Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbiyah dengan
Dosen Pengampu Bapak Dr.H.Dedih Surana, Drs., M.Ag. dan Ibu Ulvah Nur’aeni,
S.Th,.I.,MA.
Disusun Oleh :
Kelompok : III
Kelas : PAI-B
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah swt, atas limpahan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya, sehingga kami kelompok III dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjunan nabi
Muhammad saw.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah yang berjudul “Menguasai Konsep
Berdasar Al-Qur’an Tentang Peningkatan Kualitas Hidup Manusia” sebagai
pemenuhan tugas mata kuliah Tafsir Tarbiyah yang diberikan demi tercapainya tujuan
pembelajaran yang telah direncanakan.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dalam penyelesaian makalah ini. Kami sadari dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan
saran sangat kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik. Dan semoga
dengan adanya makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian manusia dalam Al-Qur’an?
2. Ayat-ayat al-qur’an yang berkaitan dengan kualitas hidup manusia?
3. Analisis terhadap ayat-ayat tentang kualitas hidup manusia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian manusia dalam al-Qur’an
2. Untuk mengetahui ayat-ayat yang berkaitan dengan kualitas hidup manusia
3. Untuk mengetahui analisis ayat-ayat tentang kualitas hidup manusia
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Suci Tuhanku bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul?.” (QS.
17 Al-Israa: 93)
Al-insan mempunyai beberapa bentuk kalimat yang berbeda-beda dengan ciri-
ciri tertentu sehingga diyakini, bahwa kalimat-kalimat yang berbeda itu bermakna
satu, seperti kalimat: Al-Basyar, An-Nas dan Al-Insi. Kebanyakan para Ahli Tafsir
mengartikan bahwa kalimat-kalimat itu merupakan kalimat muradif (sinonim), yakni
kalimat-kalimatnya berbeda tetapi bermakna satu. Sedangkan menurut asal kata
Bahasa Arab tidaklah demikian, tetapi Al-Quranlah yang menjelaskannya.
Berbeda dengan kalimat Al-Basyar yang diberi arti dengan manusia, maka
kalimat-kalimat: An-naas Al-Insi dan Al-Insan, yang tercantum dalam Al-Qur’an,
maka arti manusia bagi kalimat-kalimat itu ada tinjauan secara khusus yang dapat
membedakan satu samalain bagi masing-masing kalimat. Sedangkan kalimat Al-Insi
dan Al-Insan mempunyai tinjauan yang sama di antara keduanya, yaitu dari asal kata :
anisa yang artinya jinak kebalikan dari kalimat wahsyi yang berarti buas.
Kemudian Al-Quran mengkhususkan bahwa di antara dua kalimat itu
mempunyai arti sendiri-sendiri secara khusus. Kalimat Al-insi selamanya selalu
dikaitkan dengan kata Al-Jinni sebagai lawan katanya dan berturut-turut tidak pernah
berpisah dalam setiap ayat yang ada kalimat Al-insi yang berjumlah 18 ayat, yakni
sebagai berikut:
1. Surat Al-An’am ayat 112,128 (dua kali) dan 130.
2. Surat Al-A’raaf ayat 38 dan 179
3. Surat Al-Isra’ ayat 88
4. Surat An-Naml ayat 17
5. Surat Fushshilat ayat 25 dan 29
6. Surat Al-Ahqaaf ayat 18.
7. Surat Adz-Dzariyat ayat56.
8. Surat Al-Jinn ayat 5 dan 6
9. Surat Ar-Rahmaan ayat 33,39, 56 dan 74.
Perbedaan di antara kalimat Al-Insi dan Al-Insan walaupun artinya sama yakni
jinak tetapi dapat dibedakan, manusia yang disebut dalam Al-Quran dengan kalimat
Al-Insi selalu dirangkaikan dengan kalimat Al-Jinni sebagai lawan katanya, itu
menunjukkan bahwa manusia tidak buas seperti jinn.
