Anda di halaman 1dari 14

MENGENAL BENTURAN PERADABAN : SEBUAH PENGANTAR

Apa perbedaan ideologi dengan peradaban ? Bagaimana pengaruhnya terhadap


tatanan global dunia? Dimanakah posisi ideologi dan peradaban dalam gerakan
mahasiswa ? Adalah pertanyaan fundamental yang layak dipahami oleh seorang
aktivis gerakan mahasiswa muslim.
Yang jelas, setelah blok komunitas runtuh pada kurun waktu 1980-an, maka
perbincangan tentang ideologis dianggap sudah selesai. Para pemikir kemudian
menemukan cara pandang baru yang lebih komprehensif yaitu peradaban. Dalam
tataran lokal nasional, friksi diantara tiga ideologi besar --nasionalis, agama (Islam),
dan komunistidak lagi menarik dibicarakan dibanding dengan pembicaraan seputar
peradaban barat, Islam, dan konfusian.
Tulisan berikut ini bukanlah sebuah analisis orisinil penyusun, tetapi kumpulan
tulisan dari beberapa penulis dan pengamat peradaban yang dimuat dimedia massa,
baik berupa artikel, resensi, maupun kutipan-kutipan dari esai ilmiah populer. Dengan
harapan, dapat digunakan sebagai bahan diskusi yang hangat untuk memperkaya
wacana benturan peradaban dan perang pemikiran.
Fawaz A. Gerges (2002)
Kebijakan luar negeri Amerika terhadap Islam, menurut Gerges, dipengaruhi
dan menjadi ladang tarik ulur antara dua kubu akademisi, intelektual dan wartawan
Amerika. Kubu pertama, kubu konfrontasionalis, meyakini Islam politik sebagai
"musuh baru" setelah komunisme runtuh dan menyarankan agar Amerika
membasminya. Pendukung kubu ini, antara lain Samuel Huntington, Bernard Lewis,
dan Daniel Pipes, berusaha meyakinkan publik bahwa ajaran Islam secara umum
bertentangan dengan "peradaban Barat yang demokratis".
Huntington dan Lewis mengatakan bahwa Islam secara intrinsik tidak
demokratis. Pipes bahkan lebih kasar lagi mengatakan ajaran Islam pada dasarnya
"terorisme".
Kubu kedua, kubu akomodasionis, menolak deskripsi Islamis sebagai "anti- Barat"
serta "antidemokrasi" dan menyarankan agar Amerika "tidak menentang penerapan
hukum Islam atau aktivis gerakan gerakan Islam, jika program-program tersebut tidak

mengancam kepentingan vital Amerika". Pendukung kubu ini, antara lain John L.
Esposito dan Robin Wright, menyarankan Amerika memberi peluang munculnya
politisi demokrat Islam.
Namun, kesimpulan akhir Gerges sangat menarik. Meski ada banyak pernyataan
para pejabat Amerika tentang Islam, menurut Gerges, Amerika Serikat sebenarnya
"tidak punya kebijakan yang komprehensif, koheren, dan konkrit tentang peran Islam
dalam proses politik". Baik Bush Sr maupun Clinton, menurut Gerges, lebih
mengutamakan kebijakan-kebijakan jangka pendek yang diilhami oleh kepentingan
pragmatis.
ChristiantoWibisono
Pada dimensi ideologi dan falsafah, maka para pakar terpecah dalam dua
setengah kubu yang saling berlawanan walaupun barangkali masih mempunyai
secercah titik temu yang rawan serta memerlukan kultivasi genius negarawan yang
toleran dan demokrat. Kubu pertama diwakili oleh Francis Fukuyama yang
menguraikan teori keunggulan demokrasi leberal sebagai produk final dari upaya
manusia mencari metode penyelesaian konflik dan akomodasi ambisis manusia secara
modern, tertib dan rasional. Karena itu ia menulis buku The End of History and The
Last Man sebagai tesis mengenai sistem politik"final" yang harus diambil manusia
jika mereka ingin mengatasi konflik secara tertib.
Sebaliknya kubu kedua diwakili oleh Samuel P Huntington secara pesimis meragukan
kebenaran tesis Fukuyama tentang akhir konflik ideologi antar manusia setelah
berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Tembok Berlin. Huntington merujuk pada
insiden Tiananmen dan perang teluk yang merupak bukti adanya kesenjangan dan
konflik baru pasca perang dingin, yang lebih mendasar dan mirip dengan pola konflik
di zaman Perang Salib pada Milenium Pertama. Dalam buku The Clash of Civilzation
and the Remaking of World Order Huntington meramalkan bahwa dunia akan
memasuki konflik antar peradaban. Tiga peradaban yang paling dominan yaitu Barat
Kristen, Sinic Confucian dan Islam akan bertarung memperebutkan hegemoni. Di luar
tiga besar ada 5 sub peradaban yang tidak begitu dominan yaitu Jepang, Rusia, Hindu,
Amerika Latin, dan Afrika.

