Anda di halaman 1dari 58

A.

Judul Penelitian

Aktualisasi Sosial Komunitas Punk dalam Mengubah Stigma Di


Masyarakat (Studi Kasus Komunitas Taring Babi di Jakarta)

B. Latar Belakang

Globalisasi sudah memberikan peluang masuknya budaya dari satu negara


kenegara lainnya. Maraknya media-media massa asing yang melanda ke berbagai
dunia sangatlah berpengaruh pada tingginya persentase penyebaran budaya antar
bangsa. Ketika citra dan gagasan semakin mudah dan cepat dialirkan dari satu
tempat ke tempat lainnya, makaakan berdampak besar pada cara orang menjalani
kehidupan mereka sehari-hari. Budaya menjadi tidak lagi berkaitan dengan
lokalitas tetap yang ada pada sebuah kota maupun negara, namun mendapat
makna baru yang mencerminkan tema dominan yang muncul dalam
konteksglobal. Melalui teknologi canggih yang dikendalikan oleh perusahaan
media internasional, berkomunikasi dengan orang-orang di luar negeri untuk
mendapatkan informasi menjadi begitu mudah. Inilah yang dinamakan globalisasi
atau dunia tanpa batas. Akibatnya, cakrawala berpikir manusia semakin meluas
mengenai informasi, budaya bahkan perkembangan musik. Tomlinson (dalam
Steger, 2006 hlm. 54) menegaskan bahwa, “Arus budaya global dikendalikan oleh
perusahaan media internasional yang memanfaatkan berbagai teknologi
komunikasi baru untuk membentuk masyarakat dan identitas”. Keadaan ini dapat
mengakibatkan berbagai aliran kebudayaan dari luar dapat dengan mudah masuk
ke dalam suatu negara termasuk Indonesia. Dampaknya adalah muncul berbagai
kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat.
Salah satu kelompok sosial yang muncul dilatarbelakangi oleh globalisasi
ini adalah komunitas sosial yang disebut dengan Komunitas Punk. Soekanto
(2014, hlm. 99) menyatakan bahwa “Kelompok sosial merupakan himpunan atau
satu kesatuan manusia yang hidup bersama. Kelompok-kelompok sosial yang
didasari oleh adanya persamaan tujuan, ideologi dan perasaan senasib dari
masing-masing individunya”. Sejumlah literatul dan catatan sejarah komunitas
menyatakan Punk merupakan subbudaya yang lahir di London, Inggris sekitar
pada tahun 1970-an. Punk sendiri meruapakan suatu subculture sebagai bentuk

1
suara tentang pemberontakan, anti kemapanan dan penentangan yang lahir pada
kelas perkerja. Seperti yang dikatakan O’Hara (1999) bahwa ada tiga makna Punk
yang bisa diterapkan dan masih relevan dalam beberapa keadaan (1) Punk sebagai
arah aliran anak muda dalam bidang musik dan fashion, (2) Punk sebagai
keberanian dalam melakukan pemberontakan dan perubahan serta, (3) Punk
sebagai perlawanan yang hebat karena berupaya untuk menghasilkan muzik, gaya
hidup, komuniti dan budaya sendiri.
Sudah separuh abad budaya Punk lahir di Barat sehingga saat ini
keberadaan mereka dapat di jumpai di banyak negara termasuk Indonesia. Punk
dan fashion yang terilhami atau terkait dengan Punk, telah membentuk komunitas
ini. Masuknya budaya Punk ke Indonesia diawali pula dengan masuknya musik-
musik beraliran Punk, namun perkembangannya tidak sepesat di negeri asalnya.
Mereka memiliki ciri khas dalam hal penampilan dan perilaku yang diperlihatkan,
seperti potongan rambut mohawk ala suku Indian atau dipotong ala feathercut
yang diwarnai dengan warna-warna terang, menggunakan sepatu boot, rantai,
spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Berdasarkan ciri
tersebut, orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai
Punker. Sebagian masyarakat yang awam terhadap komunitas Punk menganggap
hal tersebut sebagai suatu perilaku yang menyimpang, karena tidak sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku di masyarakat sehingga memberikan stigma negatif
bagi masyarakat umum yang melihatnya. Namun, gaya hidup dan semua atribut
yang mereka gunakan tidak semata hanya untuk bergaya, melainkan memiliki
makna dan merupakan salah satu aksi resistensi mereka kepada budaya dominan.
Punk tidak hanya dicirikan oleh gaya hidup maupun fashion semata,
namun Punk juga mempunyai musiknya sendiri yang dilamnya memiliki kritik-
kritik fenomena sosial dan politik yang terjadi. Memetik perkataan Marcus (dalam
Annuar, 2016, hlm. 3) bahwa musik Punk menjadi suara baru yang belum pernah
terjadi sebelumnya dalam geopolitik budaya populer saat ini. Punk seakan-akan
bersifat alami, tidak biasa dan tidak dapat dihilangkan atau di ubah sehingga akan
terus berkembang. Punk juga menghasilkan kultur yang unik di seluruh dunia
termasuk Indonesia dan pada dasarnya Punk berfokus pada kritik politik dan anti
status quo.

2
Sayangnya, sejak dulu fenomena Punk di Indonesia selalu dihadapkan
dengan masalah bahwa anak-anak Punk tidak lebih dari sekadar sampah
masyarakat. Gaya hidup mereka yang cenderung menyimpang seringkali
dikaitkan dengan perilaku anarkis, brutal, bikin onar, mabuk-mabukan, narkoba,
sex bebas dan bertindak sesuai keinginannya sendiri mengakibatkan pandangan
masyarakat terhadap anak Punk hanyalah sekumpulan berandal yang tidak
mempunyai masa depan jelas. Ditambah lagi dengan tindakan kriminal yang
belakangan ini mulai banyak dilakukan anak Punk mulai dari penjambretan dan
pencurian. Tetapi, dari beberapa kejadian yang terjadi di masyarakat merupakan
perilaku oknum inidvidu atau sekelompok individu dimana individu tersebut
mengikuti Punk hanya sebatas style atau hanya sekedar menggunakan atribut
Punk tanpa tau arti atau makna Punk sebenarnya. Sekumpulan individu tersebut
bisa juga disebut poseur. Mengenai poseur sendiri Nurbayani dan Arman (2016
hlm. 1-2) menyebutkan bahwa “Poseur adalah seseorang yang baru terjun keranah
musik underground, masih awam terhadap kultur underground sehingga para
poseur membutuhkan bimbingan dari para senior sence musik underground yang
mereka ikuti agar tau tentang kode etik dan ideologi sence musik underground
tersebut”. Dari kutipan tersebut dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya yang
membuat pandangan negatif terhadap suatu sence underground adalah para
poseur, termasuk yang terjadi pada salah satu scane underground yaitu Punk.
Menurut Nursyahidah (2016) poseur merupakan sekumpulan orang yang tertarik
dengan Punk hanya dalam hal fashion dan musiknya saja, namun tidak paham
dengan makna Punk itu sendiri dan tidak pintar untuk menjaga sikap sehingga
stigma negatif dari masyarakat melekat padanya. Kebanyakan di negara barat
sendiri mengartikan poseur sebagai orang yang tertarik dengan pergerakan Punk
namun bukan seorang anggota Punk. Sama halnya dengan apa yang dikatakan
Pradja (2015) bahwasannya:
Bergaya Punk memang secara instan bisa membuat seseorang terlihat
seperti pemebrontak keren, sekalipun seseorang tersebut merupaka anak
baik-baik yang selalu cium tangan orangtua sebelum keluar rumah ataupun
seseorang tersebut merupakan seorang pengedar narkoba bahkan
pembunuh berdarah dingin sekalipun. Tapi, kenyataan ini membuat gerah
para anak Punk asli yang menganggap Punk bukan hanya sekedar musik
atau gaya berpakaian saja, melainkan juga ideologi hidup mereka. Dari

3
sini muncul istilah poseur untuk menyebut para anak Punk jadi-jadian.
(hlm. 23)

Baren (1989) mengatakan pula bahwa:


Ada banyak kritik dari anggota Punk ‘asli’ tentang ‘orang luar’ yang
disebut sebagai ‘poseur’, yang hanya mengadopsi gaya Punk. Poseur
dikritik karena mengadopsi gaya Punk tanpa mengadopsi sikap, gaya
hidup dan ideologi yang menyertainya. Poseur-poseur dipandang
mengadopsi gaya karena alasan status sosial daripada komitmen sebagai
‘sesungguhnya’ Punk dan ini mengganggu anggota Punk ‘sesungguhnya’.
Hal tersebut dikarenakan orang awam yang melihat Punk akan selalu
beranggapan negatif tentang Punk. (hlm. 308)

Berita-berita yang bemunculan di media mengenai Punk juga ikut andil


dalam penyebaran stigma negatif terhadap komunitas Punk di indonesia yang di
akibatkan oleh perilaku para poseur. Pandangan negatif terhadap komunitas Punk
ini pun tidak hanya ada dalam kalangan masyarakat awam dan media saja,
malahan ia turut menjangkit dunia akademik. Pandangan masyarakat, media, dan
ahli akademik terhadap kelompok-kelompok atau komunitas Punk tersebut sudah
membentuk opini bahwasannya komunitas Punk membawa dampak negatif dan
sebagai bentuk penyakit sosial kepada masyarakat. Tidak salah jika kebanyakan
masyarakat menganggap mereka suatu kelompok masyarakat yang tidak pantas
untuk ditiru. Karena Punk dan simbol-simbol yang mereka gunakan jika dilihat
sekilas memang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang diterapkan masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat selalu melabeli Punkers sebuah kelompok masyarakat
yang menyimpang. Walaupun Punk sendiri sudah mencoba melakukan
pembuktian dalam bentuk lagu yang dirasa sudah cukup jelas sebagai media untuk
melakukan protes tentang kondisi sosial yang terjadi di masyarakat sebagai bentuk
kepedulian mereka terhadap masyarakat, terlepas dari lirik yang merekaciptakan
memang terdengar kurang bagus untuk masyarakat tetap sajalabel yang sudah
terlanjur mereka dapatkan sebagai kelompok masyarakat yang negatif membuat
Punk memang tidak mudah untuk diterima oleh masyarakat awam.
Kembali lagi kepada prinsip Punk untuk menolak kemapanan. Kemapanan
disini menurut Punk akan berdampak buruk bagi masyarakat. Karena, dengan
kemapanan yang diperoleh oleh masyarakat akan menciptakan suatu hak untuk
menguasai sebagai akibat dari sistem kapitalis yang ada di dalamnya. Sehingga

4
masyarakat mapan tersebut seakan mempunyai kemampuan dalam menentukan
nasib masyarakat lain yang lebih rendah yang mengakibatkan masyarakat kelas
bawah tidak mempunyai kebebasan dalam berpikir dan berbicara mengenai
permasalahan dan kesulitan mereka. Perilaku yang dijalankan Punkers ini
merupakan upaya pemaknaan atau pandangan hidup yang mereka anut
(Herdiansyah, 2011, hlm. 3).
Dengan demikian, Punk disini mencoba untuk memberi tahu masyarakat
agar mereka melihat kebenaran yang tidak terlihat. Karena, Punk sendiri
memandang kemapanan merupakan sesuatu yang cukup membahayakan bagi
perkembangan Punk sendiri. Hal tersebut dikarenakan dalam kemapanan
membuat Punk mengalami ketidakbebasan dalam berpikir. Sehingga anti
kemapanan disini dimaknai oleh Punkers sebagai upaya mencapai sebuah
kemapanan dengan kebebasan dalam berpikir.
Dari pemaparan diatas prinsip atau etos, gaya hidup, dan juga hal-hal yang
menyangkut Punk memang sangat sulit diterima oleh masyarakat. Punk memang
sebuah kelompok masyarakat yang sangat keras. Mereka beranggapan jika
semuanya dapat mereka raih dengan cara mereka sendiri tanpa perlu bantuan
banyak pihak, karena itu justru akan semakin membatasi pola pemikiran mereka
dan bertolak belakang dengan semangat etos mereka. Anggapan jika mereka
sebagai kelompok masyarakat yang marjinal memang tak salah adanya jika kita
melihat penerimaan masyarakat mengenai identitas dan gaya hidup yang mereka
tunjukkan sangatlah bertolak belakang dengan norma ataupun nilai pada
umumnya. Namun, ada beberapa komunitas Punk yang masih ingin mencoba
dianggap seimbang (subaltern).
Sulitnya mereka untuk mendapat ruang publik memaksa mereka terkadang
sampai berbuat anarki karena ketidakadilan yang mereka peroleh.Dari aksi
anarkisme tersebut akhirnya semakin mempertegas jika Punkers ini sebuah
kelompok masyarakat yang harus dijauhi oleh semua kalangan masyarakat.
Barker (2011) menjelaskan, perilaku para pemuda yang dirasa menganggu
kepentingan masyarakat, bukanlah merupakan hal yang bersifat patologis,
melainkan dianggap sebagai solusi praktis yang bersifat kolektif terhadap suatu

5
permasalahan yang muncul karena hal yang bersifat struktural, dalam hal ini
adalah masyarakat.
Pandangan buruk terhadap komunitas Punk sudah sangat melekat dalam
masyarakat, tetapi kenyataanya Punk yang sebenarnya memahami arti dari Punk
tidak seperti yang digambarkan di atas. Contohnya saja komunitas Punk Muslim
di daerah Pulogadung Jakarta Timur yang diteliti oleh Felita (2015). Kata Muslim
yang digunakan dalam nama komunitas Punk Muslim bukan tanpa alasan, sejak
berdirinya komunitas Punk Muslim, komunitas ini berkomitmen akan membawa
Islam sebagai jalur dalam segala kegiataannya. Mereka sering melakukan kegiatan
sehari-hari seperti, menggelar pengajian rutin di markas mereka untuk menambah
ilmu mereka tentang agama, mereka juga tidak lupa menjalan shalat 5 waktu
bahkan pada saat bulan ramadhan mereka menjalankan ibadah puasa,
mengadakan shalat tarawih bersama dan mengadakan pesantren untuk anak-anak
Punk maupun anak jalanan. Komunitas Punk Muslim ini juga menyalurkan
aspirasi mereka lewat sebuah band Punk Muslim yang sudah terbentuk terlebih
dahulu, sampai saat ini mereka sudah mengeluarkan dua album Punk yang
memadukan aliran musik Punk dengan syair-syair religi.
Komunitas Punk Yogyakarta yang dipandang negatif oleh masyarakat
sekitar karena perilaku-perilaku negatif sebagian anggotanya, seperti mabuk-
mabukan, ngelem, meminum minuman keras dan mengkonsumsi obat-obatan
tidak membuat anggota lainnya bahkan anggota yang terlibat langsung dengan
perilaku negatif tersebut untuk tidak melakukan hal positif. Seperti halnya
menurut Kirana (2016), komunitas Punk di Yogyakarta ini melakukan beberapa
upaya untuk mengubah persepsi masyarakat yang memandangnya negatif dengan
melakukan kegiatan-kegiatan positif seperti, bergotong royong turut membantu
membersihkan parit, membantu karang taruna setempat saat mengadakan acara
Agustusan, bahkan turut serta membantu masyarakat setempat dalam
memperingati bulan Ramadhan dengan berkeliling membagikan makanan dan
minuman kepada warga dan anak jalanan lainnya.
Menurut Sugiyati (2014) pada komunitas Punk di Tangerang pun
memunculkan pandangan negatif di kalangan masyarakat setempat. Namun,
karena adanya upaya yang komunitas Punk terebut lakukan seperti, gotong royong