Adapun manusia yang disebut dalam Al-Qur’an dengan kalimatAl-Insan yang
terkadang dirangkaikan dengan kalimat Al-Jinn (QS.Ar-Ruum: 14, dan QS. Al-Hijr:
26), itu tidak berarti bahwa manusia hanya merupakan kebalikan dari makhluk jinn
saja (merupakan makhluk yang jinak saja) sebagaimana halnya bahwa manusia itu
tidak hanya merupakan makhluk yang memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar,
tetapi lebih dari itu, kalimat Al-Insan memberikan arti bahwa manusia patut
ditingkatkan martabatnya sampai kepada tingkatan untuk memiliki keahliannya untuk
menduduki jabatan khilafah (penguasa) di atas bumi ini dan kemungkinan untuk
dibebani kewajiban-kewajiban dan kepercayaan atau amanat. Sebab hanya
manusialah yang secara khusus dilengkapidengan akal fikiran, kecakapan dan
kecerdasan serta hal-hal yang bertaliandengan itu semua, seperti adanya cobaan, yang
baik maupun yang buruk, adanya ujian yang menipunya karena sudah mampu dan
kuat, dan adanya keangkuhan karena sudah mencapai derajat, pangkat, kedudukan
dan jabatan yang tinggi.
Tinjauan manusia sebagai arti dari kalimat Al-Insan secara khusus mempunyai
ketampanan bentuknya serta kekhususannya dapat membedakan dari manusia sebagai
arti dari kalimat Al-Basyaratau Al-Insi.
3
B. Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Kualitas Hidup Manusia
4
ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak, hal ini terdapat pada surah At-Tin ayat
4 artinya: Sesungguhnya kami telahmenjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya. Namun ketika Al-Quran berbicara tentang penciptaan manusia pertama yang
digunakan adalah kata Al-Basyar dan Al-Quran menunjuk kepada sang Pencipta
dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal, terdapat pada surah Shad
ayat 71 artinya: Sesungguhnya Aku akanmenciptakan manusia dari tanah.
Hal tersebut untuk menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara
umum dan proses kejadian Adam as. Penciptaan manusia secara umum, melalui
proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu Ibu dan bapak. Keterlibatan Ibu
dan Bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak, sedangkan
dalam penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk Ibu dan
Bapak.
5
c. Manusia sebagai Dimensi Spiritual
Di antara ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwatujuan hidup manusia
adalah untuk mengabdi kepada Allah terdapat pada suratAdz-Dzariyat: 56 Artinya:
“Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku.
Menyembah atau mengabdi artinya berlaku berbuat dan bersikap sebagai budak.
Budak itu melakukan apa saja yang disuruh tuannya, meninggalkan sama
sekaliperbuatan yang dilarangnya, bersikap hormat serta merendahkan diri
terhadaptuannya.”
Manusia lahir dengan membawa potensi tauhid, atau paling tidak ia
berkecenderungan untuk mengesakan Tuhan, dan berusaha secara terus menerus
untuk mencari dan mencapai ketauhidan tersebut. Manusia secara fitriah telah
memiliki watak dan kecerdasan al-tauhid, walaupun masih di alam imateri (alam
ruh,alam alastu). Dapat diperhatikan pada QS. Al-Araf: 172 Artinya : “Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi. (Kamilakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
sesungguhnyakami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaanTuhan).
Menurut Ikhwan al-Shafa, firman tersebut berkaitan dengan perjanjian ruh
manusia di alam perjanjian (alam mitsaq) atau disebut alam al-ardhal-
awwal. ]Perjanjian itu harus diikrarkan ulang pada perjanjian terakhir (al-mitsaqal-
akhir) di alam materi setelah usia baligh. Menurutal-Thaba thabai, dialog ruh dengan
Allah di alam arwah di atas merupakan sunnah penciptaan ketuhanan (sunnah al-
khilqah al-ilahiyah) yang berlaku untuksemua manusia di dunia kelak.