Menurut seorang cendekiawan Muslim pemengang Hadia Nobel Fisika, Prof Abdus
Salam dalam buku Idealis and Realities. Orang harus membedakan antara agama
sebagi ritual dan pengejawatahan jiwa dan semangat serta ajaran agama, dalam pola
tingkah laku dan budaya yang diterapkan secara konkret dalam kehidupan sehari-hari.
Menurutnya juga, dunia Islam pernah mengalami zaman keemasan ketika Eropa
justru berada pada Abad Kegelapan (the Dark Ages) karena toleransi yang moderat
dan meritokrasi yang dipraktekkan secara konsisten tanpa fanatisme dan ekstremisme
agama.
Sebenarnya suatu paradox yang jarang diingat oleh banyak pegamat ialah fakta
bahwa ekonomi AS sangat tergantung pada lalu lintas pinjaman melalui mekanisme
pasar berupa penjualan Obligasi Pemerintah AS (Us Treasuries Notes and Bonds).
Negara dan Pemerintah AS adalah pengutang terbesar di dunia, tetapi mereka
melelang obligasi yang dimenangkan justru oleh mereka yang rela menerima suku
bunga terendah dari Pemerintah AS.
Karena investor dunia seperti Jepang dan kaum elite negara maju termasuk Cina
Perantauan Asia Tenggara percaya bahwa AS tidak akan mengemplang utang atau
kudeta oleh oknum militer, maka arus modal terbesar justru mengalir ke AS melalui
Arsitektur Finansial Global yang berlandaskan mekanisme pasar. Tetapi pasar AS
sangat dipercaya, sedang pasar negara berkembang seperti kita mengalami distorsi
akibat KKN. Sehingga arus dana ditarik keluar sebagai bagian dari lingkaran setan
depresi mata uang, impotensi ekspor dan erosi daya beli dan daya saing nasional
Dunia Ketiga.
Sayd Tahrera
Persentuhan Islam-Barat, Sebuah Keniscayaan
Barat, dalam realitasnya bukan saja sebutan untuk sebuah bangsa. Namun
dengan sebutan itu pula, norma, adat, sistem bahkan ideologi telah menjadi model
ideal bagi negara penghuni dunia ketiga, sebagai percontohan negara modern. Ali
Syariati pernah mengatakan yang ditulisnya dalam buku Peranan Cendekiawan
Muslim, "tujuan dari alternatif ini (globalisasi) bukanlah kekerasan, melainkan
mengatur terjadinya perubahan mendasar : yaitu mengubah nilai-nilai agar shampo,
kemeja, lipstik dapat diterima. Masyarakat harus dimodernisasi secara global, kalau