6
dan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan sekitar bersama masyarakat
setempat akhirnya masyarakat mulai menerima dan memandang bahwa komunitas
Punk tersebut memang memiliki prinsip dan perilaku yang positif dibalik sisi
penampilan mereka yang urakan.
Hal serupa diatas pun dilakukan oleh salah satu komunitas yang akan
peneliti teliti yaitu Komunitas Punk Taring Babi, dimana komunitas ini mencoba
untuk membaur dan melebur dengan masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar
dapat membentuk sebuah komunitas Punk yang tidak lagi bersebrangan dengan
masyarakat dan menjaga keberlangsungan komunitas mereka. Dikutip dari sebuah
situs di internet yang di tulis oleh Bustami (2013) “Pada awal mereka
memutuskan untuk melebur bersama masyarakat, tidaklah mudah. Segala gerak-
gerik mereka selalu diperhatikan dan masyarakat menatap penuh curiga kepada
mereka. Namun, mereka tetap berusaha untuk tersenyum, menyapa dengan suara
yang dipelankan bahkan ikut dalam kegiatan kerja bakti di lingkungan kampung.
Usaha Marjinal Taring Babi untuk hidup dan berdikari ini membuat masyarakat
sekitar menghargai dan dapat menerima hidup berdampingan dengan mereka.
Bahkan, suatu kali mereka tak bisa bayar kontrakan, masyarakat sekitar turut
membantu dengan membeli berbagai kerajinan yang mereka jual. Sehingga setiap
kali ada kegiatan di kampung, warga selalu mengikut sertakan komunitas ini”.
Hubungan harmonis yang terjadi anatar komunitas Marjinal Taring Babi dan
masyarakat setempat menandakan adanya perubahan sosial yakni bahwa
hubungan antar-masyarakat tidak lagi hanya dimaknai dengan simbol-simbol
material. Mereka memiliki warna sendiri yang turut serta membaur menjadi
warna-warni indah bersama masyarakat. Taring Babi sendiri memiliki kegiatan-
kegiatan positif seperti menyablon kaos, menggambar, melukis, membuat
kerajinan dari barang bekas, membuat cukil kayu, membuat lagu dan merekamnya
sendiri, usaha pembuatan tattoo, dsb. Kegiatan-kegiatan tersebut untuk menunjang
keberlangsungan hidup komunitas Taring Babi dimana kegiatan tersebut dapat
menghasilkan uang yang dimaksudkan agar dapat berdiri sendiri tidak tergantung
kepada orang lain dan tidak untuk minta-minta kepada orang lain. Dalam kegiatan
menyablon mereka membuat baju sendiri dan menyablonya sendiri sebagai
merchandise komunitas mereka dan mereka jual agar menghasilakn uang sendiri.

7
Tidak jauh berbeda dari kegiatan cukil kayu dimana mereka membuat pola di atas
sebuah papan yang di cukil oleh sebuah pisau khusus kemudia hasil dari cukil
kayu itu ada yang di buat untuk membuat poster dengan cara gambar dari hasil
cukil kayu di lumuri tinta lalu di tekankan pada sebuah kertas khusus poster untuk
di cetak, adapun dari hasil cukil kayu jadi lalu di jual. Mendaur ulang barang
bekas menjadi sebuah kerajinan tangan pun tidak jauh berbeda dari ketiagan-
kegiatan sebelumnya, kerajinan tangan ini di harapkan dapat bernilai ekonomi
untuk kebelsangsungan komunitas punk Taring Babi sendiri sama seperti.
Komunitas Taring Babi pun belajar hidup bersih dari komunitas punk di
Jepang setelah melakukan tour di Jepang dalam bidang music, karena pada
dasarnya komunitas punk Taring Babi pun memiliki band yang bernama Marjinal.
Di kutip darri antaranews.com (2014)

Asbak dan ceceran abu rokok yang biasanya menjadi bagian ruang tamu
rumah komunitas itu sekarang juga sudah tidak ada. Ubinnya pun putih
mengkilap, tanpa sampah. Di sudut ruangan tergantung sapu ijuk dan kain
pel dari kaus bekas. Dinding rumah komunitas yang setahun lalu disesaki
coretan, tulisan, lukisan, dan poster sekarang sebagian sudah dicat biru
langit, dan sisanya sedang menunggu polesan warna lain. Tempelan stiker
dengan macam-macam tulisan juga tak ada lagi di pintu kayu rumah dua
lantai di Jalan M Kahfi 2, Jagakarsa, Jakarta Selatan itu.
Dari kutipan di atas pun terlihat bahwa komunitas ini melakukan sebuah upaya
positif akan lingkungan rumah di mana mereka tinggal dengan berusaha hidup
bersih. Selain itu mereka pun mencoba meninggalkan kebiasaan untuk
mengkonsimsi minuman-minuman berlakohol salah satu langkah hidup positif,
hal itu dibawa oleh seorang punk yang berasal dari Prancis yang sedang
berkunjung ke komunitas Taring Babi. Dari hasil observasi awal peneliti terlihat
bahwa komunitas ini membatasi anggotanya untuk merokok, komunitas juga
membersihkan rumah, toilet, melepaskan stiker di pintu dan jendela, mengecat
ulang tembok, menyediakan tiga tempat sampah permanen yang terbuat dari besi
berdiameter satu meter, serta melancarkan saluran pembuangan air limbah rumah
tangga. Komunitas tidak memberikan hukuman kepada anggota yang melanggar
karena menjaga kebersihan tempat tinggal merupakan komitmen mereka untuk
hidup sehat. Menurut Jerome Kinzel, gitaris band punk Hobo Erectus dari Prancis
yang sedang berkunjung ke komunitas taring babi, mengatakan penerapan gaya

8
hidup bersih dan sehat dalam komunitas punk merupakan langkah maju untuk
mengurangi keborosan akibat kecanduan rokok, obat dan alkohol. Dikutip dari
antaranews.com (2014)

"Gagasan yang brilian bagi individu punk yang memutuskan untuk hidup
sehat karena beberapa puluh tahun mendatang mungkin punk bisa hilang
jika sebagian pemudanya semakin konsumtif membeli rokok, bir, dan
melakukan gaya hidup tidak sehat," ujar Jerome, yang sudah mengunjungi
banyak komunitas punk di Eropa dan Asia.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi interaksi sosial


antara komunitas Punk Taring Babi dengan masyarakat. Interaksi sosial itu
merupakan salah satu cara individu untuk memelihara tingkah laku sosial individu
tersebut sehingga individu tetap dapat bertingkah laku sosial dengan individu
lainnya. Interaksi sosial yang tercipta antara komunitas Punk dengan masyarakat
tidak terlepas dari adanya kebutuhan akan kebutuhan dasar. Dalam hierarki
kebutuhan dasar sendiri terdiri dari beberapat tahapan kebutuhan dalam pencapai
dalam kehidupan dan kebutuhan tertinggi adalah aktualisasi. Seperti yang
dikatakan Maslow (dalam Hamzah, 2009, hlm. 41) bahwa kebutuhan dasar
mencakup “(1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan akan rasa aman dan
keselamatan, (3) kebutuhan akan kasih sayang, (4) kebutuhan penghargaan dan
pengakuan, dan (5) kebutuhan aktualisasi. Kebutuhan aktualisasi meliputi
kebutuhan memenuhi keberadaan diri dengan memaksimumkan penggunaaan
kemampuan dan potensi diri”. Dengan kata lain aktualisasi merupakan keinginan
seseorang untuk menggunakan semua kemampuan dirinya untuk mencapai
apapun yang mereka mau dan bisa dilakukan. Aktualisasi pun berkaitan dengan
penerimaan sosisal seperti yang dikatakan Keyes (1995) “Penerimaan sosial yaitu
sejauh mana seseorang atau kelompok biasanya memegang dan menunjukkan
perilaku positif bagi orang lain”. Sehingga bisa dilihat bahwa disini komunitas
punk ingin melakukan aktualisasi diri di masyarakat dengan melakukan perilaku
positif. Perilaku positif disini berkaitan langsung juga dalam pencapaian
aktualiasi, komunitas punk sendiri harus melakukan proses sosial dimana
didalamnya terdapat sebuah tindakan sosial. Weber (1964, hlm. 88) menyatakan
bahwa “Tindakan sosial merupakan suatu tindakan individu yang diarahkan

9
kepada orang lain dan memiliki arti baik bagi diri sendiri maupun bagi orang
lain…”

Berdasarkan pemaparan di atas, paham Punk yang sebenarnya dengan


pandangan masyarakat terdapat kesalahan pahaman yang timbul akibat
kecenderungan untuk melihat subbudaya mereka dalam aspek musik, gaya hidup,
dan pakaian saja dengan mengabaikan ide-ide tersirat dan implisit yang ada
dibaliknya. Stigma tentang Punk sebagai musik dan fashion yang jelek seakan-
akan menjadi dogma di masyarakat yang mengakibatkan tindakan politik dan
kepedulian mereka terhadap masyarakat dalam budaya Punk diabaikan. Bahkan,
para ilmuan di negara ini telah menutup mata pada kenyataan bahwa Punk terbagi
kepada musik, gaya hidup dan prinsip. Pada saat yang bersamaan, masyarakat
bergantung sepenuhnya kepada media dan ahli-ahli akademik untuk mendapatkan
informasi. Mereka telah menyimpulkan hanya berdasarkan pengamatan semata
saja terhadap pengikut-pengikut Punk yang tidak memahami makna Punk
sesungguhnya yang dikenal sebagai poseur. Kesalahpahaman ini telah
menampikan sumbangan dan partisipasi politik maupun sosial yang dilakukan
oleh komunitas Punk untuk masyarakat.
Saat ini topik mengenai Punk pun sudah menjadi ulasan bagi beberapa
peneliti, seperti Rahmat (2012) yang meneliti mengenai pola komunikasi
komunitas Punk di Kota Surakarta. Pada penelitian tersebut Rahmat (2012)
mengungkap bagaimana pola komunikasi yang dilakukan oleh para anggota
komunitas Punk di Kota Surakarta dengan sesama komunitas Punk di Kota
Surakarta maupun di luar daerah. Tak hanya Rahmat (2012), adapula Triputra
(2014) yang mengkaji mengenai bagaimana persepsi komunitas Punk Taring Babi
terhadap pendidikan masa kini. Pada penelitian ini, komunitas Punk Taring Babi
meluapkan kekecewaan terhadap lembaga maupun sistem pendidikan saat ini.
Pada dasarnya pendidikan sangatlah penting sangatlah penting bagi mereka, hanya
saja karena biaya yang dibutuhkan terlampau tinggi sehingga mereka tak mampu
mengenyam bangku sekolah dan memilih untuk menjadi anggota komunitas Punk
yang memaknai pendidikan sebagai upaya manusia bertahan hidup dan berkarya.
Marbun (2010) pun mengkaji mengenai masalah Punk di masyarakat,
yaitu mengenai tanggapan masyarakat terhadap perilaku budaya anak Punk di

10
Kota Medan. Marbun (2010) mengungkap bahwasannya masyarakat memandang
negatif anak Punk yang berpenampilan dan berpakaian tidak semestinya atau tidak
sesuai dengan penamapilan pada umumnya. Mereka mengganggap bahwa
penampilan dan gaya berpakaian anak Punk kurang menarik. Namun, masyarakat
masih beranggapan bahwa dalam konteks komunikasi yang terjalin antara anak
komunitas Punk dan masyarakat di daerahnya masih dalam konteks yang wajar
walaupun mereka lebih tertutup dalam menyampaikan informasi. Ahmad (2013)
turut serta mengungkapkan bahwasannya terdapat interaksi simbolik yang terjadi
antar komunitas Punk di Alun-alun Karanganyar seperti persamaan politik, aliran
Punk, ideologi Punk, fashion dan proses menjadi Punk. Sedangkan, Indaryanto
(2011) mengungkapkan bahwa komunitas Punk di Jakarta Selatan rentan dengan
penyakit masyarakat, seperti mabuk-mabukan, seks bebas, pelacuran,
mengkonsumsi obat-obatan terlarang hingga keributan yang berakiabt fatal.
Komunitas Punk di Jakarta Selatan ini pun turut berkontribusi dalam penyakit
masyarakat tersebut yang disebabkan oleh sikap masyarakat yang menolak
keberadaan mereka karena stigma negatif yang melekat pada masyarakat sekitar
berkenaan dengan Punk.
Permasalahan ini merupakan sebab utama yang mendasari ketertarikan
peneliti untuk meneliti mengenai komunitas Punk Taring Babi dalam segi
aktualisasi sosial yang mereka lakukan dalam pencapaian untuk mengubah stigma
negatif di masyarakat. Dengan ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “AKTUALISASI SOSIAL KOMUNITAS PUNK DALAM
MENGUBAH STIGMA NEGATIF DI MASYARAKAT” (Studi kasus terhadap
Komunitas Taring Babi di Jakarta).

C. Rumusan Masalah
Penelitian yang baik adalah penelitian yang terfokus dan terarah sehingga
fokus masalah penelitian ini penulis jabarkan dalam sub-sub masalah sebagai
berikut:
1. Upaya apa saja yang dilakukan komunitas Punk Taring Babi untuk
mencapai aktualisasi sosial dalam mengubah stigma negatif masyarakat?

11
2. Bagaimana bentuk aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi yang di
masyarakat Kota Jakarta?
3. Bagaimana respon dan pandangan masyarakat atas upaya yang dilakukan
komunitas Punk Taring Babi untuk mencapai aktualisasi sosial serta
setelah melakukan aktualisasi sosial dalam kehidupan bermayarakat?
4. Bagaimana dampak yang dirasakan masyarakat sekitar dan komunitas
Punk Taring Babi setelah melakukan aktualisasi sosial ?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Aktualisasi Sosial Komunitas
Punk Dalam Mengubah Stigma Negatif di Masyarakat. Adapun yang menjadi
tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :
1. Mendeskripsikan upaya yang dilakukan komunitas Punk Taring Babi
untuk mencapai aktualisasi sosial dalam mengubah stigma negatif
masyarakat.
2. Mendeskripsikan bagaimana bentuk aktualisasi sosial komunitas Punk
Taring Babi yang di masyarakat Kota Jakarta.
3. Mendeskripsikan respon dan pandangan masyarakat atas upaya yang
dilakukan komunitas Punk Taring Babi untuk mencapai aktualisasi sosial
serta stelah melakukan aktualisasi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.
4. Mendeskripsikan bagaimana dampak yang dirasakan masyarakat sekitar
dan komunitas Taring Babi setelah melakukan aktualisasi sosial.
E. Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini diharapkan berguna secara teoretis maupun
secara praktis.
1. Secara Teoretis
Secara teoritis hubungan dari hasil penelitian ini adalah dapat memperluas
wawasan serta bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan dalam
keilmuan Sosiologi. Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini dapat
memberikan gambaran nyata mengenai aktualisasi sosial komunitas Punk selaku
salah satu komunitas sosial yang ada di lingkungan masyarakat sehingga hasil dari
penelitian ini dapat diaplikasikan untuk ilmu sosiologi dan bermanfaat secara

12
sempurna, serta diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya di
masa yang akan datang.

