Anda di halaman 1dari 17

MENGUASAI KONSEP BERDASAR AL-QUR’AN TENTANG

PENINGKATAN KUALITAS HIDUP MANUSIA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbiyah dengan
Dosen Pengampu Bapak Dr.H.Dedih Surana, Drs., M.Ag. dan Ibu Ulvah Nur’aeni,
S.Th,.I.,MA.

Disusun Oleh :

Muhammad Fatan 10030120057


Nida Nur Rsiddah 10030120044
Tari Rosidah 10030120061
Salsabilla Aulia 10030120062
Shelsabila 10030120053

Kelompok : III
Kelas : PAI-B

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah swt, atas limpahan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya, sehingga kami kelompok III dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjunan nabi
Muhammad saw.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah yang berjudul “Menguasai Konsep
Berdasar Al-Qur’an Tentang Peningkatan Kualitas Hidup Manusia” sebagai
pemenuhan tugas mata kuliah Tafsir Tarbiyah yang diberikan demi tercapainya tujuan
pembelajaran yang telah direncanakan.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dalam penyelesaian makalah ini. Kami sadari dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan
saran sangat kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik. Dan semoga
dengan adanya makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Bandung, April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................i


DAFTAR ISI ..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................1
B. Rumusan Masalah .....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................2
A. Pengertian Manusia dalam Al-Qur’an ......................................................2
B. Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Kualitas Hidup Manusia . . .4
C. Analisis Terhadap Ayat-ayat Tentang Kualitas Hidup Manusia ...............6
BAB II PENUTUP .....................................................................................................10
A. Kesimpulan ...............................................................................................10
B. Saran ..........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia adalah makhluk Allah  yang paling mulia dan diciptakan untuk
memimpin kehidupan di bumi ini (QS. Al-An’am:165), untuk itu Allah menjadikan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tin : 4) yaitu terdiri dari unsur
jasmani dan unsur rohani. Dengan unsur jasmaninya ia berbeda dengan makhluk yang
gaib dan dengan unsur rohaninya ia berbeda dengan makhluk yang merata di alam ini.
Sehingga wajarlah jika manusia diberikan kedudukan yang sangat tinggi, bahkan
malaikat pun diperintahkan sujud kepada-Nya. Melalui pengajaran Allah kepada
Adam, manusia mampu, secara potensial, untuk mengetahui hukum-hukum alam.
Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya (QS. Al-Baqarah [2]: 31),
dan melalui penundukan Allah terhadap alam raya, manusia dapat memanfaatkan
seluruh jagat raya. Dia yangtelah menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit
dan di bumi semuanya(sebagai rahmat) dari-Nya (AS. Al-Jatsiyah [45]: 13).
Sebelum Allah menciptakan Adam, Dia telah menyampaikan rencana-Nya
untuk menjadikan makhluk tersebut (bersama anak keturunannya) menjadi khalifah
dibumi. Sebelum terjun ke bumi Adam bersama isterinya transit terlebih dahulu di
surga agar mendapat pengalaman, baik pahit maupun manis. Sehingga dengan
pengalaman itu, ia memperoleh gambaran bagaimana sebenarnya kehidupan yang
akan dialaminya di dunia dan bagaimana seharusnya ia membangun dunia itu.
Dari pengalaman Adam dan amanat yang ditanggungnya, manusia keturunan
Adam ini diharapkan dapat meneruskan apa-apa yang telah digariskan oleh Al-Quran.
Walaupun  dalam Al-Quran ayat-ayat yang berkaitan dengan manusia sangat banyak,
namun dalam makalah ini penulis hanya ingin menguraikan tentang beberapa istilah
manusia dalam Al-Quran dan  manusia sebagai dimensi intelektual, sosial dan
spiritual.  

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian manusia dalam Al-Qur’an?
2. Ayat-ayat al-qur’an yang berkaitan dengan kualitas hidup manusia?
3. Analisis terhadap ayat-ayat tentang kualitas hidup manusia?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian manusia dalam al-Qur’an
2. Untuk mengetahui ayat-ayat yang berkaitan dengan kualitas hidup manusia
3. Untuk mengetahui analisis ayat-ayat tentang kualitas hidup manusia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Manusia dalam Al-Qur’an