Ibnu Arabiy menyebutnya dengan fitrah manusia yang universal. Sedang
Muhammad Rasyid Ridha menyebutnya dengan perjanjian fitrah dan akal
yangdilakukan dengan lisan al-hal bukan lisan lisan al-maqal. Berdasarkan
pemaknaan di atas maka muncul dua pendapat Apakah bertauhid itu sesuatu yang
primer (dharuri, fitriah) ataukah sekunder yang datang kemudian? Jawaban yang kuat
adalah bahwa bertauhid merupakan sesuatu yang asli dan fitri, sedang musyrik itu
berasal dari kealpaan, dan keangkuhan.
6
merasa dirugikan dan terzalimi dengan keberadaan kita merupakan suatu indicator
bahwa hasil karya (amal saleh) kita di dunia ini zero defect/zero complain (six sigma).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kehidupan kita di dunia ini semata-mata untuk
mencari bekal menuju ahirat. Seberapa banyak bekal yang kita bawa tergantung
seberapa banyak dan berkualitasnya karya (amal shaleh) yang kita hasilkan, dan
seberapa banyak pula orang yang merasa senang dengan keberadaan kita, serta
seberapa bermanfaatnyakah kehidupan kita untuk orang lain. Karena sejatinya
manusia membutuhkan aktualisasi diri yaitu mendapat pengakuan dari komunitas
manusia yang disebut masyarakat. Namun yang lebih penting adalah mendapat
pengakuan di sisi Allah SWT.Oleh karena itu, seorang muslim "diwajibkan" untuk
mengaktualisasikan dirinya dalam segenap karya nyata (amal saleh) dalam
kehidupan.Hal ini yang merupakan pesan pokok dari Q.S. An-Nakhl: 97.
Jadi hidup yang berkualitas dalam pandangan Islam adalah hidup penuh arti
dan bermanfaat bagi lingkungan di dunia, dan membawa dampak bagi kehidupan
yang baik besok di akherat. Hidup yang memiliki kebermaknaan dalam kualitas
secara berkesinambungan dari kehidupan dunia sampai akhirat,. Hidup seseorang
dalam Islam diukur dengan seberapa besar ia melaksanakan kewajiban-kewajibannya
sebagai manusia yang telah diatur oleh Syariat Islam. Bahkan ada dan tiadanya
seseorang dalam Islam ditakar dengan seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh
umat dengan kehadiran dirinya. Rasulullah SAW bersabda "Sebaik-baiknya manusia
di antara kalian adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain.”
Berarti untuk menuju kehidupan ahirat yang nyatanya lebih baik dan lebih kekal tentu
harus memberikan kontribusi bagi diri, keluarga, masyarakat, dan Negara.
7
denganazab kubur. Dan bahwa azab kubur merupakan kehidupan yang sempit,
tentulah tidak diragukan lagi. Ibnul Qayyim menambahkan, “Tapi ayat ini mencakup
makna yang lebih umum daripada penafsiran itu. Karena meski disebut dengan kata
nakirah, tapi dalam bentuk itsbat (penetapan). Sehingga keumumannya dari segi
makna.”Dalam ayat ini Allah mengaitkan kesempitan hidup dengan
berpalingnyamanusia dari peringatan-Nya. Dan ini sebuah ketetapan yang pastibenar.
Maka, siapapun yang berpaling dari Allah dalam hidupnya, pasti akan mendapatkan
kesempitan hidup. Kesempitan hidup ini bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar
berpalingnya manusia dari Allah.