2. Secara Praktis
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
berbagai pihak yang berhubungan dengan bidang Sosiologi maupun Punk seperti:
1. Bagi peneliti mengangkat permasalahan mengenai aktualisasi sosial
komunitas Punk di masyarakat diharapkan dapat memperkaya wahana
konsep keilmuan sosiologi.
2. Bagi komunitas Punk, sebagai bahan gambaran dan rangsangan bagi
komunitas Punk lainnya atas upaya membangun pandangan positif di
masyarakat lewat aktualisasi sosial komunitas Punk di masyarakat.
3. Bagi Prodi Pendidikan Sosiologi, sebagai media informasi dan penambah
ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi referensi dan acuan dalam
pematerian dan penelitian lebih lanjut.
4. Bagi masyarakat, sebagai upaya memberikan pemahaman terhadap
masyarakat akan komunitas Punk agar tidak memandang satu sisi suatu
komunitas dan dapat membangun pandangan positif terhadap suatu
komunitas.

F. Alur Pikir

HUBUNGAN KOMUNITAS
STIGMA
SOSIAL PUNK

AKTUALISASI
MASYARAKAT SOSIAL

TINDAKAN
SOSIAL

13
Berangkat dari stigma peneliti sendiri melihat bahwasanya setigma negatif
yang terjadi di masyarakat tentang komunitas punk tercipta dari proses hubungan
sosial antara komunitas punk dan masyarakat itu sendiri. Dari terciptanya stigma
negatif komunitas punk berusaha melakukan aktualisasi sosial guna merubah
stigma negatif atau membangun pandangan positif akan komunitas punk itu
sendiri dengan cara melakukan tindakan sosial. setelah itu semua sudah dilakukan
maka dikembalikan lagi ke masyarakat untuk melinai sendiri.
Berdasarkan pemaparan di atas awal peneliti ingin mengetahui mengenai
hubungan sosial yang terjadi di masyarakat mengapa bisa terdaji sebua stigma
atau lebeling terhadap komunitas punk. Setelah di ketahui kemudian peneliti akan
meneliti terhadap aktualisasi seperti apa yang ingin dicapai oleh komunitas punk
itu sendiri lewat tindakan sosial yang dilakukan komunitas punk di sinilah peneliti
akan mengkaji lebih dalam mengenai tindakan sosial yang dilakukan guna
mencapai aktualisasi yang di inginkan. Lalu peneliti akan melihat dan meneliti ke
masyarakat bagaimana dampak dan respon serta tanggapan masyarakat setelah
komunitas punk melakukan usaha tindakan sosial tersebut.

G. Kajian Pustaka

1. Teori Hubungan Sosial

Menurut Susanto (dalam Murdiyatmoko, 2007) mengatakan bahwa


hubungan sosial itu yaitu:

...Hubungan antarmanusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh


mempengaruhi yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya
memungkinkan pembentukan struktur sosial. Hasil interaksi sangat
ditentukan oleh nilai dan arti serta interpretasi yang diberikan oleh pihak-
pihak yang terlibat dalam interaksi tersebut. (hlm. 69)
Sedangkan, menurut Gillin (dalam Soekanto, 1990, hlm. 67) menyatakan
bahwa, “interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-
kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia”.

Jadi, hubungan sosial biasa disebut sebagai interaksi sosial yaitu hubungan
antar masyarakat yang saling mempengaruhi yang mencakup hubungan antar

14
individu, hubungan antar individu dan kelompok, serta hubungan antar kelompok.
Mengetahui tentang interaksi sosial berguna untuk mengamati, memperhatikan
dan mempelajari banyak masalah-masalah yang terjadi di dalam masyarakat.
Misalnya bentuk interaksi sosial antara suku, antara agama, antara kelompok
minoritas, mayoritas dan kelompok kepentingan dengan segala akibat-akibatnya.
Oleh karena itu interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial,
tanpa interaksi sosial tak akan mungkin adanya kehidupan bersama. Sesuai juga
dengan masalah yang akan di teliti dimana di dalamnya di dasari oleh hubungan
sosial karena adanya kebutuhan dasar untuk mencapai aktualisasi.

a. Jenis Hubungan Sosial

Menurut Gillin (dalam Murdiyatmoko, 2009, hlm. 69) jenis hubungan


sosial adalah hubungan dalam interaksi sosial yang dapat terjadi antar individu,
antara individu dan kelompok maupun antar kelompok, yaitu sebagai berikut:

a. Hubungan antara Individu dan Individu


b. Hubungan antara Individu dan Kelompok
c. Hubungan antara Kelompok dan Kelompok
Hubungan ini menunjukkan bahwa kepentingan individu dalam kelompok
merupakan satu kesatuan, berhubungan dengan kelompok lain. (hlm. 69)
Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat diketahui bahwa jenis
hubungan sosial yaitu mencakup hubungan individu dengan individu, individu
dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Jika dilihat dari masalah
penelitian yang terjadi adalah hubungan antara kelompok dengan kelompok yaitu
antara kelompok komunitas Taring Babi dan kelompok msyarakat dimana dimana
di dalamnya kepentingan setiap individu dalam kelompok untuk mencapai
aktualisasi sosisal di masyarakat sebgai kelompok lain.

b. Faktor Terjadinya Hubungan Sosial

Menurut Soekanto (1990) berlangsungnya suatu proses hubungan sosial


didasari oleh faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi, simpati dan empati.
Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun
dalam keadaan yang bergabung. Adapun faktor terjadinya hubungan sosial adalah
sebagai berikut:

15
a.Faktor Imitasi, yaitu proses menirukan nilai dan norma perilaku orang/
kelompok lain. Imitasi tersebut sangat penting dalam interkasi sosial dapat
mendorong orang memenuhi nilai dan norma yang berlaku.
b. Faktor Sugesti, yaitu faktor yang berlangsung jika seseorang
memberi suatu pandangan yang berasal dari dirinya yang kemudian
diterima oleh pihak lain secara tidak rasional.
c.Faktor Identifikasi, yaitu kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam
diri seseorang untuk menyamakan dirinya dengan pihak lain. Identifikasi
bersifat lebih mendalam daripada imitasi dan sugesti. Proses identifikasi
dapat berlangsung dengan sendirinya ataupun dengan disengaja.
d. Faktor Simpati, yaitu proses dimana seseorang merasa tertarik
kepada pihak lain. Pada proses ini perasaan seseorang memegang peranan
yang sangat penting. Proses simpati akan dapat berkembang jika terdapat
saling pengertian pada kedua belah pihak.
e.Faktor Empati, yakni gejala kejiwaan tetapi diiringi dengan perasaan
prganisme tubuh yang sangat dalam sehingga seseorang tersebut turut
merasakan penderitaan orang atau sekelompok orang lainnya yang terkena
musibah. (hlm.70-71)
Berdasarkan pembahasan di atas, dimana komunitas Punk ini mungkin
akan melalui ke empat faktor tersebut dimana pertama komunitas Punk ini harus
melakukan imitasi yang mana mereka harus menirukan nilai dan norma yang ada
di masyarakat untuk beradptasi. Kemudian, sugesti dimana komunitas Punk ini
melakukan hal yang positif agar terciptanya sugesti pandangan positif pada
masyarakat, ketiga komunitas dari hal sugesti tersebut diharapkan dapat
menciptaan suatu simpati yang mungkin juga timbul rasa empati dimana yang
akhirnya komunitas Punk dam masyarakat berkesinambungan dan tidak
bersebrangan lagi.

c. Syarat Terjadinya Hubungan Sosial

Menurut Gillin (dalam Mursiyatmoko, 2009, hlm. 72-74) syarat-dyarat


terjadinya hubungan sosial adalah adanya kontak sosial (social contact) dan
komunikasi (communication), yaitu sebagai berikut:

a. Kontak Sosial (social contact), yaitu lebih merujuk pada suatu


hubungan sosial yang bersifat langsung, seperti sentuhan, percakapan,
maupun tatap muka.
b. Komunikasi (communication), yaitu terjadi setelah kontak sosial
berlangsung.. (hlm. 72-74)

16
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa syarat
terjadinya hubungan sosial adalah adanya kontak dan komunikasi. Manakala
diantara kedua syarat tersebut tidak ada, maka hubungan sosial tidak akan terjadi.

d. Proses Hubungan Sosial

1) Proses Hubungan Sosial Asosiatif

Menurut Gillin (dalam Soekanto, 1990) proses hubungan sosial asosiatif


adalah proses hubungan/ interaksi yang menimbulkan efek dan dampak yang
cenderung menyatukan masyarakat. Adapun macam-macam bentuk hubungan
sosial asosiatif sebagai berikut:

1) Kerjasama, yaitu suatu usaha bersama antar perorangan atau kelompok


manusia untuk mencapai tujuan bersama.
2) Akomodasi, yaitu upaya untuk mencapai penyelesaian dari suatu
pertikaian/ konflik oleh pihak-pihak yang bertikai dan mengarah pada
kondisi atau keadaan selesainya suatu konflik/ pertikaian tersebut.
3) Asimilasi, yaitu keadaan dua unsur budaya yang berstu dan
menghasilkan budaya baru serta tidak lagi mencirikan sifat dua
kebudayaan tersebut.
4) Akulturasi, yaitu keadaan dua unsur budaya yang bersatu dan tetap
mencirikan dua sifat asli dari dua kebudayaan tersebut. (hlm. 77-78)
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa bentuk hubungan
sosial asosiatif adalah bentuk interkasi yang akan menyatukan masyarakat dengan
adanya kerjasama yaitu usaha bersama antar perorangan atau kelompok,
akomodasi yaitu upaya penyelesaian dari konflik, asimilasi yaitu dua unsur
budaya yang bersatu dan menghasilkan budaya baru tanpa mencirikan kedua
budaya sebelumnya dan akulturasi yaitu keadaan dimana dua budaya bersatu dan
tetap memperlihatkan kedua ciri tersebut. Dalam penelitian ini proses inilah yang
mungking akan di capai dan terjadi antara komunitas Punk dan masyarakat kerena
bersifat positif.

2) Proses Hubungan Sosial Disosiatif

Proses hubungan sosial disosiatif menurut Gillin (dalam Soekanto, 1990)


adalah proses hubungan/ interaksi yang menimbulkan efek dan dampak yang
cenderung memecah belah masyarakat. Adapun macam-macam bentuk hubungan
sosial disosiatif sebagai berikut:

17
a) Persaingan, yaitu suatu proses sosial ketika orang perorangan atau
kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui
bidang-bidang kehidupan pada suatu masa tertentu menjadi pusat
perhatian, tanpa menggunakan ancaman maupun kekerasan. Contohnhya
seperti persaingan pedangan di pasar, persaingan dalam merebut menjadi
juara umum di sekolah, dan lain sebagainya.
b) Kontravensi, yaitu suatu proses sosial yang berada antara persaingan
dan konflik. Ditandai dengan adanya suatu rencana atau perasaan tidak
suka yang disembunyikan, kebencian dan keraguan terhadap kepribadian
seseorang. Contohnya seperti mencerca, memfitnah, tuduhan negatif, dan
lain sebagainya.
c) Pertentangan/ konflik, yaitu proses sosial ketika individu atau
kelompok berusaha memenuhi keinginannya disertai dengan adanya
ancaman dan kekerasan. Contohnya seperti tawuran pelajar, perang, unjuk
rasa anarki, dan lain sebagainya. (hlm. 77-78)
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diketahui bahwa bentuk
hubungan sosial disosiatif adalah bentuk hubungan/ interaksi yang menyebabkan
adaya perpecahan dalam masyarakat karena adanya persaingan yaitu usaha untuk
memperebutkan sesuatu tanpa ada usaha menghancurkan pihak lawan,
kontravensi yaitu proses sosial yang berada diantara persaingan dan konflik serta
dikarenakan adanya pertentangan/ konflik yaitu usaha untuk menghancurkan
pihak lain dengan menggunakan ancaman dan kekerasan untuk memenuhi
keinginan pribadi.

2. Aktualisasi

Kebutuhan dasar Abraham Maslow didasarkan pada anggapan bahwa pada


waktu seseorang telah memuaskan satu tingkat kebutuhan tertentu, mereka ingin
bergeser ke tingkat yang lebih tinggi. Maslow (dalam Hamzah, 2009, hlm. 41)
mengemukakan lima tingkatan kebutuhan yaitu 1). Kebutuhan Fisiologis, 2).
Kebutuhan akan Rasa Aman, 3). Kebutuhan akan Kasih Sayang atau Kebutuhan
Sosial 4). Kebutuhan akan Penghargaan dan Pengakuan, 5). Kebutuhan akan
Aktualisasi Diri.
Aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah pada manusia untuk melakukan
yang terbaik dari yang dia bisa. Maslow dalam (Arinato, 2009), menyatakan
aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat
dan potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh
pengalaman dan oleh belajar khususnya dalam masa anak-anak. Aktualisasi diri

18
akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai
usia tertentu (adolensi) seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari
fisiologis ke psikologis.

Menurut konsep Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow, manusia didorong


oleh kebutuhan-kebutuhan universal dan dibawa sejak lahir. Kebutuhan ini
tersusun dalam tingkatan-tingkatan dari yang terendah sampai tertinggi.
Kebutuhan paling rendah dan paling kuat harus dipuaskan terlebih dahulu
sebelum muncul kebutuhan tingkat selanjutnya. Kebutuhan paling tertinggi dalam
hirarki kebutuhan individu Abraham Maslow adalah aktualisasi diri. Aktualisasi
diri sangat penting dan merupakan harga mati apabila ingin mencapai kesuksesan.
Aktualisasi diri adalah tahap pencapaian oleh seorang manusia terhadap apa yang
mulai disadarinya ada dalam dirinya. Semua manusia akan mengalami fase itu,
hanya saja sebagian dari manusia terjebak pada nilai-nilai atau ukuran- ukuran
pencapaian dari tiap tahap yang dikemukakan Maslow. Andai saja seorang
manusia bisa cepat melampaui tiap tahapan itu dan segera mencapai tahapan akhir
yaitu aktualisasi diri, maka dia punya kesempatan untuk mencari tahu siapa
dirinya sebenarnya. (Arianto, 2009).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa aktualisasi diri
merupakan suatu proses menjadi diri sendiri dengan mengembangkan sifat-sifat
serta potensi individu sesuai dengan keunikannya yang ada untuk menjadi
kepribadian yang utuh.