Istilah Manusia dalam Al-Qur’an Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an
untuk menunjuk kepada manusia:
1. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin seperti insan, ins, nas
atau unas.
2. Menggunakan kata basyar.
3. Menggunakankata Bani Adam dan zuriyat Adam.
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan
tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari yang
berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa) atau nasa yanusu (berguncang).
Kata basyar terambil dari akar kata yangpada mulanya berarti penampakan sesuatu
dengan baik dan indah.Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti
kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit
binatang yang lain.
Terbacanya kalimat Al-Basyar di beberapa tempat pada Al-Qur’an
memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kalimat itu adalah anak Adam
(manusia) yang biasa makan dan berjalan di pasar, dan di pasar itulah mereka saling
bertemu atas dasar mumatsalah (persamaan jenis makhluk yaitu sama-sama manusia),
ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Basyar dalam Al-Qur’an adalah
manusia.
Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal
dan sekali dalam bentuk mustanna untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriyahnya
serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Bint Syathia mengatakan bahwa
kalimat Al-Basyar yang merupakan nama dari sekelompok makhluk (manusia)
terdapat pada 35 tempat di dalam Al-Qur’an, di antaranya terdapat pada 25 tempat
yang mengemukakan bahwa para Rasul dan Nabi itu adalah manusia (Al-Basyar).
Kemudian yang disertai dengan keterangan nash juga sama-sama manusia
yang mempunyai sifat-sifat kemanusiaan terdapat pada 13 tempat di dalam Al-
Qur’an, baik melalui ucapan-ucapan orang kafir maupun melalui pernyataan dan
ketetapan Allah sendiri, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Anbiya ayat 3
artinya: “(lagi) hati mereka dalam Keadaan lalai. dan mereka yang zalim
itumerahasiakan pembicaraan mereka: Orang ini tidak lain hanyalah seorangmanusia
(jua) seperti kamu, Maka Apakah kamu menerima sihir itu, Padahal
kamumenyaksikannya? (QS.al-Anbiya [21]: 3)”
Dalam ayat lain disebutkan Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini manusia biasa
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu
adalah Tuhan yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,
Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh danjanganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.(QS.al-Kahfi [18]: 110
Dan terdapat pula ayat-ayat yang di dalam mengemukakan bahwa Rasul para
Nabi dan orang-orang kafir itu sama-sama manusia, tidak disertai dengan kata-kata
yang jelas, tetapi menurut susunan katanya dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa
kedua golongan itu (para Rasul/Nabi dan orang-orang kafir) benar-benar manusia atau
Al-Basyar sebagaimana halnya dengan manusia-manusia yang lain, hal ini terdapat
pada nash Al-Qur’an artinya “Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas atau
kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kal itidak akan mempercayai kenaikanmu itu
hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca. Katakanlah “Maha

2
Suci Tuhanku bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul?.” (QS.
17 Al-Israa: 93)
Al-insan mempunyai beberapa bentuk kalimat yang berbeda-beda dengan ciri-
ciri tertentu sehingga diyakini, bahwa kalimat-kalimat yang berbeda itu bermakna
satu, seperti kalimat: Al-Basyar, An-Nas dan Al-Insi. Kebanyakan para Ahli Tafsir
mengartikan bahwa kalimat-kalimat itu merupakan kalimat muradif (sinonim), yakni
kalimat-kalimatnya berbeda tetapi bermakna satu. Sedangkan menurut asal kata
Bahasa Arab tidaklah demikian, tetapi Al-Quranlah yang menjelaskannya.
Berbeda dengan kalimat Al-Basyar yang diberi arti dengan manusia, maka
kalimat-kalimat: An-naas Al-Insi dan Al-Insan, yang tercantum dalam Al-Qur’an,
maka arti manusia bagi kalimat-kalimat itu ada tinjauan secara khusus yang dapat
membedakan satu samalain bagi masing-masing kalimat. Sedangkan kalimat Al-Insi
dan Al-Insan mempunyai tinjauan yang sama di antara keduanya, yaitu dari asal kata :
anisa yang artinya jinak kebalikan dari kalimat wahsyi yang berarti buas.
 Kemudian Al-Quran mengkhususkan bahwa di antara dua kalimat itu
mempunyai arti sendiri-sendiri secara khusus. Kalimat Al-insi selamanya selalu
dikaitkan dengan kata Al-Jinni sebagai lawan katanya dan berturut-turut tidak pernah
berpisah dalam setiap ayat yang ada kalimat Al-insi yang berjumlah 18 ayat, yakni
sebagai berikut:
1. Surat Al-An’am ayat 112,128 (dua kali) dan 130.
2. Surat Al-A’raaf ayat 38 dan 179
3. Surat Al-Isra’ ayat 88
4. Surat An-Naml ayat 17
5. Surat Fushshilat ayat 25 dan 29
6. Surat Al-Ahqaaf ayat 18.
7. Surat Adz-Dzariyat ayat56.
8. Surat Al-Jinn ayat 5 dan 6
9. Surat Ar-Rahmaan ayat 33,39, 56 dan 74.
Perbedaan di antara kalimat Al-Insi dan Al-Insan walaupun artinya sama yakni
jinak tetapi dapat dibedakan, manusia yang disebut dalam Al-Quran dengan kalimat
Al-Insi selalu dirangkaikan dengan kalimat Al-Jinni sebagai lawan katanya, itu
menunjukkan bahwa manusia tidak buas seperti jinn.
Adapun manusia yang disebut dalam Al-Qur’an dengan kalimatAl-Insan yang
terkadang dirangkaikan dengan kalimat Al-Jinn (QS.Ar-Ruum: 14, dan QS. Al-Hijr:
26), itu tidak berarti bahwa manusia hanya merupakan kebalikan dari makhluk jinn
saja (merupakan makhluk yang jinak saja) sebagaimana halnya bahwa manusia itu
tidak hanya merupakan makhluk yang memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar,
tetapi lebih dari itu, kalimat Al-Insan memberikan arti bahwa manusia patut
ditingkatkan martabatnya sampai kepada tingkatan untuk memiliki keahliannya untuk
menduduki jabatan khilafah (penguasa) di atas bumi ini dan kemungkinan untuk
dibebani kewajiban-kewajiban dan kepercayaan atau amanat. Sebab hanya
manusialah yang secara khusus dilengkapidengan akal fikiran, kecakapan dan
kecerdasan serta hal-hal yang bertaliandengan itu semua, seperti adanya cobaan, yang
baik maupun yang buruk, adanya ujian yang menipunya karena sudah mampu dan
kuat, dan adanya keangkuhan karena sudah mencapai derajat, pangkat, kedudukan
dan jabatan yang tinggi.
Tinjauan manusia sebagai arti dari kalimat Al-Insan secara khusus mempunyai
ketampanan bentuknya serta kekhususannya dapat membedakan dari manusia sebagai
arti dari kalimat Al-Basyaratau Al-Insi.    