Semakin dia berpaling, semakin sempit kehidupan yang akan dia rasakan. Pun
demikian pula sebaliknya.semakin dia ingat dan dekat kepada Allah, semakin lapang
kehidupan yang akan dia rasakan.Ibnu Katsir berkata, “Kesempitan hidup di dunia
karena mu’ridh (manusia yang berpaling) tidak memiliki ketenteraman hidup dan
kelapangan dada. Walau dia bergelimang dengan harta yang melimpah tetapi hatinya
sempit lantaran kesesatannya. Dunia tidak akan membawanya kepada keyakinan dan
hidayah. Dia selalu berada dalam kegalauan, kebimbangan, dan keraguan. Sementara
azab kubur menantinya.”
8
yang tidak dikaji dengan bidang ilmunya yang sesuai, akan menimbulkan
usaha yang di luar kontrol nilai sosial, dan besar kemungkinan dapat mengakibatkan
terjadinya ketidakharmonisan (kerusakan) di bumi. Oleh karena itu, menempatkan
ahli dalam suatu bidang kehidupan tertentu menjadi jaminan keadilan bagi kehidupan
kemanusiaan.
9
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1) Istilah manusia dalam al-qur’an bermacam-macam penyebutannya, ada yang
menggunakan kata Al-Insan, Al-Insi, Nas, Baryar dan Bani Adam.
2) Ayat-ayat qur’an yang menguraikan tentang manusia, diawali oleh penciptaan
manusia yang lebih baik dan sempurna serta diberi akal, menjadikan manusia
memiliki berbagai macam dimensi, diantaranya manusia sebagai makhluk
intelektual yang dapat berfikir, menganalisa dan menggali fenomena yang ada
di bumi ini. Manusia juga berdimensi social yang saling berinteraksi dan
berkmunikasi serta tidak dapat dipisahkan antara satu individu dengan
individu lainnya. Dan yang tidak kalah pentingnya untuk mencapai
kebahagiaan duani dan akherat manusia memiliki dimensi spiritual, didasarkan
bahwa dari dua dimensi tersebut manusia hanya diciptakan untuk menyembah
kepada Allah.
3) Kualitas hidup dalam perspektif ajaran al-qu’an terbagi kedalam empat bidang
yang menentukan kualitas hidup,yaitu: pertama, berkaitan dengan prinsip atau
ajaran bahwa kualitas hidup ditentukan oleh kualitas karya dan amal sholeh.
Kedua, ditentukan oleh kualitas iman dan taqwa. Ketiga, ditentukan oleh
kualitas ilmu atau kualitas intelektual. Keempat, ditentukan oleh kualitas
sosial.
B. Saran
Setelah penulis mencoba sedikit menguraikan hal-hal mengenai
“Menguasai Konsep Berdasar Al-Qur’an Tentang Peningkatan Kualitas Hidup
Manusia”. Kami selaku penulis berharap semoga dapat diterima dan dipahami
oleh para pembaca. Dan semoga dengan adanya makalah yang kami buat ini akan
dapat memberikan pemahaman kepada kami sebagai penulis dan penyusun
maupun para pembaca tentang betapa pentingnya materi yang kami tulis ini.
10
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ahmad Ibnu Ali Ibnu Khajar. 1987. Fakhu al-Bari. al-Qahirah:
Daaru al-Bayan Li at-Turats
--------------. 2012. al-Ishobah fi Tamyizi ash-Shokhabah. Bairut: Daruu al-Jail
Al-Alusi, Syihabuddin Mahmud Ibnu Abdillah al-Khusaini. 1995. Rukhul
Ma’ani fi Tafsiri al-Qur’an al-‘Adzimwa as-Sabu’ al-Matsani. Bairut Libanon: Daaru
al-kutub al-’Ilmiyyah
Abdul Baqi, Muhammad. 1994. al-Lu’lu’ wa al-Marjan. Dimasyq: Maktabah
Daaru al-Faikha’
Abu Zahwu, Muhammad Muhammad. 1984. Al-khadits Wa al-Mukhadditsun.
