mengancam kepentingan vital Amerika". Pendukung kubu ini, antara lain John L.
Esposito dan Robin Wright, menyarankan Amerika memberi peluang munculnya
politisi demokrat Islam.
Namun, kesimpulan akhir Gerges sangat menarik. Meski ada banyak pernyataan
para pejabat Amerika tentang Islam, menurut Gerges, Amerika Serikat sebenarnya
"tidak punya kebijakan yang komprehensif, koheren, dan konkrit tentang peran Islam
dalam proses politik". Baik Bush Sr maupun Clinton, menurut Gerges, lebih
mengutamakan kebijakan-kebijakan jangka pendek yang diilhami oleh kepentingan
pragmatis.
ChristiantoWibisono
Pada dimensi ideologi dan falsafah, maka para pakar terpecah dalam dua
setengah kubu yang saling berlawanan walaupun barangkali masih mempunyai
secercah titik temu yang rawan serta memerlukan kultivasi genius negarawan yang
toleran dan demokrat. Kubu pertama diwakili oleh Francis Fukuyama yang
menguraikan teori keunggulan demokrasi leberal sebagai produk final dari upaya
manusia mencari metode penyelesaian konflik dan akomodasi ambisis manusia secara
modern, tertib dan rasional. Karena itu ia menulis buku The End of History and The
Last Man sebagai tesis mengenai sistem politik"final" yang harus diambil manusia
jika mereka ingin mengatasi konflik secara tertib.
Sebaliknya kubu kedua diwakili oleh Samuel P Huntington secara pesimis meragukan
kebenaran tesis Fukuyama tentang akhir konflik ideologi antar manusia setelah
berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Tembok Berlin. Huntington merujuk pada
insiden Tiananmen dan perang teluk yang merupak bukti adanya kesenjangan dan
konflik baru pasca perang dingin, yang lebih mendasar dan mirip dengan pola konflik
di zaman Perang Salib pada Milenium Pertama. Dalam buku The Clash of Civilzation
and the Remaking of World Order Huntington meramalkan bahwa dunia akan
memasuki konflik antar peradaban. Tiga peradaban yang paling dominan yaitu Barat
Kristen, Sinic Confucian dan Islam akan bertarung memperebutkan hegemoni. Di luar
tiga besar ada 5 sub peradaban yang tidak begitu dominan yaitu Jepang, Rusia, Hindu,
Amerika Latin, dan Afrika.
Menurut seorang cendekiawan Muslim pemengang Hadia Nobel Fisika, Prof Abdus
Salam dalam buku Idealis and Realities. Orang harus membedakan antara agama
sebagi ritual dan pengejawatahan jiwa dan semangat serta ajaran agama, dalam pola
tingkah laku dan budaya yang diterapkan secara konkret dalam kehidupan sehari-hari.
Menurutnya juga, dunia Islam pernah mengalami zaman keemasan ketika Eropa
justru berada pada Abad Kegelapan (the Dark Ages) karena toleransi yang moderat
dan meritokrasi yang dipraktekkan secara konsisten tanpa fanatisme dan ekstremisme
agama.
Sebenarnya suatu paradox yang jarang diingat oleh banyak pegamat ialah fakta
bahwa ekonomi AS sangat tergantung pada lalu lintas pinjaman melalui mekanisme
pasar berupa penjualan Obligasi Pemerintah AS (Us Treasuries Notes and Bonds).
Negara dan Pemerintah AS adalah pengutang terbesar di dunia, tetapi mereka
melelang obligasi yang dimenangkan justru oleh mereka yang rela menerima suku
bunga terendah dari Pemerintah AS.
