PENDAHULUAN
anak muda kelas pekerja di Inggris dan Amerika pada masa-masa krisis dunia yaitu
masa perang dingin, krisis minyak, konflik kelas, dan permasalahan politik-sosial-
ekonomi yang carut marut pada kelas pekerja. Menurut Dick Hebdige (1979)
subkultur Punk merupakan “jawaban” kaum muda terhadap parent culture yang
dianggap dominan. Reaksi kritis kelas pekerja yang merasa dirugikan atas dominasi
dilampiaskan pada beragam aktivitas dalam ranah seni dan budaya di komunitas
khusus dari masyarakat karena kontroversialnya gaya dan perilaku kaum Punk. Hal
ini tercermin dalam pernyataan yang dikutip dari Hebdige yaitu “… baru pada
musim panas 1976 Punk Rock mulai memperoleh perhatian kritis, kita bahkan dapat
menetapkan waktu bermulanya kepanikan moral ini pada September 1976 ketika
seorang gadis dibuat setengah buta kena lemparan gelas bir selama festival dua hari
1
Punk di 100 club, Soho” (1979:57). Seringkali Punk dianggap meresahkan,
karena keliyan-an yang mereka tampakkan pada gaya hidup, busana, musik dan
ideologi Punk yaitu “anarki” dan “melawan yang alami”. Berbagai atribut yang
bentuk stigmata, bukti dari pengasingan diri yang disengaja (Hebdige, 1979:15).
Sebagaimana kultur pemuda lainnya, Punk juga seringkali dianggap ancaman bagi
negara asalnya, seperti pada pemberitaan di Daily Mirror (1 Agustus 1977) dengan
judul “Victim of The Punk Rock Punch-Up: The Boy Who Feel Foul of The Mob”
(korban baku hantam Punk Rock: si bocah yang terlindas massa) dengan
menampilkan foto seorang anak terbaring di jalan seusai konfontrasi Punk lawan
yang bernada miring, stigma buruk tentang Punk yang dianggap merusak tatanan
dinyatakan pada wawancara kontributor Jakartabeat.net Ardi Wilda dengan Wok the
Rock, pemilik netlabel Yes No Wave Music di Yogyakarta dan penulis “Untukmu
Generasiku” (proyek dokumentasi berupa buku foto Punk rock Indonesia, 2011),
Punk di Indonesia:
ditulis pada penelitian Punk di Jakarta oleh Fathun Karib (2009), Punk di Indonesia
bermula pada tahun 1989/1990-1995, yang dipelopori oleh band Anti Septic dan
band Young Offenders yang terinspirasi oleh band The Stupid dan sering berkumpul
Indonesia terhadap kelas atas dan negara pada masa itu. Dominasi yang
tidak dapat berbagi sistem komunikasi bersama sepanjang ia terbelah menjadi kelas-
kelas yang bertarung” (Brecht, dalam Hebdige, 1979:34). Begitu pun yang terjadi di
Indonesia, diskursus subkultur Punk yang selama ini tampil di media dan
Punk di laman Bangkapos.com pada tanggal 1 Juni 2012 “Polisi Bangka Awasi
Anak Punk”, kemudian laman Okezone.com pada 08 Juli 2012 “Satpol PP Siap
Perangi Anak Punk”. Begitu pula yang terjadi dengan pemberitaan di media televisi
dunia internasional ketika terjadi kasus penangkapan Punk dalam acara konser amal
Punk di Aceh pada 10 Desember 2011 oleh polisi dan pemerintah Aceh. Polisi dan
Aceh” pada tanggal 14 Desember 2011, sedangkan koran The Jakarta Globe
memberitakan “Deputy Mayor: Punk Community a ‘New Social Disease’” dan pada
tanggal yang sama kantor berita BBC London Inggris memberitakan “Indonesia’s
Punk, maka ia dianggap sebagai orang yang harus dicurigai. John Muncie (1987)
sebagai bagian dari keseluruhan aparatus ideologis televisi. Menurut Burton inilah
atau perilaku sosial tertentu merupakan bagian dari proses kontrol sosial melalui
realitas (atau versi realitas) kecuali apa yang kita yakini”. Media, khususnya televisi
tentang Punk selama ini selalu timpang terkait dengan stigma buruk yang dilekatkan
oleh masyarakat pada subkultur Punk yang kemudian dijadikan komoditas oleh
4
industri media dalam pemberitaan yang diciptakan secara masif, direpresentasikan
dengan narasi dan gambar yang semakin menyudutkan subkultur Punk di Indonesia.
yang terjadi pada subkultur Punk dengan hubungannya di masyarakat. Seperti yang
dikatakan oleh Stuart Hall (1996), televisi adalah wadah sekaligus pencipta yang
tentu saja telah melalui proses manipulasi dan transformasi materi dalam dua
definisi tersebut.
menarik ketika ditayangkan oleh stasiun televisi di Indonesia yaitu MetroTV lewat
Hati” yang on air pada tanggal 12 September 2011, hari Senin pukul 13.05 WIB
yaitu Punk Muslim. Tentu bukan sebuah kebetulan jika episode ini ditayangkan dua
minggu setelah hari lebaran tahun 2011, yang notabene masih dalam situasi bulan
puasa dan lebaran yang kental. Dalam episode “Cahaya Hati”, konten tayangan
berupa profil beberapa pemuda yang mengidentifikasi diri sebagai Punk Muslim dan
pemuda bernama Ahmad Zaki yang dianggap menguasai pengetahuan agama Islam
dan menguasai wawasan yang luas kemudian dinilai sukses dan dianggap sebagai
pahlawan atau “hero” karena mampu menjadi ‘pembina’ dari Punk Muslim serta
Muslim tersebut.
