Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Subkultur Punk lahir dari gerakan perlawanan dan pemberontakan generasi

anak muda kelas pekerja di Inggris dan Amerika pada masa-masa krisis dunia yaitu

masa perang dingin, krisis minyak, konflik kelas, dan permasalahan politik-sosial-

ekonomi yang carut marut pada kelas pekerja. Menurut Dick Hebdige (1979)

subkultur Punk merupakan “jawaban” kaum muda terhadap parent culture yang

dianggap dominan. Reaksi kritis kelas pekerja yang merasa dirugikan atas dominasi

kapitalisme yang hanya menguntungkan kaum borjuis kelas atas kemudian

dilampiaskan pada beragam aktivitas dalam ranah seni dan budaya di komunitas

Punk. Dick Hebdige menggambarkan kondisi subkultur Punk yang berkembang di

Inggris pada era tahun 1970-an dengan sebuah situasi bahwa:

“…ketegangan antara kelompok dominan dengan bawahan dapat ditemukan


pantulannya pada tampilan subkultur – dalam gaya yang disusun dari objek-
objek sepele yang bermakna ganda” (1979:13).

Hebdige juga menerangkan kapan subkultur Punk mulai mendapat perhatian

khusus dari masyarakat karena kontroversialnya gaya dan perilaku kaum Punk. Hal

ini tercermin dalam pernyataan yang dikutip dari Hebdige yaitu “… baru pada

musim panas 1976 Punk Rock mulai memperoleh perhatian kritis, kita bahkan dapat

menetapkan waktu bermulanya kepanikan moral ini pada September 1976 ketika

seorang gadis dibuat setengah buta kena lemparan gelas bir selama festival dua hari

1
Punk di 100 club, Soho” (1979:57). Seringkali Punk dianggap meresahkan,

mengancam, mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Punk teralienasi

karena keliyan-an yang mereka tampakkan pada gaya hidup, busana, musik dan

ideologi Punk yaitu “anarki” dan “melawan yang alami”. Berbagai atribut yang

dikenakan, maupun perilaku yang ditampilkan menjadi dimensi simbolik, menjadi

bentuk stigmata, bukti dari pengasingan diri yang disengaja (Hebdige, 1979:15).

Sebagaimana kultur pemuda lainnya, Punk juga seringkali dianggap ancaman bagi

keluarga, sehingga ancaman ini direpresentasikan secara harfiah oleh media di

negara asalnya, seperti pada pemberitaan di Daily Mirror (1 Agustus 1977) dengan

judul “Victim of The Punk Rock Punch-Up: The Boy Who Feel Foul of The Mob”

(korban baku hantam Punk Rock: si bocah yang terlindas massa) dengan

menampilkan foto seorang anak terbaring di jalan seusai konfontrasi Punk lawan

Ted (Hebdige, 1979:189-190). Pada akhirnya hal tersebut membentuk pelabelan

yang bernada miring, stigma buruk tentang Punk yang dianggap merusak tatanan

masyarakat yang normal, alami, tertib dan baik.

Apabila dirunut pada kemunculan Punk di Indonesia, seperti yang

dinyatakan pada wawancara kontributor Jakartabeat.net Ardi Wilda dengan Wok the

Rock, pemilik netlabel Yes No Wave Music di Yogyakarta dan penulis “Untukmu

Generasiku” (proyek dokumentasi berupa buku foto Punk rock Indonesia, 2011),

Punk di Indonesia:

“…diawali dari popularitas band Nirvana yang telah mengantarkan band


Rancid dan band Green Day menjadi pemicu awal maraknya penggemar
musik Punk di Indonesia serta berbagai referensi zine seperti Maximum
Rocknroll, Flipper, Profane Existence dan lainnya”. (www.jakartabeat.net,
07 Januari 2011)
2
Kemudian, tambahan lain tentang sejarah awal Punk di Indonesia seperti yang

ditulis pada penelitian Punk di Jakarta oleh Fathun Karib (2009), Punk di Indonesia

bermula pada tahun 1989/1990-1995, yang dipelopori oleh band Anti Septic dan

band Young Offenders yang terinspirasi oleh band The Stupid dan sering berkumpul

di Pid Pub Jakarta.

Kelahiran Punk di Indonesia juga didorong dari kegerahan kelas bawah di

Indonesia terhadap kelas atas dan negara pada masa itu. Dominasi yang

dipertahankan dalam masyarakat kapitalis. Hal tersebut dikarenakan “masyarakat

tidak dapat berbagi sistem komunikasi bersama sepanjang ia terbelah menjadi kelas-

kelas yang bertarung” (Brecht, dalam Hebdige, 1979:34). Begitu pun yang terjadi di

Indonesia, diskursus subkultur Punk yang selama ini tampil di media dan

masyarakat selalu diwarnai stigma buruk. Beberapa diantara pemberitaan tentang

Punk di laman Bangkapos.com pada tanggal 1 Juni 2012 “Polisi Bangka Awasi

Anak Punk”, kemudian laman Okezone.com pada 08 Juli 2012 “Satpol PP Siap

Perangi Anak Punk”. Begitu pula yang terjadi dengan pemberitaan di media televisi

Indonesia misalnya pada tayangan di MetroTV pada 25 Januari 2011 “Anak

Berdandan Punk Diamankan Satpol PP Bengkulu” kemudian MetroTV pada 05

Maret 2012 berjudul “Polisi Bone Ringkus Anak Punk”.

Pemberitaan tentang Punk di Indonesia sendiri semakin merebak hingga ke

dunia internasional ketika terjadi kasus penangkapan Punk dalam acara konser amal

Punk di Aceh pada 10 Desember 2011 oleh polisi dan pemerintah Aceh. Polisi dan

pemerintah Aceh meyakini bahwa komunitas Punk telah meresahkan masyarakat


3
dan tidak sesuai dengan hukum syariah Islam yang diberlakukan di Aceh. Kantor

berita Antara Indonesia memberitakan “Komunitas "Punk" Tidak Boleh Ada di

Aceh” pada tanggal 14 Desember 2011, sedangkan koran The Jakarta Globe

memberitakan “Deputy Mayor: Punk Community a ‘New Social Disease’” dan pada

tanggal yang sama kantor berita BBC London Inggris memberitakan “Indonesia’s

Aceh Punks Shaved for ‘Re-education’”.

Punk di Indonesia dianggap meresahkan, menjadi penyakit sosial dan

sampah masyarakat sehingga harus selalu diawasi, ditangkapi, diringkus, diperangi,

dan di-sekolah-kan. Hal tersebut seringkali hanya karena seseorang berpenampilan

Punk, maka ia dianggap sebagai orang yang harus dicurigai. John Muncie (1987)

menjabarkan sebuah proses di mana media keliru merepresentasikan kelompok

minoritas, menciptakan kepanikan moral, dan menyebabkan terjadinya penguatan

norma-norma ideologis. Dalam bahasa Marxis, Gramsci melihat berita televisi

sebagai bagian dari keseluruhan aparatus ideologis televisi. Menurut Burton inilah

yang disebut “‘pemberian merek (branding) lewat representasi’ terhadap kelompok

atau perilaku sosial tertentu merupakan bagian dari proses kontrol sosial melalui

promosi terhadap pandangan-pandangan yang disepakati” (2011:180).

Seperti yang dikatakan Burton (2011:197) “Televisi tidak mempunyai

realitas (atau versi realitas) kecuali apa yang kita yakini”. Media, khususnya televisi

tidak pernah merefleksikan realitas karena ia melakukan berbagai proses yaitu

proses konstruksi, kemudian seleksi yang akhirnya terjadi representasi. Pemberitaan

tentang Punk selama ini selalu timpang terkait dengan stigma buruk yang dilekatkan

oleh masyarakat pada subkultur Punk yang kemudian dijadikan komoditas oleh
4
industri media dalam pemberitaan yang diciptakan secara masif, direpresentasikan

dengan narasi dan gambar yang semakin menyudutkan subkultur Punk di Indonesia.

Media selama ini selalu merepresentasikan relasi kelas, merepresentasikan

hubungan kekuasaan dan mengkonstruksi identitas bagi kelompok sosial, termasuk

yang terjadi pada subkultur Punk dengan hubungannya di masyarakat. Seperti yang

dikatakan oleh Stuart Hall (1996), televisi adalah wadah sekaligus pencipta yang

tentu saja telah melalui proses manipulasi dan transformasi materi dalam dua

definisi tersebut.

Namun demikian, subkultur Punk dengan stigma buruk tersebut menjadi

menarik ketika ditayangkan oleh stasiun televisi di Indonesia yaitu MetroTV lewat

program dokumenter “Zero To Hero”. Program ini menayangkan episode “Cahaya

Hati” yang on air pada tanggal 12 September 2011, hari Senin pukul 13.05 WIB

(www.metrotvnews.com). Episode ini memunculkan diskursus baru tentang Punk,

yaitu Punk Muslim. Tentu bukan sebuah kebetulan jika episode ini ditayangkan dua

minggu setelah hari lebaran tahun 2011, yang notabene masih dalam situasi bulan

puasa dan lebaran yang kental. Dalam episode “Cahaya Hati”, konten tayangan

berupa profil beberapa pemuda yang mengidentifikasi diri sebagai Punk Muslim dan

pemuda bernama Ahmad Zaki yang dianggap menguasai pengetahuan agama Islam

dan menguasai wawasan yang luas kemudian dinilai sukses dan dianggap sebagai

pahlawan atau “hero” karena mampu menjadi ‘pembina’ dari Punk Muslim serta

dianggap mampu melakukan perubahan yang bermanfaat pada perilaku Punk

Muslim tersebut.