Karena investor dunia seperti Jepang dan kaum elite negara maju termasuk Cina
Perantauan Asia Tenggara percaya bahwa AS tidak akan mengemplang utang atau
kudeta oleh oknum militer, maka arus modal terbesar justru mengalir ke AS melalui
Arsitektur Finansial Global yang berlandaskan mekanisme pasar. Tetapi pasar AS
sangat dipercaya, sedang pasar negara berkembang seperti kita mengalami distorsi
akibat KKN. Sehingga arus dana ditarik keluar sebagai bagian dari lingkaran setan
depresi mata uang, impotensi ekspor dan erosi daya beli dan daya saing nasional
Dunia Ketiga.
Sayd Tahrera
Persentuhan Islam-Barat, Sebuah Keniscayaan
Barat, dalam realitasnya bukan saja sebutan untuk sebuah bangsa. Namun
dengan sebutan itu pula, norma, adat, sistem bahkan ideologi telah menjadi model
ideal bagi negara penghuni dunia ketiga, sebagai percontohan negara modern. Ali
Syariati pernah mengatakan yang ditulisnya dalam buku Peranan Cendekiawan
Muslim, "tujuan dari alternatif ini (globalisasi) bukanlah kekerasan, melainkan
mengatur terjadinya perubahan mendasar : yaitu mengubah nilai-nilai agar shampo,
kemeja, lipstik dapat diterima. Masyarakat harus dimodernisasi secara global, kalau
sudah modern, mereka akan menerima dengan senang hati apa yang ditawarkan
kepada mereka". Alangkah benar sinyalemen Ibnu Khaldun (1332-1406) "Orang
taklukan selalu meniru penakluknya, baik pakaian, perhiasan, kepercayaan serta adat
kebiasaan lainnya".
Sedang dalam buku Agama dan Modernisasi Politik, Donald E Smith, mensinyalir :
sekularisasi yang dibawa Barat merupakan keniscayaan dunia yang mengalami proses
modernisasi. Sebab ciri terpenting dari modernisasi adalah sekularisasi. Berbeda
Maryam Jamella dalam menanggapi persentuhan Islam dan barat, di bukunya Islam
versus the West, ia menyebutkan : pemikir-pemikir Islam seperti Sayid Qutub,
Muhammad Qutub, Muhammad Asad lebih jelas dan tegas memaparkan paradoksal
antara Islam dan Barat. Maryam Jamella -seorang Yahudi keturunan yang sebelum
memeluk Islam bernama Margareth Marcus-menegaskan bahwa antara Islam dan
Barat terdapat perbedaan yang fundamental, menurutnya "the imitation of Western
ways of life based on their materialistic, pragmatic and secular philosophies can only
lead to abandonment of Islam".
Melalui tesisnya, Prof. Hutington meyakinkan Barat, bahwa idelogi adalah
senjata paling ampuh dalam perumusan pola hubungan internasional dan
pembentukan Tata Dunia Baru. Dengan adanya dominasi tunggal AS, telah
melahirkan Tata Dunia Baru. Sebagai negara nomor satu di dunia, AS mengatur tata
politik dunia dengan bendera kapitalismenya. Berkaitan dengan penyebaran
kapitalisme ini ada satu hal yang harus betul-betul diperhatikan yakni, setelah AS
berhasil memantapkan dominasi ideologi kapitalisme secara internasional, maka kini
AS tengah berusaha untuk memantapkan dominasi ideologi secara universal.
Adian Husaini
Di bukunya Sekularisme Penumpang Gelap Reformasi, menyebutkan setidaknya
politik luar negeri AS berpijak pada dua pendulum antara idealisme (HAM dan
demokratisasi) dan pragmatisme (national interest). Standar ganda yang dimainkan
AS lebih mengedapankan pragmatisme ketimbang idealisme. Artinya, demi
mempertahankan national interest-nya, maka AS rela mengorbankan nilai-nilai HAM
dan demokrasi, meskipun kedua nilai itu sudah menjadi kebijakan resmi politik luar
negeri.
dalam konflik antarperadaban di masa depan. Kita seakan di ingatkan bahwa agama
tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan
damai, tetapi juga bisa menampilkan sosoknya yang seram dan menakutkan. Agama
bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterpretasi sesuai dengan
kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. interpretasi yang subjektif itu
memberi wewenang pada pemeluk agama untuk membunuh dan mengobarkan perang
atas nama Tuhan dan Kitab Suci.