5
Ideologi Punk memandang kemapanan sebagai bahaya sosial karena
sesuatu yang benar di masyarakat, dan sebaliknya memaksa mereka untuk menuruti
tumbuh bersama kita (Burton, 2011:216). Lalu bagaimana interelasi antara agama
Islam dan subkultur Punk dapat berpadu hingga menghasilkan identitas baru yaitu
Punk Muslim?
agama Islam sebagai agama yang mapan, memiliki pedoman dan aturan hidup dalam
kitab Al-Qur’an dan Hadist serta dianut oleh mayoritas masyarakat di Indonesia
menurut Dick Hebdige yaitu subkultur yang “memisahkan diri dari lanskap norma-
bulan Februari tahun 2010. Deskripsi program tersebut menurut produsennya yaitu
6
program dokumentasi yang meng-capture kerja keras sosok-sosok yang meretas
sukses dari nol untuk dirinya dan sekitarnya (metrotvnews.com). Kategori program
dokumenter menarik untuk ditelaah lebih lanjut sebab materi dokumenter juga
pun sama ideologisnya dengan kategori program televisi lainnya terutama ketika ia
dilihat dari sudut pandang wacana dan hegemoni. Seperti juga yang dikatakan oleh
Dokumenter secara tipikal mengadopsi sudut pandang tertentu dalam topiknya dan
dengan cara itu juga (Fairclough, 1995). Diskursus yang ditampilkan pada program
dokumenter “Zero To Hero” khususnya pada episode “Cahaya Hati” tidak terlepas
dari diskursus identitas dan interelasi subkultur Punk yang marjinal dan Islam yang
subkultur Punk di Indonesia, dan diintrepretasikan oleh agen bernama Ahmad Zaki
sebagai cara pendisiplinan atau pembinaan terhadap subkultur Punk yang diberi
7
stigma buruk di Indonesia, kemudian dikonstruksi oleh media televisi, tentu akan
menjadi kajian yang menarik. Atas dasar inilah peneliti akan mengkaji transformasi
identitas Punk Muslim yang dikonstruksi oleh media melalui program dokumenter
sosial tertentu, seperti yang dilakukan oleh program dokumenter “Zero To Hero”
dalam episode “Cahaya Hati” yang mengkonstruksi identitas Punk Muslim. Oleh
Hero” episode “Cahaya Hati” di MetroTV dengan representasi relasi kelas dan
hubungan kekuasaan didalamnya lewat sosok Ahmad Zaki sebagai ‘agen’ atau
‘pembina’ dengan para ‘anggota’-nya. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk
8
mengkaji bagaimana media meng-konstruksi sosok “hero” dalam transformasi
identitas tersebut.
bagaimnan peran sebuah media mainstream seperti televisi yaitu Metro TV dalam
kajian yang serupa. Namun demikian, terdapat beberapa penelitian yang membahas
tema yang hampir serupa dengan tema penelitian ini yaitu, subkultur Punk, Punk di
Indonesia dan Punk Muslim. Yang pertama adalah penelitian milik Francis
of Straight Edge Punk As a Surrogate of Religion. Tesis ini adalah tesis etnografi
yourself), pengertian komunitas serta kaitan agama dalam komunitas Straight Edge
9
Francis melihat bahwa ideologi Straight Edge Punk telah menjadi salah satu
sarana pengganti agama tradisional dengan cara melihat hubungan antara musik,
ekspresi musik, dan emosi musik terutama dari emosi-emosi ekspresi musik
“negatif” yang terlibat dalam komunitas Punk tersebut. Gaya hidup komunitas
Straight Edge Punk cenderung berbeda dengan komunitas Punk lainnya karena
Straight Edge Punk melakukan gaya hidup yang sangat sehat seperti menolak
mengkonsumsi rokok, alkohol, obat bius dan segala jenis narkotik lainnya yang
membuat seseorang dapat kehilangan kontrol atas dirinya, bahkan beberapa orang
Straight Edge Punk juga menolak mengkonsumsi kafein, melakukan seks bebas dan
memakan daging. Selain itu, Francis juga memasukkan daya tarik visual dalam
komunitas tersebut yaitu gambar tattoo, pakaian, graffiti, emblem dan berbagai
aksesoris dalam atribut keseharian yang digunakan oleh komunitas Punk di area
tersebut sebagai bagian dari penelitiannya. Dalam topik agama dan spiritualitas di
masyarakat Barat modern saat ini, ideologi Straight Edge Punk digunakan sebagai
pengganti untuk agama dan istilah pengganti ini digunakan untuk menunjukkan
gagasan pengganti dan pelindung. Therm ini, menurut Francis ditafsirkan oleh
Theodore Ziolkowski pada istilah yang sama yaitu “Modes Of Faith” yang meneliti
pengganti untuk agama sejak kemunculannya pada awal abad ke 20, pada
bagaimana agama yang tradisional, sekuler dan sakral dapat dibongkar dan dibangun
kembali lewat ideologi Straight Edge Punk yang otentik, menjunjung integritas, dan
10
memiliki spirit DIY. Di dunia Barat yang sekuler, urusan agama hanya ada di
tempat-tempat ibadah saja dan cukup sebatas urusan individu masing-masing. Jarang
mengenai apa itu agama yang sebenarnya. Namun demikian, penelitian ini hanya
mengobservasi seputar bagaimana ideologi Straigt Edge Punk menjadi agama baru
menjadi sumber adopsi dalam gerakan atau gaya hidup Straight Edge Punk itu
sendiri. Selain itu, kajian yang peneliti lakukan adalah bagaimana proses negosiasi
komunitas Punk terhadap nilai-nilai dalam keyakinan agama tradisional yaitu agama
Production: Unfinished Business, diterbitkan pada tahun 2004 oleh Suny Press.