5
Ideologi Punk memandang kemapanan sebagai bahaya sosial karena

berpotensi membatasi kebebasan berpikir, mencegah orang-orang untuk melihat

sesuatu yang benar di masyarakat, dan sebaliknya memaksa mereka untuk menuruti

kehendak kekuasaan. Sedangkan agama itu sendiri juga merupakan ideologi

dikarenakan pelbagai gagasan yang mencakup nilai dan keyakinan yang

menggerakkan perilaku sosial dan mendefinisikan keyakinan terkait dengan

hubungan-hubungan kekuasaan, ia bagian dari kesadaran dan ia adalah sesuatu yang

tumbuh bersama kita (Burton, 2011:216). Lalu bagaimana interelasi antara agama

Islam dan subkultur Punk dapat berpadu hingga menghasilkan identitas baru yaitu

Punk Muslim?

Episode tersebut menimbulkan pertanyaan bagi peneliti tentang bagaimana

agama Islam sebagai agama yang mapan, memiliki pedoman dan aturan hidup dalam

kitab Al-Qur’an dan Hadist serta dianut oleh mayoritas masyarakat di Indonesia

dapat digabungkan dengan subkultur Punk yang marjinal di Indonesia, di mana

menurut Dick Hebdige yaitu subkultur yang “memisahkan diri dari lanskap norma-

norma yang dilumrahkan” (1979:40). Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana

subkultur Punk bertransformasi dan bernegosiasi dengan identitas keislamannya

serta bagaimana media mengkonstruksi identitas Punk Muslim tersebut? Sedangkan

pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana konstruksi “hero” dalam transformasi

identitas pada program dokumenter ini?

MetroTV telah menayangkan program dokumenter “Zero To Hero” sejak

bulan Februari tahun 2010. Deskripsi program tersebut menurut produsennya yaitu

6
program dokumentasi yang meng-capture kerja keras sosok-sosok yang meretas

sukses dari nol untuk dirinya dan sekitarnya (metrotvnews.com). Kategori program

dokumenter menarik untuk ditelaah lebih lanjut sebab materi dokumenter juga

mengalami proses seleksi dan dikonstruksi menurut modus presentasi tertentu, ia

pun sama ideologisnya dengan kategori program televisi lainnya terutama ketika ia

dilihat dari sudut pandang wacana dan hegemoni. Seperti juga yang dikatakan oleh

Graeme Burton (2011:212):

“Betapapun dokumenter memutuskan untuk merepresentasikan perilaku


sosial, terutama jika menelaah perilaku tertentu dan bukan yang lain, suatu
kelompok sosial dan bukan yang lain, dokumenter sama ideologisnya dengan
drama”.

Pemahaman kita terhadap berbagai makna yang ditampilkan dalam program

dokumenter dapat dilihat dengan bagaimana ia ‘dituturkan’ dalam narasi.

Dokumenter secara tipikal mengadopsi sudut pandang tertentu dalam topiknya dan

menggunakan perangkat retoris guna membujuk audiens agar melihat sesuatu

dengan cara itu juga (Fairclough, 1995). Diskursus yang ditampilkan pada program

dokumenter “Zero To Hero” khususnya pada episode “Cahaya Hati” tidak terlepas

dari diskursus identitas dan interelasi subkultur Punk yang marjinal dan Islam yang

menjadi agama yang dianut sebagian besar warga negara Indonesia.

Islam memang merupakan nilai yang bebas untuk diintrepretasi. Namun

ketika superstruktur agama Islam yang dominan tersebut diintrepretasikan oleh

subkultur Punk di Indonesia, dan diintrepretasikan oleh agen bernama Ahmad Zaki

sebagai cara pendisiplinan atau pembinaan terhadap subkultur Punk yang diberi

7
stigma buruk di Indonesia, kemudian dikonstruksi oleh media televisi, tentu akan

menjadi kajian yang menarik. Atas dasar inilah peneliti akan mengkaji transformasi

identitas Punk Muslim yang dikonstruksi oleh media melalui program dokumenter

“Zero To Hero” di MetroTV dan menganalisis bagaimana kontruksi “hero” yang

digambarkan dalam transformasi identitas Punk tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Media televisi seringkali mengkonstruksi identitas bagi kelompok-kelompok

sosial tertentu, seperti yang dilakukan oleh program dokumenter “Zero To Hero”

dalam episode “Cahaya Hati” yang mengkonstruksi identitas Punk Muslim. Oleh

karena itu, penelitian ini akan berusaha menjawab pertanyaan mengenai:

1. Bagaimana transformasi identitas Punk menjadi Punk Muslim di dalam

program dokumenter “Zero To Hero” Metro TV?

2. Bagaimana konstruksi “hero” dalam transformasi identitas Punk pada

program dokumenter “Zero To Hero”?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji transformasi

identitas Punk Muslim yang dikembangkan oleh program dokumenter “Zero To

Hero” episode “Cahaya Hati” di MetroTV dengan representasi relasi kelas dan

hubungan kekuasaan didalamnya lewat sosok Ahmad Zaki sebagai ‘agen’ atau

‘pembina’ dengan para ‘anggota’-nya. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk

8
mengkaji bagaimana media meng-konstruksi sosok “hero” dalam transformasi

identitas tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu mengeksplanasi dan mengkaji

bagaimana transformasi identitas Punk Muslim digambarkan dalam media dan

bagaimnan peran sebuah media mainstream seperti televisi yaitu Metro TV dalam

program dokumenter “Zero To Hero” melakukan konstruksi “hero” dalam

transformasi identitas tersebut.

1.5 Tinjauan Pustaka

Setelah melakukan penelusuran kajian-kajian seputar identitas Punk Muslim

yang dikonstruksi oleh televisi, peneliti menemukan kesulitan untuk menemukan

kajian yang serupa. Namun demikian, terdapat beberapa penelitian yang membahas

tema yang hampir serupa dengan tema penelitian ini yaitu, subkultur Punk, Punk di

Indonesia dan Punk Muslim. Yang pertama adalah penelitian milik Francis

Elizabeth Stewart dari School of Languages, Cultures and Religions, University of

Stirling, UK di tahun 2011 yang berjudul Punk Rock Is My Religion: An Exploration

of Straight Edge Punk As a Surrogate of Religion. Tesis ini adalah tesis etnografi

yang mengobservasi dan meneliti keotentikan, integritas, ideologi DIY (do it

yourself), pengertian komunitas serta kaitan agama dalam komunitas Straight Edge

Punk di San Fransisco dan Bay Area.

9
Francis melihat bahwa ideologi Straight Edge Punk telah menjadi salah satu

sarana pengganti agama tradisional dengan cara melihat hubungan antara musik,

ekspresi musik, dan emosi musik terutama dari emosi-emosi ekspresi musik

“negatif” yang terlibat dalam komunitas Punk tersebut. Gaya hidup komunitas

Straight Edge Punk cenderung berbeda dengan komunitas Punk lainnya karena

Straight Edge Punk melakukan gaya hidup yang sangat sehat seperti menolak

mengkonsumsi rokok, alkohol, obat bius dan segala jenis narkotik lainnya yang

membuat seseorang dapat kehilangan kontrol atas dirinya, bahkan beberapa orang

Straight Edge Punk juga menolak mengkonsumsi kafein, melakukan seks bebas dan

memakan daging. Selain itu, Francis juga memasukkan daya tarik visual dalam

komunitas tersebut yaitu gambar tattoo, pakaian, graffiti, emblem dan berbagai

aksesoris dalam atribut keseharian yang digunakan oleh komunitas Punk di area

tersebut sebagai bagian dari penelitiannya. Dalam topik agama dan spiritualitas di

masyarakat Barat modern saat ini, ideologi Straight Edge Punk digunakan sebagai

pengganti untuk agama dan istilah pengganti ini digunakan untuk menunjukkan

gagasan pengganti dan pelindung. Therm ini, menurut Francis ditafsirkan oleh

Theodore Ziolkowski pada istilah yang sama yaitu “Modes Of Faith” yang meneliti

pengganti untuk agama sejak kemunculannya pada awal abad ke 20, pada

analisisnya Theodore mengungkap bahwa pada kenyataannya semua pengganti

ternyata tidak cukup memadai.