Bairut Libanon: Daaru al-Kitab al-‘Arabi
Al-Burhanafuri, ‘Alauddin ali Ibnu Khisamuddin al-Hindi. 1981. Kanzu al-
Ummal fi Sunani al- Aqwal wa al-‘Af’aal. Bairut: Muassasah ar-Risalah
Al-Baghowi, Abu Muhammad al-Khusin Ibnu Mas’ud. 1997. Ma’alimu at-
Tanzil. Ar-riyadl: Daaru Thoyyibah Li an-Nasyr Wa at-Tauzi’
Al-Bukhori, Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu al-Mughirah. 1987.
al-Jami’ ash-Shokhih. Al-Qahirah: Daaru asy-Sya’b
Al-Basri, Muhammad Ibnu Sa’ad Abu Abdillah, ath-Thabaqat al-Kubra. 2012.
Bairut: Daaru Shodir
Ad-Dahlawi, Abdul Khaq. 1986. Muqoddimah fi Ushuli al-Khadits. Bairut
Libanon: Daaru al-Basyair al-Islamiyyah
al-Judai, Abu Muhammad Abdullah Ibnu Yusuf. 2003. Takhriri ‘Ulumi al-
Khadits. Laidz-Mamlakah Muttakhidah: Daaru Fawaz Li an-Nasyr
Al-khakim, Abi Abdillah Muhammad Ibnu Abdillah al-Khafidz an-Naisaburi.
1996. Ma’rifatu ‘Ulumi al-Khadits. Takhqiq: Zuhair Syafiq al-Kay. Bairut Libanon:
Daaru Ikhya’i al-‘Ulum
Al-Khuli, Muhammad Abdul Aziz. 1951. al-Adab an-Nabawi. al-Qahirah:
Mathba’ah al-Istiqomah
Al-Qaththan, Manna’. 2000. Mabakhits fi ‘Ulumi al-Qur’an. Riyadl Saudi
Arabia: Maktah al-Ma’arif
Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad Farakh al-Anshari. 2003.
al-Jami’ li Akhkami al-Qur’an. Ar-Riyadl: al-Mamlakah al-Arabiyah: Daaru Alami
al-Kutub
Al-Mukhalli, Jalaluddin Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad dan As-Sayuthi,
Jalaluddin Ibnu Abdurrahman Ibnu Abi Bakar. 1983. Tafsir al-Jalalaini. Bairut-
Lubnan: Daar al-Fikr
An-Nawawi, Abi Zakaria Yahya Ibnu Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi. 1990.
Riyadlu ash-Sholikhin. Jiddah: Daaru Al-Qiblah Li Ats-Tsaqafah Al-Islamiyyah
Ash-Sholikh, Shubkhi. 2000. Mabakhits fi ‘Ulumi al-Qur’an. Damaskus:
Daaru al-‘Ilmi Li al- Malayiin
As-Sayuti. tt. Tadribu ar-Raowi. ar-Riyadl: Maktabah ar-Riyadl al-Khaditsah
Asy-Syaukani, Muhammad Ibnu Ali Muhammad. 1983. Fathul Qadir al-
Jami’ Baina Fani ar-Riwayah Wa ad-Dirayah. Bairut-Lubnan: Daar al-Fikr
11
Ath-Thakhkhan, Makhmud. 1985. Taisir Mushtholakhi al-Khadits. Riyadl-
Saudi Arabia: Maktabah al-Ma’arif
Ath-Thabari, Muhammad Ibnu Jarir Ibnu Yazid Ibnu Katsir Ibnu Gholib al-
Amaly Abu Ja’far. 2000. Jami’u al-Bayan Fi Ta’wili al-Qur’an. al-Qahirah:
Mu’assasah ar-Risalah
Az-Zarqoni, Mohammad Abdul ‘Adzim. 1997. Manahilul ‘Irfan Fi ‘Ulumi al-
Quran. Libanon: ‘Isa Babi al-Khalby Wa Syarakaahu
Az-Zukhaili, Wahbah. 1998. At-Tafsir al-Munir. Bairut Dimasyq: Daaru al-
Fikr
‘Alauddin Ali Ibnu Khisamuddin al-Hindi al-Burhanafuri. 1981. Kanzu al-
ummal. Bairut: Muassasah ar-Risalah
Asy-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi. 1998. Tafsir asy-
Sya’rawi. al- Mishr: Mausu’ah al-‘Arabiyyah al- ‘Alamiyyah
Al-Khuli, Muhammad Abdul Aziz. 1951. al-Adab an-Nabawi. al-Qahirah:
Mathba’ah al-Istiqomah
An-Nawawi, Abi Zakaria Yahya Ibnu Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi. 1990.