Penelitian ini menerangkan sejarah singkat yang mulai dijelaskan oleh Stacy dengan
terbentuknya komunitas Punk terdiri dari beberapa unsur yaitu musik, fashion
munculnya fanzine dan label rekaman yang dibuat secara DIY) yang hingga saat ini
11
Pada awalnya Punk melakukan prinsip DIY untuk menghilangkan
komersil. Namun demikian, pada akhirnya tujuan Punk yang ingin menghilangkan
atau menghapuskan kapitalisme dalam industri musik belum terpenuhi dan malah
berbalik melawannya, karena toh Punk dijadikan komoditas bagi industri musik
seperti masuknya band-band Punk yang berhasil direkrut oleh major label di
Amerika dan Inggris. Penelitian Stacy di bagian akhir memang lebih banyak
musik, padahal sebenarnya Punk juga menjadi komoditas ekonomi, sosial bahkan
politik di semua lini industri media, mulai dari media cetak hingga media televisi
seperti yang peneliti kaji saat ini tentang komunitas Punk Muslim. Selain itu,
komunitas berdasarkan empat unsur yang telah disebutkan diatas, dapat menjelaskan
Bowling Green State University (2008) yang berjudul “Living the Punk Lifestyle in
Jakarta”. Penelitian ini membahas tentang intrepretasi musik Punk oleh Punk di
melihat relasi ini dalam analisisnya pada setiap lirik lagu yang dibuat oleh band
Punk di Jakarta. Wallach juga membahas tentang bagaimana musik Punk dan gaya
Punk dijadikan alternatif musik sebagai agen sosial untuk menemukan makna,
membentuk komunitas, dan sarana ekspresi diri. Penelitian Wallach seputar gaya
12
hidup Punk di Jakarta akan membantu peneliti untuk mengkaji bagaimana subkultur
penelitian ini lebih bersifat umum karena hanya membahas gaya hidup Punk di
langsung dengan komunitas Punk dalam proses penelitiannya tetapi Wallach tidak
Penelitian lain yang terkait dengan Punk Muslim terdapat pada penelitian
yang menguraikan tentang pengajian dalam komunitas Punk Muslim dan mencari
Dalam kesimpulan penelitian ini disebutkan bahwa pengajian telah banyak merubah
sikap dari komunitas Punk Muslim yang semula sangat akrab dengan narkoba dan
seks bebas. Namun demikian, penelitian ini lebih bersifat pada penelitian yang
terfokus pada kegiatan pengajian dan hasil pengajian secara garis besar saja,
13
Dan penelitian selanjutnya yaitu penelitian Selvi Oktaviani Nurul Arifin
(2012) dengan judul “Metode Dakwah Ustadz Ahmad Zaki Pada Komunitas Punk
bagaimana metode dan peranan metode dakwah yang dilakukan oleh Ahmad Zaki
bahasa yang lemah lembut, dan bijaksana dalam mengajak mereka kepada kebaikan
agar mereka berada dijalan yang lurus (tidak menyimpang dari syaria`t Islam).
Selanjutnya Selvi menambahkan bahwa Ahmad Zaki juga menjadi contoh langsung
kepada anak-anak Punk Muslim tentang apa yang telah diajarkannya dengan tujuan
agar anak-anak Punk Muslim melihat langsung apa yang telah dilakukan oleh
Ahmad Zaki sehingga lambat laun Ahmad Zaki bisa diterima dikalangan anak-anak
Punk Muslim tersebut. Penelitian ini dapat membantu peneliti untuk mengetahui
metode yang digunakan Ahmad Zaki untuk masuk dan diterima oleh subkultur
Punk.
Pada dasarnya, penelitian ini mirip dengan tema yang peneliti kaji, karena
peneliti mengkaji bagaimana hubungan antara Ahmad Zaki dan komunitas Punk
serta relasi kuasa antara Ahmad Zaki selaku ‘pembina’ dan ‘anggota’ dalam
komunitas Punk Muslim yang kemudian membentuk identitas Punk Muslim. Namun
demikian, konstruksi identitas Punk Muslim dalam relasi tersebut tidak dijabarkan
14
Muslim di Indonesia maka ini tentu menjadi kelebihan bagi kajian yang peneliti
lakukan karena pada dasarnya peneliti belum menemukan kajian yang meneliti
identitas Punk Muslim yang dikonstruksi oleh media televisi melalui program “Zero
To Hero” di MetroTV dan tentang bagaimana negosiasi subkultur Punk dan agama
Islam hingga memaknai identitas Punk Muslim, maka dari itu keaslian penelitian ini
identitas yang dalam pandangan anti esensialisme adalah konstruksi diskursif yang
berubah maknanya menurut ruang, waktu, dan pemakaian (Aschrofht, Griffith &
Tiffin, 2003). Punk dapat masuk dan menyebar di Indonesia karena proses
(2005: 2) menyebutkan bahwa dalam konteks negara yang otoriter dan represif,
globalisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang positif. Berbagai bentuk ide dan
produk budaya yang datang dari luar, dalam hal ini dapat memberikan semacam
kebebasan kepada subjek yang hidup dalam negara tersebut. Menurut Bodden
produk-produk budaya populer dari luar seperti Rap dan Punk, sangat membantu
generasi muda Indonesia untuk berekspresi dalam tatanan politik dan budaya yang
Hal ini kemudian disebutkan dalam buku “Modernity And Self Identity” oleh
Anthony Giddens (1991) yang menyatakan bahwa “diri” dan “masyarakat” saling
15
berkaitan dalam lingkungan global. Identitas diri sebagai Punk tidak pernah selesai
transformasi dan negosiasi terhadap berbagai hal yang berada di sekitarnya. Seperti
yang disebut sebagai identitas yang dijelaskan oleh Stuart Hall (1990) yaitu identitas
selalu bersifat relasional dan tidak pernah selesai, ia selalu berada dalam proses,