Berbeda dengan analisis Theodore, pada penelitian Francis, ia mengungkap

bagaimana agama yang tradisional, sekuler dan sakral dapat dibongkar dan dibangun

kembali lewat ideologi Straight Edge Punk yang otentik, menjunjung integritas, dan

10
memiliki spirit DIY. Di dunia Barat yang sekuler, urusan agama hanya ada di

tempat-tempat ibadah saja dan cukup sebatas urusan individu masing-masing. Jarang

dibawa ke dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi dalam urusan politik. Melalui

praktik sinkretis penganut Straight Edge Punk melakukan de-esensialis agama

hingga menurut Francis, akhirnya kita akan mempertimbangkan pertanyaan

mengenai apa itu agama yang sebenarnya. Namun demikian, penelitian ini hanya

mengobservasi seputar bagaimana ideologi Straigt Edge Punk menjadi agama baru

atau pengganti agama tradisional dengan cara membongkar dan membangun

kembali. Ia kurang menjelaskan bagaimana peran agama yang sebenarnya telah

menjadi sumber adopsi dalam gerakan atau gaya hidup Straight Edge Punk itu

sendiri. Selain itu, kajian yang peneliti lakukan adalah bagaimana proses negosiasi

komunitas Punk terhadap nilai-nilai dalam keyakinan agama tradisional yaitu agama

Islam yang dibawa oleh seorang agen.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian Stacy Thompson yang berjudul Punk

Production: Unfinished Business, diterbitkan pada tahun 2004 oleh Suny Press.

Penelitian ini menerangkan sejarah singkat yang mulai dijelaskan oleh Stacy dengan

mengelompokkan komunitas Punk berdasarkan scene yang berada di Inggris dan

Amerika serta bagaimana perkembangannya. Disini Stacy juga menjelaskan bahwa

terbentuknya komunitas Punk terdiri dari beberapa unsur yaitu musik, fashion

(busana), tempat berkumpul, dan pergerakan (pemikiran). Lebih lanjut, Stacy

melakukan analisis dan mengeksplorasi bagaimana estetika Punk (dilihat dari

munculnya fanzine dan label rekaman yang dibuat secara DIY) yang hingga saat ini

masih menjadi komoditas, dan hal tersebut terjadi di industri musik.

11
Pada awalnya Punk melakukan prinsip DIY untuk menghilangkan

ketergantungan dan menghapuskan dominasi perusahaan rekaman yang sifatnya

komersil. Namun demikian, pada akhirnya tujuan Punk yang ingin menghilangkan

atau menghapuskan kapitalisme dalam industri musik belum terpenuhi dan malah

berbalik melawannya, karena toh Punk dijadikan komoditas bagi industri musik

seperti masuknya band-band Punk yang berhasil direkrut oleh major label di

Amerika dan Inggris. Penelitian Stacy di bagian akhir memang lebih banyak

mengeksplorasi tentang bagaimana Punk menjadi komoditas ekonomi di industri

musik, padahal sebenarnya Punk juga menjadi komoditas ekonomi, sosial bahkan

politik di semua lini industri media, mulai dari media cetak hingga media televisi

seperti yang peneliti kaji saat ini tentang komunitas Punk Muslim. Selain itu,

penelitian Stacy tentang bagaimana Punk mengelompokkan diri menjadi komunitas-

komunitas berdasarkan empat unsur yang telah disebutkan diatas, dapat menjelaskan

terbentuknya komunitas Punk Muslim.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian etnomusikologi Jeremy Wallach dari

Bowling Green State University (2008) yang berjudul “Living the Punk Lifestyle in

Jakarta”. Penelitian ini membahas tentang intrepretasi musik Punk oleh Punk di

Jakarta yang selalu dihubungkan dengan pengalaman hidup sehari-hari, Wallach

melihat relasi ini dalam analisisnya pada setiap lirik lagu yang dibuat oleh band

Punk di Jakarta. Wallach juga membahas tentang bagaimana musik Punk dan gaya

hidup Punk beroperasi dalam budaya nasionalisme pemuda Indonesia, sehingga

Punk dijadikan alternatif musik sebagai agen sosial untuk menemukan makna,

membentuk komunitas, dan sarana ekspresi diri. Penelitian Wallach seputar gaya

12
hidup Punk di Jakarta akan membantu peneliti untuk mengkaji bagaimana subkultur

Punk di Jakarta karena lokasi pembuatan program dokumenter “Zero To Hero”

MetroTV dilaksanakan di basis Punk Muslim yaitu di Jakarta. Namun demikian,

penelitian ini lebih bersifat umum karena hanya membahas gaya hidup Punk di

Jakarta dan tidak mengkaji secara spesifik mengenai komunitas-komunitas Punk

masing-masing seperti kehadiran komunitas Punk Muslim di Jakarta. Penelitian

Wallach juga penelitian yang sifatnya etnomusikologi, Wallach berinteraksi

langsung dengan komunitas Punk dalam proses penelitiannya tetapi Wallach tidak

melakukan studi media dan mengkaji bagaimana media mengkonstruksi komunitas

Punk Muslim seperti yang peneliti lakukan

Penelitian lain yang terkait dengan Punk Muslim terdapat pada penelitian

Yeti Nurhayati (2011) yang berjudul “Pengaruh Pengajian Terhadap Sikap

Keberagamaan Komunitas Punk Muslim Di Terminal Pulogadung Jakarta Timur”

yang menguraikan tentang pengajian dalam komunitas Punk Muslim dan mencari

pengaruh pengajian tersebut terhadap sikap keberagamaan komunitas Punk Muslim.

Dalam kesimpulan penelitian ini disebutkan bahwa pengajian telah banyak merubah

sikap dari komunitas Punk Muslim yang semula sangat akrab dengan narkoba dan

seks bebas. Namun demikian, penelitian ini lebih bersifat pada penelitian yang

terfokus pada kegiatan pengajian dan hasil pengajian secara garis besar saja,

sedangkan bagaimana peran pengajian tersebut dalam membentuk identitas Punk

Muslim tidak dibahas dalam penelitian ini.

13
Dan penelitian selanjutnya yaitu penelitian Selvi Oktaviani Nurul Arifin

(2012) dengan judul “Metode Dakwah Ustadz Ahmad Zaki Pada Komunitas Punk

Muslim Di Permata Hijau Jakarta Barat”. Penelitian Selvi membahas tentang

bagaimana metode dan peranan metode dakwah yang dilakukan oleh Ahmad Zaki

terhadap komunitas Punk Muslim di Permata Hijau Jakarta Barat. Kesimpulannya

menurut Selvi, bahwa penyampaian dakwah Ahmad Zaki selalu menggunakan

bahasa yang lemah lembut, dan bijaksana dalam mengajak mereka kepada kebaikan

agar mereka berada dijalan yang lurus (tidak menyimpang dari syaria`t Islam).

Selanjutnya Selvi menambahkan bahwa Ahmad Zaki juga menjadi contoh langsung

kepada anak-anak Punk Muslim tentang apa yang telah diajarkannya dengan tujuan

agar anak-anak Punk Muslim melihat langsung apa yang telah dilakukan oleh

Ahmad Zaki sehingga lambat laun Ahmad Zaki bisa diterima dikalangan anak-anak

Punk Muslim tersebut. Penelitian ini dapat membantu peneliti untuk mengetahui

metode yang digunakan Ahmad Zaki untuk masuk dan diterima oleh subkultur

Punk.

Pada dasarnya, penelitian ini mirip dengan tema yang peneliti kaji, karena

peneliti mengkaji bagaimana hubungan antara Ahmad Zaki dan komunitas Punk

serta relasi kuasa antara Ahmad Zaki selaku ‘pembina’ dan ‘anggota’ dalam

komunitas Punk Muslim yang kemudian membentuk identitas Punk Muslim. Namun

demikian, konstruksi identitas Punk Muslim dalam relasi tersebut tidak dijabarkan

dalam penelitian Selvi, terutama proses ‘anggota’ Punk bertransformasi dan

bernegosiasi hingga memaknai identitas ke-Islamannya. Dengan adanya

keterbatasan penelitian-penelitian seputar wacana media televisi, identitas, dan Punk

14
Muslim di Indonesia maka ini tentu menjadi kelebihan bagi kajian yang peneliti

lakukan karena pada dasarnya peneliti belum menemukan kajian yang meneliti

identitas Punk Muslim yang dikonstruksi oleh media televisi melalui program “Zero

To Hero” di MetroTV dan tentang bagaimana negosiasi subkultur Punk dan agama

Islam hingga memaknai identitas Punk Muslim, maka dari itu keaslian penelitian ini

terjamin sehingga dapat dibedakan dari penelitian lainnya.

1.6 Kerangka Pemikiran

Dalam menganalisis identitas Punk Muslim pada episode “Cahaya Hati”

program “Zero To Hero” di MetroTV, peneliti menggunakan kerangka pemikiran

identitas yang dalam pandangan anti esensialisme adalah konstruksi diskursif yang

berubah maknanya menurut ruang, waktu, dan pemakaian (Aschrofht, Griffith &

Tiffin, 2003). Punk dapat masuk dan menyebar di Indonesia karena proses

globalisasi. Meminjam teori globalisasi dari Fredric Jameson, Michael Bodden

(2005: 2) menyebutkan bahwa dalam konteks negara yang otoriter dan represif,

globalisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang positif. Berbagai bentuk ide dan

produk budaya yang datang dari luar, dalam hal ini dapat memberikan semacam

kebebasan kepada subjek yang hidup dalam negara tersebut. Menurut Bodden

produk-produk budaya populer dari luar seperti Rap dan Punk, sangat membantu

generasi muda Indonesia untuk berekspresi dalam tatanan politik dan budaya yang

dibangun oleh Orde Baru (Saefullah, 2012).

