Anda di halaman 1dari 5

Kembali Ke Khittah Mahasiswa

Apa bedanya mahasiswa yang kuliah dengan seseorang yang tidak


kuliah? Dengan sederhana orang akan menjawab bahwa mahasiswa adalah
kalangan terdidik yang mendapatkan sejumlah pengetahuan, membawa dan
membaca buku, demonstrasi dan aktivitas kemahasiswaan lainnya.
Sementara, orang yang tidak kuliah tidak melakukannya.
Akan tetapi, jika ditanya lebih lanjut adakah yang berbeda antara mahasiswa
dengan seseorang yang tidak kuliah di tengah kehidupan sosial yang nyata.
Bagi saya, nyaris tanpa beda. Yang membedakan hanyalah pada tingkat cara
berbicara dan pilihan-pilihan kata (diksi).Sementara, dalam menghadapi
sebuah problem masyarakat keduanya tanpa beda.
Setumpuk teori dan segumpal buku yang dibaca sewaktu kuliah
nyaris tanpa bunyi ditengah-tengah kehidupan sosial yang nyata. Baik
mahasiswa ataupun bukan mahasiswa dalam beberapa hal tidak membawa
perubahan sosial apapun. Bahkan, tidak jarang non-mahasiswa bisa
melakukan banyak hal untuk melakukan perubahan sosial daripada
mahasiswa.
Adakah yang salah dengan mahasiswa? Tentu tidak mudah menjawabnya.
Ada banyak problem yang tidak bisa hanya disodorkan dengan satu
jawaban. Tetapi yang pasti bahwa teori-teori yang pernah didapatkan di
bangku kuliah sama sekali tidak aplikatif dikehidupan yang nyata. Mengapa
hal itu terjadi? Ada banyak alasan.
Pertama, science for science. Selama ini ada sebuah paradigma bahwa ilmu
pengetahuan hanyalah untuk ilmu pengetahuan, tidak lebih dari itu. Bahwa
pengembangan ilmu pengetahuan hanya diperuntukkan untuk ilmu.
Paradigma ini menganut pemahaman bahwa ilmu itu bebas nilai.Teori-teori
sosial-misalnya-yang sejatinya bisa dioperasionalisasikan pada kehidupan

nyata ternyata harus bungkam melihat problem-problem riil dilapangan.


Bagaimana teori-teori Max Weber, Karl Marx, Ibn Khaldun, dan lain
sebagainya bisa berfungsi bagi masyarakat jika selama dibangku kuliah
tidak pernah dikontekstualisasikan (atau lebih tepatnya pribumisasi).
Contoh-contoh yang ada dalam buku tidak pernah dikembangkan dalam
konteks lokal. Hal yang sangat kecil misalnya dalam bahasa Inggris.
Sewaktu sekolah baik di SLTP ataupun SMU bahkan seaktu kuliah ketika
memberikan contoh simple present yang bermakan general truth selalu
dicontohkan dengan matahari terbit dari timur. Atau dalam bahasa Arab
yang selalu mencontohkan Qama Zaidun ketika menjelaskan fiil-fail.
Sebaliknya, mencari contoh yang lebih membumi dan akrab dengan
lingkungan anak didik tidak pernah dilakukan.
Setiap dosen banyak yang fasih menjelaskan teori konfliknya Karl Marx,
Struktural Fungsional-nya Molinowski. Tetapi, hanya kalangan terbataslah
yang mampu mengaplikasikan teori tersebut dalam konteks Indonesia.
Tentu saja ini bukan problem yang sederhana. Sebab, untuk mengaplikasikan
dan mengoperasionalisasikan sebuah teori dalam kehidupan yang nyata,
disamping membutuhkan secara pemahaman yang mendalam juga
mmbutuhkan

sebuah

latihan-latihan.

Bagaimana

mahasiswa

bisa

menerapkan teori yang dikembangkan oleh Karl Marxmisalnyajika


teori tersebut hanya didapat dari teman, seminar-seminar dan forum-forum
lisan lainnya. Sementara, membaca dan merujuk langsung pada referensi
primer sangat jarang dilakukan. Alih-alih operasionalisasi sebuah teori,
memahaminya saja bukanlah hal yang mudah. Kedua, adanya distingsi yang
jauh antara dunia pendidikan dengan kehidupan riil dilapangan. Seseorang
yang mendalami sebuah teori seakan tidak boleh bergaul lebih banyak
dengan masyarakat yang ada disekelilingnya. Alasannya sederhana;