sudah modern, mereka akan menerima dengan senang hati apa yang ditawarkan
kepada mereka". Alangkah benar sinyalemen Ibnu Khaldun (1332-1406) "Orang
taklukan selalu meniru penakluknya, baik pakaian, perhiasan, kepercayaan serta adat
kebiasaan lainnya".
Sedang dalam buku Agama dan Modernisasi Politik, Donald E Smith, mensinyalir :
sekularisasi yang dibawa Barat merupakan keniscayaan dunia yang mengalami proses
modernisasi. Sebab ciri terpenting dari modernisasi adalah sekularisasi. Berbeda
Maryam Jamella dalam menanggapi persentuhan Islam dan barat, di bukunya Islam
versus the West, ia menyebutkan : pemikir-pemikir Islam seperti Sayid Qutub,
Muhammad Qutub, Muhammad Asad lebih jelas dan tegas memaparkan paradoksal
antara Islam dan Barat. Maryam Jamella -seorang Yahudi keturunan yang sebelum
memeluk Islam bernama Margareth Marcus-menegaskan bahwa antara Islam dan
Barat terdapat perbedaan yang fundamental, menurutnya "the imitation of Western
ways of life based on their materialistic, pragmatic and secular philosophies can only
lead to abandonment of Islam".
Melalui tesisnya, Prof. Hutington meyakinkan Barat, bahwa idelogi adalah
senjata paling ampuh dalam perumusan pola hubungan internasional dan
pembentukan Tata Dunia Baru. Dengan adanya dominasi tunggal AS, telah
melahirkan Tata Dunia Baru. Sebagai negara nomor satu di dunia, AS mengatur tata
politik dunia dengan bendera kapitalismenya. Berkaitan dengan penyebaran
kapitalisme ini ada satu hal yang harus betul-betul diperhatikan yakni, setelah AS
berhasil memantapkan dominasi ideologi kapitalisme secara internasional, maka kini
AS tengah berusaha untuk memantapkan dominasi ideologi secara universal.
Adian Husaini
Di bukunya Sekularisme Penumpang Gelap Reformasi, menyebutkan setidaknya
politik luar negeri AS berpijak pada dua pendulum antara idealisme (HAM dan
demokratisasi) dan pragmatisme (national interest). Standar ganda yang dimainkan
AS lebih mengedapankan pragmatisme ketimbang idealisme. Artinya, demi
mempertahankan national interest-nya, maka AS rela mengorbankan nilai-nilai HAM
dan demokrasi, meskipun kedua nilai itu sudah menjadi kebijakan resmi politik luar
negeri.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa AS menggunakan perang melawan terorisme


sebagai senjata kepentingan ekonominya? Boleh jadi, perang melawan terorisme ini
merupakan alat yang paling cepat dan efektif. Dengan begitu, AS bisa masuk ke
wilayah manapun di dunia ini dan menguasainya dangan alasan menyerang terorisme.
Cara ini juga efektif untuk mengancam dan menundukkan negara-negara yang
membakang terhadap AS. Tampaknya, AS melihat, semata-mata menggunakan
instrumen ekonomi seperti IMF dan WTO tidaklah cukup dan terlalu bertele-tele.
Huntington The Clash of Civilization" (1993),
Huntington berpendapat bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin
ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki
bersama atau yang disebut sebagai peradaban.
Ia berpendapat bahwa benturan antarperadaban akan terjadi karena tiga hal pokok:
hegemoni/arogansi Barat, in-toleransi Islam dan fanatisme konfusianisme. Lebih
lanjut Hungtington menyebutnya sedikitnya ada enam alasan mengapa terjadi perang
antarperadaban di masa depan yaitu: 1) perbedaan antar peradaban tidak hanya riil,
tetapi juga mendasar, peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi,
dan yang lebih penting lagi, agama. 2) dunia sekarang sehingga antara orang yang
berbeda peradaban semakin meningkat. 3) proses modernisasi ekonomi dan
perubahan dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal m
yang sudah berakar dalam, disamping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber
identitas mereka. 4) tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran
ganda Barat. Di satu sisi, Barat berada di puncak kekuatan, namun di sisi lain,
peradaban-peradaban non-Barat telah kembali ke fenomena asalnya. 5) karakteristik
dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu bisa berkompromi
dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. 6) regionalisme ekonomi
semakin meningkat dengan penekanan pada aspek agama yang menjadi roh
peradaban.

Huntington bahkan melihat bahwa agamalah yang banyak berperan

dalam konflik antarperadaban di masa depan. Kita seakan di ingatkan bahwa agama
tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan
damai, tetapi juga bisa menampilkan sosoknya yang seram dan menakutkan. Agama
bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterpretasi sesuai dengan

kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. interpretasi yang subjektif itu
memberi wewenang pada pemeluk agama untuk membunuh dan mengobarkan perang
atas nama Tuhan dan Kitab Suci.
Dalam pandangan Huntington, dunia pasca-Perang Dingin adalah sebuah dunia
dengan tujuh atau delapan peradaban besar. Kesamaan-kesamaan serta perbedaanperbedaan kultural membentuk kepentingan-kepentingan, antagonisme-antagonisme
serta asosiasi-asosiasi antarnegara. Negara-negara besar terdiri dari berbagai negara
dengan peradaban mereka masing-masing. Konflik-konflik lokal rupa-rupanya
menjadi sebab timbulnya pertikaian dalam skala yang lebih luas antara berbagai
kelompok dan negara yang memiliki peradaban yang berbeda-beda. Pola-pola
perkembangan politik dan ekonomi saling berbeda antara satu peradaban dengan
peradaban lainnya. Salah satu persoalan utama yang masuk dalam agenda
internasional adalah adanya perbedaan-perbedaan antar-peradaban. Kekuatan
peradaban tampaknya mengalami pergeseran dari Barat menuju peradaban-peradaban
non-Barat. Dan, politik global pun menjadi bersifat multipolar dan multisivilisasional.
Ruslani
Oleh karena itu, menarik memperhatikan tesis Huntington (The Clash of Civilizations
and the Remaking of the World Order, 1996) yang mendefinisikan "peradaban"
sebagai pengelompokan terbesar masyarakat yang melampaui tingkat pembedaan
manusia dari spesies lainnya. Sebuah peradaban ditentukan oleh anasir-anasir objektif
bersama-bahasa, sejarah, agama, adat, dan lembaga-lembaga-juga oleh swaidentifikasi masyarakat. Huntington menyatakan, kini ada tujuh atau delapan
peradaban besar di dunia: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Kristen Ortodoks,
Amerika Latin, dan "mungkin" Afrika.
Teori Huntington berusaha menentang skenario "akhir sejarah" pasca-perang dunia
mengenai sebuah tatanan internasional berdasarkan penerimaan universal atas model
ekonomi kapitalis, tanpa perubahan pada cakrawala sejarah manusia selanjutnya. Arti
penting tesis Huntington ini terletak pada faktor-faktor kultural yang bisa
dipertimbangkan sebagai perkembangan yang amat positif. Hingga kini, hubungan
dan konflik antarnegara sudah terbiasa dijelaskan menurut analisis ekonomi.
Lembaga-lembaga politik tumbuh di luar struktur kekuatan ekonomi, dan budaya

adalah ekonomi, dalam arti, di Barat, sistem pasar menentukan kerangka nilai-nilai
umum yang dalam teori seharusnya secara independen dimunculkan oleh budaya
sendiri.
Namun, Huntington seolah melihat peradaban sebagai blok monolitik. Padahal, dalam
kenyataan tidak demikian. Sebagian peradaban, misalnya peradaban Islam, terutama
ditentukan oleh wahyu keagamaan; yang lain, seperti Konfusius, ditentukan oleh
hubungan antara agama yang mengilhami mereka dan kekuasaan politik yang kurang
jelas. Dalam peradaban Barat, versi Katolik ereka atau Protestan dari agama Kristen
membentuk bagian dari lanskap budaya mereka, meski masyarakat negara-negara
Barat amat terbagi berdasar kepercayaan keagamaannya. Dalam setiap peradaban, ada
beberapa tren pemikiran yang mengikuti garis-garis pengakuan, dan yang lain
mengikuti garis-garis penempatan-subjek perdebatan yang kini hidup di negaranegara seperti Turki dan Italia.
Kenichi Ohmae (1995)
Namun, konflik-konflik dalam dunia modern tidak hanya antar peradaban, bahkan
dalam peradaban yang sama bisa terjadi konflik. Menurut Kenichi Ohmae, dalam
peradaban yang sama, masyarakat sering berperang di antara mereka masing-masing.
Misalnya, konflik di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik, bukan
merupakan alasan yang tepat untuk menyatakan kebencian yang mendalam, karena
sama-sama Kristen. Contoh lain, akan sulit menjelaskan konflik di Ambon, di mana
masyarakatnya berada dalam tradisi dan suku yang sama. Perbedaan keyakinan dalam
masyarakat Ambon, antara Islam dan Kristen, bukanlah perbedaan besar, karena pada
intinya sebenarnya kedua agama itu sama punya tradisi dan akar sejarah yang sama:
semitik.
Dalam bukunya yang berjudul The End of Nation State (1995), Ohmae berpendapat
bahwa perang biasanya terjadi ketika para pemimpin politik menonjolkan perbedaanperbedaan kecil secara tajam seraya menciptakan kebencian laten bukan ketika antar
peradaban saling berbenturan, sebagaimana dinyatakan Huntington. Seakan
menyanggah tesis Huntington, Kenichi Ohmae berpendapat bahwa konflik-konflik
terjadi lebih disebabkan oleh para pemimpin politik yang kolot yang melibatkan
rakyat untuk melakukan konfrontasi bersenjata.