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktualisasi diri

Orang yang mampu mengaktualisasikan dirinya sangat memahami bahwa


ada eksistensi atau hambatan lain tinggal (indwelling) di dalam (internal) atau di
luar (eksternal) keberadaannya sendiri yang mengendalikan perilaku dan
tindakannya untuk melakukan sesuatu. Faktor internal yaitu potensi, seperti yang
dikatakan (Fadlymun, 2009) “potensi diri merupakan modal yang perlu diketahui,
digali dan dimaksimalkan. Sesungguhnya perubahan hanya bisa terjadi jika kita
mengetahui potensi yang ada dalam diri kita kemudian mengarahkannya kepada
tindakan yang tepat dan teruji”. Sedangkan faktor eksternal yaitu Budaya
masyarakat yang tidak mendukung upaya aktualisasi potensi diri seseorang karena

19
perbedaan karakter. Pada kenyataannya lingkungan masyarakat tidak sepenuhnya
menuunjang upaya aktualisasi diri warganya. Seperti yang dikatakan Asmadi
(2008) “Lingkungan masyarakat berpengaruh terhadap upaya mewujudkan
aktualisasi diri. Aktualisasi diri dapat dilakukan jika lingkungan
mengizinkannya”. Sudrajat (2008) juga menyatakan “Lingkungan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan
perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis”.
Aktualisasi diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengatur diri
sendiri sehingga bebas dari berbagai tekanan, baik yang berasal dari dalam diri
maupun di luar diri. Kemampuan seseorang membebaskan diri dari tekanan
internal dan eksternal dalam pengaktualisasian dirinya menunjukkan bahwa orang
tersebut telah mencapai kematangan diri. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa aktualisasi diri tersebut secara penuh. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya
dua kekuatan yang saling tarik-menarik dan akan selalu pengaruh-mempengaruhi
di dalam diri manusia itu sendiri sepanjang perjalanan hidup manusia. Kekuatan
yang satu mengarah pada pertahanan diri, sehingga yang muncul adalah rasa takut
salah atau tidak percaya diri, takut menghadapi resiko terhadap keputusan yang
akan diambil, mengagungkan masa lalu dengan mengabaikan masa sekarang dan
mendatang, ragu-ragu dalam mengambil keputusan/bertindak, dan sebagainya.
Sementara kekuatan yang lainnya adalah kekuatan yang mengarah pada keutuhan
diri dan terwujudnya seluruh potensi diri yang dimiliki, sehingga yang muncul
adalah kepercayaan diri dan penerimaan diri secara penuh. (Asmadi, 2008).
Dengan kata lain aktulisasi mempengaru suatu tindakan yang akan di
lakukan oleh setiap kelompok atau setiap orang yang melakukan sutu tujuan
melewati suatu aktualisasis sosial.

3. Tindakan Sosial

Pemahaman tentang sosiologi dari Weber dan Durkheim berbeda. Weber


lebih menekankan pada tindakan-tindakan sosial, bahwa kenyataan sosial dalam
kehidupan itu didasarkan pada motivasi individu dan tindakan- tindakan sosial,
sedangkan Durkheim hanya mendefinisikan pada fakta sosial. Pendapat Weber
dan Durkheim (dalam Jochnson, 1994) sebagai berikut:

20
Weber memiliki pendapat yang berbeda dengan Durkheim dalam
mendefinisikan sosiologi, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari
fakta sosial yang bersifat eksternal, memaksa individu, dan bahwa fakta
sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial lainnya. Durkheim melihat
kenyataan sosial sebagai sesuatu yang mengatasi individu, berada pada
suatu tingkat yang bebas, sedangkan Weber melihat kenyataan sosial
sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-
tindakan sosial. (hlm. 214)
Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata-
nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat
membatin atau ditunjukan untuk orang lain yang mungkin terjadi karena
pengaruh dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan
sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa, atau berupa persetujuan
secara pasif dalam situasi tertentu.
Weber (dalam Ritzer, 2014) mengemukakan lima ciri pokok yang
menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu:

(1) Tindakan manusia, yang menurut si actor mengandung makna yang


subyektif. ini meliputi berbagai tindakan nyata. (2) Tindakan nyata dan
bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif. (3) Tindakan yang
meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja
diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. (4)
Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
(5) Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah ke pada
orang lain itu. (hlm. 39)
Dari pendapat Weber tersebut dapat disimpulkan bahwa Ciri-ciri
tindakan sosial yaitu memiliki makna subyektif, tindakan nyata yang bersifat
membatin dan bersifat subyektif, tindakan berpengaruh positif, tindakan
diarahkan pada orang lain dan tindakan merupakan respon terhadap tindakan
orang lain.
Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada
tindakan mereka. Maksudnya Tindakan sosial terjadi ketika individu dalam
masyarakat melakukan tindakan yang mempunyai makna dalam tindakan
mereka, baik bermakna bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam tindakan
sosial akan menciptakan hubungan sosial. Hubungan sosial menurut Weber yaitu
tindakan dimana beberapa actor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu
mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain,
masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi.

21
a. Tipe-tipe Tindakan Sosial

Bagi weber, konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu


analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar
perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Pendekatan
obyektif hanya berhubungan dengan gejala yang dapat diamati seperti benda
fisik atau perilaku nyata, sedangkan pendekatan subyektif berusaha untuk
memperhatikan juga gejala-gejala yang sulit ditangkap dan tidak dapat diamati
seperti perasaan individu, pikirannya, dan motif-motifnya. Perbedaan juga dapat
dilihat dalam hubungannya dengan hal dimana pengalaman subyektif pribadi
seseorang dimiliki bersama oleh suatu kelompok sosial, pengalaman subyektif
dapat dimengerti karena dialami bersama secara meluas, dapat dilihat sebagai
obyektif sedangkan pengalaman subyektif yang tidak dapat dikomunikasikan
atau dimengerti, tetapi tidak dapat ditangkap sebagai suatu pengalaman pribadi
yang benar-benar subyektif, meskipun sangat ril bagi orang yang bersangkutan
(Jochnson, 1994, hlm. 219).
Max Weber dalam mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial yang
mempengaruhi system dan struktur sosial masyarakat yaitu:

1) Rasionalitas instrumental (Zwerk Rational)

Jenis Tindakan sosial Rasional instrumental ini merupakan tindakan yang


memiliki rasionalitas paling tinggi, yang meliputi pilihan yang sadar (masuk
akal) yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan
untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macam-macam tujuan
yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriteria menentukan satu
pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan, lalu individu menilai alat
yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan (Jochnson, 1994, hlm.
220).

2) Rasionalitas yang berorientasi nilai (Werk Rational)

Tindakan rasionalitas yang berorientasi nilai merupakan tindakan sosial


yang hampir sama dengan tindakan rasional instrumental, yaitu tindakan yang
dilakukan telah melalui pertimabangan yang matang dan mempunyai tujuan yang

22
jelas, yang membedakannya terletak pada nilai- nilai yang menjadi dasar dalam
tindakan ini (Jochnson, 1994, hlm. 221).

3) Tindakan afektif/Tindakan yang dipengaruhi emosi

Tindakan ini berbeda dengan tindakan rasional instrumental dan tindakan


rasionalitas berorientasi nilai, karena tindakan afektif tidak melalui pertimbangan
yang sadar tindakan ini tercipta dengan spontan karena pengaruh emosi dan
perasaan seseorang (Jochnson, 1994, hlm. 221).

4) Tindakan tradisional/Tindakan karena kebiasaan (Traditional action)

Tindakan sosial ini dilakukan oleh seseorang karena mengikuti tradisi atau
kebiasaan yang sudah diajarkan secara turun temurun dan telah baku dan tidak
dapat diubah. Jadi tindakan ini tidak melalui perencanaan yang sadar terlebih
dahulu, baik dari caranya maupun tujuannya. Karena mereka mengulang dari
kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun temurun (Jochnson, 1994, hlm. 221).

Sama halnya di penelitian yang telah dilakukan pemahaman dan cara


berpikir masyarakat yang masih tradisional yang tercipta dari kebiasaan nenek
moyang dan berlanjut secara turun temurun pada setiap lapisan masyarakat
sekitar. Dan masyarakat penambang minyak tradisional tetap melakukan dengan
cara tradisonal dan tidak ingin mengubah cara mereka dan tidak dipersoalkan
meskipun sudah banyak alat-alat yang lebih modern.

4. Masyarakat

a. Pengertian Masyarakat

Substansi dari pengertian masyarakat yang amat luat membuat para ahli
sosiologi mempunyai pandangan sendiri-sendiri dalam mengkonsepkan definisi
masyarakat. Jamaludin (2015, hlm. 6) mengatakan bahwasannya, “… masyarakat
diartikan dengan kata Society dan Community…”. Konsep masyarakat dalam
bentuk Society yang merupakan terjemahan dalam mengartikan masyarakat
sebagai suatu badan atau kumpulan hidup manusia yang tinggal bersama sebagai

23
anggota masyarakat. Konsep di atas diperkuat oleh pendapat Shadley (dalam
Jamaludin, 2015, hlm. 59-60) yang memaparkan bahwa “anggota masyarakat
yang bersama dianggap sebagai suatu gelombang, terbagi dalam berbagai kelas
menurut kedudukan dalam masyarakat itu, lalu konsep Sociey juga dipakai dalam
kumpulan keagamaan, kesusastraan, politik, studi, dan lain sebagainya. Seperti
contoh yaitu Fabian Society, Royal Society, dan sebagainya”. Kesimpulan dari
pendapat di atas secara sederhana, masyarakat diartikan sebagai kumpulan orang
yang berkelompok dan hidup bersama lali ditaati oleh bersama.
Soekanto (2004, hlm. 149) lalu memperkuat pengertian melalui konsep
community, beliau menjelaskan bahwa, “masyarakat dapat juag diterjemahkan
sebagai community yaitu masyarakat setempat. Dimana wilayah kehisupan sosial
yang ditandai oleh derajat hubunagn sosial tertentu. Dasar-dasar masyarakat
setempat adalah lokalitas dan perasaan masyarakat setempat”, seperti contoh
komunitas desa yang merupakan kumpulan orang-orang yang tinggal di desa
secara bersama mempunyai perasaan dan sistem yang sama maka disebut sebuah
kelompok masyarakat desa. Setelah memahami penjelasan para ahli di atas maka
dari pendapat Jamaludin, Shadley dan Soekanto menunjukkan bahwa pengertian
masyarakat dari konsep Society merupakan masyarakat pada umunya dan konsep
Community definisi masyarakat secara terbatas.
Selanjtunya, Durkheim (dalam Taneko, 1984) menafsirkan masyarakat
sebagai sebuah fakta sosial. beliau memaparkan bahwasannya:
… Masyarakat merupakan suatu kenyataan yang objektif secra mandiri,
bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.
Masyarakat sebagai sekumpulan manusia di dalamnya terdapat beberapa
unsur yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama;
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.
(hlm. 11)
Lalu selanjutnya pengertian masyarakat juga dikemukakan oleh Rocher
(dalam Ritzer, 2012, hlm. 417) beliau mengungkapkan bahwasannya masyarakat
merupakan “suatu kolektivitas yang relatif swasembada dengan para anggota yang
mampu memuaskan semua kebutuhan individu, kolektif dan hidup seluruhnya di
dalam kerangka sendiri ”.

24
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan di atas, Soekanto (2006)
menjelaskan bahwa definisi para ahli sebenarnya pada dasarnya sama yaitu
masyarakat mencakup beberapa unsur berikut:
1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama. Sekurang
kurangnya lebih dari dua individu
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Dengan berkumpulnya
manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Akibatnya timbul
sistem komunikasi antar manusia tersebut.
3. Mereka sadar bahwamereka suatu kesatuan.
4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama yang menimbulkan
kebudayaan. (hlm. 22)
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur
yang harus ada dalam sebuah masyarakat adalah adanya individu lebih dari dua
orang, berkumpul dalam jangka waktu lama dan menghasilkan kebudayaan, serta
menempati suatu wilayah. Jika unsur dan komponen tersebut telah terpenuhi,
maka baru dapat dikatakan sebagai tipe masyarakat.

5. Komunitas

Melihat dari sejarahnya menurut Horton dan Hunt (dalam Ram, 1992, hlm.
129) bahwa pembentukan komunitas, “sama tuanya dengan humanitas, bahkan
lebih tua karena nenek moyang kita yang belum mencapai tahap manusia utuh,
barangkali juga sudah hidup dalam kehidupan kelompok komunitas”. Komunitas
disini artinya sudah lama terbentuk sebelum masyarakat terbentuk.
Kemudian Gottschakl (dalam Ram, 1992, hlm. 129) memberikan suatu
pendapat dalam mengartikan komunitas bahwa komunitas merupakan “suatu
kelompok kesatuan manusia (kota kecil, kota, desa), maupun sperangkat perasan
(rasa keikatan dan kesetiaan)”. Tetapi tidak mendapatkan sebuah keseragaman
dalam penggunaan istilah tersebut.
Definisi komunitas diartikan Hillery, Jonassen san Wills (dalam Ram,
1992, hlm. 129) mencakup:
1. Sekelompok orang yang hidup;
2. Suatu wilayah tertentu;
3. Memiliki pembagian kerja yang berfungsi khusus dan saling
tergantung (interpendet);
4. Memiliki sistem sosial budaya yang mengatur kegatan para anggota;
5. Yang mempunyai kesadaran akan persatuan dan perasaan memilki;
6. Mampu bertindak secara kolektif dengan cara yang teratur.

25
Berdasarkan uraian di atas barulah kita pahami bahwa aspek-aspek yang
mencakup sebenarnya secara tidak langsung mengungkapkan bahwa komunitas
bukanlah sekelompok kerumunan yang tiba-tiba saja berkelompok atau juga yang
lahir di satu daerah yang mempunyai tujuan yang sama saja, melainkan komunitas
diartikan sebagai satu kesatuan yang tidak hanya mempunyai kesamaan, tetapi
terdapat aturan yang mengatur kelompok tersebut dan memiliki ikatan batin yang
kuat antar anggotanya.
Hal tersebut lalu diperkuat kembali oleh pendapat dari Montagu dan
Matson (dalam Sulistiyani, 2004) bahwasannya terdapat sembilan konsep
komunitas yang baik dan empat kompetensi masyarakat, yakni:
1. Setiap anggota komunitas berinteraksi berdasar hubungan pribadi dan
hubungan kelompok;
2. Komunitas memiliki kewenangan dan kemampuan mengelola
kepentingannya secara bertanggungjawab;
3. Memiliki viabilitas, yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri;
4. Pemertaan distribusi kekuasaan;
5. Setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi
demi kepentingan bersama;
6. Komunitas memberi makna pada anggota;
7. Heterogenitas dan beda pendapat;
8. Pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin
kepada yang berkepentingan;
9. Adanya konflik dan managing conflict. Sedangkan, untuk melengkapi
sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi sebagai
berikut:
a. Kemampuan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas;
b. Menentukan tujuan yang hendak dicapai dan skala prioritas;
c. Kemampuan menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai
tujuan;
d. Kemampuan bekerjasama secara rasioanl dalam mencapai tujuan.
(hlm. 81-82)
Lalu Iver (dalam Cholil, 1987, hlm. 69) mengemukakan pendapatnya
untuk mendalami istilah community bahwasannya “sebagai persekutuan hidup
atau paguyuban dan dimaknnai sebagai suatu daerah masyarakat yang ditandai
dengan beberapa tingkatan pertalian kelompok sosial satu sama lain. Keberadaan
komunitas biasanya didasari oleh beberapa hal yaitu, lokalitas dan sentiment
community”.