3
B. Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Kualitas Hidup Manusia

a. Manusia sebagai dimensi intelektual


Kata insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan
seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia berbeda antara seseorang dengan yang
lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan. Dan juga Al-Quran banyak
menyebutkan ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang
terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya QS Al-Tin : 5
dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan
makhluk-makhluk Allah yang lain QS. Al-Isra : 70.  
Ada 65 tempat di dalam al-Qur’an kalimat Al-Insan  disebut-sebut jika
direnungkan, memang kalimat al-Insan itu mengandung arti manusia yang sempurna,
sampai tiga kali kalimat al-Insan itu diulang di dalam surat Al-Alaq:
Pertama  : Menengok asal kejadian manusia itu dari segumpal darah
Kedua    : Menunjukkanbahwa manusia itu memiliki kekhususan dikaruniai ilmu
Ketiga  : Memperingatkan bahwa manusia itu mempunyai watak menganiaya diri
sendiri sehingga bila telah sampai pada puncak, dia bersikap angkuh tidak
membutuhkan lagi kepada Tuhan khaliqnya. Firman Allah, dalam surah Al-Alaq : 1-8
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah YangPaling
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Diamengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Iqra pada ayat tersebut menggunakan akar kata Qaraa, sehingga obyeknya
terkadang menyangkut suatu bacaan yang bersumber dari Tuhan (Al-Quran atau kitab
suci sebelumnya). (Lihat QS 17: 45 dan QS 10: 94.) Dan terkadang obyeknya adalah
suatu kitab yang merupakan himpunan karya manusia atau dengankata lain bukan
bersumber dari Allah. (Lihat QS 17: 14).
Kata qaraa digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan
sebagainya. Di sini obyeknya tidak disebut, sehingga berlaku umum, maka obyek kata
tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau baik bacaan suci yang bersumber
dari Tuhan maupun yang bukan, baik menyangku tayat-ayat yang tertulis maupun
yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri
sendiri, ayat suci al-Quran, majalah,koran dan sebagainya.
Obyek Qiraat adalah luas, namun dapat sedikit menyempit apabila hanya
dilihat dari dirangkaikannya perintah membaca dengan qalam. Pakar Tafsir
Kontemporer memahami kata qalam sebagai segala macam alat tulis menulis, sampai
kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang canggih. Dan juga harus diingat bahwa
qalam bukan satu-satunya alat atau cara untuk membaca atau memperoleh
pengetahuan.
Dalam ayat tersebut tersirat bahwa perintah membaca adalah untuk
memperoleh ilmu pengetahuan, tanpa membaca manusia tidak  dapat memperolehnya.
Di samping itu ditegaskan bahwa ilmu haruslah dicari dan dimanfaatkan Bismi
Rabbika (Demi Allah). Dalam dunia pendidikan Islam, dikenal adab al-dunya dan
adab al-din.Yang pertama melahirkan taskhir (teknologi) yang mengantar pada
kenyamanan hidup duniawi, sedangkan yang kedua menghasilkan tazkiyah
(penyucian jiwa) dan marifah, yang mengantar kepada kebahagiaanukhrawi.
Keduanya harus terpadu sebagaimana dicerminkan oleh doa yang diajarkanAl-
Quran.          
Manusia dengan bentuknya yang sempurna dengan menggunakan kata Al-
Insan ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum,Yang Maha Pencipta

4
ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak, hal ini terdapat pada surah At-Tin ayat
4 artinya: Sesungguhnya kami telahmenjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya. Namun ketika Al-Quran berbicara tentang penciptaan manusia pertama yang
digunakan adalah kata Al-Basyar dan Al-Quran menunjuk kepada sang Pencipta
dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal, terdapat pada surah Shad
ayat 71 artinya: Sesungguhnya Aku akanmenciptakan manusia dari tanah.
Hal tersebut untuk menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara
umum dan proses kejadian Adam as. Penciptaan manusia secara umum, melalui
proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu Ibu dan bapak. Keterlibatan Ibu
dan Bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak, sedangkan
dalam penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk Ibu dan
Bapak.