Identitas adalah sebuah proses becoming yang dibangun dari sudut pandang
kesamaan dan perbedaan. Termasuk cara pandang terhadap ideologi, kekuasaan, dan
pengetahuan seperti yang terjadi pada relasi antar subjek di dalam tayangan program
“Zero To Hero”. Maka dari itu, pembahasan seputar identitas Punk Muslim dalam
program “Zero To Hero” di MetroTV akan dikaji oleh peneliti dikaitkan dengan
Untuk dapat memahami identitas diri Punk maka peneliti kemudian melihat
teori identitas seperti yang ditawarkan oleh Anthony Giddens dalam Buku
“Modernity dan Self Identity”, di mana menurut Giddens (1991), identitas adalah
cara berpikir tentang diri kita, namun yang kita pikir tentang diri kita berubah dari
satu situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya. Giddens menyebutkan
identitas sebagai proyek karena identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan,
sesuatu yang selalu dalam proses. Proyek identitas membentuk apa yang kita pikir
tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini. Masih menurut
Giddens, identitas diri tidak diwariskan atau statis, melainkan menjadi suatu proyek
16
kehidupan sehari-hari, misalnya saja ketika seorang anggota komunitas motor
merasa nyaman dan merasa terwakilkan kehadirannya dengan menjadi bagian dari
identitas bukan seperangkat karakter yang diamati sesaat, melainkan menjadi nilai
tertentu. Seperti halnya yang terjadi dalam sebuah komunitas motor yang sering
melakukan beragam kegiatan mulai dari sekedar road trip bersama komunitas di
beberapa kota hingga melakukan bakti sosial di lokasi bencana untuk menjaga narasi
bahwa komunitas motor tetap eksis dan memiliki kegiatan yang dinilai positif oleh
pakaian yang diseragamkan mulai dari penggunaan kaos dengan logo komunitas,
jaket seragam hingga ke atribut bendera atau spanduk yang dibawa untuk
tersebut, disaat seperti itulah kita membuat, memelihara dan merevisi sekumpulan
narasi biografi, peran sosial dan gaya hidup serta cerita tentang siapa kita, dan
bagaimana kita datang serta berada di tempat seperti saat ini. Seperti dalam kutipan
17
Pada prinsipnya konsep identitas diri tersebut berfokus pada pengembangan narasi
tentang siapa diri kita dan bagaimana kita menampilkan diri serta mengaplikasikan
konsep diri pada kehidupan sehari-hari dan pada hubungan diri dengan orang lain,
berdasarkan norma dan nilai sosial budaya yang telah terbentuk oleh masyarakat.
Selain itu, pada dasarnya manusia juga memiliki segala kemampuan untuk
hubungan timbal balik dengan orang lain, baik perseorangan maupun kelompok atau
Seperti yang disebut oleh Barker (2004), bahwa tidak ada esensi dari sebuah
identitas yang harus dicari, melainkan identitas secara terus menerus diproduksi
komunitas motor, pada awalnya dibentuk dari kesamaan hobi mengendarai motor
dan minat pada salah satu merk motor yang spesifik kemudian berlanjut dengan
acara gathering untuk mengumpulkan para anggota yang berbeda dalam hal usia,
jenis kelamin, dan strata sosial, hal tersebut dilakukan dengan maksud menyamakan
visi dan misi demi mengembangkan sebuah komunitas motor yang baru, dari sana
kemudian muncul identitas baru, yang merupakan sebuah cara untuk eksis diantara
komunitas motor lainnya. Terkadang beberapa anggota baru dari komunitas motor
hengkang dari komunitas lamanya dengan beragam alasan. Disinilah sifat identitas
yang akhirnya selalu tidak stabil, “…karena memang secara temporer distabilkan
18
Identitas diri seseorang dalam komunitas meskipun tidak mengikat dan
bersifat bebas, selalu mengalami proses yang dinamis dan saling mempengaruhi
komunitas tersebut. Sebagai contoh, seorang pengendara motor yang awalnya jarang
berbagi cerita dan sering bepergian dengan komunitas tersebut kemudian berubah
menjadi orang yang lebih percaya diri bahkan mampu mempengaruhi orang lain
untuk ikut bergabung dalam komunitas yang sama dengan dirinya. Gagasan identitas
identitas selalu dapat dibentuk ulang, bahwa seseorang bebas berubah dan
sebuah keputusan untuk membentuk identitas baru. Namun seseorang mampu dan
bisa berubah sesuai pilihannya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh para ‘anggota’
dalam komunitas Punk Muslim, berbagai metode yang dilakukan Ahmad Zaki untuk
memasukkan nilai agama pada komunitas Punk tidak serta merta diterima, seperti
yang disebut oleh Giddens (1991), identitas memang tidak statis, hal ini yang
kemudian melahirkan identitas baru yaitu Punk Muslim. Dalam hal ini, persoalan-
persoalan mengenai konsep identitas diri bisa menjadi acuan untuk menganalisis
bagaimana peran diri Punk dalam bertransformasi dan bernegosiasi pada proses
menjadi seorang Punk Muslim yang dibingkai oleh Metro TV dalam program “Zero
To Hero”.
19
1.6.2 Identitas Subkultur
gerakan, tindakan, kegiatan, kelakuan kolektif, atau budaya bagian dari budaya
tawaran baru pada kultur mainstream. Perlawanan ini bisa berupa apa saja: agama,
negara, institusi, musik, gaya hidup dan segala yang dianggap mainstream (Barker,
bentuk kolompok individu yang berbagi kepentingan, ideologi, dan praktik tertentu.