Hans Kung (1997)


Seorang teolog besar abad ini, Hans Kung, mengajukan sebuah visi besarnya tentang
etika global. Dalam karyanya yang berjudul A Global Ethics for Global Politics and
Economics (1997), Hans Kung menyatakan tak akan ada tatanan baru tanpa sebuah
etika dunia yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai
sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan
oleh semua sistem kepercayaan (agama) meskipun terdapat perbedaan dogmatis, dan
yang sesungguhnya bisa juga disumbangkan oleh kaum non-beriman (ateis).
Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung, konsensus berarti
kesepakatan yang memerlukan standar etika fundamental (nilai-nilai universal) yang
meskipun terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam agama, bentuk-bentuk
kehidupan, budaya, politik, namun dapat diposisikan sebagai basis terkecil bagi
kehidupan masyarakat yang pluralistik. Sebuah konsensus global dimungkinkan
terwujud di atas moralitas dasar yang membatasi dirinya hanya pada beberapa
tuntutan

fundamental

(nilai-nilai

universal);

seperti

kebenaran,

keadilan,

kemanusiaan, dan semacamnya. .


Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus global tidak bersifat subjektif
(monologal). Artinya, kebenaran dalam sebuah konsensus tidak bisa didasarkan pada
klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang dipikirkan sendiri.
Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap klaim kebenarannya
sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi hubungan-hubungan sosial (FB
Hardiman: 2002). Karena kebenaran yang sifatnya subjektif bisa mentotalisir atau
fasis, seperti yang dilakukan oleh Hitler dan Musollini.
Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti yang dikatakan Habermas, bersifat
intersubjektif (dialogal). Melalui dialog yang bebas dominasi, jujur danterbuka, nilainilai konsensus sebagai etika global dapat dikukuhkan. Tanpa etika global, cepat atau
lambat masyarakat modern terancam konflik-konflik dan kekacauan.
Louis Burhani
Hubungan Orang Islam dengan Barat Kaum muslimin berhubungan dengan Barat
lewat jalur Andalusia (Spanyol). Pada saat itu umat Islam tengah menyebarkan ajaran
Islam ke dunia Barat. Selain itu, umat Islam juga membawa berbagai kemajuan, yang

tercermin dalam peranan ilmu pengetahuan dan berdirinya universitas-universitas,


seperti Universitas Granada dan Cordova. Setelah itu, orang-orang Barat datang
bersama tentara salibnya pada abad pertengahan. Mereka datang tanpa membawa
pemikiran dan peradaban. Mereka tidak memiliki sesuatupun yang bisa membuat
kagum penduduk negeri yang mereka kuasai. Sampai-sampai Usamah bin Munqidz
mengomentari pasukan berkuda tentara salib dengan mengatakan "Mereka adalah
sekumpulan binatang ternak. Tidak ada yang mereka miliki kecuali keahlian
berperang" Ketika mereka kalah, dan penjaga benteng-benteng pertahanan mereka
menyerah, maka selang dua abad kemudian mereka tidak meninggalkan sedikitpun
pengaruh kepada kehidupan umat Islam.
Aktifitas Barat di Negeri Islam
(1). Setelah keruntuhan Daulah Islamiyyah, mereka mengerat-erat negeri Daulah
Islamiyyah ke dalam banyak institusi, seperti Turki, Cyprus, Irak, Suriah,
Pakistan dan lain-lain.
(2). Mereka terus menyerang bahasa Arab. Mereka menjadikan bahasa mereka untuk
meminggirkan bahasa Arab di negeri-negeri Islam. Mereka juga mendorong
digunakannya dialek-dialek pasar (bahasa pasaran)
(3). Mereka mencekoki kita dengan sebuah klim bahwa mereka telah bangkit
berlandaskan nasionalisme. Mereka mempopulerkan banyak partai nasionalis
dan patriotis, yang semua itu dilakukan demi menjauhkan kita dari Islam.
(4). Mereka menganologikan Islam dengan Nasrani, seraya mengatakan bahwa jika
kita menginginkan sebuah kebangkitan, maka kita harus memisahkan agama dari
kehidupan sebagaimana yang telah mereka lakukan.
(5). Mereka mengubah sistem pemerintahan di negeri-negeri Islam dari sistem
pemerintahan Islam menjadi sistem pemerintahan kapitalistik.
(6). Mereka menciptakan jurang pemisah diantara negeri-negeri yang baru terbentuk
(pecahan dari Daulah Islamiyyah) untuk memecahbelah antar sesama putra-putri
umat Islam, disamping untuk memperdalam jurang pemisah yang terdapat di
antara berbagai institusi yang baru muncul itu. Mereka memunculkan isu-isu
seperti masalah tapal batas negara, semangat nasionalisme, dan kesukuan, seperti