Dalam pandangan Huntington, dunia pasca-Perang Dingin adalah sebuah dunia
dengan tujuh atau delapan peradaban besar. Kesamaan-kesamaan serta perbedaanperbedaan kultural membentuk kepentingan-kepentingan, antagonisme-antagonisme
serta asosiasi-asosiasi antarnegara. Negara-negara besar terdiri dari berbagai negara
dengan peradaban mereka masing-masing. Konflik-konflik lokal rupa-rupanya
menjadi sebab timbulnya pertikaian dalam skala yang lebih luas antara berbagai
kelompok dan negara yang memiliki peradaban yang berbeda-beda. Pola-pola
perkembangan politik dan ekonomi saling berbeda antara satu peradaban dengan
peradaban lainnya. Salah satu persoalan utama yang masuk dalam agenda
internasional adalah adanya perbedaan-perbedaan antar-peradaban. Kekuatan
peradaban tampaknya mengalami pergeseran dari Barat menuju peradaban-peradaban
non-Barat. Dan, politik global pun menjadi bersifat multipolar dan multisivilisasional.
Ruslani
Oleh karena itu, menarik memperhatikan tesis Huntington (The Clash of Civilizations
and the Remaking of the World Order, 1996) yang mendefinisikan "peradaban"
sebagai pengelompokan terbesar masyarakat yang melampaui tingkat pembedaan
manusia dari spesies lainnya. Sebuah peradaban ditentukan oleh anasir-anasir objektif
bersama-bahasa, sejarah, agama, adat, dan lembaga-lembaga-juga oleh swaidentifikasi masyarakat. Huntington menyatakan, kini ada tujuh atau delapan
peradaban besar di dunia: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Kristen Ortodoks,
Amerika Latin, dan "mungkin" Afrika.
Teori Huntington berusaha menentang skenario "akhir sejarah" pasca-perang dunia
mengenai sebuah tatanan internasional berdasarkan penerimaan universal atas model
ekonomi kapitalis, tanpa perubahan pada cakrawala sejarah manusia selanjutnya. Arti
penting tesis Huntington ini terletak pada faktor-faktor kultural yang bisa
dipertimbangkan sebagai perkembangan yang amat positif. Hingga kini, hubungan
dan konflik antarnegara sudah terbiasa dijelaskan menurut analisis ekonomi.
Lembaga-lembaga politik tumbuh di luar struktur kekuatan ekonomi, dan budaya
adalah ekonomi, dalam arti, di Barat, sistem pasar menentukan kerangka nilai-nilai
umum yang dalam teori seharusnya secara independen dimunculkan oleh budaya
sendiri.
Namun, Huntington seolah melihat peradaban sebagai blok monolitik. Padahal, dalam
kenyataan tidak demikian. Sebagian peradaban, misalnya peradaban Islam, terutama
ditentukan oleh wahyu keagamaan; yang lain, seperti Konfusius, ditentukan oleh
hubungan antara agama yang mengilhami mereka dan kekuasaan politik yang kurang
jelas. Dalam peradaban Barat, versi Katolik ereka atau Protestan dari agama Kristen
membentuk bagian dari lanskap budaya mereka, meski masyarakat negara-negara
Barat amat terbagi berdasar kepercayaan keagamaannya. Dalam setiap peradaban, ada
beberapa tren pemikiran yang mengikuti garis-garis pengakuan, dan yang lain
mengikuti garis-garis penempatan-subjek perdebatan yang kini hidup di negaranegara seperti Turki dan Italia.
Kenichi Ohmae (1995)
Namun, konflik-konflik dalam dunia modern tidak hanya antar peradaban, bahkan
dalam peradaban yang sama bisa terjadi konflik. Menurut Kenichi Ohmae, dalam
peradaban yang sama, masyarakat sering berperang di antara mereka masing-masing.