Riyadlu ash-Sholikhin. Jiddah: Daaru al-Qiblah Li ats-Tsaqafah al-Islamiyyah
An-Nasafi, Abul Barakat Abdullah Ibnu Ahmad. Ibnu Mahmud. 2002.
Madariku at-Tanzil Wa Khaqaiqu at-Ta’wil. Bairut-Lubnan: Daaru al-Fikr
Ar-Raghib al-Ash-Bahani, Abul Qosim al-Khusin Ibnu al-Mufadldlal. 1991.
Al-Mufradaat fi Ghoribi al-Qur’an. Dimasyq-Bairut: Daaru al-Ilmi ad-Daar asy-
Syamiyyah
Ar-Razi, Fakhruddin Ibnu muhammad Ibnu Umar at-Tamimi. 2000.
Mafatikhu al-Ghaib. Bairut-Lubnan: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah
As-Sa’ati, Abdurrahman Ibnu Muhammad al-Banna. 1999. al-Fatkhu ar-
Rabbani Li Tartiibi Musnad al-Imam Ahmad Ibnu Khanbal asy-Syaibani. Ar-riyadl:
Daaru ’Ikhyai at-Turats al-‘Arabi
Az-Zamakhsyari, Abul Qosim Mahmud Ibnu Umar. 1988. Al-Kasysyaf ‘an
Khaqa’iqi Ghowamidli at-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wujuhi at-Ta’wil. Bairut:
Daaru al-Kutub al-‘Arabi
Cramer J.A. 1993. Clinimetri Approach to Assesing Quality of Life in
Epilepsy. Epilepsia
Dewi Putri Mardyaningsih. 2014. Kualitas Hidup pada Penderita Gagal
Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisis di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kabupaten Wonogiri. Surakarta: Program Studi S-1 Keperawatan STIKES
Kusuma Husada
Hadari,Nawawi dan Martini Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
------------. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Penelitian Sosial. Yogyakarta:
Gajah University Press
Ibnu Jama’ah, Badruddin Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu
Sa’dillah Ibnu Jama’ah al-Kinani. 1406H. Al-Manhal ar-Rawi Fi Mukhtashori
‘Ulumi al-Khadits an- Nabawi. Damaskus: Daaru al-Fikr
------------. tt. Tadzkiratu as-Sami’ Wa al-Mutakallim Fi Adabi al-‘Alim Wa
al-Muta’allim. Ar-Riyadl: Maktabah Misykah al-Islamiyyah
12
Ibnu Katsir, Abu al-Fida’ Ismail Ibnu Umar Ibnu Katsir al-Qurasyi ald-
Dimasyqi. 1997. Tafsir al- Qur’an al-‘Adzim. Riyadl: Daaru Thoyyibah
Ibnu Mandzur, Muhammad Ibnu Mukram. tt. Lisanu al-‘Arab. Bairut: Daaru
ash-Shadir
Ibnu al-Malak, Muhammad Ibnu Izzuddin Abdullatif Ibnu Abdul Aziz
Aminuddin Ibnu Farisyta al-Kirmani al-Khanafi. 2012. Syarkh Mashobikhu as-
Sunnah Li al-Imam al-Baghawi. Al-Kuwait: Idaroh ats-Tsaqafal al-Islamiyyah
Haan R. dan Faronson N., 1993. Measuring Quality of Life in Stroke New
England: Stroke
13