Reaksi subkultur lahir bukan hanya sebagai fenomena reaksi individual melainkan
reaksi kelompok atau komunitas terhadap problem kelas, yaitu “yang mempunyai”
dan “yang tidak mempunyai” dalam hal ini yang dimaksud mempunyai adalah
power atau kekuasaan, money atau uang dan knowledge atau pengetahuan. Di
ketimpangan ekonomi masih belum menemukan jalan keluar yang tepat. Pada saat
bersamaan, sangat mudah bagi masyarakat untuk mengkonsumsi gaya hidup yang
diadopsi dari negara-negara lainnya, misalnya saja gaya hidup subkultur tertentu.
suatu proses redefinisi tersebut disebut bricolage. Misalnya saja pada komunitas
motor di Indonesia, yang mengadopsi gaya hidup pengendara motor jenis “moge”
atau motor gede sejenis Harley Davidson. Di masyarakat Barat, komunitas Harley
Davidson dan motor besar lainnya memiliki gaya berkendara yang khas, gambar
logo komunitas yang mudah dikenali, gaya berpakaian yang unik hingga
20
tidak serta merta melakukan adopsi total, namun mengambil beberapa bagian dari
gaya hidup pengendara motor di masyarakat Barat yang dianggap layak dan bisa
diterima di kebudayaan induk. Selain komunitas motor, subkultur yang tumbuh dan
berlaku di masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini, Hebdige menyatakan bahwa
ritualitas. Telaah terhadap subkultur kaum Mods di Inggris tahun 1960-an misalnya,
menunjukkan bahwa hal ini jelas terjadi karena peta sosial yang tidak seimbang,
Untuk memahami identitas subkultur kita bisa melihat dari faktor pencetus
kelahiran reaksi, dalam hal ini faktor pencetusnya bisa saja terjadi karena kondisi
sosial, ekonomi, politik sebagai habitat sebuah generasi tumbuh sangat berpengaruh
melihat praktik kekuasaan di mana yang ‘menang’ adalah yang berkuasa, karena
kurang nyaman, lebih kecil kekuasaan mereka untuk membuat dan mendesakkan
contohnya, resisten terhadap dominasi perusahaan rekaman musik major label yang
kerap kali menolak idealisme dalam hal bermusik hingga akhirnya komunitas
21
sederhana namun tetap berkualitas dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi
serta menuangkan ide-ide dalam karya musik tanpa harus melewati beragam aturan
yang menjerat seperti yang dilakukan oleh perusahan rekaman musik major label
pada umumnya.
hidup, tumbuh dan berkembang dan dalam pengembangan identitas subkultur, setiap
gagasan bermusik, keyakinan agama atau politik. Seperti yang ditulis dalam
penelitian Stacy Thompson (2004), pelaku dalam komunitas Punk misalnya, secara
historis dipengaruhi oleh empat unsur utama di dalam subkultur Punk, yaitu: musik,
persamaan ini datangnya tidak secara bersamaan, namun pada akhirnya saling
diantaranya adalah Anarcho Punk, Crust Punk, Glam Punk, Hard Core Punk, Nazi
Punk, The Oi, Queer Core, Riot Grrrl, Scum Punk, Ska Punk, Skate Punk (Widya,
2010:60). Untuk dapat memahami negosiasi Punk dengan nilai agama yang
membentuk Punk Muslim, peneliti dapat menggunakan empat unsur utama pengaruh
terbentuknya komunitas dalam subkultur Punk. Seperti yang dikatakan diatas bahwa
22
dalam waktu bersamaan namun empat unsur diatas mampu menjelaskan lahirnya
(1979), ia melakukan upaya kajian mengenai selera dan gaya hidup di pelbagai kelas
sosial dalam masyarakat Prancis. Dalam hal ini, Bourdieu menerangkan praktik-
pelbagai kelas sosial. Ia memetakan ‘tiga zona’ (three zones) selera budaya meliputi:
selera ‘kelas atas’ (‘legitimate taste’), selera ‘kelas menengah’ (‘middle-brow taste’)
dan selera ‘kelas bawah’ (‘popular taste’). Selera budaya beserta praktik konsumsi
tersebut dibentuk lewat tingkatan kelas sosial dan mencirikan gaya hidup (life style)
(Fashri, 2014:57). Pilihan individu atau kelompok sosial mengenai jenis musik,
entah itu kalangan politisi, pengusaha, artis, bahkan kalangan akademisi, dan hal
Sebagai contoh, kalangan wanita kelas atas lebih memilih menggunakan tas
bermerk Gucci dari luar negeri daripada tas-tas tanpa merk yang diproduksi oleh
produsen tas dalam negeri, mendengarkan musik klasik daripada musik dangdut
koplo dan naik kendaraan sekelas Ferrari daripada sekedar menggunakan kendaraan
mekanisme dominasi dalam praktik selera dan gaya hidup. Selain itu hal tersebut
23
kecenderungan (disposisi) mereka dalam menilai, mengklasifikasi kelas sosial di
posisi strategis.
memiliki gambaran bahwa representasi kelas sosial dalam hal selera dan gaya hidup
tidaklah selalu berada dalam posisi yang setara karena terdapat distribusi
dalam kepemilikian maupun otoritas penilaian. Apresiasi kelas yang didominasi oleh
nilai-nilai kebaikan, keindahan dan kepantasan tertuju pada model kelas atas atau
menengah sehingga pada akhirnya praktik budaya kelas yang didominasi lebih
tertuju untuk meniru (mimesis) gaya hidup kelas dominan (Fashri, 2014:59). Dalam
hal ini, konsep distinction dirasa cocok untuk dapat menganalis bagaimana
penggambaran posisi dan perbedaan kelas antara Punk, Punk Muslim dan ‘pembina’
Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang
dengan orang lain. Gaya hidup membantu kita memahami apa yang orang lakukan,
mengapa mereka melakukannya dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi
menentukan pilihan gaya hidupnya sendiri terutama di masa modernitas ini yang
24
pilihan gaya hidup tersebut. Salah satu contoh, pada anggota komunitas motor besar
Harley Davidson memiliki gaya hidup yang jelas berbeda dengan anggota komunitas
motor bebek Yamaha. Perbedaan tersebut dilihat dari berbagai sudut, misalnya,
kemampuan seseorang membeli motor tertentu dan tentu saja gaya hidup yang ingin
memiliki kekuasaan dan kemampuan daya beli yang tinggi, sedangkan pengendara
motor bebek Yamaha jenis Supra misalnya adalah orang-orang yang berasal dari
kelas menengah. Seorang pengendara motor bebek yang memiliki keinginan untuk
dapat menjadi anggota komunitas motor besar Harley Davidson maka harus
hubungan dengan para anggota komunitas motor besar Harley Davidson. Dari
contoh tersebut, maka dapat dilihat bahwa gaya hidup pada saat yang sama adalah
berkembang.