26
Selanjtunya, Iver (dalam Soekanto, 1983) menjelaskan jika kita
memandang komunitas dari segi sentiment community terdapat unsur-unsur di
dalam tubuh dari konsep tersebut, sebagai berikut:
1. Seperasaan, dimana unsur tersebut muncul akibat adanya tindakan
anggota dalam komunitas yang mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok dikarenakan adanya kesamaan kepentingan;
2. Sepenanggungan, diartikan sebagai kesadaran akan peranan dan
tanggung jawab anggota komunitas dalam kelompoknya;
3. Saling memerlukan, dimana unsur tersebut diartikan sebagai perasaan
ketergantungan terhadap komunitas baik yang sifatnya fisik maupun
psikis.
(hlm. 143)
Berdasarkan pendapat yang telah diungkap oleh beberapa ahli sebelumnya,
maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan pengikat suatu kelompok agar bisa
diartikan sebagai komunitas adalah kepentingan bersama dalam memenuhi
kebutuhan kehidupan sosialnya yang didasarkan atas kesamaan latar belakang
budaya, ideologi, maupun sosial-ekonomi. Selain itu secara fisik suatu komunitas
biasanya diikat oleh batas lokasi atau gegografis. Masing-masing komunitas,
karenanya akan memiliki cara dan mekanisme yang berbeda dalam menanggapi
dan menyikapi keterbatasan yang dihadapinya serta mengembangkan kemampuan
kelompoknya.
Dalam kaitan komunitas yang diartikan sebagai paguyuban atau
gemeinschaft, dimaknai sebagai suatu bentuk kehidupan bersama, dimana
menurut Soekanto (1993, hlm. 128-129), “anggotanya diikat oleh hubungan batin
yang murni, alamiah dan kekal, biasanya dijumpai dalam keluarga, kelompok
kekerabatan, rukun tetangga, rukun warga, dan lain sebagainya”.
Ciri-ciri gemeinschaft menurut Tonnies dan Loomis (dalam Soekanto,
1983) yaitu sebagai berikut:
1. Hubungan yang intim;
2. Privat;
3. Eksklusif.
Sedangkan, tipe gemeinschaft sendiri ada tiga, yaitu:
1. Gemeinschaft by blood, hubungannya didasarkan pada ikatan darah
atau kerukunan;
2. Gemeinschaft of place, hubungannya didasarkan pada kedekatan
tempat tinggal atau kesamaan lokasi;

27
3. Gemeinschaft of mind, hubungannya didasarkan pada kesamaan
ideologi meskipun tidak memiliki ikatan darah maupun tempat tinggal
yang berdekatan.
(hlm. 130-131)
Pendapat di atas diperkuat oleh pendapat dari Iver (dalam Cholil, 1987)
mengenai keberadaan suatu kelompok atau komunitas, bahwasannya keberadaan
communal code (keberagaman atura dalam kelompok) mengakibatkan komunitas
terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Primary group, hubungan antar anggota komunitas lebih intim dalam
jumlah anggota terbatas dan berlangsung dalam jangka waktu relatif
lama. Contohnya seperti, keluarga, suami-istri, oertemanan, guru-
murid, dan lain-lain;
2. Secondary group, hubungan antar anggota komunitas tidak intim
dalam jumlah anggota yang banyak dan berlangsung dalam jangka
waktu relatif singkat. Contohnya seperti, perkumpulan profesi, atasan-
bawahan, perkumpulan minat/ hobi, dan lain-lain.
(hlm. 80-81)
Dalam hal ini, komunitas Punk Taring Babi dapat dikategorikan sebagai
bentuk gemeinschaft of mind atau didasarkan pada kesamaan ideologi atau
pemikiran dan menjadi bagian dari secondary group dimana komunitas ini
terbentuk karena kesamaan minat anggotanya.
Dari sekian banyak pendapat yang mengemukakan konsep komunitas,
maka Soekanto (2004) menyimpulkan bahwa, suatu himpunan manusia atau yang
dikatakan sebagai kelompok sosial memiliki ciri kurang lebih sebagai berikut:
1. Setiap anggota kelompok harus memliki kesadaran bahwa ia adalah
sebagian dari kelompok yang bersangkutan;
2. Adanya hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan
anggota yang lainnya;
3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan antara
mereka bertambah erta. Misalnya, nasib yang sama, kepentingan yang
sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dan lain-lain;
4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku;
5. Bersistem dan berproses;
6. Memiliki struktur sosial sehingga kelangsungan hidup kelompok
tergantung pada kesungguhan anggotanya dalam melaksankan
perannya;
7. Memiliki norma-norma yang mengatur hubungan di antara para
anggotanya;
8. Memiliki kepentingan bersama.
(hlm. 149)

28
Kesimpulan pendapat di atas jika dihubungkan dengan objek penelitian
bahwa komunitas Punk Taring Babi adalah suatu komunitas yang dimana
anggotanya memiliki suatu tujuan, etos, kepentingan dan menempati, serta
pencapaian tertentu yang ingin di capai di masyarakat salah satunya adanya
keinginan untuk di akui keberadaanya di tengah masyarakat. Ada ikatan batin
yang menarik dalam komunitas Punk Taring Babi tersebut, dimana komunitas
tersebut mampu mempererat ikatan anggotanya dengan kegiatan yang bahkan
bahkan mengikutsertakan dan diikutsertakan oleh masyarakat setempat.

6. Punk
Punk merupakan suatu komunitas dimana komunitas ini muncul sebagai
sebuah subculture yang bersifat subaltern. Dalam sejarah, tidak ada yang tahu
persis kapan budaya Punk ini muncul. Namun, telah banyak yang mencoba
menulis tentang awal mula budaya ini walaupun muncul dalam beberapa versi.
Punk muncul sebagai bentuk reaksi dari masyarakat dengan kondisi perekonomian
yang lemah dan tidak memiliki pekerjaan serta tinggal di pinggiran kota Inggris.
Menurut Firmansyah (2013, hlm. 61) Punk adalah kelompok anak muda dengan
kondisi keterpurukan ekonomi sekitar tahun 1976-1977. Kelompok remaja dan
para kaum muda ini merasa sistem monarkilah yang menindas mereka, dari sini
muncul sikapresistensi terhadap sistem monarki.Kelahiran Punk membawa
banyak perubahan sosial yang ternyata tidak hanya di Inggris saja. Subculture
Punk ini menyebar ke seluruh belahan dunia dari barat hingga ke belahan timur
dunia termasuk Indonesia. Subculture Punk terbentuk secara tidak langsung akibat
dari aksi komunitas Street Punk yang sangat frontal terhadap pemerintahan di
negara bagian Eropa. Seperti yang dikatakan oleh Martono (2009)

Punk merupakan subkultur yang lahir di London, Inggris.Pada awalnya,


kelompok Punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak
tahun 1980-an, saat Punk merajalela di Amerika, golongan Punk dan
skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama.
Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir pada
awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup
aspek sosial dan politik. ( hlm 17)
Komunitas Punk yang merupakan minoritas, memberikan perlawanan
dengan berbagai cara salah satunya dengan musik yang liar dan busana anti
kemapanan, tatanan rambut yang aneh dan aksesoris dari barang-barang bekas

29
murahan. Pergerakan ini dengan cepat dan terang-terangan mempengaruhi hati
pemuda kelas bawah di London. Fitriansyah (dalam Kennedy, 2009, hlm. 134)
mengemukakan bahwa Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London.
Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera
merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu
oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik. Hal tersebut memicu tingkat
pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para
pengusaha dengan caranya sendiri melalui lagu-lagu dengan musk dan lirik yang
sederhana, namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.
Masuknya Punk ke Indonesia tidak lepas dari peran besar media massa. Di
Indonesia, kultur Punk dikenal pertama kali sebagai bentuk salah satu genre musik
dan fashion. Punk hadir sebagai bentuk respon perlawanan terhadap pihak-pihak
dominan, sikap konsumtif dan menjadi bentuk representasi baru pada diri remaja.
Tidak heran apaila hal-hal yang substansial baru muncul bertahun-tahun setelah
Punk dikenal sebagai genre musik dan fashion.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kultur Punk memnag
hadir di Indonesia tanpa hal-hal yang subtansial. Punk lahir sebagaimana produk
post-modern lainnya, lahir tanpa esensi. Ada banyak hal yang mendorong
terjadinya hal ini anatara lain karena keterbatasan pemahaman bahasa,
ketimpangan ekonomi, krisis masa muda.

a. Pengertian Punk

Keberadaan Punk dan eksistensinya sampai saat ini masih menjadi


fenomena dalam lingkup budaya kawula muda. Pengertian Punk sendiri
mempunyai beberapa pendapat. Menurut Ali (2002, hlm. 583), “Punk adalah
pemuda yang ikut gerakan menentang masyarakat mapan dengan menyatakan
lewat musik, gaya berpakaian dan gaya rambut yang khas.” Pengertian tersebut
menggambarkan Punk sebagai suatu subkultur yang memiliki sistem perilaku,
seperangkat nilai dan cara hidup yang digunakan untuk menunjukkan
perlawanannya terahadap budaya dominan atau budaya popular.
Ahsoul (dalam Kennedy, 2009, hlm. 238) mengemukakan bahwa:

Punk adalah pilihan. Punk adalah sandaran hidup. Punk adalah media
ekspresi. Punk adalah seksistensi diri dan Punk adalah dunia sekelompok

30
anak muda yang sedang meneriakkan suara-suara terbungkam dan
terpinggirkan karena timpangnya kehidupan sosial masyarakat kota; kaum
urban.
Ada tiga definisi Punk seperti yang disebutkan O”hara (1999, hlm. 134)
adalah “Pertama, Punk sebagai tren remaja dalam fashion dan musik. Kedua,
Punk sebagai keberanian memberontak dan melakukan perubahan. Ketiga, Punk
sebagai bentuk perlawanan yang hebat karena menciptaka musik, gaya hidup,
komunitas dan kebudayaan senidri.”

1) Punk sebagai Tren Remaja dalam Fashion

Pada umumnya masyarakat mendefinisikan Punk pertama kali dengan


melihatnya dari segi fashion. Menurut Barnard (2009, hlm. 66), “Fashion dan
pakaian adalah kultural dalam artian keduanya merupakan cara untuk
mengkomunikasikan identitasnya. Keduanya merupakan cara untuk
mengkonumikasikan nilai-nilai dan identitas kelompok baik itu ke kelompok lain
maupun kepada para anggota kelompok itu sendiri. Fashion dan pakaian itu
komunikatif karena keduanya merupakan cara nonverbal untuk memproduksi
serta mempertukarkan makna dan nilai-nilai.”
Menurut Solomon (dalam Rusbiantro, 2008, hlm. 104), “Ada sesuatu yang
totemik didalam cara kita mengenakan pakaian untuk mengkomunikasikan
identitas kelompok kita. Dengan cara memakai totem tertentu, kita dapat
mengumumkan siapa diri kita dan dengan siapa kita mengidentifikasikan diri.”
Selanjutnya Hebdige (dalam Barnard, 2009, hlm. 61), Punk mungkin bisa
dipahami sebagai suatu fenomena ideologis yang lebih eksplisit. Ini mungkin
dapat dilihat dalam kalung rantai, tas gombrang, jepit keselamatan, pakaian
rongsokan yang “murahan”, rancangan yang vulgar dan warna yang
“menjijikkan” yang merupakan satu serangan ideologis terhadap nilai-nilai estetis
kelas dominan. Apabila bukan serangan kapitalisme itu sendiri. Rantai, tas
gombrang, dan jepit keselamatan tidak dipakai kelas dominan sebagai dekorasi,
pakaian, dan perhiasan, namun mereka mengenakannya ditubuhnya padahal kelas
dominan mengenakan dekorasi dan perhiasan. Pakaian, warna, dan desainnya
hanya murahan, vulgar dan menjijikkan untuk suatu kelompok orang terentu, dan

31
guna mengontruksi serangkaian tampang Punk, Punk bisa dilihat sebagai
kebalikan dari nilai-nilai yang dianut kelompok orang tertentu.
Punk menggunakan fashion dan pakaian untuk menantang ideologi
dominan dan melawan distribusi kekuasaan dalam tatanan sosial. Cara yang
digunakan Punk adalah untuk menarik perhatian pada ketidakalamiahan konsepsi
kelas dominan tentang kecantikan, untuk menunjukkan bahwa mereka adalah
sesuatu yang dipikirkan oleh orang dengan memikirkan konsepsi-konsepsi
alternatif (Barnard, 2009, hlm. 63).
Bentuk dan jenis fashion dan pakaian yang dikenakan Punk tersebut
berfungsi sebagai kekhasan bagi mereka yang membedakannya dengan komunitas
lain. Objek tersebut merupakan aksesoris khas yang dimiliki Punk dan dipakai
dalam keseharian, teritama dalam event-event tertentu misalnya di dalam gig
musik Punk ataupun genre musik lain selama masih dalam aliran musik Rock.

2) Punk sebagai Tren Remaja dalam Musik

Rusbiantoro (2008) mengemukakan bahwa:

Musik merupakan alat penyatu dari semua gerakan dan budaya tanding.
Musik juga merupakan alat politis yang paling efektif untuk mengadakan
protes sosial dan menggugah kesadaran masyarakat akan situasi sosial
pada saat yang sangat genting dan meresahkan. (hlm. 89)
Bagi kaum Punk, musik adalah bentuk ekspresi jiwa, hampir keseluruhan
lirik lagu yang ditulis biasanya berisikan kekerasan, kemarahan dan kalimat
perlawanan pada segala bentuk penindasan seperti kapitalisme, rasisme, fasisme,
kritikan-kritikan terhadap penguasa dan beberapa tema cinta dengan kata-kata
yang cenderung vulgar dan sama sekali tidak berisikan lirik lagu cengeng dan
nada musik minor seperti lagu cinta pada umumnya, selain itu juga menceritakan
tentang kehiudpan sehari-hari sebagai Punk.
Musik Punk memang keras jika dilihat dari unsur kekuatan bunyinya, akan
tetapi pemaknaan terhadap lirik-lirik yang mereka tulis terdapat sebentuk ekspresi
jika yang mereka tuangkan berupa kepekaan terhadap lingkungan sekitar, dan
sesuatu yang ingin mereka perjuangkan, mereka tulis dalam bentuk kata-kata
sederhana melalui musik.

3) Punk sebagai Keberanian Memberontak dan Melakukan Perubahan

32
Di tahun 1970-an lahir musik Punk yang mempunyai kode pakaian jauh
lebih radikal, anarkis dan memberontak. Seperti musik rock yang mengungkapkan
frustasi dan harapan kaum remaja, musim Punk juga mengungkapkan
pemberotakannya kepada orangtua dan pemerintahan Inggris serta kemapanan
masyarakat di tahun tersebut. Jumlah pengangguran semakin membengkak dan
perasaan keterasingan semain meningkat dengan mengutnya kekuatan ulra
nasionalis pada saat itu. Musik Punk juga melawan kemapanan musik rock di
tahun 1970-an yang terlalu komersil. Perlawanan itu dilakukan dengan cara
menciptakan gaya musik yang kasar, lengkap dengan kode fashion yang anarkis
dengan menolak segala hal yang dilakukan pemusik rock di tahun 1960-an
(Rusbiantoro, 2008, hlm. 110).

4) Punk sebagai Bentuk Perlawanan yang “Hebat” karena


Menciptakan Musik, Gaya Hidup, Komunitas dan Kebudayaan
Sendiri

(a) Punk sebagai Bentuk Perlawanan yang “Hebat” karena Menciptakan


Musik

Musik Punk tidak terlalu mementingkan musikalisasi, tetapi yang lebih


dipentingkan adalah ekspresi berupa bentuk perlawanan dan jiwa Punk. musik
bagi mereka adalah sebuah ekspresi dan pendistribusian pesan pelawanan seperti
anarkisme, kapitalisme, borjuis, sistem rasisme, fasisme maupun militerisme.
Musisi Punk mempunyai esensi penolakan terhadap nilai-nilai yang sudah mapan,
nilai-nilai yang sudah ada didalam masyarakat. “Maksud dari pernyataan tersebut
bahwa Punk menjunjung tinggi nilai anti kemapanan yaitu bebas mengatur hidup
mereka sendiri”. (Barnard, 2009, hlm 30).