munculnya masalah Kashmir, Cyprus, Palestina, Sahara di Maroko, dan Tepi


Barat.
(7). Mengeksploitasi kekayaan kaum muslimin untuk kepentingan Barat, seperti
minyak dan barang tambang.
(8) Menjadikan dunia Islam sebagai pasar konsumtif bagi Barat dan mencegah
berdirinya industri-industri produksi dan industri-industri berat.
(9). Barat memaksakan kebudayaan mereka kepada Umat Islam, dengan memasukkan
kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kurikulum pendidikan dan berbagai
media informasi seperti radio, surat kabar dan majalah.
Pengaruh Peradaban Barat terhadap Kaum Muslimin
(1). Berbagai persepsi dan eksperimen Barat telah dijadikan sebagai patokan baku
bagi para pelajar dan politikus kita. Sehingga, semua yang serba kebarat-baratan
dianggap sebagai sesuatu yang modern dan maju. Sebaliknya, semua yang tidak
berasal dari Barat dianggap kampungan.
(2). Putra-putri terbaik umat Islam, terutama yang belajar pada universitas-universitas
di Barat, terpesona dengan peradaban Barat. Akhirnya, mereka menyerukan
untuk meniru peradaban Barat dalam rangka menyongsong sebuah kebangkitan,
setelah lama kita lama dalam kelemahan dan keterpurukan. Hal ini nampak pada
berbagai anggaran dasar dan rumah tangga partai-partai nasionalis dan patriotis
dan juga pada kurikulum pendidikan kita.
(3). Dalam hal tingkah laku, umat Islam mulai menyimpang jauh dari hukum-hukum
Islam. Akhirnya mereka melangsungkan berbagai aktivitas berdasarkan asas
manfaat materi seperti riba.
Lester Peason (1950)
Ia telah mengingatkan bahwa manusia akan memasuki suatu abad ketika berbagai
peradaban yang berbeda mulai belajar hidup berdampingan secara damai, saling
memahami antara satu dengan yang lain, mempelajari sejarah, cita-cita, seni, dan
kebudayaan serta saling memperkaya kehidupan masing-masing. Sebagai dampak
dari kondisi dunia yang semakin menyempit ini terjadi kesalahpahaman, berbagai
ketegangan, benturan dan bencana. Masa depan perdamaian (dunia) dan peradaban