Misalnya, konflik di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik, bukan
merupakan alasan yang tepat untuk menyatakan kebencian yang mendalam, karena
sama-sama Kristen. Contoh lain, akan sulit menjelaskan konflik di Ambon, di mana
masyarakatnya berada dalam tradisi dan suku yang sama. Perbedaan keyakinan dalam
masyarakat Ambon, antara Islam dan Kristen, bukanlah perbedaan besar, karena pada
intinya sebenarnya kedua agama itu sama punya tradisi dan akar sejarah yang sama:
semitik.
Dalam bukunya yang berjudul The End of Nation State (1995), Ohmae berpendapat
bahwa perang biasanya terjadi ketika para pemimpin politik menonjolkan perbedaanperbedaan kecil secara tajam seraya menciptakan kebencian laten bukan ketika antar
peradaban saling berbenturan, sebagaimana dinyatakan Huntington. Seakan
menyanggah tesis Huntington, Kenichi Ohmae berpendapat bahwa konflik-konflik
terjadi lebih disebabkan oleh para pemimpin politik yang kolot yang melibatkan
rakyat untuk melakukan konfrontasi bersenjata.
fundamental
(nilai-nilai
universal);
seperti
kebenaran,
keadilan,
bergantung pada adanya sikap saling pengertian dan kerjasama di antara tokoh-tokoh
politik, spiritual dan intelektual dari peradaban-peradaban besar dunia.
MUHAMMAD ALI (2003)
Kecongkakan budaya (cultural arrogance) bahwa sistem agama, budaya, dan
peradaban yang dianutnya yang paling unggul, membuat seseorang tidak berdaya
untuk tidak mengecilkan sistem agama, budaya, dan peradaban lain. Identitas diri
begitu kuat sehingga menafikan identitas the Other. Publik Barat masih menganggap
budaya dan peradaban mereka lebih maju, lebih superior dibandingkan peradaban
Timur, dan selalu berusaha melalui penguasaan berbagai media informasi untuk
mencitrakan bahwa superioritas itu adalah keniscayaan sejarah modern. Tradisi
orientalisme (yang intinya memandang the Orient sebagai monolitik dan inferior)
adalah salah satu ekspresi superioritas itu, seperti telah dikritik Edward Said.
Ada pula kendala teologis. Barat begitu bangga dengan karakter keagamaannya dan
sekulerismenya, sementara masyarakat Muslim fanatik dengan sistem budayanya
yang kaffah (sempurna) dan diyakini bertentangan secara diametral dengan peradaban
Barat.
WIDODO DWI PUTRO
Ideologi memang berwajah ganda, seperti dikatakan Ernst Bloch yang dikutip
ulang generasi penerusnya Douglas Kellner dalam artikel lepasnya Ernst Bloch,
Utopia and Ideology Critique sebagai berikut, "For Bloch, ideology is "Janus-faced",
two-sided: it contain errors, mystifications, and techniques of manipulation and
domination, but it also contains a utopian residue or surplus that can be used for
social critique and to advance progressive politics."
Di balik sisi gelap pertikaian ideologi-terutama kapitalisme melawan sosialismepertikaian itu membawa kemajuan dan kegairahan dialektika di bidang ilmu-ilmu
sosial. Para teoritisi kapitalisme, misalnya, berlomba-lomba melahirkan teori-teori
modernisasi untuk membendung semangat komunisme dan antikapitalisme.
Pertikaian antar-ideologi dalam sekian dasawarsa, telah mengorbankan banyak nyawa
manusia. Misalnya, revolusi borjuis di Perancis, perang saudara (civil war) di AS,
Nazi Jerman, rezim Stalinis di Rusia, rezim Pol Pot di Kamboja, gerakan "30
September" di Indonesia, "Black September" di AS, dan seterusnya. Lantas sebagian
Neoliberalisme
yang
menginginkan
kedaulatan
pasar
sepenuhnya.