Hal ini kemudian disebutkan dalam buku “Modernity And Self Identity” oleh

Anthony Giddens (1991) yang menyatakan bahwa “diri” dan “masyarakat” saling

15
berkaitan dalam lingkungan global. Identitas diri sebagai Punk tidak pernah selesai

di satu titik karena ia melalui beragam proses sehingga memungkinkan proses

transformasi dan negosiasi terhadap berbagai hal yang berada di sekitarnya. Seperti

yang disebut sebagai identitas yang dijelaskan oleh Stuart Hall (1990) yaitu identitas

selalu bersifat relasional dan tidak pernah selesai, ia selalu berada dalam proses,

selalu bernegosiasi dengan perbedaan-perbedaan yang ada sebelumnya.

Identitas adalah sebuah proses becoming yang dibangun dari sudut pandang

kesamaan dan perbedaan. Termasuk cara pandang terhadap ideologi, kekuasaan, dan

pengetahuan seperti yang terjadi pada relasi antar subjek di dalam tayangan program

“Zero To Hero”. Maka dari itu, pembahasan seputar identitas Punk Muslim dalam

program “Zero To Hero” di MetroTV akan dikaji oleh peneliti dikaitkan dengan

subkultur Punk, gaya hidup, relasi kuasa, dan media televisi.

1.6.1 Identitas Diri

Untuk dapat memahami identitas diri Punk maka peneliti kemudian melihat

teori identitas seperti yang ditawarkan oleh Anthony Giddens dalam Buku

“Modernity dan Self Identity”, di mana menurut Giddens (1991), identitas adalah

cara berpikir tentang diri kita, namun yang kita pikir tentang diri kita berubah dari

satu situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya. Giddens menyebutkan

identitas sebagai proyek karena identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan,

sesuatu yang selalu dalam proses. Proyek identitas membentuk apa yang kita pikir

tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini. Masih menurut

Giddens, identitas diri tidak diwariskan atau statis, melainkan menjadi suatu proyek

refleksif bahwa kita terus berupaya merefleksikan identitas dalam aplikasi

16
kehidupan sehari-hari, misalnya saja ketika seorang anggota komunitas motor

terlibat dengan komunitasnya dan melakukan berbagai aktivitas bersama-sama,

merasa nyaman dan merasa terwakilkan kehadirannya dengan menjadi bagian dari

komunitas motor dan tercermin pada kehidupannya sehari-hari, misalnya berangkat

kerja dengan menggunakan jaket atribut komunitas motornya. Inilah mengapa

identitas bukan seperangkat karakter yang diamati sesaat, melainkan menjadi nilai

dari kehidupan seseorang.

Identitas seseorang ditemukan pada kemampuan diri untuk menjaga narasi

tertentu. Seperti halnya yang terjadi dalam sebuah komunitas motor yang sering

melakukan beragam kegiatan mulai dari sekedar road trip bersama komunitas di

beberapa kota hingga melakukan bakti sosial di lokasi bencana untuk menjaga narasi

bahwa komunitas motor tetap eksis dan memiliki kegiatan yang dinilai positif oleh

masyarakat. Seringkali dalam beragam kegiatan komunitas motor ini menggunakan

pakaian yang diseragamkan mulai dari penggunaan kaos dengan logo komunitas,

jaket seragam hingga ke atribut bendera atau spanduk yang dibawa untuk

melegitimasi keberadaan mereka di sebuah area kegiatan berlangsung. Dalam hal

tersebut, disaat seperti itulah kita membuat, memelihara dan merevisi sekumpulan

narasi biografi, peran sosial dan gaya hidup serta cerita tentang siapa kita, dan

bagaimana kita datang serta berada di tempat seperti saat ini. Seperti dalam kutipan

Giddens (1991) berikut ini:

"A person's identity is not to be found in behaviour, nor - important though


this is - in the reactions of others, but in the capacity to keep a
particular narrative going. The individual's biography, if she is to maintain
regular interaction with others in the day-to-day world, cannot be wholly
fictive. It must continually integrate events which occur in the external
world, and sort them into the ongoing 'story' about the self."

17
Pada prinsipnya konsep identitas diri tersebut berfokus pada pengembangan narasi

tentang siapa diri kita dan bagaimana kita menampilkan diri serta mengaplikasikan

konsep diri pada kehidupan sehari-hari dan pada hubungan diri dengan orang lain,

berdasarkan norma dan nilai sosial budaya yang telah terbentuk oleh masyarakat.

Selain itu, pada dasarnya manusia juga memiliki segala kemampuan untuk

membebaskan diri dan menentukan bagaimana sesungguhnya eksistensi diri sebagai

diri yang mendapatkan ‘pencerahan’. Termasuk pencerahan yang didapatkan dari

hubungan timbal balik dengan orang lain, baik perseorangan maupun kelompok atau

komunitas yang dipandang oleh diri memiliki persamaan maupun perbedaan.

Seperti yang disebut oleh Barker (2004), bahwa tidak ada esensi dari sebuah

identitas yang harus dicari, melainkan identitas secara terus menerus diproduksi

dalam sebuah vektor kesamaan dan perbedaan. Contohnya dalam pembentukan

komunitas motor, pada awalnya dibentuk dari kesamaan hobi mengendarai motor

dan minat pada salah satu merk motor yang spesifik kemudian berlanjut dengan

acara gathering untuk mengumpulkan para anggota yang berbeda dalam hal usia,

jenis kelamin, dan strata sosial, hal tersebut dilakukan dengan maksud menyamakan

visi dan misi demi mengembangkan sebuah komunitas motor yang baru, dari sana

kemudian muncul identitas baru, yang merupakan sebuah cara untuk eksis diantara

komunitas motor lainnya. Terkadang beberapa anggota baru dari komunitas motor

tersebut adalah orang-orang yang sebelumnya sudah memiliki komunitas namun

hengkang dari komunitas lamanya dengan beragam alasan. Disinilah sifat identitas

yang akhirnya selalu tidak stabil, “…karena memang secara temporer distabilkan

oleh praktik sosial dan perilaku yang teratur” (Barker, 2004:179).

18
Identitas diri seseorang dalam komunitas meskipun tidak mengikat dan

bersifat bebas, selalu mengalami proses yang dinamis dan saling mempengaruhi

sehingga dapat membentuk identitas baru berdasarkan pengalaman diri dan

komunitas tersebut. Sebagai contoh, seorang pengendara motor yang awalnya jarang

bergaul atau berkenalan dengan orang-orang baru kemudian memutuskan untuk

bergabung ke sebuah komunitas motor, lalu setelah melalui berbagai pengalaman

berbagi cerita dan sering bepergian dengan komunitas tersebut kemudian berubah

menjadi orang yang lebih percaya diri bahkan mampu mempengaruhi orang lain

untuk ikut bergabung dalam komunitas yang sama dengan dirinya. Gagasan identitas

semacam ini menyiratkan bahwa seseorang dapat mengubah hidupnya, bahwa

identitas selalu dapat dibentuk ulang, bahwa seseorang bebas berubah dan

melahirkan kembali identitasnya sesuai pilihannya.

Meskipun dalam setiap proses pasti selalu diwarnai pertentangan dalam

sebuah keputusan untuk membentuk identitas baru. Namun seseorang mampu dan

bisa berubah sesuai pilihannya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh para ‘anggota’

dalam komunitas Punk Muslim, berbagai metode yang dilakukan Ahmad Zaki untuk

memasukkan nilai agama pada komunitas Punk tidak serta merta diterima, seperti

yang disebut oleh Giddens (1991), identitas memang tidak statis, hal ini yang

kemudian melahirkan identitas baru yaitu Punk Muslim. Dalam hal ini, persoalan-

persoalan mengenai konsep identitas diri bisa menjadi acuan untuk menganalisis

bagaimana peran diri Punk dalam bertransformasi dan bernegosiasi pada proses

menjadi seorang Punk Muslim yang dibingkai oleh Metro TV dalam program “Zero

To Hero”.

19
1.6.2 Identitas Subkultur

Secara konseptual, subkultur diartikan atau disebutkan sebagai sebuah

gerakan, tindakan, kegiatan, kelakuan kolektif, atau budaya bagian dari budaya

besar. Subkultur biasanya digunakan sebagai bentuk perlawanan atau memberikan

tawaran baru pada kultur mainstream. Perlawanan ini bisa berupa apa saja: agama,

negara, institusi, musik, gaya hidup dan segala yang dianggap mainstream (Barker,

2003:374-409). Sementara Hartley (2010:293) mendefinisikan subkultur sebagai

bentuk kolompok individu yang berbagi kepentingan, ideologi, dan praktik tertentu.