bergantung pada adanya sikap saling pengertian dan kerjasama di antara tokoh-tokoh
politik, spiritual dan intelektual dari peradaban-peradaban besar dunia.
MUHAMMAD ALI (2003)
Kecongkakan budaya (cultural arrogance) bahwa sistem agama, budaya, dan
peradaban yang dianutnya yang paling unggul, membuat seseorang tidak berdaya
untuk tidak mengecilkan sistem agama, budaya, dan peradaban lain. Identitas diri
begitu kuat sehingga menafikan identitas the Other. Publik Barat masih menganggap
budaya dan peradaban mereka lebih maju, lebih superior dibandingkan peradaban
Timur, dan selalu berusaha melalui penguasaan berbagai media informasi untuk
mencitrakan bahwa superioritas itu adalah keniscayaan sejarah modern. Tradisi
orientalisme (yang intinya memandang the Orient sebagai monolitik dan inferior)
adalah salah satu ekspresi superioritas itu, seperti telah dikritik Edward Said.
Ada pula kendala teologis. Barat begitu bangga dengan karakter keagamaannya dan
sekulerismenya, sementara masyarakat Muslim fanatik dengan sistem budayanya
yang kaffah (sempurna) dan diyakini bertentangan secara diametral dengan peradaban
Barat.
WIDODO DWI PUTRO
Ideologi memang berwajah ganda, seperti dikatakan Ernst Bloch yang dikutip
ulang generasi penerusnya Douglas Kellner dalam artikel lepasnya Ernst Bloch,
Utopia and Ideology Critique sebagai berikut, "For Bloch, ideology is "Janus-faced",
two-sided: it contain errors, mystifications, and techniques of manipulation and
domination, but it also contains a utopian residue or surplus that can be used for
social critique and to advance progressive politics."
Di balik sisi gelap pertikaian ideologi-terutama kapitalisme melawan sosialismepertikaian itu membawa kemajuan dan kegairahan dialektika di bidang ilmu-ilmu
sosial. Para teoritisi kapitalisme, misalnya, berlomba-lomba melahirkan teori-teori
modernisasi untuk membendung semangat komunisme dan antikapitalisme.
Pertikaian antar-ideologi dalam sekian dasawarsa, telah mengorbankan banyak nyawa
manusia. Misalnya, revolusi borjuis di Perancis, perang saudara (civil war) di AS,
Nazi Jerman, rezim Stalinis di Rusia, rezim Pol Pot di Kamboja, gerakan "30
September" di Indonesia, "Black September" di AS, dan seterusnya. Lantas sebagian

orang berkesimpulan, ideologi merupakan ladang pembantaian sesama manusia atas


nama keagungan cita-cita.
Uniknya, dalam tubuh kapitalisme sendiri terjadi pertarungan teoretik antara Neo
Klasik (Keynesian) yang masih menginginkan campur tangan negara (welfare state)
dengan

Neoliberalisme

yang

menginginkan

kedaulatan

pasar

sepenuhnya.

Pertarungan ini "diselesaikan" Neoliberalisme dengan pembagian peran: Milton


Friedman melucuti pemikiran ekonomi Neo Klasik dan Frederick von Hayek
melawan sosialis-komunis, ditunjang lembaga dana internasional (IMF, World Bank,
dan sebagainya).
Di sisi lain, para teoritisi sosialis-komunis melahirkan teori-teori yang menelanjangi
keserakahan kapitalisme sekaligus kritik (anti) terhadap kapitalisme, misalnya teori
"materialisme dialektika-historis" (Karl Marx), teori "strukturalis" (Althusser), teori
"hegemoni" (Antonio Gramsci), teori "ketergantungan" (Shamir Amin, Andre Gunder
Frank, dan sebagainya).
Selain itu, dalam kelompok "kiri" muncul teori "kritis" (Max Hokreimer, Theodor W
Adorno, Herbert Marcuse, dan sejumlah penerusnya) yang berupaya menyingkap dan
menyobek selubung-selubung ideologis yang menutupi kenyataan tak manusiawi dari
kesadaran manusia. Dengan membuka kedok-kedok ideologis dalam segala haltermasuk bangunan pemikiran teori "kritis" itu sendiri-teori "kritis" ingin mengajukan
kembali maksud dasar Marx, yakni pembebasan manusia dari segala belenggu
penindasan dan pengisapan, tetapi secara kritis dan antidogmatis.
Di luar kubu kapitalisme dan sosialisme, muncul postmodernisme sebagai kritik atas
modernisme dan keluar dari tradisi enlightenment. Meski beraneka warna, filsafat
bernapaskan postmodernisme bersatu dalam penolakan "cerita-cerita besar" (grand
narrative) penyelamatan manusia, menolak obyektivitas ilmu pengetahuan, dan
menolak pemikiran dikotomis (binary opposition). Penekanan faham ini pada the
right of different (hak untuk berbeda). Dengan gaya dekonstruksinya, faham ini
memutus (discontinuity) rantai perdebatan ideologi "kanan-kiri" beserta seluruh
rasionalitas yang membenarkannya.
Akhir pertarungan, pemenangnya adalah kapitalisme. Kemenangan paradigma kubu
kapitalisme, menurut George Ritzer (jurnal The American Sosiologist No 10, 1975),