Pilihan atas gaya hidup bagi individu dalam hal ini tidak terlepas dari
oleh Bourdieu untuk menjelaskan praktik dan kehidupan sosial. Habitus itu sendiri
kontribusi tersendiri pada realitas dunia itu. Menurut Bourdieu, habitus adalah
representasi yang secara obyektif terus berlangsung” (Bourdieu 1977: 73). Habitus
25
mendasari dan disisi lain didasari ranah (field) yang merupakan jaringan relasi
dalam ruang sosial yang sarat ranah. Individu dengan habitusnya berhubungan
dengan yang lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan sesuai
Harley Davidson dan komunitas motor bebek Yamaha adalah satu dari sekian
contoh yang bisa mewakilinya. Hasilnya adalah posisi, kelas, dan kekuasaan tertentu
yang dimiliki oleh individu. Posisi, kelas dan kekuasaan yang dimiliki individu
dan atribut berkendara misalnya sepatu, kacamata dan helm dengan harga dan
kualitas terjamin, makan di café atau restoran “berkelas”. Selain itu, para
anggotanya memiliki posisi dalam strata sosial yang tinggi misalnya pejabat militer,
pengusaha atau politikus, dan hal tersebut berlaku sejak dulu awal kemunculan
produk motor Harley di Indonesia hingga saat ini. Seperti yang dikatakan oleh
Bourdieu, bahwa habitus bukanlah hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh
struktur, tapi diciptakan oleh semacam interaksi antar waktu: disposisi yang
keduanya dibentuk oleh peristiwa masa lalu dan struktur, serta bentuk praktik dan
struktur saat ini dan juga, penting, bahwa kondisi tersebut disesuaikan dengan
persepsi kita saat ini. Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi secara
26
of division into logical classes which organizes the perception of the social
world is itself the products of internalization of the division into social
classes. (Bourdieu, 1984: 170).
praktik yang dipilih individu untuk memberi bentuk material pada narasi identitas
individu. Pada akhirnya, gaya hidup dapat menopang, mendukung dan memapankan
identitas seseorang. Begitupun yang terjadi pada gaya hidup dalam subkultur yang
tercermin dari pemilihan kata dan kalimat dalam berbicara lisan dan tulisan,
gaya pakaian, rambut dan sepatu. Dalam teori habitus milik Bourdieu, ia
tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu
filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang
dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang
berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku
yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai
Barat seringkali berpenampilan seragam yaitu laki-laki dengan postur tubuh besar,
27
bertato, rambut panjang, menumbuhkan jenggot, memakai kacamata hitam, dan
persoalan habitus tersebut juga berlaku di dalam dalam komunitas Punk Muslim
itulah yang akan diteliti oleh peneliti. Dengan melihat dan mengamati gaya hidup
yang ditampilkan dalam keseharian Punk Muslim yang ditampilkan oleh media
maka dapat ditemukan bagaimana proses negosiasi antara subkultur Punk dengan
nilai-nilai dalam agama Islam dapat bertemu dan membentuk identitas Punk Muslim
tersebut.
negara, negara secara eksplisit dipahami sebagai aparatur represif (Althusser, 2008:
13). Dengan demikian negara yang dibangun atas dasar kekuasaan yang ada
padanya, merupakan wujud dominasi politik atas masyarakat dan negara selalu ada
di atas masyarakat. Aparatur represi masuk dengan cara memaksa, sedang yang lain
membedakan antara perangkat negara yang represif dengan sebutan RSA (repressive
state apparatus) dan ISA (ideological state apparatus), sebagai perangkat yang
ideologis. Kedua perangkat ini mempunyai fungsi yang sama yaitu melanggengkan
dominan dikuatkan dan disebarkan melalui beragam cara, ideologi apparatus negara
ditangkap dan mengalami proses pendisiplinan oleh aparat di Aceh meski pada
28
kumpul, menikmati musik Punk dan berjoget moshing sebagai ekspresi emosi suka-
cita selain menjadi ritual wajib mereka ketika menikmati musik. Inilah yang
yang merdeka, kuasa dijalankan terhadap mereka yang berada dalam posisi untuk
dapat dipilih namun sejatinya pilihannya menjadi terbatas. Selain itu seringkali para
mulai dari iklan di jalanan hingga melalui beragam media dari televisi hingga media
sosial baru berupa Facebook, Twitter, Path, Instagram dan lain sebagainya dengan
pesan iklan yang dibuat elegan sampai iklan yang isinya menjatuhkan lawan secara
(Foucault, 1980:220).
Dalam hal ini, praktik kuasa dapat dilakukan oleh beranekaragam aktor dan
29
dalam suatu ruang lingkup tertentu dan terdapat banyak posisi yang secara strategis
berkaitan satu dengan yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kekuasaan
dalam hal tersebut menentukan susunan, aturan dan hubungan dari dalam. Bagi
Foucault, kuasa dianggap sebagai sebuah sosok yang selalu ada dalam interaksi
sosial hal tersebut karena kuasa ada dimana-mana, ditemukan dalam segala bidang
interaksi manusia, misalnya keluarga, ekonomi, sosial, politik bahkan agama. Hal
pengetahuan, karena kuasa saat ini memasuki semua aspek kehidupan sosial,
misalnya relasi kuasa antara guru dan murid, dokter dan pasien, hingga ustadz dan
subyek.