Reaksi subkultur lahir bukan hanya sebagai fenomena reaksi individual melainkan

reaksi kelompok atau komunitas terhadap problem kelas, yaitu “yang mempunyai”

dan “yang tidak mempunyai” dalam hal ini yang dimaksud mempunyai adalah

power atau kekuasaan, money atau uang dan knowledge atau pengetahuan. Di

Indonesia, permasalahan tentang kelas, kaum minoritas, kesenjangan sosial dan

ketimpangan ekonomi masih belum menemukan jalan keluar yang tepat. Pada saat

bersamaan, sangat mudah bagi masyarakat untuk mengkonsumsi gaya hidup yang

diadopsi dari negara-negara lainnya, misalnya saja gaya hidup subkultur tertentu.

Subkultur itu sendiri merupakan sikap terhadap pemaknaan ulang, sedangkan

suatu proses redefinisi tersebut disebut bricolage. Misalnya saja pada komunitas

motor di Indonesia, yang mengadopsi gaya hidup pengendara motor jenis “moge”

atau motor gede sejenis Harley Davidson. Di masyarakat Barat, komunitas Harley

Davidson dan motor besar lainnya memiliki gaya berkendara yang khas, gambar

logo komunitas yang mudah dikenali, gaya berpakaian yang unik hingga

keanekaragaman aktivitas bersama komunitasnya. Komunitas motor di Indonesia

20
tidak serta merta melakukan adopsi total, namun mengambil beberapa bagian dari

gaya hidup pengendara motor di masyarakat Barat yang dianggap layak dan bisa

diterima di kebudayaan induk. Selain komunitas motor, subkultur yang tumbuh dan

berkembang misalnya saja komunitas hip-hop, komunitas Punk, komunitas

underground, komunitas anak jalanan, komunitas cosplay, dan lain sebagainya.

Masing-masing komunitas menolak dan mengabaikan norma dan aturan yang

berlaku di masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini, Hebdige menyatakan bahwa

penolakan budaya partikular tersebut merupakan simbolik atau penolakan terhadap

ritualitas. Telaah terhadap subkultur kaum Mods di Inggris tahun 1960-an misalnya,

menunjukkan bahwa hal ini jelas terjadi karena peta sosial yang tidak seimbang,

antara kelas pekerja dan kelas berkuasa (the rulling class).

Untuk memahami identitas subkultur kita bisa melihat dari faktor pencetus

kelahiran reaksi, dalam hal ini faktor pencetusnya bisa saja terjadi karena kondisi

sosial, ekonomi, politik sebagai habitat sebuah generasi tumbuh sangat berpengaruh

pada terbentuknya karakter, mentalitas dan attitude. Ketimpangan dan ketidakadilan

menjadi momok yang mencetuskan subkultur di masyarakat. Seringkali subkultur

melihat praktik kekuasaan di mana yang ‘menang’ adalah yang berkuasa, karena

“…kelompok tertentu lebih menentukan, sementara yang lain ditempatkan secara

kurang nyaman, lebih kecil kekuasaan mereka untuk membuat dan mendesakkan

definisi tentang mereka terhadap dunia” (Hebdige, 1999:33). Subkultur underground

contohnya, resisten terhadap dominasi perusahaan rekaman musik major label yang

kerap kali menolak idealisme dalam hal bermusik hingga akhirnya komunitas

underground membangun ide untuk mandiri dengan membuat label rekaman

21
sederhana namun tetap berkualitas dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi

serta menuangkan ide-ide dalam karya musik tanpa harus melewati beragam aturan

yang menjerat seperti yang dilakukan oleh perusahan rekaman musik major label

pada umumnya.

Selain itu, subkultur, pada dasarnya memiliki dialektikanya sendiri untuk

hidup, tumbuh dan berkembang dan dalam pengembangan identitas subkultur, setiap

individu dipicu oleh berbagai persamaan yang kemudian membentuk komunitas

berdasarkan persamaan tersebut. Subkultur berusaha melawan hegemoni

kebudayaan dominan dengan mengelompokkan diri mereka sesuai karakteristik

pemersatu seperti kesamaan pemikiran, bahasa, gaya hidup, gaya berpakaian,

gagasan bermusik, keyakinan agama atau politik. Seperti yang ditulis dalam

penelitian Stacy Thompson (2004), pelaku dalam komunitas Punk misalnya, secara

historis dipengaruhi oleh empat unsur utama di dalam subkultur Punk, yaitu: musik,

fashion (busana), tempat berkumpul, dan pergerakan (pemikiran). Keempat unsur

persamaan ini datangnya tidak secara bersamaan, namun pada akhirnya saling

berpengaruh dalam mendorong terbentuknya komunitas-komunitas Punk,

diantaranya adalah Anarcho Punk, Crust Punk, Glam Punk, Hard Core Punk, Nazi

Punk, The Oi, Queer Core, Riot Grrrl, Scum Punk, Ska Punk, Skate Punk (Widya,

2010:60). Untuk dapat memahami negosiasi Punk dengan nilai agama yang

membentuk Punk Muslim, peneliti dapat menggunakan empat unsur utama pengaruh

terbentuknya komunitas dalam subkultur Punk. Seperti yang dikatakan diatas bahwa

meskipun kehadiran unsur-unsur yang membentuk komunitas Punk tidak datang

22
dalam waktu bersamaan namun empat unsur diatas mampu menjelaskan lahirnya

identitas baru dalam komunitas Punk yaitu komunitas Punk Muslim.

1.6.3 Kelas Sosial

Dalam proyek penelitian Pierre Bourdieu yang berjudul La Distinction

(1979), ia melakukan upaya kajian mengenai selera dan gaya hidup di pelbagai kelas

sosial dalam masyarakat Prancis. Dalam hal ini, Bourdieu menerangkan praktik-

budaya-dalam hal selera konsumsi-yang ditentukan oleh kepemilikan modal dalam

pelbagai kelas sosial. Ia memetakan ‘tiga zona’ (three zones) selera budaya meliputi:

selera ‘kelas atas’ (‘legitimate taste’), selera ‘kelas menengah’ (‘middle-brow taste’)

dan selera ‘kelas bawah’ (‘popular taste’). Selera budaya beserta praktik konsumsi

tersebut dibentuk lewat tingkatan kelas sosial dan mencirikan gaya hidup (life style)

(Fashri, 2014:57). Pilihan individu atau kelompok sosial mengenai jenis musik,

makanan, olahraga, bacaan, pakaian dan sebagainya, tidak sekedar menggambarkan

perbedaan selera murni, melainkan dibentuk oleh kepentingan representasi kelas,

entah itu kalangan politisi, pengusaha, artis, bahkan kalangan akademisi, dan hal

tersebut bertujuan untuk mendapatkan kehormatan atau nilai prestisius.

Sebagai contoh, kalangan wanita kelas atas lebih memilih menggunakan tas

bermerk Gucci dari luar negeri daripada tas-tas tanpa merk yang diproduksi oleh

produsen tas dalam negeri, mendengarkan musik klasik daripada musik dangdut

koplo dan naik kendaraan sekelas Ferrari daripada sekedar menggunakan kendaraan

Kijang kotak keluaran tahun 90-an. Dalam Distinction, Bourdieu memperlihatkan

mekanisme dominasi dalam praktik selera dan gaya hidup. Selain itu hal tersebut

dapat memperlihatkan bahwa masing-masing kelas sosial akan menampilkan

23
kecenderungan (disposisi) mereka dalam menilai, mengklasifikasi kelas sosial di

luar kelasnya. Semakin besar kepemilikan sosial yang dimiliki suatu

kelompok/individu, maka semakin besar peluangnya mendapatkan atau menempati

posisi strategis.

Dengan menggunakan teori Distinction milik Bourdieu, maka kita dapat

memiliki gambaran bahwa representasi kelas sosial dalam hal selera dan gaya hidup

tidaklah selalu berada dalam posisi yang setara karena terdapat distribusi

kepemilikan yang tidak merata sehingga menciptakan ketidakadilan sosial, baik

dalam kepemilikian maupun otoritas penilaian. Apresiasi kelas yang didominasi oleh

nilai-nilai kebaikan, keindahan dan kepantasan tertuju pada model kelas atas atau

menengah sehingga pada akhirnya praktik budaya kelas yang didominasi lebih

tertuju untuk meniru (mimesis) gaya hidup kelas dominan (Fashri, 2014:59). Dalam

hal ini, konsep distinction dirasa cocok untuk dapat menganalis bagaimana

penggambaran posisi dan perbedaan kelas antara Punk, Punk Muslim dan ‘pembina’

Punk Muslim yang dikonstruksi oleh media.