disebabkan pendukungnya lebih mempunyai kekuatan dan kekuasaan, bukan karena


teori itu lebih manusiawi, lebih baik, apalagi lebih benar.
Namun, kemenangan itu oleh sebagian pendukungnya lalu diwartakan sebagai
"kebenaran akhir". Pewarta kebenaran itu salah satunya adalah Francis Fukuyama
dalam The End of History and The Last Man menyebut zaman ini sebagai "titik akhir
dari evolusi ideologis manusia" dan bentuk final "pemerintahan manusia". Alasannya,
telah terjadi kesepakatan luar biasa berkenaan dengan pengakuan terhadap demokrasi
liberal sebagai sistem yang diterima di seluruh dunia.
Di sisi lain, ilmu pengetahuan modern (teori modernisasi) telah menghasilkan
pandangan seragam tentang corak produksi secara ekonomis (kapitalisme). Dengan
kata lain, Fukuyama ingin menyerukan, dialektika manusia sudah "usai" karena telah
mencapai titik akhir ide absolut, bahkan kebenaran absolut di bawah kemenangan
mutlak kapitalisme.
KOMARUDIN HIDAYAT
REPOSISI PERAN AGAMA
Jika pada masa lalu hubungan antara identitas agama dan budaya sedemikian
menyatu di bawah kepemimpinan figur karismatik, kini wilayah budaya di luar agama
berkembang melesat dan menghasilkan jaringan peradaban yang mengglobal
sehingga posisi agama merupakan salah satu variabel saja. Menghadapi kenyataan ini,
sikap umat beragama beragam. Pertama, ada yang berpandangan hal itu adalah
perkembangan alami, agama hanya bekerja pada wilayah moral dan spiritual sehingga
agama harus rela tampil sebagai penyejuk, ibarat sebuah teknologi AC (air
conditioner) bagi sebuah bangunan besar. Kehadirannya tidak mencolok, tetapi amat
diperlukan agar kehidupan menjadi sejuk dan nyaman.
Kedua, ada yang berpandangan, agama harus berkembang seiring perkembangan
wilayah budaya dan sains yang begitu berjaya mengendalikan perubahan zaman.
Karena itu, harus dilakukan reinterpretasi ajaran dan revitalisasi peran sosial agama.
Liberalisasi penafsiran kitab suci dan rekonstruksi pranata keagamaan harus
dilakukan agar agama tidak tersisih ke luar gelanggang percaturan politik, ekonomi,
dan peradaban.

Ketiga, ada yang memberi respons konservatif-reaksioner. Mereka berpandangan,


agama telah memiliki cetak-biru (blueprint) yang ideal, yang harus dijadikan rujukan
masyarakat, sebagaimana yang pernah terwujud di zaman keemasannya. Di sini
bukannya agama diubah-ubah penafsirannya agar sesuai dengan perkembangan,
tetapi perkembangan yang harus tunduk pada agama.
Keempat, mempertahankan hubungan antara agama dan komunalisme etnis ataupun
kelompok sehingga perkembangan agama dan budaya tampil menyatu. Misalnya,
fenomena negara Israel, Arab Saudi, Libya, dan sekian negara lain sulit dipisahkan
antara semangat agama, suku, bangsa, dan kepentingan ekonomi.
Dalam konteks global, manuver politik Gedung Putih dan tesis Huntington telah
menyeret dan menyertakan isu agama ke dalam konflik ekonomi dan politik sehingga
peran dan citra agama tidak lagi sebagai pusat dan sumber peradaban, tetapi dijadikan
pemicu peperangan dan terorisme. Mitos agama sebagai pusat peradaban dan misi
keselamatan telah redup, diganti mitos baru: agama adalah problem dan sumber
kerusuhan.
Nah, setelah mencermati pemikiran dari 14 analis diatas, marilah kita menjawab satu
persatu pertanyaan krusial seputar posisi, peran, sikap gerakan mahasiswa muslim
dalam konteks benturan peradaban baik benturan intern ataupun antar. Bagaimana
sesungguhnya sikap yang paling bijak dalam menyikapinya ?
Selamat Berdiskusi !
(Bahan pemantik Diskusi Kajian Strategis KAMMI Daerah Semarang, Maret 2003)
2006 Komunitas WedangJae
Developed by CV. BineXa Internet Mediatama
Flash header by Doni Riadi

Anda mungkin juga menyukai