Kekuasaan dengan contoh yang telah disebutkan misalnya antara guru dan
menyediakan kekuasaan. Seorang murid yang haus akan ilmu akan berusaha
guru, dan disanalah peran guru memiliki kuasa atas pengetahuan yang ia miliki, apa
yang ingin disampaikan atau yang tidak ingin disampaikan, hanya guru yang mampu
tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan
regulasi. Dalam kaitannya dengan topik yang peneliti kaji, kuasa/pengetahuan ini
akan membantu peneliti dalam mengkaji bagaimana praktek dan relasi kuasa yang
30
dilakukan oleh agen yaitu Zaki kepada komunitas Punk dan bagaimana proses
negosiasi nilai-nilai agama Islam yang dibawa oleh Zaki pada komunitas Punk yang
koleganya dari sekolah Cultural Studies dalam buku Policing the Crisis (1978).
Buku ini menyatakan bahwa krisis sosial dan ekonomi pada tahun 1970-an
massa sebagai “moral panic”. Permasalahan yang berbeda ditampilkan oleh media
sebagai krisis monolitik tunggal atas hukum dan aturan yang menuntut kekuasaan
hal ini, senjata paling kuat yang dimiliki media dalam mempertahankan hegemoni
kelas berkuasa adalah akses kepada penentu utama krisis -“juru bicara yang sah”-
kehidupan kultural sehari-hari, termasuk representasi dunia oleh media, dan bentuk
paling umum dari representasi media adalah melakukan stereotipe. Stereotipe yang
yang negatif dapat dengan mudah dikenakan terhadap seluruh kelompok sosial dan
31
kultural. Meski demikian, stereotipe tidak selalu negatif dan tidak selalu tentang
Prancis yang selalu dilihat sebagai orang yang berbudaya tinggi dan beradab.
salah satu contoh subkultur muda yang spektakuler sebagai manifestasi perlawanan
subkultur Mods dan Rockers (dua subkultur Inggris yang saling berkonflik pada
awal tahun 1960-an), media kemudian melabeli kultur anak muda dengan cara
negatif dan penuh dengan stereotipe yang lalu memunculkan sebutan “sampah
“moral panic”. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan “moral panic” adalah suatu
kondisi, episode, orang atau kelompok orang yang muncul dan menjadi ancaman
terhadap nilai dan kepentingan sosial (Sardar, 2008:79). Selain faktor tidak
terbangunnya jembatan komunikasi yang baik antara subkultur yang dilabeli negatif
di mata masyarakat.
32
pemberitaan tersebut, hingga menjadikan pemberitaan tersebut sebagai komoditas,
pamungkas “bad news is a good news”. Narasi dalam wacana tentang stereotipe
negatif subkultur kerap kali menjadi konsumsi masyarakat hingga bersifat politis,
konstruksi kata-kata dan gambar yang menjadi bagian dari konstruksi realitas
(Burton, 2011:241).
Muslim di Indonesia. Dengan kapasitas penduduk yang hampir 245 juta jiwa di
Indonesia dan sekitar 86 % menganut agama Islam (BPS, 2010), eksistensi Punk
tentang apa itu Punk Muslim, apa perbedaannya dengan Punk yang sering muncul
dengan pemberitaan negatif di media, siapa Punk Muslim, bagaimana dan mengapa
menunjukan identitas diri sebagai Punk Muslim lalu apa yang mereka lakukan
dalam aktivitasnya sehari-hari sebagai Punk Muslim. Relasi antara Ahmad Zaki
selaku ‘pembina’ dan komunitas Punk Muslim yang disebut ‘anggota’ menarik
untuk dikaji karena ditilik dari judul program “Zero To Hero” kita bisa melihat
33
1.7 Metode Penelitian
oleh media dalam episode “Cahaya Hati” pada program dokumenter”Zero To Hero”
di MetroTV. Program yang berdurasi 30 menit ini lebih banyak berisi testimoni atau
‘anggota’ (Ambon, Otoy, Asep, Luthfi), Ahmad Zaki yang kemudian disebut
sebagai ‘pembina’, dan Ibu Maryam yaitu orangtua dari Ahmad Zaki. Selama ini
Punk tidak memiliki organisasi atau komunitas yang mengikat, namun demikian
kuasa/pengetahuan.
Peneliti akan meneliti dari aspek visual dan narasi yang dituturkan pada
testimoni masing-masing sosok yang ditampilkan. Hal ini karena dalam visualisasi
relasi antar ‘anggota’ dan ‘pembina’. Sedangkan di dalam teks testimoni masing-
masing sosok yang ditampilkan dapat mengurai konstruksi identitas, relasi kuasa
diantara mereka, interrelasi subkultur Punk dan agama Islam, serta proses
transformasi dan negosiasi yang menyertai kehidupan Punk Muslim. Proses seleksi
visual dan teks testimoni masing-masing sosok yang dipilih oleh media akan
34
1.7.2 Metode Pengumpulan Data
metode penelitian kualitatif karena terkait dengan kajian kultural dan kajian
penelitian ini dipilah menjadi tiga tahap yaitu, pertama, peneliti mempelajari
literatur tayangan program “Zero To Hero” yang diunduh dari website resmi
untuk awal mula subkultur Punk, kemudian perkembangan Punk di Indonesia, lalu
mengenai Punk Muslim melalui berbagai penelitian, kajian, jurnal, artikel, buku,
berita baik di media cetak maupun elektronik, fanzine cetak dan fanzine online Punk,
dan blog serta facebook resmi dari Punk Muslim. Terakhir, peneliti memilah elemen
program tayangan dokumenter “Zero To Hero” yang terdiri atas elemen naratif
tekstual dari testimoni atau pernyataan dari narasumber selaku pembina dan anggota
serta elemen visual semiotika yang mencakup setting, kostum, gesture, dan mimik
wajah.