 b. Manusia Sebagai Dimensi Sosial


Kalimat An-Naas dalam Al-Qur’an disebut berulang kali sampai 240 kali yang
menunjukkan dengan jelas bahwa kalimat itu merupakan nama kelompok makhluk
yang berupa keturunan Adam, yakni manusia, perhatikan firman Allah surat Al-Hujrat
ayat 13 artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagiMaha Mengenal. Al-Hujraat: 13.
“Manusia adalah makhluk sosial.
Ayat kedua dari wahyu pertamayang diturunkan Allah dapat dipahami
sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut. Bukan saja diartikan sebagai
menciptakan manusia dari segumpal darah atau sesuatu yang berdempet di dinding
rahim, tetapi juga dapat dipahami sebagai diciptakan dinding dalam keadaan selalu
bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri. Ayat lain dalam konteks
ini adalah surah Al-Hujratayat 13. Ayat tersebut secara tegas dinyatakan bahwa
manusia diciptakan terdiri dari lelaki dan perempuan bersuku-suku dan berbangsa-
bangsa, agar mereka saling mengenal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa,
menurut Al-Qur’an, manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup
bermasyarakat merupakan satu kenicayaan bagi mereka.
Dalam masyarakat, tingkat kecerdasan, kemampuan dan status sosialmanusia
menurut Al-Quran berbeda-beda. Aku (Allah) membeda-bedakan dalam soalrizki,
prilaku, postur dan warna kulit. Artinya : “Dan Dialah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan Dia Allah meninggikan sebagian kamu atas sebagian
(yang lain) beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu.” (QS Al-Anam: 165) Artinya: “Apakah mereka yang membagi-
bagirahmat Tuhanmu? Kami yang membagi antara mereka penghidupan mereka
dalamkehidupan dunia ini. Dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas
sebagianyang lain beberapa tingkat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagainyang lain, dan Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan. “ (Qs Al-Zukhruf [43]: 32).
Ayat di atas menjelaskan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut bertujuan agar
mereka saling memanfaatkan (sebagain mereka dapat memperoleh manfaat dari
sebagaian yang lain) sehingga dengan demikian semua saling membutuhkan dan
cenderung berhubungan dengan yang lain. Ayat ini disamping menekankan kehidupan
bersama, juga menekankan bahwa bermasyarakat adalah sesuatu yang lahir dari naluri
alamiah masing-masing manusia.

5
c. Manusia sebagai Dimensi Spiritual
Di antara ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwatujuan hidup manusia
adalah untuk mengabdi kepada Allah terdapat pada suratAdz-Dzariyat: 56 Artinya:
“Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku.
Menyembah atau mengabdi artinya berlaku berbuat dan bersikap sebagai budak.
Budak itu melakukan apa saja yang disuruh tuannya, meninggalkan sama
sekaliperbuatan yang dilarangnya, bersikap hormat serta merendahkan diri
terhadaptuannya.”
Manusia lahir dengan membawa potensi tauhid, atau paling tidak ia
berkecenderungan untuk mengesakan Tuhan, dan berusaha secara terus menerus
untuk mencari dan mencapai ketauhidan tersebut. Manusia secara fitriah telah
memiliki watak dan kecerdasan al-tauhid, walaupun masih di alam imateri (alam
ruh,alam alastu). Dapat diperhatikan pada QS. Al-Araf: 172 Artinya : “Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi. (Kamilakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
sesungguhnyakami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaanTuhan).  
Menurut Ikhwan al-Shafa, firman tersebut berkaitan dengan perjanjian ruh
manusia di alam perjanjian (alam mitsaq) atau disebut alam al-ardhal-
awwal. ]Perjanjian itu harus diikrarkan ulang pada perjanjian terakhir (al-mitsaqal-
akhir) di alam materi setelah usia baligh. Menurutal-Thaba thabai, dialog ruh dengan
Allah di alam arwah di atas merupakan sunnah penciptaan ketuhanan (sunnah al-
khilqah al-ilahiyah) yang berlaku untuksemua manusia di dunia kelak.
Ibnu Arabiy menyebutnya dengan fitrah manusia yang universal. Sedang
Muhammad Rasyid Ridha menyebutnya dengan perjanjian fitrah dan akal
yangdilakukan dengan lisan al-hal bukan lisan lisan al-maqal. Berdasarkan
pemaknaan di atas maka muncul dua pendapat Apakah bertauhid itu sesuatu yang
primer (dharuri, fitriah) ataukah sekunder yang datang kemudian? Jawaban yang kuat
adalah bahwa bertauhid merupakan sesuatu yang asli dan fitri, sedang musyrik itu
berasal dari kealpaan, dan keangkuhan.

C. Analisis terhadap ayat-ayat tentang kualitas hidup manusia

1. Analisis Ayat-Ayat Yang Menunjukkan Bahwa Kualitas Hidup Ditentukan


Oleh Kualitas Karya Dan Amal Sholeh.

Didalam Al-Qur’an Surah Al-‘Ankabut: 64, Al-A’la: 17, dan An-Nahl: 97


dijelaskan bahwa setiap seorang muslim dituntut untuk senantiasa meningkatkan
kualitas hidup sehingga eksistensinya bermakna dan bermanfaat di hadapan Allah
SWT, yang pada akhirnya mencapai derajat Al-hayat Al-thoyyibah (hidup yang
diliputi kebaikan). Inilah yang ditegaskan dalam Q.S. Al-‘ankabut: 64 dan Q.S. Al-
a’la: 17. Untuk mencapai derajat tersebut maka setiap muslim diwajibkan beribadah,
bekerja, berkarya dan berinovasi atau dengan kata lain beramal saleh. Konsep ini
memberikan pemahaman bahwa untuk dapat hidup lebih baik di ahirat kelak kita tidak
bisa hanya beribadah semata-mata untuk menyembah Allah (parsial), tetapi kita juga
dituntut untuk bekerja dan berkarya selama di dunia ini. Tidak adanya orang yang