1.6.4 Gaya Hidup dalam Subkultur

Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang

dengan orang lain. Gaya hidup membantu kita memahami apa yang orang lakukan,

mengapa mereka melakukannya dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi

dirinya maupun orang lain. Setiap individu mempunyai kebebasan dalam

menentukan pilihan gaya hidupnya sendiri terutama di masa modernitas ini yang

pilihannya tidak terbatas. Namun demikian, meskipun terlihat sangat individual,

kenyataannya masih ada kelompok-kelompok berkuasa yang mampu membatasi

24
pilihan gaya hidup tersebut. Salah satu contoh, pada anggota komunitas motor besar

Harley Davidson memiliki gaya hidup yang jelas berbeda dengan anggota komunitas

motor bebek Yamaha. Perbedaan tersebut dilihat dari berbagai sudut, misalnya,

kemampuan seseorang membeli motor tertentu dan tentu saja gaya hidup yang ingin

ditampilkan. Pengendara motor besar Harley Davidson adalah orang-orang yang

memiliki kekuasaan dan kemampuan daya beli yang tinggi, sedangkan pengendara

motor bebek Yamaha jenis Supra misalnya adalah orang-orang yang berasal dari

kelas menengah. Seorang pengendara motor bebek yang memiliki keinginan untuk

dapat menjadi anggota komunitas motor besar Harley Davidson maka harus

memiliki kemampuan untuk membeli motor Harley Davidson atau memiliki

hubungan dengan para anggota komunitas motor besar Harley Davidson. Dari

contoh tersebut, maka dapat dilihat bahwa gaya hidup pada saat yang sama adalah

sebuah proses negosiasi seseorang dengan lingkungan tempatnya hidup dan

berkembang.

Pilihan atas gaya hidup bagi individu dalam hal ini tidak terlepas dari

persoalan mengenai habitus. Habitus merupakan sebuah konsep yang digunakan

oleh Bourdieu untuk menjelaskan praktik dan kehidupan sosial. Habitus itu sendiri

mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang dunia yang memberikan

kontribusi tersendiri pada realitas dunia itu. Menurut Bourdieu, habitus adalah

“sistem pengulangan ekspresi penampilan (disposisi) yang kemudian berkembang

menjadi struktur sosial yang berfungsi menstrukturkan struktur baru. Sistem

pengulangan itu kemudian menggenerasi menstruksturkan praktek-praktek

representasi yang secara obyektif terus berlangsung” (Bourdieu 1977: 73). Habitus

25
mendasari dan disisi lain didasari ranah (field) yang merupakan jaringan relasi

antarposisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan sosial. Habitus memetakan individu

dalam ruang sosial yang sarat ranah. Individu dengan habitusnya berhubungan

dengan yang lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan sesuai

dengan ranah dan modal yang dimilikinya di dalam ruang sosial.

Contoh yang tadi dikemukakan mengenai anggota komunitas motor besar

Harley Davidson dan komunitas motor bebek Yamaha adalah satu dari sekian

contoh yang bisa mewakilinya. Hasilnya adalah posisi, kelas, dan kekuasaan tertentu

yang dimiliki oleh individu. Posisi, kelas dan kekuasaan yang dimiliki individu

tersebutlah yang mengarahkannya kepada gaya hidup tertentu. Seorang anggota

komunitas motor besar Harley Davidson seringkali terlihat menggunakan pakaian

dan atribut berkendara misalnya sepatu, kacamata dan helm dengan harga dan

kualitas terjamin, makan di café atau restoran “berkelas”. Selain itu, para

anggotanya memiliki posisi dalam strata sosial yang tinggi misalnya pejabat militer,

pengusaha atau politikus, dan hal tersebut berlaku sejak dulu awal kemunculan

produk motor Harley di Indonesia hingga saat ini. Seperti yang dikatakan oleh

Bourdieu, bahwa habitus bukanlah hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh

struktur, tapi diciptakan oleh semacam interaksi antar waktu: disposisi yang

keduanya dibentuk oleh peristiwa masa lalu dan struktur, serta bentuk praktik dan

struktur saat ini dan juga, penting, bahwa kondisi tersebut disesuaikan dengan

persepsi kita saat ini. Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi secara

tidak sadar, seperti yang dikatakan oleh Bourdieu:

The habitus is not only a structuring structure, which organizes practices


and the perception of practices, but also a structured structure: the principle

26
of division into logical classes which organizes the perception of the social
world is itself the products of internalization of the division into social
classes. (Bourdieu, 1984: 170).

Dengan demikian, gaya hidup dapat digunakan untuk menjelaskan

bagaimana individu mencari identitasnya. Gaya hidup mengacu pada serangkaian

praktik yang dipilih individu untuk memberi bentuk material pada narasi identitas

individu. Pada akhirnya, gaya hidup dapat menopang, mendukung dan memapankan

identitas seseorang. Begitupun yang terjadi pada gaya hidup dalam subkultur yang

tercermin dari pemilihan kata dan kalimat dalam berbicara lisan dan tulisan,

kebiasaan sehari-hari memilih makanan dan minuman yang dikonsumsi hingga ke

gaya pakaian, rambut dan sepatu. Dalam teori habitus milik Bourdieu, ia

mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat

keberadaan suatu kelas. Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi

tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu

kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial

tertentu. Bourdieu mencontohkan dalam hal penguasaan bahasa, penulisan atau

pemikiran (Haryatmoko, 2003:8-11).

Bourdieu juga merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan

filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang

dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang

berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku

yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai

mempengaruhi tubuh fisiknya. Seperti misalnya pada komunitas motor besar di

Barat seringkali berpenampilan seragam yaitu laki-laki dengan postur tubuh besar,

27
bertato, rambut panjang, menumbuhkan jenggot, memakai kacamata hitam, dan

menggunakan sepatu boot khusus pengendara motor. Namun demikian, apakah

persoalan habitus tersebut juga berlaku di dalam dalam komunitas Punk Muslim

itulah yang akan diteliti oleh peneliti. Dengan melihat dan mengamati gaya hidup

yang ditampilkan dalam keseharian Punk Muslim yang ditampilkan oleh media

maka dapat ditemukan bagaimana proses negosiasi antara subkultur Punk dengan

nilai-nilai dalam agama Islam dapat bertemu dan membentuk identitas Punk Muslim

tersebut.

1.6.5 Praktek dan Relasi Kuasa/Pengetahuan

Althusser cenderung untuk melihat negara sebagaimana Marx melihat

negara, negara secara eksplisit dipahami sebagai aparatur represif (Althusser, 2008:

13). Dengan demikian negara yang dibangun atas dasar kekuasaan yang ada

padanya, merupakan wujud dominasi politik atas masyarakat dan negara selalu ada

di atas masyarakat. Aparatur represi masuk dengan cara memaksa, sedang yang lain

masuk dengan cara memengaruhi. Berangkat dari pengertian tersebut, Althusser

membedakan antara perangkat negara yang represif dengan sebutan RSA (repressive

state apparatus) dan ISA (ideological state apparatus), sebagai perangkat yang

ideologis. Kedua perangkat ini mempunyai fungsi yang sama yaitu melanggengkan

penindasan dalam relasi produksi masyarakat. Pada prakteknya, sebuah ideologi

dominan dikuatkan dan disebarkan melalui beragam cara, ideologi apparatus negara

contohnya, mampu mendudukkan subkultur Punk sebagai pelaku kejahatan hingga

ditangkap dan mengalami proses pendisiplinan oleh aparat di Aceh meski pada

kenyataannya yang dilakukan oleh sekelompok Punk tersebut hanyalah sekedar

28
kumpul, menikmati musik Punk dan berjoget moshing sebagai ekspresi emosi suka-

cita selain menjadi ritual wajib mereka ketika menikmati musik. Inilah yang

dianggap oleh Foucault sebagai “fenomena meningkatnya intervensi-intervensi

kuasa dalam kehidupan sosial” (Foucault, 1980:92-114).

Mengikuti pandangan Foucault, istilah kuasa (power) disini merujuk pada

“totalitas struktur tindakan” untuk mengarahkan tindakan dari individu-individu

yang merdeka, kuasa dijalankan terhadap mereka yang berada dalam posisi untuk

memilih dan ditujukan untuk mempengaruhi pilihan mereka. Contohnya dalam

kampanye pemilu, individu-individu dihadapkan pada ilusi banyaknya partai yang

dapat dipilih namun sejatinya pilihannya menjadi terbatas. Selain itu seringkali para

calon dan partai penyokong, membombardir masyarakat dengan beragam iklan-iklan

mulai dari iklan di jalanan hingga melalui beragam media dari televisi hingga media

sosial baru berupa Facebook, Twitter, Path, Instagram dan lain sebagainya dengan

pesan iklan yang dibuat elegan sampai iklan yang isinya menjatuhkan lawan secara

politis yang pada intinya menyampaikan maksud untuk mempengaruhi pilihan

masyarakat. Kuasa disini, melibatkan “permainan-permainan strategis diantara

pihak-pihak yang memiliki kebebasan memilih” (strategic games between liberties)

(Foucault, 1980:220).

Dalam hal ini, praktik kuasa dapat dilakukan oleh beranekaragam aktor dan

kekuatan sosial serta melupakan usaha untuk menganalisis strategi-strategi resistensi

terhadap kuasa (Foucault, 1980:156). Beberapa partai politik menggunakan pelajar,

mahasiswa hingga menggunakan subkultur Punk (iklan PKS) misalnya, demi

memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Kekuasaan adalah praktik yang terjadi

29
dalam suatu ruang lingkup tertentu dan terdapat banyak posisi yang secara strategis

berkaitan satu dengan yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kekuasaan

dalam hal tersebut menentukan susunan, aturan dan hubungan dari dalam. Bagi

Foucault, kuasa dianggap sebagai sebuah sosok yang selalu ada dalam interaksi

sosial hal tersebut karena kuasa ada dimana-mana, ditemukan dalam segala bidang

interaksi manusia, misalnya keluarga, ekonomi, sosial, politik bahkan agama. Hal

tersebut karena Foucault memandang kuasa memiliki keterkaitan dengan

pengetahuan, karena kuasa saat ini memasuki semua aspek kehidupan sosial,

misalnya relasi kuasa antara guru dan murid, dokter dan pasien, hingga ustadz dan

jamaah pengajian. Pengetahuan dipahami sebagai sebuah instrument sekaligus efek

dari kuasa (Foucault, 1979a:27,257-308). Dengan kata lain, kekuasaan bertautan

dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi kekuasaan yang menandai

subyek.