(b) Punk sebagai Bentuk Perklawanan Yang “Hebat” karena Menciptakan


Gaya Hidup

Takwin (dalam Adlin, 2006, hlm 37) mengungkapkan istilah gaya hidup, baik
dari sudut pandang individual maupun kolektif, mengandung pengertian bahwa
Gaya hidup sebagai cara hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan, dan
pola-pola respons terhadap hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup.

33
Selanjutnya, Piliang (dalam Adlin, 2006, hlm 71) menyatakan ada hubungan
timbal balik dan tidak dapat dipisahkan antara keberadaan citra (image) dan gaya
hidup (lifestyle). Gaya hidup sebagai cara manusia memberikan makna pada dunia
kehidupannya, membutuhkan medium dan ruang untuk mengekspresikan makna
tersebut, yaitu ruang bahasa dan benda-benda, yang didalamnya mempunyai peran
yang sangat sentral. Di pihak lain, citra sebagai sebuah kategori didalam relasi
simbolik antara manusia dan duia objek, membutuhkan aktualisasi dirinya
kedalam berbagai dunia realitas, termasuk dunia gaya hidup.

(c) Punk sebagai Bentuk Perlawanan yang “Hebat” karena mencipkatakan


kebudayaan sendiri

Menurut Hebdige (dalam Adlin, 2006, hlm. 105) “Subkultur sering


melakukan perlawanan budaya secara sistematis, mulai dari simbiol-simbol yang
diproduksi oleh pakaian, musik dan apapun yang dapat mempengaruhi secara
visual (visible affectations)”.
Pengertian lain mengenai subkultur juga dikemukakan oleh Reid (2000,
hlm. 122) “Subculture an identifiable segment of society or group having specific
patterns of behavior, folkways, and more that set that group apart from the others
within a culture or society”. Sedangkan, menurut Hedbige (1979, hlm. 106)
“Subculture is neither an affirmation nor a refusal. It is a declaration of
indenpendency and of alien intent. Is is at one and same time an insubordination
of and conformation to powerlessness. It is a play for attention and refusal to be
read transparently”.
Menurut Hedbige (dalam Rusbiantoro, 2008, hlm. 107) “Anggota
subkultur sering menunjukkan keanggotaannya melalui penggunaan gaya yang
berbeda dan simbolik”. Hal ini merupakan suatu penyimpangan perilaku yang
bertenatangan dengan masyarakat dan digunakan sebagai perjuangan melawan
budaya dominan atau kelompok dominan (orangtua, kalangan elite masyarakat,
norma sosial yang ketat atau negara).
Punk sebagai suatu bentuk subkultur telah mendeklaasikan bahwa dirinya
berbeda dengan budaya dominan. Mereka membentuk pola kehidupan sendiri
dengan cara yang mereka anut dimulai sejak awal perkembangannya. Meskipun

34
generasi pendahulu mereka telah berganti dengan generasi penerus, tetapi
eksistensi nilai dan ideologi dan pola perilaku mereka asih bertahan sampai saat
ini (Ruhiat, 2015, hlm. 36).

b. Filosofi Punk
1) Ideologi Punk
Menurut Rusbiantoro (2008, hlm. 105) “Ideologi sesungguhnya adalah
sistem pemikran, sstem kepercayaan, atau sistem simbolik yang menyinggung
mengenai aksi sosial atau politik praktis”. Pengertian lain mengenai ideologi
adalah kesadaran palsu (false consciousness) yang merupakan hasil dari
pertarungan ideologi dominan oleh mereka yang mempunyai kepentingan tidak
terefleksikan.
Adapun fungsi ideologi adalah seperti yang dikemukakan oleh Althusser
(dalam Rusbiantoro, 2008, hlm. 106) “Fungsi ideologi adalah untuk membentuk
individu-individu sebagai subjek, dimana subjek dibentuk sebagai efek dari
struktur yang sebelumnya telah diberikan”.
Adapun ideologi yang dianut oleh kaum Punk anatara lain:
(a) Do It Yourself (DIY)
Ideologi yang mendasari semua aktivitas dan usaha Punk dalam
menjalankan komunitas adalah Do It Yourself (DIY). DIY secara sempit dapat
diartikan segala sesuatu harus dilakukan sendiri atau mandiri. Maksud dari segala
sesuatu harus dilakukan sendiri bukan berarti dilakukan tanpa bantuan orang lain,
namun dilakukan tanpa bekerja sama dengan segala sesuatu yang berhubungan
dengan major label yang selalu menjad pihak kapitalis. Subkultur Punk yang
termasuk dalam gerakan underground, memaknai DIY bukan hanya sebuah
mekanisme produksi dan distribusi produk kultural Punk, tetapi lebih dari itu.
DIY merupakan pedoman bagi Punk dalam setiap aktivitas (Artiani, 2008, hlm.
28).
Kaum Punk mempunyai semboyan DIY atau semuanya diciptakan sendiri
mulai dari baju sampai majalah dan bukan produksi isndustri yang dikmersialkan
secara luas demi mencari keuntungan semata. Etika DIY (Do It Yourself)
merupakan sebuah jalan alternatif bagi kaum Punk dalam menjalankan kegiatan

35
untuk tetap menolak budaya meyoritas dan perilaku konsumtif (Ruhiat, 2015,
hlm. 37).
(b) Anarkisme
Istilah “anarkis” atau “anarkisme” dalam bahasa Inggris disebut
“anarkhy’”, berasal dari Yunani “anarchos” atau “anarchcin”. Anarchos atau
anarchcin berarti tanpa pemerintahan atau pengelolaan dan koordinasi tanpa
hubungan memerintah dan diperintah, mengusai dan dikuasai, mengepalai dan
dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan. Dapat dikatakan anarkisme adalah
suatu paham atau ideologi yang mempercayai bahwa segala macam bentuk
negara, pemerintahan dan kekuasaannya merupakan lembaga-lembaga dan alat
untuk melakukan penindasan terhadap kehidupan. Oleh karena itu, para anarkis
menginginkan negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan atau
dihancurkan.
Perbedaan perseps antara masyarakat umum dengan kaun Punk mengenai
makna anarkis yang sebenarnya, seringkali disalah gunakan oleh pemerintah
untuk menuding bahwa perilaku anarkis adalah perilaku yang cenderung
mengarah pada kericuhan atau kekacauan, atau yang biasa disebut chaos. Hampir
semua perilaku yang ditunjukkan oleh kaum Punk selalu dikatakan sebagai
perilaku anarkis.
Makna anarkis selama ini dipahami oleh masyarakat Indonesia
kenyataannya sangat berbeda dengan makna anarkis yang dianut oleh kaum Punk.
Hampir semua Punk percaya akan prinsip anarkisme untuk tidak sama sekali
menggunakkan pemerintahan resmi atau pengatur serta mengahrgai kebebasan
dan tanggung jawab masing-masing individu. Keterlibatan kaum Punk dalam
ideologi anarkisme akhirnya memberikan warna baru dalam ideologi anarkisme
itu sendiri, sebab kaum Punk dalam pergerakannya memiliki ciri khas tersendiri.
Kaum Punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik
saja, melainkan lebih luas dari itu. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti
tanpa aliran pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman. Hal
tersebut dikarenakan mereka bisa menciptakan aturan hidup dan perusahaan
rekaman sendiri sesuai keinginan mereka.

36
c. Gambaran Komunitas Punk di Indonesia
Pada masa kini dengan adanya globalisasi, banyak sekali kebudayaan yang
masuk ke Indonesia, sehingga tidak dipungkiri lagi muncul banyak sekali
kelompok-kelompok sosal dalam masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut
muncul dikarenakan adanya persamaan tujuan atau senasib dari masing-masing
individu, maka muncullah kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat.
Kelompok-kelompok sosial yang dibentuk oleh anak muda yang pada
mulanya hanya dari beberapa orang saja kemudian mulai berkembang menjadi
suatu komunitas. Hal tersebut dikarenakan mereka merasa mempunyai tujuan
bahkan ideologi yang sama. Salah satu dari kelompok tersebut yang akan kita
bahas, yaitu kelompok “Punk” atau biasa disebut “Komunitas Punk”.
Era globalisasi dicirikan dengan adanya kemajuan luar biasa di bidang
komunikasi dan telekomunikasi. Kemajuan di bidang tersebut telah
menghapuskan jarak antar negara dan wilayah. Pada era ini semakin sulit untuk
membendung arus berbagai informasi yang datang dari luar termasuk tentang
gaya hidup Punk. Di Indonesia sendiri komunitas Punk sangat banyak
berkembang bahkan hampir di setiap daerah terdapat komunitas Punk. Punk di
Indonesia tidak hadir karena gejolak yang terjadi sebagaimana di Amerika dan
Inggris, melainkan cenderung muncul dkarenakan kerinduan akan sesuatu yang
baru sebagai aktualisasi para remaja.
Komunitas Punk saat ini tidak lebih dari kaum marjinal yang
menginginkan kebebasan dan mendapat haknya. Punk di Indonesia berkembang
begitu cepat seiring dengan problematika perekonomian Indonesia yang morat
marit. Jumlah mereka yang terus bertambah, tidak menutup kesempatan bagi para
pria yang tengah berada pada usia produktif turut serta dalam komunitas Punk.
pada tingkat marjinalitas yang tinggi, para lelaki muda tersebut berpotensi untuk
melakukan perbuatan menyimpang maupun kejahatan untuk memenuhi
kebutuhan. Hanya berbekal keinginan untuk mengikitu tren inilah yang
menjadikan tidak semua anggota Punk mengetahui dan menganut ideologi Punk
yang sebenarnya. Mereka kebanyakan hanya ingin merasa “bebas”.
Berbicara tentang kebebasan, memang indah. Apalagi jika dapat berbuat
sekehendaknya, tiidak ada yang melarang atau memaksakan aturan yang harus

37
dipatuhi. Sayangnya, kebebasan seperti ini hanya ada di negeri khayalan. Ya,
sekeras apapun kita menuntut kebebasan, pada akhirnya kita akan terbentur pada
kenyataan bahwa semua ada batasnya.
Komunitas yang satu ini bila dilihat sepintas lalu terlihat berbeda jika kita
bandingkan dengan komunitas pada umumnya. Cara berpakaian mereka dan pola
perilaku yang ditunjukkan komunitas Punk membuat mereka sangat berbeda
dengan yang lain, sehingga mereka mudah untuk dikenali. Banyak masyarakat
yang menilai bahwa komunitas yang satu ini termasuk salah satu komunitas yang
urakan, berandalan dan sebagainya. Namun, jika dicermati lebih dalam banyak
sekali hal menarik bahkan dikategorikan positif yang dapat didalami dari
komunitas ini, karena sesungguhnya dalam kenyataan sehari-hari tidak semua
orang bertindak berdasarkan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat
(Widya G, 2010, hlm. 34).
Awal terbentuknya komunitas Punk di Indonesia berbeda dengan yang ada
di negeri asalnya Inggris maupun di Amerika. Jika di negeri asalnya komunitas
Punk terbentuk dari gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas
pekerja lalu merambah ke Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan
keuangan dan hal tersebut dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik.
Saat itu Punk benar-benar sebuah gerakan perlawanan anak muda yang
berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves.

7. Stigma
a. Definisi

Stigma adalah atribut yang sangat luas yang dapat membuat individu
kehilangan kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan (Goffman
dalam Major & O’Brien, 2005, hlm. 393). Menurut Kamus Psikologi stigma
adalah satu tanda atau ciri pada tubuh (Chaplin, 2009, hlm. 38). Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, stigma didefinisikan sebagai ciri negatif yang
menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma dapat
juga didefinisikan sebagai suatu fenomena yang dapat memengaruhi diri individu
secara keseluruhan (Crocker dkk., Jones dkk., Link & Phelan dalam Major &
O’Brien, 2005, hlm. 393). Menurut Goffman (dalam Scheid & Brown, 2010, hlm.

38
20) menyatakan bahwa “stigma concept identifies an attribute or a mark residing
in the person as something the person possesses” artinya bahwa konsep stigma
mengidentifikasi atribut atau tanda yang berada pada seseorang sebagai sesuatu
yang dimiliki. Stigma juga berarti sebuah fenomena yang terjadi ketika seseorang
diberikan labeling, stereotip, separation, dan mengalami diskriminasi serta juga
menjelaskan bahwa stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah (Link dan
Phelan dalam Scheid & Brown, 2010, hlm. 21). Menurut Surgeon General
Satcher’s (dalam Scheid & Brown, 2010, hlm. 21) menyatakan stigma adalah
kejadian atau fenomena yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan
perhatian, mengurangi seseorang untuk memperoleh peluang dan interaksi sosial.
Dari beberapa definisi dari stigma tersebut, maka peneliti menyimpulkan
definisi stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah serta fenomena yang
terjadi ketika individu memperoleh labeling, stereotip, separation dan mengalami
diskriminasi sehingga memengaruhi diri individu secara keseluruhan.

b. Mekanisme Stigma

Mekanisme stigma terbagi menjadi empat menurut Major & O’Brien


(2005, hlm. 394), yaitu :

1. Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung


2. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy
3. Munculnya stereotip secara otomatis
4. Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu
c. Tipe Stigma
Menurut Goffman (dalam Scheid & Brown, 2010, hlm. 25)
mendefinisikan 3 tipe stigma sebagai berikut :
a. Stigma yang berhubungan dengan cacat tubuh yang dimiliki oleh
seseorang
b. Stigma yang berhubungan dengan karakter individu yang umum
diketahui seperti bekas narapidana, pasien rumah sakit jiwa dan lain
sebagainya
c. Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama. Stigma
semacam ini ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui keluarga.

39
d. Dimensi Stigma

Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010, hlm. 26) stigma
mengacu pada pemikiran Goffman (1961), komponen-komponen dari stigma
sebagai berikut :

1) Labeling

Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan


berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat tersebut
(Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010, hlm. 26). Berdasarkan
pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan perbedaan yang
dimiliki kelompok tertentu.

2) Stereotip

Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari
pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits
tertentu (Judd, Ryan & Parke dalam Baron & Byrne, 2003, hlm. 203).
Menurut Rahman (2013, hlm 45) stereotip merupakan keyakinan mengenai
karakteristik tertentu dari anggota kelompok tertentu. Stereotip adalah
komponen kognitif yang merupakan keyakinan tentang atribut personal yang
dimiliki oleh orang-orang dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial
tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009, hlm. 145).
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan, stereotip adalah
komponen kognitif dari individu yang merupakan keyakinan tentang atribut
personal atau karakteristik yang dimiliki oleh individu dalam suatu kelompok
tertentu atau kategori sosial tertentu.

3) Separation

Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki


stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatkan
stigma). Hubungan label dengan atribut negatif akan menjadi suatu
pembenaran ketika individu yang dilabel percaya bahwa dirinya memang
berbeda sehingga hal tersebut dapat dikatakan bahwa proses pemberian
stereotip berhasil (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010, hlm. 26).

40
Berdasarkan pemaparan di atas, separation artinya pemisahan yang
dilakukan antara kelompok yang mendapatkan stigma dengan kelompok yang
tidak mendapatkan stigma.