6
merasa dirugikan dan terzalimi dengan keberadaan kita merupakan suatu indicator
bahwa hasil karya (amal saleh) kita di dunia ini zero defect/zero complain (six sigma).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kehidupan kita di dunia ini semata-mata untuk
mencari bekal menuju ahirat. Seberapa banyak bekal yang kita bawa tergantung
seberapa banyak dan berkualitasnya karya (amal shaleh) yang kita hasilkan, dan
seberapa banyak pula orang yang merasa senang dengan keberadaan kita, serta
seberapa bermanfaatnyakah kehidupan kita untuk orang lain. Karena sejatinya
manusia membutuhkan aktualisasi diri yaitu mendapat pengakuan dari komunitas
manusia yang disebut masyarakat. Namun yang lebih penting adalah mendapat
pengakuan di sisi Allah SWT.Oleh karena itu, seorang muslim "diwajibkan" untuk
mengaktualisasikan dirinya dalam segenap karya nyata (amal saleh) dalam
kehidupan.Hal ini yang merupakan pesan pokok dari Q.S. An-Nakhl: 97.
Jadi hidup yang berkualitas dalam pandangan Islam adalah hidup penuh arti
dan bermanfaat bagi lingkungan di dunia, dan membawa dampak bagi kehidupan
yang baik besok di akherat. Hidup yang memiliki kebermaknaan dalam kualitas
secara berkesinambungan dari kehidupan dunia sampai akhirat,. Hidup seseorang
dalam Islam diukur dengan seberapa besar ia melaksanakan kewajiban-kewajibannya
sebagai manusia yang telah diatur oleh Syariat Islam. Bahkan ada dan tiadanya
seseorang dalam Islam ditakar dengan seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh
umat dengan kehadiran dirinya. Rasulullah SAW bersabda "Sebaik-baiknya manusia
di antara kalian adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain.”
Berarti untuk menuju kehidupan ahirat yang nyatanya lebih baik dan lebih kekal tentu
harus memberikan kontribusi bagi diri, keluarga, masyarakat, dan Negara.

2. Analisis Ayat-Ayat Yang Menunjukkan Bahwa Kualitas Hidup Ditentukan


Oleh Kualitas Iman Dan Taqwa

Didalam Al-Qur’an Surah Thoha ayat 124 dijelaskan bahwa keimanan


merupakan kebutuhan hidup manusia, menjadi pegangan keyaninan dan motor
penggerak untuk perilaku dan amal (aktivitas kerja) manusia. Iman sebagai syarat
utama dalam mencapai kesempurnaan atau insan utama, dan merupakan langkah awal
untuk menuju keshalihan dan mewujudkan perilaku, amal saleh dan pengorbanan
manusia bagi pengabdian kepada Allah, karena iman juga sangat terkait dengan amal
saleh. Dalam keadaan beriman, manusia dapat memperlihatkan kualitas perilaku,
kualitas amal salah, dan kualitas sosialnya yaitu ketulusan dalam kehidupan pribadi
maupun kehidupan masyarakat luas. Manusia akan berperilaku, bekerja, dan
bermasyarakat sesuai dengan fitrah kejadiannya yang condong kepada hanief.
Manusia berkualitas akan berjuang melawan penindasan, tirani, dan tidak
membiarkan kediktatoran atau tindakan sewenang wenang. Karena iman memberikan
pula kedamaian jiwa, kedamaian berperilaku, dan kedamaian beramal saleh.
Sebagaimana firman Allah S.W.T. di dalam surat Thaha ayat 124, yang
lewat“Dan barangsiapayang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya kehidupanyang sempit. Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalamkeadaan buta.”Ada sebagian ulama yang menafsirkan `kehidupan yang sempit’

7
denganazab kubur. Dan bahwa azab kubur merupakan kehidupan yang sempit,
tentulah tidak diragukan lagi. Ibnul Qayyim menambahkan, “Tapi ayat ini mencakup
makna yang lebih umum daripada penafsiran itu. Karena meski disebut dengan kata
nakirah, tapi dalam bentuk itsbat (penetapan). Sehingga keumumannya dari segi
makna.”Dalam ayat ini Allah mengaitkan kesempitan hidup dengan
berpalingnyamanusia dari peringatan-Nya. Dan ini sebuah ketetapan yang pastibenar.
Maka, siapapun yang berpaling dari Allah dalam hidupnya, pasti akan mendapatkan
kesempitan hidup. Kesempitan hidup ini bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar
berpalingnya manusia dari Allah.
Semakin dia berpaling, semakin sempit kehidupan yang akan dia rasakan. Pun
demikian pula sebaliknya.semakin dia ingat dan dekat kepada Allah, semakin lapang
kehidupan yang akan dia rasakan.Ibnu Katsir berkata, “Kesempitan hidup di dunia
karena mu’ridh (manusia yang berpaling) tidak memiliki ketenteraman hidup dan
kelapangan dada. Walau dia bergelimang dengan harta yang melimpah tetapi hatinya
sempit lantaran kesesatannya. Dunia tidak akan membawanya kepada keyakinan dan
hidayah. Dia selalu berada dalam kegalauan, kebimbangan, dan keraguan. Sementara
azab kubur menantinya.”