konsentrasi, serius. Ini sebenarnya sebuah paradigma masa lalu yang


terwarisi secara turun menurun sampai sekarang. Memisahkan mahasiswa
sebagai kelompok terdidik yang belajar dari lingkungan sekitarnya telah
menciptkan sebuah kultur apatis dikalangan mahasiswa terhadap problem
riil yang berkembang dimasyarakat.
Ketiga, lemahnya penelitian lapangan. Sesungguhnya telah disebutkan
dalam Tridharma Perguruan Tinggi bahwa penelitian dan pengabdian
terhadap masyarakat menjadi salah satu point dan tujuan dari sebuah
perguruan tinggi. Akan tetapi, fakta dilapangan menunjukkan bahwa
penelitian dan pengabdian masyarakat hanya terjadi ketika mahasiswa
melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Waktu dan kegiatan KKN hanya
bersifat datar dan tidak subtantif. Tidak ada agenda-agenda yang subtantif,
fungsional dan futuristik yang dilakukan oleh mahasiswa.
Diluar itu, mahasiswa selalu disibukkan dengan aktivitas kuliah yang sama
sekali jauh dari kehidupan nyata. Di bangku kuliah, mahasiswa diajak untuk
terbang tinggi ke langit ketuju dan melupakan angan-angan duniawi. Di
pesantren, santri selalu diajak untuk berkhayal hal-hal akhirati yang abstrak
dan menanggalkan hal-hal yang bersifat profan. Secara epistimologis,
fenomena ini diperkuat dengan adanya pembedaan antara ilmu agama
dengan ilmu sekular.
Sewaktu masih belia penulis selalu diyakinkan bahwa persoalan duniawi
tidaklah berharga dibanding dengan janji-janji eskatologis Tuhan. Belajar
Kimia, Matematika, Bahasa Inggris, Biologi dan Teknik selalu berada pada
posisi nomor dua setelah pelajaran tauhid, fiqh, tasawuf, nahwu-sharraf dan
lain sebagainya. Beribah kepada Allah di atas sajadah ataupun di dalam
mesjid seakan jauh lebih mulia dibanding melakukan advokasi dan
pembelaan terhadap masyarakat.

Pemahaman tersebut tentu saja tidaklah benar sepenuhnya. Sebab, tidak


peduli dengan dunia dengan menempatkan hal-hal akhirati hanya akan
membawa manusia pada mimpi yang tak berkesudahan. Begitu juga dengan
mahasiswa. Ketekunan dalam membaca buku tanpa disertai dengan
eksperimentasi dan penelitian hanya membentuk mahasiswa yang a-sosial.
Karena itulah, tidaklah herana jika banyak intelektaul dan cendikiawan
hanya lebih enjoy duduk dibelakang meja daripada melakukan aksi-aksi
sosial. Bahkan, tidak sedikit para intelektual yang tidak peduli dengan
kesengsaraan dan penderitaan tetangganya. Alumni perguruan tinggi yang
kini menjadi politisi dan pejabat negara tanpa rasa salah dan berdosa
melakukan korupsi dan menindas rakyat miskin.
Khittah Mahasiswa
Lalu, bagaimana kita mesti menyikapinya? Barangkali tidak ada pilihan lain
selain mendefinisikan dan memahami kembali posisi dan makna mahasiswa.
Atau dengan kata lain, kita perlu kembali pada khittah mahasiswa.
Mahasiswa pada dasarnya adalah kelompok terdidik yang diharapkan dan
dipersiapkan untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar bagi
kehidupan sosial dimasa-masa mendatang. Semua orang tentu bersepakat
bahwa teori yang diperoleh oleh mahasiswa selama dibangku kuliah bersifat
aplikatif dan adaptif terhadap masyarakat. Apalah artinya sebuah teori dan
pengetahuan jika ia hanya berkutat dan berdiam diri pada lembar per lembar
buku. Teori dan pengetahuan yang diciptakan oleh manusia semata-mata
untuk kesejahteraan manusia seutuhnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ada banyak hal yang bisa dilakukan.
Disamping belajar, membaca buku dan melakukan penelitian hal yang tak
kalah pentingnya adalah melakukan advokasi dan hearing apa yang menjadi
kegelisahan masyarakat. Caranya pun bisa beragam. Dengan kreativitas dan

berjibunnya pengetahuan yang dimiliki, sebenarnya mahasiswa bisa


melakukan banyak hal untuk mencapat tujuan diatas.
Melakukan aksi jalanan sebagai protes terhadap sebuah kebijakan dan
pembelaan terhadap kelmpok mustadhafiyn, kritik dan protes melalui
tulisan baik artikel ataupun surat pembaca, penelitian lapangan dan lain
sebagainya, merupakan sebuah langkah konstruktif yang bisa dilakukan oleh
mahasiswa.
Al-hasil, teori yang didapatkan tidak bisa hanya diselesaikan dengan
berpangku tangan, tetapi membutuhkan langkah-langkah praksis dilapangan.
Meminjam istilah Gus Dur, ini mudah dikatakan tapi sulit dilakukan bukan?
Dimuat di bulletin STIKA Sumenep

Anda mungkin juga menyukai