4) Diskriminasi

Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena


keanggotaannya dalam suatu kelompok (Rahman, 2013, hlm. 46). Menurut
Taylor, Peplau, dan Sears (2009, hlm. 68) diskriminasi adalah komponen
behavioral yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena individu
tersebut adalah anggota dari kelompok tertentu.
Berdasarkan pemaparan tersebut, diskriminasi adalah komponen
behavioral yang merendahkan individu karena individu tersebut adalah
anggota kelompok tertentu.
Menurut Jones (dalam Link, Struening, Tood, Asmussen, & Phelan, 2001,
hlm. 1624) mengidentifikasi dimensi dari stigma yang tediri dari enam dimensi,
yaitu :

a) Concealability, menunjukkan atau melakukan deteksi tentang karakteristik


dari individu lain. Concealability bervariasi tergantung pada sifat stigma
tersebut. Individu yang mampu menyembunyikan kondisinya, biasanya
sering melakukan stigma tersebut.
b) Course, menunjukkan kondisi stigma reversibel atau ireversibel. Individu
yang mengalami kondisi ireversibel maka cenderung untuk memperoleh
sikap yang lebih negatif dari orang lain.
c) Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikan oleh orang lain
kepada individu yang mengakibatkan ketegangan atau menghalangi
interaksi interpersonal.
d) Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang terkait dengan hal yang
menarik atau menyenangkan.
e) Origin, merujuk kepada bagaimana munculnya kondisi yang menyebabkan
stigma.
f) Peril, merujuk pada perasaan bahaya atau ancaman yang dialami orang
lain.

41
Ancaman dalam pengertian ini dapat mengacu pada bahaya fisik atau
perasaan yang tidak nyaman. Berdasarakan pemaparan sebelumnya, dimensi yang
digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori Link dan Phelan (dalam
Scheid & Brown, 2010, hlm. 26) yang juga berpedoman pada pemikiran Goffman
(1961) yaitu Labeling, Stereotip, Separation dan Diskriminasi.

e. Proses Stigma

Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O’Brien, 2005, hlm. 340) stigma
terjadi karena individu memiliki beberapa atribut dan karakter dari identitas
sosialnya namun akhirnya terjadi devaluasi pada konteks tertentu. Menurut Link
dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010, hlm. 27) stigma terjadi ketika muncul
beberapa komponen yang saling berkaitan. Adapun komponen-komponen
tersebut, yaitu :

a. Komponen pertama adalah individu membedakan dan memberikan label


atas perbedaan yang dimiliki oleh individu tersebut
b. Komponen kedua adalah munculnya keyakinan dari budaya yang dimiliki
individu terhadap karakteristik individu atau kelompok lain dan
menimbulkan stereotip.
c. Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang telah
diberikan label pada individu atau kelompok dalam kategori yang berbeda
sehingga terjadi separation.
d. Komponen keempat adalah individu yang telah diberikan label mengalami
diskriminasi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa stigma terjadi dalam jangka waktu tertentu
yang merupakan suatu proses yang terdiri dari empat dimensi yaitu terjadinya
labeling dilanjutkan dengan munculnya stereotip, separation dan diskriminasi.

H. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Pada penelitian yang akan diteliti, peneliti ingin mengetahui bagaiamana
aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi di masyarakat Kota Jakarta.
Peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif sebagai desain penelitian.

42
Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah
dengan tujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara
alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam
antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. Sebagaimana dijelaskan oleh
Sugiyono (2014, hlm. 15) “objek yang alamiah adalah objek yang berkembang
apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu
mempengaruhi dinamika objek tersebut.” Karena hal tersebutlah, peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif guna melihat serta terlibat langsung dalam
mengetahui bagaimana aktualisasi sosial komintas Punk Taring Babi di
masyarakat Kota Jakarta secara alami tanpa adanya setting sebelumnya.
Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini pun dianggap dapat
memberikan kesempatan yang lebih untuk peneliti melakukan interaksi dan
memahami lebih dalam mengenai masalah sosial tersebut. Memahami makna
yang terdapat dalam masalah sosial atau masalah kelompok, sebagaimana
penelitian kualitatif menurut Creswell (2010) mengemukakan bahwa:
Penelitian kualitatif adalah alat untuk memaparkan dan memahami makna
yang berasal dari individu dan kelompok mengenai masalah sosial atau
masalah individu. Proses penelitian melibatkan pertanyaan dan
proseduryang sudah muncul, yakni dengan mengumpulkan data menurut
setting partisipan; menganalisis data secara induktif, mengolah data dari
yang spesifik menjadi tema umum, dan membuat penafsiran mengenai
makna dibalik data. Report yang berhasil ditulis memiliki struktur
penelitian yang fleksibel. (hlm. 256)
Adapun untuk mendapatkan data guna menjawab permasalahan dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan metode studi kasus. Metode penelitian
bertujuan untuk menyusun proses, prinsip-prinsip dan prosedur yang digunakan
dalam mengkaji masalah penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu metode studi kasus didasarkan pada pertimbangan situasi dan
kondisi status subjek yang khas atau spesifikasi.Sebagaimana diutarakan Moleong
(2010) yang menyatakan bahwa,

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami


fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu

43
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah. (hlm. 6)
Metode studi kasus ini digunakan karena peneliti dapat menyelidiki
sebuah kasus atau fenomena dengan cermat untuk mendapatkan informasi secara
lengkap tehadap peristiwa atau fenomena yang sedang diteliti yaitu aktualisasi
sosial komunitas Punk Taring Babi di masyarakat Kota Jakarta. Stake (dalam
Creswell 2010) menyatakan bahwa:

Studi kasus merupakan strategi penelitian dimana di dalamnya peneliti


menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktifitas, proses, atau
sekelompok individu.Kasus kasus dibatasi oleh waktu dan aktifitas, dan
peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan
berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah
ditentukan. (hlm. 20)
Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti dapat lebih mengetahui
secara mendalam dan sejauh mana aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi
di masyarakat Kota Jakarta yang memiliki karakteristik tertentu. Peneliti pun
ingin mengungkap bagaimana strategi yang dilakukan oleh komunitas Punk
Taring babi guna mencapai aktualisasi sosial di masayarakat Kota Jakarta. Hasil
penelitian ini akan peneliti tuangkan dalam bentuk deskripsi yang
mengungkapkan dan menjelaskan secara mendalam mengenai bagaimana
aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi di masyarakat Kota Jakarta serta
upaya komunitas Punk Taring Babi dalam mencapai aktualisasi sosial dalam
kehidupan bermasyarakat.

2. Lokasi dan Subjek Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kota Jakarta lebih tepatnya di


Jalan Mohammad Kafi II, Gang Setiabudi No.39 RT 11, RW 8
Srengsengsawah, Jagakarsa, 12640, Jakarta Selatan.

b. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah individu, benda, atau organisme yang dijadikan


sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian (Idrus,
2009, hlm. 91). Oleh karena itu, subjek pada penelitian ini adalah komunitas Punk
Taring Babi berserta anggota didalamnya dan masyarakat yang berada di kawasan

44
Srengsengsawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pada penelitian kualitatif ini,
narasumber atau partisipan menjadi sasaran utama yang dapat memberikan
informasi. Partisipan adalah orang-orang yang diajak wawancara, diobservasi,
diminta pendapat, pemikiran, persepsi dan memberikan data.

Pada penelitian ini, subjek penelitian terbagi menjadi dua bagian yaitu,
sebagai informan pokok dan sebagai informan pangkal. Penentuan sumber data
akan dilakukan pada orang yang akan diwawancarai secara purposif, yaitu dengan
pertimbangan dan tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2013, hlm. 300) bahwa,
”Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sumber data dengan
mempertimbangkan banyak hal”. Hal ini dilakukan peniliti guna memperoleh
informasi yang lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Data Informan Pokok dan Informan Pangkal

Informan Pokok Informan Pangkal

 Komunitas Taring Babi  Pemerintah daerah (Kecamatan


 Masyarakat sekitar lokasi dan Desa) Srengsengsawah,
keberadaan komunitas Taring Jagakarsa, Jakarta Selatan
Babi  Ahli Psikologi Sosial
 Tokoh masyarakat dan RT/RW Universitas Pendidikan
setempat Indonesia

Berdasarkan pada tabel, dalam pengambilan informan penelitian yaitu


pihak-pihak yang benar-benar terlibat langsung dalam permasalahan penelitian.
Pihak-pihak yang dimaksud diantaranya Komunitas Punk Taring Babi sebagai
subjek komunitas yang berusaha menjalankan upaya-upaya mendapatkan
aktualisasi sosial di masyarakat, selanjutnya masyarakat setempat sebagai
informan yang berhubungan dan merasakan langsung upaya-upaya aktualisasi
sosial yang dilakukan oleh komunitas Punk Taring Babi, lalu tokoh masyarakat
dan RT/ RW setempat sebagai informan yang memiliki wewenang dalam menjaga
kerukunan antar masyarakat maupun antara masyarakat dan komunitas Punk

45
Taring Babi, serta pemerintah daerah yaitu kecamatan dan desa yang berlokasi di
Srengsengsawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan sebagai lembaga yang berwenang
dalam mengetahui dan memantau kondisi masyarakat setempat. Ahli psikologi
Universitas Pendidikan Indonesia sebagai narasumber dari ahli psikologi sosial
yang memandang komunitas taring babi dari sudut pandang stigma sosial dan
aktualisasi sosial sebagai menguat untuk penelitian.

3. Instrumen Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana aktualisasi sosial komunitas Punk Taring


Babi di masyarakat Kota Jakarta serta upaya komunitas Punk Taring Babi dalam
mencapai aktualisasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat, penelitian harus
didukung oleh instrumen penelitian. Hal tersebut sejalan dengan Nasution (dalam
Sugiyono, 2014) yang menyatakan bahwa,

... Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan
manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa
segala sesuatu belum mempunyai bentuk yang pasti.Masalah, fokus
penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil
yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan
jelas sebelumnya.Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang
penelitian itu. (hlm. 60)
Dapat disimpulkan, pada umumnya penelitian kualitatif menggunakan
manusia sebagai alat utama dalam pengumpulan data lapangan (key human
instrument). Dengan kata lain, peneliti sebagai alat utama yang dipergunakan
untuk memperolah data dalam penelitian ini. Peneliti selain sebagai perencana
juga sebagai pelaku atau yang mengeksekusi semua tindakan yang sudah
direncanakan. Hal tersebut bertujuan untuk memperoleh data yang akurat.
Instrumen penelitian atau alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah peneliti
sendiri, setelah memperoleh fokus penelitian yang jelas, maka akan kembali ke
instrumen penelitian sebagai pelengkap data. Oleh karena itu, peneliti harus
mampu berkomunikasi secara baik dengan informan atau subjek penelitian dalam
situasi apapun, guna mendapatkan data yang dibutuhkan secara mendalam untuk

46
menjawab permasalahan penelitian. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam
prakteknya peneliti akan menjadi instrumen penelitian utama.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan interpersonal,


dimana selama kegiatan penelitian, peneliti terus melakukan interaksi dengan
orang-orang yang menjadi informan agar memperoleh informasi yang dibutuhkan
di lokasi penelitian. Selain partisipan atau subjek penelitian yang menjadi aktor
utama dalam penelitian kualitatif ini, peneliti juga sebagai aktor utama yang dapat
menentukan keberhasilan dari penelitian itu sendiri.
Pengumpulan data adalah cara yang digunakan dalam penelitian untuk
menghimpun, memperoleh dan mengumpulkan data yang tepat dan sesuai dengan
realitas yang ada dilapangan. Seorang peneliti dituntut untuk dapat mencari dan
menemukan dimana sumber data berada. Oleh karena itu, pada penelitian
kualitatif ini peneliti itu sendiri yang menjadi perencana, pelaksana, dan
pengumpul data. Peneliti akan melakukan wawancara secara mendalam,
observasi, studi literatur, dan studi dokumentasi untuk memperoleh informasi
yang diinginkan.
Adapun metode penelitian yang digunakan sebagai pengumpulan data
yaitu melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam, studi literatur, studi
dokumentasi.

a. Wawancara Mendalam

Untuk mendapatkan data secara relevan sesuai peristiwa yang berlangsung


di lapangan maka peneliti harus melakukan wawancara terhadap para anggota
komunitas Punk Taring Babi. Menurut Moleong (2010, hlm. 150), “wawancara
adalah percakapan dengan maksud tertentu.Percakapan itu dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu”.
Wawancara merupakan proses pertemuan tatap muka antara peneliti dan
informan, dimana dalam wawancara ini peneliti mengajukan beberapa pertanyaan
yang akan dijawab oleh informan untuk dijadikan sebuah data dalam penelitian.

47
Sebelum melakukan wawancara peneliti membuat pedoman wawancara terlebih
dahulu. Instrumen ini merupakan alat pengumpul data yang bertujuan untuk
mengetahui lebih mendalam bagaimana aktualisasi sosial komunitas Punk Taring
Babi di masyarakat Kota Jakarta serta upaya komunitas Punk Taring Babi dalam
mencapai aktualisasi sosial di kehidupan bermasyarakat. Pedoman wawancara
bertujuan untuk menjawab masalah yang telah dirumuskan oleh peneliti. Selain
itu pedoman wawancara dibuat untuk membantu dan memudahkan peneliti dalam
melakukan penelitian. Hal tersebut dilakukan karena, terkadang saat peneliti
berada di lokasi penelitian khususnya saat sedang melaksanakan wawancara,
seringkali peneliti mengalami kesulitan dalam melontarkan pertanyaan yang
seharusnya. Saat proses wawancara berlangsung peneliti akan menyesuaikan
pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan dengan situasi dan respon dari informan.
Dengan demikian, peneliti dapat menyampaikan pertanyaan-pertanyaan
pokok yang terdapat pada pedoman wawancara secara tepat. Teknik wawancara
yang digunakan pada penelitian ini yaitu wawancara semi terstuktur (semi
standardized interview). Pada teknik wawancara ini interviewer sebelumnya
sudah membuat garis besar pokok-pokok pembicaraan, namun dalam
pelaksanaannya interviewer mengajukan pertanyaan secara bebas, pokok-pokok
pertanyaan yang dirumuskan tidak perlu dipertanyakan secara berurutan dan
pemilihan kata-kata yang digunakan tidak selalu baku, karena disesuaikan dengan
informan saat wawancara dilaksanakan. Teknik tersebut dilakukan untuk
mempermudah peneliti berinteraksi dengan para anggota komunitas Punk Taring
Babi maupun masyarakat setempat.
Saat proses wawancara berlangsung, peneliti akan menggali data mengenai
bagaimana aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi di masyarakat Kota
Jakarta, upaya apa saja yang dilakukan komunitas Punk Taring Babi untuk
mencapai aktualisasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat, bagaimana respon
masyarakat atas upaya yang dilakukan komunitas Punk Taring Babi untuk
mencapai aktualisasi sosial, dan bagaimana tanggapan masyarakat mengenai
komunitas Punk Taring Babi dalam kehidupan bermasyarakat.
Adapun sebelum memulai wawancara, peneliti memperkenalkan diri
terlebih dahulu kepada pihak yang akan diwawancara serta menyampaikan

48
maksud dan tujuan penelitian. Peneliti berusaha menciptakan kesan dan hubungan
yang baik dengan informan agar saat proses wawancara berlangsung peneliti
maupun informan dapat berkomunikasi secara leluasa dan mendapatkan informasi
yang mendalam. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses wawancara ini adalah
peneliti dapat menggali semua data yang dicari guna menjawab masalah-masalah
dalam penelitian yang tersusun dalam pedoman wawancara.

b. Observasi Partisipan

Berdasarkan pertimbangan peneliti, guna memperkuat pengumpulan data


maka jenis observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi. Adanya
observasi partisipatif akan membantu peneliti dalam memperoleh makna akan
suatu masalah sosial yang terjadi. Creswell (2010, hlm.267) menyebut observasi
partisipatif dengan sebutan observasi kualitatif, yaitu “Observasi yang
didalamnya, peneliti langsung turun ke lapangan untuk mengamati perilaku dan
aktivitas individu-individu di lokasi penelitian”. Dengan demikian, peneliti akan
ikut terlibat dalam kegiatan subjek yang sedang diamati sebagai sumber data
penelitian. Peneliti dalam hal ini diharuskan merekam, mendokumentasikan dan
mencatat baik secara terstrukur atau pun tidak mengenai segala aktivitas-aktivitas
di lokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah pada penelitian ini.
Pencatatan dilakukan menggunakan lembar observasi, dimana instrumen ini
merupakan alat pengumpul data yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana
aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi di masyarakat Kota Jakarta serta
upaya komunitas Punk Taring Babi dalam mencapai aktualisasi sosial dalam
kehidupan bermasyarakat.
Observasi yang dilakukan peneliti disini, yaitu datang langsung menuju
lokasi tempat komuntitas Punk Taring Babi dan masyarakat di sekitar lokasi
penelitian berada untuk mengamati perilaku komunitas Punk Taring Babi dan
masyarakat setempat dalam terjadinya aktualisasi sosial maupun upaya komunitas
tersebut untuk mencapai aktualisasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Hal
tersebut dilakukan untuk mempermudah peneliti memperoleh data. Guna
mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti melakukan interaksi yang intensif
dan menjalin silaturahmi berkelanjutan dengan masyarakat setempat maupun
komunitas Punk Taring Babi di Kota Jakarta.