3. Analisis Ayat-ayat Yang Menunjukkan Bahwa Kualitas Hidup Ditentukan


Oleh Kualitas Ilmu atau Intelektual.

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 31,


bahwasanya kualitas intelektual sudah menjadi potensi awal manusia, karena ketika
manusia diciptakan, "Allah mengajarkan kepada Adam segala nama benda" [QS.al-
Baqarah (2):31]. Untuk itu, manusia sejak lahir telah memiliki potensi intelektual,
kemudian potensi intelektual ini dikembangkan. Kualitas intelektual merupakan
perangkat yang sangat diperlukan untuk mengolah alam ini. Rasulullah bersabda
"barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian dunia, dengan ilmu dan barang
siapa yang ingin memperoleh kebahagian akhirat, dengan ilmu dan barang siapa yang
ingin memperoleh kebahagian keduanya juga dengan ilmu".
Selain itu ayat lain yang menjelaskan tentang hal ini dapat dilihat juga pada
Surah Mujadalah ayat 11, yaitu, “Allah mengangkat derajat orang yang memiliki ilmu
pengetahuan: "Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu semua
dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat".
Kemudian dalam firman Allah QS. Zumar: 9, Allah memberi perbedaan orang
yang berilmu pengetahuan dan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sebagai
berikut: "Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan
orangorang yang tidak berimu pengetahuan".
Perbedaan antara manusia yang berilmu dengan yang tidak berilmu
dalam al-Qur’an tersebut, memberikan isyarat bahwa segala kejadian yang
berlangsung, senantiasa dikembalikan kepada orang-orang yang berilmu pengetahuan
(ahlinya). Tidak dapat dipungkiri pula bahwa ilmu pengetahuan telah menjadikan
manusia terkelompok dengan berbagai keahlian (profesional). Tiap keahlian
menjadi unsur penyempurna dalam perakitan kehidupan sosial. Tiap aspek sosial

8
yang tidak dikaji dengan bidang ilmunya yang sesuai, akan menimbulkan
usaha yang di luar kontrol nilai sosial, dan besar kemungkinan dapat mengakibatkan
terjadinya ketidakharmonisan (kerusakan) di bumi. Oleh karena itu, menempatkan
ahli dalam suatu bidang kehidupan tertentu menjadi jaminan keadilan bagi kehidupan
kemanusiaan.

4. Analisis Ayat-Ayat Yang Menunjukkan Bahwa Kualitas Hidup Ditentukan


Oleh Kualitas Sosial.

Didalam Surah Al-Baqarah ayat 31 dijelaskan bahwasanya manusia sebagai


makhluk sosial berfungsi terhadap masyarakatnya, artinya memiliki kemampuan
untuk melakukan hubungan dengan orang lain, karena manusia merupakan keluarga
besar, yang berasal dari satu keturunan Adam dan Hawa. Selain itu, Allah menjadikan
manusia dalam berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar mereka saling interaksi
untuk saling mengenal dan tolong menolong dalan berbuat kebaikan dan bertaqwa.
Sifat sosial yang dimiliki manusia sesuai dengan fitrahnya, yaitu adanya kesedian
untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Dalam al-Qur'an, bahwa "manusia
selalu mengadakan hubungan dengan Tuhannya dan juga mengadakan hubungan
dengan sesama manusia".
Selain daripada itu juga penjelasan ini terdapat pada Surah Al-Mujadalah ayat
11, yaitu bahwa manusia dalam melakukan aktivitas sosial sifat yang terbangun
adalah saling "tolong menolong-menolong dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa,
dan dilarang tolong-menolong dalam berbuat maksiat, berbuat kejahatan". Maka,
kualitas sosial sangat terkait dengan kualitas iman, ilmu, dan amal saleh.Dalam al-
Qur'an, mamusia diciptakan dalam berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling
kenal mengal, saling tolong-menolong. Dengan dasar ini, manusia membangun
jaringan silahturrahmi antara sesamanya sesuai dengan fitrahnya. Karena dengan
jaringan silaturrahmi akan memberikan kebaikan yaitu manusia dapat membangun
ukhuwah antar semamanya, dengan silahturrahim antar semasamanya tercipta atau
terbuka peluang-peluang yang lain, apakah berupa pengalaman, pengetahuan, amal,
dan memperkuat ikatan persaudaraan yang dibangun atas dasar iman untuk menuju
muara taqwa. Maka, manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan jaringan
sosial, untuk membangun persaudaraan yang abadi.Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa manusia berkualitas menurut al-Qur'an adalah manusia yang
beriman kepada Allah, beramal saleh, memiliki ilmu pengetahuan, dan menjalin
hubungan sosial yang baik antara sesama manusia dengan tidak memandang derajat,
suku bangsa, dan agama.