dengan mencermati penanda utama yang terdapat pada wacana itu sendiri. Penanda
Dengan mengidentifikasi identitas sosial yang ada dalam wacana, kita dapat
mengetahui subjek wacana dan posisinya dalam wacana tersebut juga akan terlihat
pembagian posisi kelompok-kelompok sosial. Hal itu karena, pada dasarnya wacana
35
merupakan suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek yang
mengemukakan pernyataan. Oleh karena itu wacana dapat digunakan sebagai sarana
menggunakan metode semiotika sosial Theo van Leeuwen dengan prosedur analisis
karena berisi tanda-tanda visual, verbal, maupun auditory. Metode semiotika sosial
yang digunakan dalam penelitian ini awalnya merupakan metode analisis teks yang
sosial. Teks tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Seperti yang dikutip oleh Theo
van Leeuwen dalam buku Introducing Social Semiotics (Oxon: Routledge, 2005:3):
Dalam semiotika sosial, proses pemaknaan terjadi dalam suatu konteks sosial
“Semiotic resources are the actions, materials and artifacts we use for
communicative purposes, whether produced physiologically – for example,
with our vocal apparatus, the muscles we use to make facial expressions and
gestures – or technologically – for example, with pen and ink, or computer
hardware and software – together with the ways in which these resources
can be organized. Semiotic resources have a meaning potential, based on
36
their past uses, and a set of affordances based on their possible uses, and
these will be actualized in concrete social contexts where their use is subject
to some form of semiotic regime” (Van Leeuwen 2005:285)
Van Leeuwen (2005) berpendapat bahwa analisis citra dan analisis teks
linguistic merupakan dua hal yang serupa karena keduanya merupakan representasi
identitas sosial, realitas sosial dan hubungan sosial. Karena itu, semiotika sosial
maupun tindakan tertentu (Van Leeuwen, 2005). Sejalan dengan hal tersebut,
semiotika sosial digunakan dalam penelitian ini karena memberikan model analisis
yang sistematis untuk teks multimodal yang didefinisikan Kress dan van Leewuen
(1996) sebagai sebuah teks yang menggunakan lebih dari satu mode untuk
menyampaikan pesan.
secara bersamaan (verbal dan image atau gambar) namun sebuah teks tidak dapat
dianalisa hanya dengan alat analisa lingusitik saja, tetapi mengharuskan dua alat
analisa yang berbeda yaitu linguistik, dan image analysis tool seperti reading image
yang lebih menyeluruh. Kress dan van Leeuwen (1996, 2006) tidak secara eksplisit
37
bahasa. Metode tersebut menjadi langkah analisa praktis yang dapat digunakan
untuk menganalisa teks gambar termasuk dalam gambar bergerak dalam program
televisi dokumenter.
merepresentasikan pengalaman. Dalam gambar, hal ini dapat dilihat pada bagaimana
dimengerti sebagai objek yang ada dalam gambar; bisa berupa benda hidup bisa juga
berupa benda tak hidup. Sementara, ‘viewer’ atau yang melihat objek dinamakan
dihubungkan dengan cara apakah objek terlibat dalam proses ‘berinteraksi’ atau
analisis, kita harus melihat dari mana vektor berasal, dan ke mana dia bergerak.
‘bidirectional’ (dua arah), atau ‘conversion’ (ditukar atau dirubah) (Kress dan van
Leeuwen, 1996).
Ketika menganalisis gambar, kita melihat secara kritis bagaimana hubungan yang
tercipta dan dimiliki antara pembuat, yang melihat, dan objek yang ada dalam
38
gambar. Dalam gambar, ini direalisasikan melalui gaze (tatapan, dan arah tatapan),
ukuran frame dan shot, serta perspektif atau angle. Ketiga realisasi ini
menggambarkan ‘tuntutan’, atau ‘tawaran’, jarak sosial, (intim, dekat, jauh, atau
publik), kuasa serta sikap yang dimiliki oleh objek terhadap yang melihat (viewer)
Artinya, kita harus melihat bagaimana gambar disusun dan disajikan. Seperti dalam
kalimat pada bahasa verbal, bagaimana elemen dalam kalimat disusun akan
gambar memungkinkan makna tekstual serta nilai informasi yang berbeda juga.
Beberapa susunan komposisi yang mungkin dalam gambar dan sering dijadikan alat
dan Triptych. Susunan komposisi ini juga memengaruhi, meski tidak selalu
menentukan, alur baca (reading path) mereka yang melihat gambar. Selain poin-
poin yang disebutkan di atas, ketika melakukan analisa pada gambar, kita juga harus
gambar ditampilkan yang dengannya, cara pandang, sikap, dan tindakan audiens
terhadap apa yang dtampilkan dapat dipengaruhi. Sementara itu, warna juga
dianggap memiliki makna tertentu yang umumnya dipengaruhi oleh situasi dan
budaya di mana warna itu digunakan. Kress dan Van Leeuwen (2002) berargumen
bahwa warna adalah sebuah semiotic mode, sebab warna memiliki dan dapat
39
kerangka pandang tiga metafungsi bahasa, langkah selanjutnya dalam prosedur
Penulisan hasil penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab, yaitu: Bab I
indonesia dan Punk Muslim di media. Bab III: memuat analisis permasalahan yang
program dokumenter “Zero To Hero” di Metro TV. Bab IV: memuat penjabaran
tentang konstruksi “hero” dalam transformasi identitas Punk pada program “Zero
penelitian ini.
40