak tidak sehat atas kehidupan manusia; mengusung semanagat skularisasi misalnya,
dimana hal ini jelas bertentangan dengan Islam. Yang terakhir adalah sikap kompromi, jalan
alternatif ini bisa diambil Islam bila tidak mengambil dua pilihan diatas. Sikap kompromi
muncul karena keagamaan dann peradaban manausia berinteraksi dengan begitu intens dan
kontinou dalam dunia global, sehingga Islam tidak bisa menutup mata dari kehadiran-
kehadiran pengaruh kekuatan luar. Sikap kompromi bukan berarti tunduk terhadap pengaruh
globalisasi sehingga Islam sekiranya perlu untuk mengambil posisi sebagai Counter
Hegemoni kekuatan globalisasi. Globalisasi mampu bermetamorfosis lebih cepat dan
memiliki kekuatan yang lebih tinggi, sehingga melawan globalisasi bila pun harus dilawan
tidak bisa dengan pola konfrontasi total, karena pada akhirnya Islam akan terbawa dalam
permainan globalisasi. Islam harus memiliki opsi cerdas untuk menyelamatkan eksistensinya.
Dan Dampak Globalisasi dunia islam dibagi menjadi dua yaitu dampak Positif dan Negatih :

1. Dampak Positif
Dampak positif, misalnya, makin mudahnya kita memperoleh informasi dari luar sehingga
dapat membantu kita menemukan alternatif-alternatif baru dalam usaha memecahkan
masalah yang kita hadapi. Misalnya, melalui internet kini kita dapat mencari informasi dari
seluruh dunia tanpa harus mengeluarkan banyak dana seperti dulu. Demikian pula, dalam hal
tenaga kerja, dana, maupun barang. Di bidang ekonomi, perdagangan bebas antar negara
berarti makin terbukanya pasar dunia bagi produk-produk kita, baik yang berupa barang atau
jasa tenaga kerja.
2. Dampak Negatif
Dampak negatif yang paling nyata adalah perbenturan nilai-nilai asing, yang masuk lewat
berbagai cara, dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa kita.
Mengingat agama Islam adalah agama yang berdasarkan hukum syariah, maka perbenturan
nilai itu akan amat terasa di bidang syariah ini.

I. Sikap Umat Islam Dalam Menghadapi Globalisasi


Dengan dampak-dampak Globalisasi itu hendaknya tidak menghalangi pemuda-pemuda
Islam untuk bergerak. Bergerak disini bukan berarti menolak atau pun memerangi era
Globalisasi tetapi bagaimana pemuda-pemuda Islam mampu menempatkan dirinya dan
mampu mengambil peran penting dalam era ini. Sebagai pemuda islam, jangan menutup diri
terhadap perkembangan zaman. Tetapi hendaknya mempunyai prinsip seperti prinsip orang
jepang, ambil yang baik, buang yang buruk dan ciptakan yang baru dan tentunya yang
diambil itu yang sesuai syariat tanpa melanggar ketentuan Al-Quran maupun hadits. Dengan
prinsip tersebut harapannya dapat mengubah mindset orang awam yang beranggapan bahwa
Islam itu konotasinya kuno, bodoh dan ketinggalan jaman berubah menjadi lebih berfikir
positif terhadap Islam.
Sebagai pemuda islam yang akan menghadapi era globalisasi maka kita sebagai pemuda
islam harus bisa berkembang dalam menghadapi era globalisasi, kita harus berperan di dalam
bidang Teknologi, Ekonomi Dan Politik.
Peran-peran tersebut dapat direalisasikan manakala pemuda Islam mempunyai pondasi yang
kuat dan kokoh agar tujuan mulia itu tercapai bukan malah terbawa arus negatif Globalisasi.
Setidaknya ada 4 hal sebagai pondasi tersebut, yaitu:
1. Tauhid yang kuat.
2. Pemahaman Agama yang kuat.
3. Ilmu pengetahuan yang lebih.
4. Niat Tulus dan komitmen.

Anda mungkin juga menyukai