9
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1) Istilah manusia dalam al-qur’an bermacam-macam penyebutannya, ada yang
menggunakan kata Al-Insan, Al-Insi, Nas, Baryar dan Bani Adam.
2) Ayat-ayat qur’an yang menguraikan tentang manusia, diawali oleh penciptaan
manusia yang lebih baik dan sempurna serta diberi akal, menjadikan manusia
memiliki berbagai macam dimensi, diantaranya manusia sebagai makhluk
intelektual yang dapat berfikir, menganalisa dan menggali fenomena yang ada
di bumi ini. Manusia juga berdimensi social yang saling berinteraksi dan
berkmunikasi serta tidak dapat dipisahkan antara satu individu dengan
individu lainnya. Dan yang tidak kalah pentingnya untuk mencapai
kebahagiaan duani dan akherat manusia memiliki dimensi spiritual, didasarkan
bahwa dari dua dimensi tersebut manusia hanya diciptakan untuk menyembah
kepada Allah.
3) Kualitas hidup dalam perspektif ajaran al-qu’an terbagi kedalam empat bidang
yang menentukan kualitas hidup,yaitu: pertama, berkaitan dengan prinsip atau
ajaran bahwa kualitas hidup ditentukan oleh kualitas karya dan amal sholeh.
Kedua, ditentukan oleh kualitas iman dan taqwa. Ketiga, ditentukan oleh
kualitas ilmu atau kualitas intelektual. Keempat, ditentukan oleh kualitas
sosial.

B. Saran
Setelah penulis mencoba sedikit menguraikan hal-hal mengenai
“Menguasai Konsep Berdasar Al-Qur’an Tentang Peningkatan Kualitas Hidup
Manusia”. Kami selaku penulis berharap semoga dapat diterima dan dipahami
oleh para pembaca. Dan semoga dengan adanya makalah yang kami buat ini akan
dapat memberikan pemahaman kepada kami sebagai penulis dan penyusun
maupun para pembaca tentang betapa pentingnya materi yang kami tulis ini.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ahmad Ibnu Ali Ibnu Khajar. 1987. Fakhu al-Bari. al-Qahirah:
Daaru al-Bayan Li at-Turats
--------------. 2012. al-Ishobah fi Tamyizi ash-Shokhabah. Bairut: Daruu al-Jail
Al-Alusi, Syihabuddin Mahmud Ibnu Abdillah al-Khusaini. 1995. Rukhul
Ma’ani fi Tafsiri al-Qur’an al-‘Adzimwa as-Sabu’ al-Matsani. Bairut Libanon: Daaru
al-kutub al-’Ilmiyyah
Abdul Baqi, Muhammad. 1994. al-Lu’lu’ wa al-Marjan. Dimasyq: Maktabah
Daaru al-Faikha’
Abu Zahwu, Muhammad Muhammad. 1984. Al-khadits Wa al-Mukhadditsun.
Bairut Libanon: Daaru al-Kitab al-‘Arabi
Al-Burhanafuri, ‘Alauddin ali Ibnu Khisamuddin al-Hindi. 1981. Kanzu al-
Ummal fi Sunani al- Aqwal wa al-‘Af’aal. Bairut: Muassasah ar-Risalah
Al-Baghowi, Abu Muhammad al-Khusin Ibnu Mas’ud. 1997. Ma’alimu at-
Tanzil. Ar-riyadl: Daaru Thoyyibah Li an-Nasyr Wa at-Tauzi’
Al-Bukhori, Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu al-Mughirah. 1987.
al-Jami’ ash-Shokhih. Al-Qahirah: Daaru asy-Sya’b
Al-Basri, Muhammad Ibnu Sa’ad Abu Abdillah, ath-Thabaqat al-Kubra. 2012.
Bairut: Daaru Shodir
Ad-Dahlawi, Abdul Khaq. 1986. Muqoddimah fi Ushuli al-Khadits. Bairut
Libanon: Daaru al-Basyair al-Islamiyyah
al-Judai, Abu Muhammad Abdullah Ibnu Yusuf. 2003. Takhriri ‘Ulumi al-
Khadits. Laidz-Mamlakah Muttakhidah: Daaru Fawaz Li an-Nasyr
Al-khakim, Abi Abdillah Muhammad Ibnu Abdillah al-Khafidz an-Naisaburi.
1996. Ma’rifatu ‘Ulumi al-Khadits. Takhqiq: Zuhair Syafiq al-Kay. Bairut Libanon:
Daaru Ikhya’i al-‘Ulum
Al-Khuli, Muhammad Abdul Aziz. 1951. al-Adab an-Nabawi. al-Qahirah:
Mathba’ah al-Istiqomah
Al-Qaththan, Manna’. 2000. Mabakhits fi ‘Ulumi al-Qur’an. Riyadl Saudi
Arabia: Maktah al-Ma’arif
Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad Farakh al-Anshari. 2003.
al-Jami’ li Akhkami al-Qur’an. Ar-Riyadl: al-Mamlakah al-Arabiyah: Daaru Alami
al-Kutub
Al-Mukhalli, Jalaluddin Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad dan As-Sayuthi,
Jalaluddin Ibnu Abdurrahman Ibnu Abi Bakar. 1983. Tafsir al-Jalalaini. Bairut-
Lubnan: Daar al-Fikr
An-Nawawi, Abi Zakaria Yahya Ibnu Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi. 1990.
Riyadlu ash-Sholikhin. Jiddah: Daaru Al-Qiblah Li Ats-Tsaqafah Al-Islamiyyah
Ash-Sholikh, Shubkhi. 2000. Mabakhits fi ‘Ulumi al-Qur’an. Damaskus:
Daaru al-‘Ilmi Li al- Malayiin
As-Sayuti. tt. Tadribu ar-Raowi. ar-Riyadl: Maktabah ar-Riyadl al-Khaditsah
Asy-Syaukani, Muhammad Ibnu Ali Muhammad. 1983. Fathul Qadir al-
Jami’ Baina Fani ar-Riwayah Wa ad-Dirayah. Bairut-Lubnan: Daar al-Fikr

