Anda di halaman 1dari 4

MEREKA TAK BEROTAK

Asal Usul dan Ideologi Subkultur Punk


Punk sebagai subkultur diawali dengan resistensi terhadap ketertiban..
Diakhiri dengan pembentukan gaya yang menyimpang dan terkesan
nyeleneh sebagai makna penolakan terhadap sistem sosial yang kaku.
Subkultur* dan Gaya Punk disebagian besar benak khalayak masih
terpatenkan dengan imej pengganggu ketertiban. Komunitas marginal
perkotaan ini sepertinya tak luput dari celaan dan cemoohan. Dalam
kehidupan sosial kaum punk diperlakukan sebagai sebuah ancaman karena
dinilai menebar rasa tidak aman dan tidak nyaman. Tampilan luar yang
terlihat ekstrim dengan rambut jambul tegak, pierching di sekitar bibir,
hidung, kuping dan pelipis mata. Kemudian mengenakan kaos ketat berlapis
jaket kumal, sepatu lancip dan berbagai pernak-pernik lainnya, oleh
kelompok mayoritas masih belum bisa dilazimkan. Namun sekilas ini
hanyalah tampakan luar dari kaum punk itu sendiri.
Dilain pihak, mereka [kaum punk] mencoba memperingatkan dunia
dengan hal-hal beda semacam itu. Mereka mencoba memperlihatkan kepada
publik ihwal keberadaannya lewat kebedaan yang bersumber dari diri
mereka sendiri. Status dan makna pemberontakan yang mereka bawa dan
gaya sebagai bentuk penolakan mereka coba angkat ke permukaan. Dick
Hebdige, penulis, mengambil Jean Genet sebagai salah satu fokus kajian
dalam buku ini. Dijelaskan bahwa proses pengeksistensian diri kaum punk
diawali dengan kejahatann melawan tertib alami. Dengan mereka
memelihara rambut berjambul dengan tipe setelan tertentu dan bergaya urakurakan, mencari skuter atau album rekaman adalah salah satu bentuk sinyal
penolakan yang menurut mereka layak dilakukan.

Gaya dalam hal ini sarat dengan arti melawan segala sesuatu yang
alamia, pakem yang mengikat yang menyanggah prinsip kesatuan dan
keterpaduan. Jika ditelaah dengan makna lain, dapat dikatakan sebagai
bentuk resistensi terhadap sistem yang kaku. Genet menekankan praktik
resistensi ini melalui gaya tersebut. Dan hal-hal seperti ini secara tidak
langsung menunjukkan bentuk keterasingan kaum minoritas ini. Makna
keterasingan ini dikuatkan lewat ungkapan Genet [hal.39]. Di luar itu bentuk
pengasingan seperti ini kemudian memotivasi mereka untuk terus
mengekspresikan diri melalui peyelewengan simbolik atas tertib sosial.
Kaum punk membawa gerakan ini dengan terus menarik perhatian
masyarakat, memprovokasi dan bertindak untuk tidak hanya diam.
Tidak ada subkultur yang lebih gigih daripada kaum punk untu memisahkan
diri dari format-format yang telah diwajarkan. Dan tidak ada pula yang
mengungkapkan ketidaksetujuan layaknya kaum punk. Oleh karenanya
subkultur punk merupakan budaya perlawanan yang harus diberi tempat
dalam tatanan sosial masyarakat yang mengikat. Kultur & Hegemoni
Sejak akhir abad ke-18, kultur telah dipakai oleh para intelektual dan tokoh
sastra untuk mengangkat secara kritis kisaran luas isu-isu kontroversif,
seperti mutu kehidupan, dampak mekanisasi terhadap manusia, pembagian
kelas kerja dan penciptaan massa. Dalam kecenderungan masyarakat yang
amat kompleks yang bekerja dengan sistem pembagian kerja yang dipilah
[terspesialisasi] perlu dipertanyakan kelompok kerja dan kelas kerja mana
yang menentukan pengaturan dan penggolongan ranah sosial. Contoh
lainnya adalah penyebarluasan gagasan dalam kehidupan sosial. Kelompokkelompok tertentu yang mendominasi justru lebih menentukan, sementara
yang lainnya disudutkan hanya karena lebih kecil kekuasaannya untuk
menyampaikan

gagasan/argumentasi

mereka

kepada

publik.

Ini

menggambarkan bagaimana pola penindasan terhadap kaum minoritas


bergerak. Yang besar mencapai dominasi, sementara yang lain tetap
marjinal.
Dick Hebdige sebagai seorang kritisi budaya, dalam bukunya ini berusaha
memberikan gambaran mengenai subkultur punk melalui beberapa kajian
kasus. Tidak hanya memberi pengaruh besar untuk membuka mata
pembacanya, namun juga memberikan banyak inspirasi yang mengantarkan
kita memahami lebih jauh asal-usul dan ideologi kelompok anti kemapanan
ini. Namun, sangat disayangkan buku yang berjudul asli Subculture: The
Meaning of Style ini sangat sulit untuk dicerna [menurut saya]. Entah
karena ini diterjemahkan secara kurang baik atau memang sayanya yang
nggak ngerti [hehe]. Yang jelas buku ini layak baca untuk menambah
khasanah pengetahuan kita tentang sub-budaya yang satu ini dan akarnya.

*Subkultur merupakan gejala budaya dalam masyarakat industri maju dan


umumnya terbentuk berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolik
terekspresikan lewat gaya dan menjadi ruang untuk membentuk identitas diri
dalam tatanan sosial yang mengalienasi.
Untuk cover buku yang saya tampilkan adalah buku versi aslinya.
Sedangkan cover buku terjemahan dalam bahasa Indonesianya adalah
dokumentasi dari film "Berlari Untuk Entah" produksi Titik Tiga.
Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1979 oleh Meuthen & Co.
Sedangkan di Indonesia diterbitkan oleh penerbit Buku Baik, Yogyakarta

pada tahun 1999 [cetakan ke XIII]. Ini adalah resensi saya tahun 2006 untuk
salah satu forum diskusi kecil-kecilan. Perlu banyak belajar!!!!! :]

Anda mungkin juga menyukai