Kekuasaan dengan contoh yang telah disebutkan misalnya antara guru dan

murid, dalam hal tersebut kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan

menyediakan kekuasaan. Seorang murid yang haus akan ilmu akan berusaha

menginput dan mempelajari informasi pengetahuan yang diberikan oleh seorang

guru, dan disanalah peran guru memiliki kuasa atas pengetahuan yang ia miliki, apa

yang ingin disampaikan atau yang tidak ingin disampaikan, hanya guru yang mampu

melakukannya pada murid. Lebih lanjut, Foucault mengatakan bahwa kekuasaan

tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan

regulasi. Dalam kaitannya dengan topik yang peneliti kaji, kuasa/pengetahuan ini

akan membantu peneliti dalam mengkaji bagaimana praktek dan relasi kuasa yang

30
dilakukan oleh agen yaitu Zaki kepada komunitas Punk dan bagaimana proses

negosiasi nilai-nilai agama Islam yang dibawa oleh Zaki pada komunitas Punk yang

kemudian menjadi Punk Muslim.

1.6.6 Konstruksi Media Tentang Punk

Pandangan tentang kekuasaan media dikenalkan oleh Stuart Hall dan

koleganya dari sekolah Cultural Studies dalam buku Policing the Crisis (1978).

Buku ini menyatakan bahwa krisis sosial dan ekonomi pada tahun 1970-an

mengancam hegemoni (“konsensus” yang berkuasa) kelas berkuasa di Inggris.

Sejumlah isu sosial seperti perampokan, pergolakan perserikatan, demonstrasi

mahasiswa bahkan subkultur yang berkembang di Inggris ditampilkan oleh media

massa sebagai “moral panic”. Permasalahan yang berbeda ditampilkan oleh media

sebagai krisis monolitik tunggal atas hukum dan aturan yang menuntut kekuasaan

yang kuat. Kelas berkuasa mendapatkan kekuasaannya dengan menggunakan

gagasan-gagasan dan pengaruh kultural dan bukan menggunakan kekuatan. Dalam

hal ini, senjata paling kuat yang dimiliki media dalam mempertahankan hegemoni

kelas berkuasa adalah akses kepada penentu utama krisis -“juru bicara yang sah”-

seperti aparatur negara misalnya polisi, pengadilan dan para politisi.

Hegemoni itu sendiri adalah kemampuan kelas berkuasa untuk memerintah

dengan persetujuan, meningkatkan konsensus bagi sentimen yang berkuasa melalui

kehidupan kultural sehari-hari, termasuk representasi dunia oleh media, dan bentuk

paling umum dari representasi media adalah melakukan stereotipe. Stereotipe yang

merupakan tindakan pelabelan dengan cara mengkategorisasi orang dengan istilah

yang negatif dapat dengan mudah dikenakan terhadap seluruh kelompok sosial dan

31
kultural. Meski demikian, stereotipe tidak selalu negatif dan tidak selalu tentang

minoritas seperti subkultur. Beberapa stereotipe mendapatkan persetujuan karena

dikonstruksi media dan dunia kontemporer global, contohnya penggambaran orang

Prancis yang selalu dilihat sebagai orang yang berbudaya tinggi dan beradab.

Namun demikian, subkultur yang berkembang di Inggris dilihat sebagai

salah satu contoh subkultur muda yang spektakuler sebagai manifestasi perlawanan

simbolik terhadap tatanan kelas yang berkuasa. Subkultur dianggap menawarkan

solusi-solusi magis bagi persoalan-persoalan struktural kelas. Dalam hal ini,

konstruksi media terhadap stereotipe subkultur seringkali mengarah pada

perendahan harga diri bagi mereka yang distereotipekan, sekaligus melanggengkan

marjinalisasi dan eksklusi mereka dari kekuasaan. Sebagai contoh, penggambaran

subkultur Mods dan Rockers (dua subkultur Inggris yang saling berkonflik pada

awal tahun 1960-an), media kemudian melabeli kultur anak muda dengan cara

negatif dan penuh dengan stereotipe yang lalu memunculkan sebutan “sampah

masyarakat”. Aktivitas mereka diberitakan dengan cara yang dapat menciptakan

“moral panic”. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan “moral panic” adalah suatu

kondisi, episode, orang atau kelompok orang yang muncul dan menjadi ancaman

terhadap nilai dan kepentingan sosial (Sardar, 2008:79). Selain faktor tidak

terbangunnya jembatan komunikasi yang baik antara subkultur yang dilabeli negatif

dengan masyarakat dan sebaliknya, akhirnya semakin menyudutkan posisi subkultur

di mata masyarakat.

Media kemudian mengkonstruksi berita mengenai subkultur yang dikenai

stereotipe negatif lalu diperburuk dengan membumbui dan mendramatisir segala

32
pemberitaan tersebut, hingga menjadikan pemberitaan tersebut sebagai komoditas,

sasaran empuk yang dikelompokkan dalam berita kriminal, seperti kalimat

pamungkas “bad news is a good news”. Narasi dalam wacana tentang stereotipe

negatif subkultur kerap kali menjadi konsumsi masyarakat hingga bersifat politis,

karena media kemudian mengembangkan gagasan subkultur tersebut lewat

konstruksi kata-kata dan gambar yang menjadi bagian dari konstruksi realitas

(Burton, 2011:241).

Konstruksi media pada stereotipe negatif subkultur Punk seperti yang

peneliti kaji misalnya, kemudian dijungkirkan dengan pemberitaan mengenai Punk

Muslim di Indonesia. Dengan kapasitas penduduk yang hampir 245 juta jiwa di

Indonesia dan sekitar 86 % menganut agama Islam (BPS, 2010), eksistensi Punk

Muslim di Indonesia kemudian dikonstruksi oleh MetroTV lewat tayangan program

“Zero To Hero”, sehingga memunculkan reaksi yang memancing pertanyaan

tentang apa itu Punk Muslim, apa perbedaannya dengan Punk yang sering muncul

dengan pemberitaan negatif di media, siapa Punk Muslim, bagaimana dan mengapa

menunjukan identitas diri sebagai Punk Muslim lalu apa yang mereka lakukan

dalam aktivitasnya sehari-hari sebagai Punk Muslim. Relasi antara Ahmad Zaki

selaku ‘pembina’ dan komunitas Punk Muslim yang disebut ‘anggota’ menarik

untuk dikaji karena ditilik dari judul program “Zero To Hero” kita bisa melihat

bahwa terdapat relasi kuasa disana.

33
1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Korpus Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji konstruksi identitas Punk Muslim

oleh media dalam episode “Cahaya Hati” pada program dokumenter”Zero To Hero”

di MetroTV. Program yang berdurasi 30 menit ini lebih banyak berisi testimoni atau

pernyataan dengan gaya bertutur secara bergantian oleh 4 orang yang

mengidentifikasi diri sebagai Punk Muslim yang kemudian disebut sebagai

‘anggota’ (Ambon, Otoy, Asep, Luthfi), Ahmad Zaki yang kemudian disebut

sebagai ‘pembina’, dan Ibu Maryam yaitu orangtua dari Ahmad Zaki. Selama ini

Punk tidak memiliki organisasi atau komunitas yang mengikat, namun demikian

penggunaan kata ‘anggota’ dan ‘pembina’ memunculkan diskursus tentang

kuasa/pengetahuan.

Peneliti akan meneliti dari aspek visual dan narasi yang dituturkan pada

testimoni masing-masing sosok yang ditampilkan. Hal ini karena dalam visualisasi

tayangan terdapat beberapa adegan yang menggambarkan proses pembinaan dan

relasi antar ‘anggota’ dan ‘pembina’. Sedangkan di dalam teks testimoni masing-

masing sosok yang ditampilkan dapat mengurai konstruksi identitas, relasi kuasa

diantara mereka, interrelasi subkultur Punk dan agama Islam, serta proses

transformasi dan negosiasi yang menyertai kehidupan Punk Muslim. Proses seleksi

visual dan teks testimoni masing-masing sosok yang dipilih oleh media akan

membantu peneliti dalam menganalisa peran Metro TV dalam mengkonstruksi

identitas Punk Muslim tersebut.