11
Ath-Thakhkhan, Makhmud. 1985. Taisir Mushtholakhi al-Khadits. Riyadl-
Saudi Arabia: Maktabah al-Ma’arif
Ath-Thabari, Muhammad Ibnu Jarir Ibnu Yazid Ibnu Katsir Ibnu Gholib al-
Amaly Abu Ja’far. 2000. Jami’u al-Bayan Fi Ta’wili al-Qur’an. al-Qahirah:
Mu’assasah ar-Risalah
Az-Zarqoni, Mohammad Abdul ‘Adzim. 1997. Manahilul ‘Irfan Fi ‘Ulumi al-
Quran. Libanon: ‘Isa Babi al-Khalby Wa Syarakaahu
Az-Zukhaili, Wahbah. 1998. At-Tafsir al-Munir. Bairut Dimasyq: Daaru al-
Fikr
‘Alauddin Ali Ibnu Khisamuddin al-Hindi al-Burhanafuri. 1981. Kanzu al-
ummal. Bairut: Muassasah ar-Risalah
Asy-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi. 1998. Tafsir asy-
Sya’rawi. al- Mishr: Mausu’ah al-‘Arabiyyah al- ‘Alamiyyah
Al-Khuli, Muhammad Abdul Aziz. 1951. al-Adab an-Nabawi. al-Qahirah:
Mathba’ah al-Istiqomah
An-Nawawi, Abi Zakaria Yahya Ibnu Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi. 1990.
Riyadlu ash-Sholikhin. Jiddah: Daaru al-Qiblah Li ats-Tsaqafah al-Islamiyyah
An-Nasafi, Abul Barakat Abdullah Ibnu Ahmad. Ibnu Mahmud. 2002.
Madariku at-Tanzil Wa Khaqaiqu at-Ta’wil. Bairut-Lubnan: Daaru al-Fikr
Ar-Raghib al-Ash-Bahani, Abul Qosim al-Khusin Ibnu al-Mufadldlal. 1991.
Al-Mufradaat fi Ghoribi al-Qur’an. Dimasyq-Bairut: Daaru al-Ilmi ad-Daar asy-
Syamiyyah
Ar-Razi, Fakhruddin Ibnu muhammad Ibnu Umar at-Tamimi. 2000.
Mafatikhu al-Ghaib. Bairut-Lubnan: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah
As-Sa’ati, Abdurrahman Ibnu Muhammad al-Banna. 1999. al-Fatkhu ar-
Rabbani Li Tartiibi Musnad al-Imam Ahmad Ibnu Khanbal asy-Syaibani. Ar-riyadl:
Daaru ’Ikhyai at-Turats al-‘Arabi
Az-Zamakhsyari, Abul Qosim Mahmud Ibnu Umar. 1988. Al-Kasysyaf ‘an
Khaqa’iqi Ghowamidli at-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wujuhi at-Ta’wil. Bairut:
Daaru al-Kutub al-‘Arabi
Cramer J.A. 1993. Clinimetri Approach to Assesing Quality of Life in
Epilepsy. Epilepsia
Dewi Putri Mardyaningsih. 2014. Kualitas Hidup pada Penderita Gagal
Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisis di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kabupaten Wonogiri. Surakarta: Program Studi S-1 Keperawatan STIKES
Kusuma Husada
Hadari,Nawawi dan Martini Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
------------. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Penelitian Sosial. Yogyakarta:
Gajah University Press
Ibnu Jama’ah, Badruddin Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu
Sa’dillah Ibnu Jama’ah al-Kinani. 1406H. Al-Manhal ar-Rawi Fi Mukhtashori
‘Ulumi al-Khadits an- Nabawi. Damaskus: Daaru al-Fikr
------------. tt. Tadzkiratu as-Sami’ Wa al-Mutakallim Fi Adabi al-‘Alim Wa
al-Muta’allim. Ar-Riyadl: Maktabah Misykah al-Islamiyyah

12
Ibnu Katsir, Abu al-Fida’ Ismail Ibnu Umar Ibnu Katsir al-Qurasyi ald-
Dimasyqi. 1997. Tafsir al- Qur’an al-‘Adzim. Riyadl: Daaru Thoyyibah
Ibnu Mandzur, Muhammad Ibnu Mukram. tt. Lisanu al-‘Arab. Bairut: Daaru
ash-Shadir
Ibnu al-Malak, Muhammad Ibnu Izzuddin Abdullatif Ibnu Abdul Aziz
Aminuddin Ibnu Farisyta al-Kirmani al-Khanafi. 2012. Syarkh Mashobikhu as-
Sunnah Li al-Imam al-Baghawi. Al-Kuwait: Idaroh ats-Tsaqafal al-Islamiyyah
Haan R. dan Faronson N., 1993. Measuring Quality of Life in Stroke New
England: Stroke

13

Anda mungkin juga menyukai