49
c. Studi Literatur

Peneliti dimudahkan dalam memaknai kejadian yang ada di lapangan


dengan adanya bantuan studi literatur. Studi literatur yaitu alat pengumpul data
yang bertujuan untuk mengungkapkan berbagai teori yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Hal ini
dimaksudkan peneliti untuk memperoleh data teoritis yang dapat mendukung
kebenaran data yang diperoleh melalui penelitian.
Studi litelatur dapat dilakukan dengan mempelajari buku-buku yang
berhubungan dengan masalah dan pokok bahasan pada penelitian. Hal ini merujuk
pada pendapat Kartono (2009, hlm. 33) yang mengemukakan bahwa, “studi
literatur adalah teknik penelitian yang dapat berupa informasi-informasi data-data
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti yang di dapat dari buku-buku,
majalah, naskah-naskah, kisah sejarah, dokumentasi-dokumentasi, dan lain-lain”.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan berbagai literatur baik berupa
buku, jurnal, maupun pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan masalah
terkait dari berbagai media masa guna memperoleh data yang empiris dan relevan
dengan masalah yang diangkat oleh peneliti. Studi litelatur pun membantu peneliti
guna dapat mempelajari informasi-informasi sebagai referensi dalam
mengembangkan hasil penelitian mengenai bagaimana aktualisasi sosial
komunitas Punk Taring Babi di masyarakat Kota Jakarta serta upaya komunitas
Punk Taring Babi dalam mencapai aktualisasi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.

d. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi digunakan peneliti sebagai pelengkap dari penggunaan


teknik observasi dan wawancara dalam penelitian ini. Arikunto (1998, hlm. 236)
mengatakan bahwa “metode dokumentasi merupakan salah satu cara mencari data
mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan transkrip, buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya”. Data yang
diperoleh dari studi dokumentasi dapat menjadi referensi bagi peneliti untuk
memperkuat hasilwawancara dan observasi yang dilakukan. Sebagaimana Danial
(2009, hlm. 79) menyatakan bahwa, “studi dokumentasi adalah mengumpulkan

50
sejumlah dokumen yang diperlukan sebagai bahan data informasi sesuai dengan
masalah penelitian”.
Peneliti menggunakan studi dokumentasi, karena studi dokumentasi dapat
menjadi pelengkap dari penggunaan teknik observasi dan wawancara dalam
penelitian kualitatif. Dokumentasi juga dapat menjadi penguat dari data-data yang
telah dikumpulkan oleh peneliti. Peneliti memilih studi dokumentasi dengan
maksud agar hasil penelitian saat wawancara dan observasi berlangusng dapat
lebih jelas dan dipercaya. Peneliti mendokumentasikan dimulai dari proses
observasi hingga proses wawancara berlangsung sehingga dapat membantu penliti
dalam mendeskripsikan data yang diperoleh. Peneliti menggunakan kamera
handphone atau kamera digital untuk memotret ketika peneliti sedang melakukan
proses penelitian.

e. Catatan Lapangan (Field Note)

Peneliti melakukan penelitian dengan cara membuat catatan singkat


pengamatan tentang segala peristiwa yang dilihat dan didengar selama penelitian
berlangsung sebelum ditulis kembali ke dalam catatan yang lebih lengkap. Hal ini
merujuk pendapat Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2010 hlm. 209) yang
mengemukakan bahwa : “catatan (field note) adalah catatan tertulis tentang apa
yang didengar, dilihat dan dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan
data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif”. Peneliti akan
mempersiapkan buku catatan untuk mencatat setiap kejadian dan peristiwa dalam
memperoleh data di lapangan agar lebih memudahkan peneliti dalam mencari
data.

5. Teknik Analisis Data


Pada penelitian ini, setelah peneliti mendapatkan data-data yang telah
dikumpulkan selanjutnya peneliti melakukan pengolahan data tersebut dengan
cara menganalisis data yang diperoleh. Setelah dilakukannya analisis data tersebut
peneliti akan menarik suatu kesimpulan yang tepat untuk menjawab segala
permasalahan mengenai bagaimana aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi

51
di masyarakat dan upaya seperti apa yang dilakukan oleh komunitas Punk Taring
Babi dalam mencapai aktualisasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Adapun teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini
berupa reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) serta
penarikan simpulan dan verifikasi (conclution drawing verification). Teknis
analisis data ini digunakan untuk mengemukakan permasalahan yang ada pada
suatu gejala atau fenomena sosial secara tuntas dan mendalam. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Miles dan Huberman (dalam Sugiyono 2013, hlm. 246)
yang mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas.

a. Data Reduction (Reduksi data)


Pada tahap ini peneliti akan mengklasifikasikan masalah yang berkaitan
dengan penelitian mengenai bagaimana aktualisasi sosial dapat terlaksana oleh
komunitas Punk Taring Babi di masyarakat dan upaya seperti apa yang dilakukan
oleh komunitas tersebut dalam mencapai aktualisasi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat sesuai dengan rumusan masalah yang telah peneliti buat. Penelitian
ini difokuskan pada aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi di lingkungan
masyarakat sekitar. Karena itu, reduksi data sangat berguna bagi peneliti untuk
mengolah data-data yang terkumpul sehingga dapat tergambarkan secara jelas dan
tepat.
Reduksi data berarti memilih hal-hal pokok, merangkum, memfokuskan
pada hal-hal yang penting serta mencari tema dan polanya. Reduksi data
merupakan proses analisis yang dilakukan untuk menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan hasil penelitian dengan memfokuskan pada hal-hal yang dianggap
penting oleh peneliti. Dengan kata lain reduksi data ini bertujuan untuk
memperoleh pemahaman-pemahaman terhadap data yang telah terkumpul dari
catatan lapangan dengan cara merangkum, mengklarifikasikan sesuai dengan
masalah dan aspek-aspek permasalahan yang diteliti. Hal tersebut tidak hanya
mempermudah peneliti dalam memproses data yang ada, namun untuk
mempermudah pembaca dalam memahami isi tulisan.

52
Peneliti akan mengumpulkan informasi dan data-data dari narasumber
menggunakan teknik pengumpulan data yang telah disebutkan sebelumnya untuk
kemudian dikaji lebih detail lagi, dimana peneliti akan memilih dan
mendeskripsikan data yang diperlukan serta membuang data yang sekiranya tidak
diperlukan. Tahapan pada reduksi data ini akan memberikan gambaran lebih jelas
dan tepat sesuai dengan permasalahn yang peneliti kaji.

b. Data Display (Penyajian data)

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan disajikan sesuai dengan
tujuan yang akan dicapai. Data yang diperoleh disaringdan dipilih terlebih dahulu
melalui reduksi data lalu disajikan.Hasil yang disajikan sesuai dengan rumusan
masalah dan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dari adanya
penelitianini. Masalah yang akan dikaji pada penelitian ini yaitu mengenai
bagaimana aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi dapat terlaksana dan
dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat.
Penyajian data (data display) adalah sekumpulan informasi tersusun yang
akan memberikan gambaran penelitian secara menyeluruh dengan kata lain
menyajikan data secara terperinci dan menyeluruh dengan mencari pola
hubungannya. Sugiyono (2014, hlm. 341) mengungkapkan bahwa “dalam
penelitian kualitatif, penyajian data bisa digunakan dalam bentuk uraian singkat,
bagan, hubungan antara kategori, dan sejenisnya”. Penyajian data yang disusun
secara singkat, jelas dan terperinci namun menyeluruh akan memudahkan dalam
memahami gambaran-gambaran terhadap aspek-aspek yang diteliti baik secara
keseluruhan maupun bagian demi bagian. Penyajian data selanjutnya, disajikan
dalam bentuk uraian atau laporan sesuai dengan data hasil penelitian yang
diperoleh.

c. Conclusion drawing verification (Penarikan Kesimpulan)

Dari keseluruhan data yang diolah melalui proses reduksi dan penyajian
data dihasilkan jawaban atas permasalahan dalam penelitian yang sudah diajukan
dalam rumusan masalah.Peneliti menarik kesimpulan didasarkan pada data yang
diperoleh namun hal ini masih dapat berubah. Kesimpulan ini disusun dalam
bentuk pernyataan singkat dan mudah dengan mengacu kepada tujuan penelitian.

53
Kesimpulan dalam penelitian ini merupakan hasil dari penelitian yang
akan dilaksanakan melalui proses verifikasi selama penelitian berlangsung
sehingga kesimpulan yang diperoleh jelas dan akurat sesuai dengan apa yang
terjadi di lapangan dan bagaimana aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi
dapat terlaksana dan dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat.

6. Validitas Data

Untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, maka peneliti melakukan


validitas terhdapa data-data yang telah diperoleh guna meyakinkan pembaca
bahwa data yang peneliti dapatkan dapat dipercayai dan dipertanggungjawabkan.
Teknik validasi yang digunakan peneliti dalam menguji keabsahan data yang
diperoleh yaitu dengan triangulasi data. Dimana Triangulasi merupakan teknik
paling akhir yang digunakan peneliti dalam menggali data dilapangan. Teknik ini
merupakan teknik gabungan dari ketiga teknik sebelumnya yakni observasi
partisipan, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.Teknik ini berfungsi
untuk menguji kredibilitas suatu data yang telah ditemukan sebelumnya oleh
peneliti. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono (2015, hlm. 241) bahwa:

Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat


menggabungkan dari teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah
ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan dengan triangulasi, maka
sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas
data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan
data dan berbagai sumber data. Peneliti menggunakan observasi, wawancara
mendalam, dan dokumentasi secara serempak.
Untuk memperoleh hasil penelitian yang valid maka peneliti akan
melakukan triangulasi sumber data dan triangulasi teknik pengumpulan data
sebagai berikut:

a. Triangulasi Sumber Data

Pada penelitian ini, peneliti menggabungkan beberapa sumber data


penelitian yaitu informan yang terdiri dari RT, RW, lurah, beberapa anggota
komunitas Punk Taring Babi dan masyarakat sekitar. Triangulasi sumber data
dapat menguji kredibilitas data dengan mengecek data yang telah diperoleh
berdasarkan sumber data penelitian.

54
Gambar 1
Triangulasi Sumber Data

RT, RW dan Komunitas Punk


Lurah Taring Babi

Masyarakat

Gambar 1 menunjukkan proses triangulasi data yang didasarkan pada


sumber data, yaitu uji validitas data dengan cara membandingkan data yang
didapat dari informasi satu informan dengan data dari informasi yang diberikan
oleh informan lainnya. Ketika semua data sudah diperoleh kemudian data dari
berbagai informan tersebut digabungkan sesuai dengan jawaban setiap informan
lalu dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda,
dan mana spesifik dari tiga sumber data tersebut. Misalnya untuk menguji
validitas data mengenai aktualisasi sosial komunitas Punk Taring Babi di
masyarakat, maka untuk mengujinya peneliti bertanya kepada RT, RW dan Lurah
setempat dalam melihat kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Punk Taring
Babi guna mencapai aktualisasi sosial yang dimaksud oleh peneliti. Selanjutnya
ada pihak masyarakat setempat yang turut melihat secara langsung bahkan
berpartisipasi dalam kegiatan yang diadakan oleh komunitas Punk Taring Babi
ataupun sebaliknya guna mencapai aktualisasi sosial komunias tersebut. Tidak
diragukan lagi peneliti akan bertanya langsung kepada para anggota komunitas
Punk Taring Babi ini. Kemudian setelah itu, data yang sudah diperoleh dianalisis
mana yang lebih spesifik dari jawaban ketiga sumber data penelitian.

3.6.2. Triangulasi Teknik Pengumpulan Data

Peneliti menggabungkan ketiga teknik pengumpulan data berupa


wawancara mendalam, observasi partisipan serta studi dokumentasi.

Gambar 3.2

55
Triangulasi Teknik Pengumpulan Data

Wawancara
Observasi
Mendalam
Partisipan

Studi
Dokumentasi

56
Sumber: dimodifikasi dari Sugiyono (2015, hlm.126)

Pada penelitian ini, peneliti mengecek pada sumber data yang sama dengan teknik
yang berbeda. Misalnya peneliti mencari data dengan melakukan wawancara
kepada beberapa anggota komunitas Punk Taring Babi, kemudian untuk
mengecek kembali data yang sudah diperoleh tersebut, peneliti menggunakan
teknik yang berbeda dengan sumber data sama yaitu dengan melakukan observasi
langsung pada anggota komunitas Punk Taring Babi yang sudah diwawancarai
tersebut. Dengan demikian, jika data yang sudah diperoleh dari kedua teknik
pengumpulan data tersebut didapatkan data yang berbeda, maka peneliti harus
lebih memastikan lagi data mana yang dianggap benar. Ketika menggunakan dua
teknik pengumpulan data yang berbeda pada informan yang sama dan
mendapatkan data yang sama, maka data tersebut sudah teruji kebenarannya.

J. Rencana Kegiatan

Penelitian ini dirancang dalam jangka waktu enam bulan. Secara lengkap,
agenda penelitian tersebut digambarkan dalam table berikut:

BULAN KE
NO NAMA KEGIATAN
1 2 3 4 5 6

1 Penyusunan Proposal

2 Seminar Proposal

3 Persiapan Penelitian

4 Pelaksanaan Penelitian

5 Pengumpulan Data

6 Pengolahan Data

7 Analisis Data

57
8 Penyusunan Laporan

58

Anda mungkin juga menyukai