34
1.7.2 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan ke dalam kategori

metode penelitian kualitatif karena terkait dengan kajian kultural dan kajian

intepretatif (Denzin dan Lincoln, 2000:3-10). Pengumpulan data-data analisis dalam

penelitian ini dipilah menjadi tiga tahap yaitu, pertama, peneliti mempelajari

literatur tayangan program “Zero To Hero” yang diunduh dari website resmi

MetroTV. Kedua, peneliti melakukan library study guna mengumpulkan literature

yang berhubungan dengan topik-topik seputar sejarah perkembangan Punk di dunia

untuk awal mula subkultur Punk, kemudian perkembangan Punk di Indonesia, lalu

mengenai Punk Muslim melalui berbagai penelitian, kajian, jurnal, artikel, buku,

berita baik di media cetak maupun elektronik, fanzine cetak dan fanzine online Punk,

dan blog serta facebook resmi dari Punk Muslim. Terakhir, peneliti memilah elemen

program tayangan dokumenter “Zero To Hero” yang terdiri atas elemen naratif

tekstual dari testimoni atau pernyataan dari narasumber selaku pembina dan anggota

serta elemen visual semiotika yang mencakup setting, kostum, gesture, dan mimik

wajah.

1.7.3 Metode Analisis Data

Identitas sosial yang terdapat dalam suatu wacana dapat diidentifikasikan

dengan mencermati penanda utama yang terdapat pada wacana itu sendiri. Penanda

utama tersebut dapat dilihat dari kesamaan-kesamaan, mitos, maupun stereotipe.

Dengan mengidentifikasi identitas sosial yang ada dalam wacana, kita dapat

mengetahui subjek wacana dan posisinya dalam wacana tersebut juga akan terlihat

pembagian posisi kelompok-kelompok sosial. Hal itu karena, pada dasarnya wacana

35
merupakan suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek yang

mengemukakan pernyataan. Oleh karena itu wacana dapat digunakan sebagai sarana

kontrol. Wacana juga memberikan kontribusi pada pengkonstruksian: identitas

sosial, hubungan sosial dan sistem pengetahuan serta makna.

Dalam kajian mengenai identitas Punk Muslim ini, peneliti akan

menggunakan metode semiotika sosial Theo van Leeuwen dengan prosedur analisis

multimodality. Program dokumenter di media televisi merupakan teks multimodal

karena berisi tanda-tanda visual, verbal, maupun auditory. Metode semiotika sosial

yang digunakan dalam penelitian ini awalnya merupakan metode analisis teks yang

diperkenalkan oleh ahli liguistik M. A. K. Halliday pada tahun 1978, yang

menekankan pada pemaknaan sebagai proses relasional dalam suatu konteks

tertentu. Makna bergantung pada konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan

sosial. Teks tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Seperti yang dikutip oleh Theo

van Leeuwen dalam buku Introducing Social Semiotics (Oxon: Routledge, 2005:3):

“…signs may not be divorced from the concrete forms of social


intercourse… and cannot exist, as such, without it…”(Hodge dan Kress,
Social Semiotics,1988:18)

Dalam semiotika sosial, proses pemaknaan terjadi dalam suatu konteks sosial

tertentu, baik yang memiliki regulasi mengenai penggunaan semiotic resources

maupun yang membebaskan penggunaan atas semiotic resources. Sedangkan

semiotic resource menurut van Leeuwen adalah:

“Semiotic resources are the actions, materials and artifacts we use for
communicative purposes, whether produced physiologically – for example,
with our vocal apparatus, the muscles we use to make facial expressions and
gestures – or technologically – for example, with pen and ink, or computer
hardware and software – together with the ways in which these resources
can be organized. Semiotic resources have a meaning potential, based on

36
their past uses, and a set of affordances based on their possible uses, and
these will be actualized in concrete social contexts where their use is subject
to some form of semiotic regime” (Van Leeuwen 2005:285)

Van Leeuwen (2005) berpendapat bahwa analisis citra dan analisis teks

linguistic merupakan dua hal yang serupa karena keduanya merupakan representasi

identitas sosial, realitas sosial dan hubungan sosial. Karena itu, semiotika sosial

lebih berfokus pada bagaimana masyarakat menggunakan resource atau sumber

semiotik untuk memproduksi alat komunikasi maupun peristiwa dan bagaimana

mereka menginterpretasikan hal-hal tersebut dalam suatu konteks situasi sosial

maupun tindakan tertentu (Van Leeuwen, 2005). Sejalan dengan hal tersebut,

semiotika sosial digunakan dalam penelitian ini karena memberikan model analisis

yang sistematis untuk teks multimodal yang didefinisikan Kress dan van Leewuen

(1996) sebagai sebuah teks yang menggunakan lebih dari satu mode untuk

menyampaikan pesan.

Diyakini bahwa pesan yang disampaikan dengan semiotic mode berbeda

secara bersamaan (verbal dan image atau gambar) namun sebuah teks tidak dapat

dianalisa hanya dengan alat analisa lingusitik saja, tetapi mengharuskan dua alat

analisa yang berbeda yaitu linguistik, dan image analysis tool seperti reading image

(membaca ‘bahasa’ gambar) yang saling mendukung menuju pemahaman makna

yang lebih menyeluruh. Kress dan van Leeuwen (1996, 2006) tidak secara eksplisit

mengurutkan satu persatu langkah analisis menggunakan teorinya, tetapi mereka

mengelaborasi dengan rinci poin-poin penting yang harus diperhatikan ketika

melakukan analisis teks visual menggunakan Reading Images. Menurut keduanya,

gambar dapat dianggap seperti bahasa verbal, merealisasikan ketiga metafungsi

37
bahasa. Metode tersebut menjadi langkah analisa praktis yang dapat digunakan

untuk menganalisa teks gambar termasuk dalam gambar bergerak dalam program

televisi dokumenter.

Pertama, dengan menggunakan langkah analisis ini peneliti harus

memperlakukan gambar seperti bahasa. Ini artinya, gambar diyakini sebagaimana

bahasa verbal merealisasikan metafungsi ideational; bagaimana gambar

merepresentasikan pengalaman. Dalam gambar, hal ini dapat dilihat pada bagaimana

misalnya objek atau represented participants atau item, dalam gambar

‘berhubungan’ dengan objek lain. Represented participants secara sederhana dapat

dimengerti sebagai objek yang ada dalam gambar; bisa berupa benda hidup bisa juga

berupa benda tak hidup. Sementara, ‘viewer’ atau yang melihat objek dinamakan

‘interactive participant’. Represented participant (objek/item dalam gambar) bisa

dihubungkan dengan cara apakah objek terlibat dalam proses ‘berinteraksi’ atau

‘berkoneksi’ (klasifikasi). Ini diwujudkan dalam bentuk vektor. Ketika melakukan

analisis, kita harus melihat dari mana vektor berasal, dan ke mana dia bergerak.

Vektor memposisikan participant sebagai aktor, reaktor, objek/goal, fenomena, atau

pembicara. Berdasarkan vektor, hubungan antar objek dalam gambar bisa

‘transactional’ (transaksional), ‘non-transactional’ (non transaksional),

‘bidirectional’ (dua arah), atau ‘conversion’ (ditukar atau dirubah) (Kress dan van

Leeuwen, 1996).

Metafungsi kedua yang direalisasikan oleh gambar adalah interpersonal.

Ketika menganalisis gambar, kita melihat secara kritis bagaimana hubungan yang

tercipta dan dimiliki antara pembuat, yang melihat, dan objek yang ada dalam

38
gambar. Dalam gambar, ini direalisasikan melalui gaze (tatapan, dan arah tatapan),

ukuran frame dan shot, serta perspektif atau angle. Ketiga realisasi ini

menggambarkan ‘tuntutan’, atau ‘tawaran’, jarak sosial, (intim, dekat, jauh, atau

publik), kuasa serta sikap yang dimiliki oleh objek terhadap yang melihat (viewer)

dan sebaliknya. Metafungsi ketiga yang direalisasikan gambar adalah textual.

Artinya, kita harus melihat bagaimana gambar disusun dan disajikan. Seperti dalam

kalimat pada bahasa verbal, bagaimana elemen dalam kalimat disusun akan

memengaruhi makna kalimat secara keseluruhan. Sususan komposisi berbeda dalam

gambar memungkinkan makna tekstual serta nilai informasi yang berbeda juga.

Beberapa susunan komposisi yang mungkin dalam gambar dan sering dijadikan alat

untuk menganalisa majalah dan media cetak diantaranya Given-New (kanan–kiri),

Ideal-Real (Ideal-Nyata), Centre-Margin (pusat-pinggir), Polarize (Ter-polarisasi),

dan Triptych. Susunan komposisi ini juga memengaruhi, meski tidak selalu

menentukan, alur baca (reading path) mereka yang melihat gambar. Selain poin-

poin yang disebutkan di atas, ketika melakukan analisa pada gambar, kita juga harus

mempertimbangkan framing dan warna yang digunakan.

Dalam tulisan ini, framing dimaknai sebagai bagaimana elemen dalam

gambar ditampilkan yang dengannya, cara pandang, sikap, dan tindakan audiens

terhadap apa yang dtampilkan dapat dipengaruhi. Sementara itu, warna juga

dianggap memiliki makna tertentu yang umumnya dipengaruhi oleh situasi dan

budaya di mana warna itu digunakan. Kress dan Van Leeuwen (2002) berargumen

bahwa warna adalah sebuah semiotic mode, sebab warna memiliki dan dapat

digunakan untuk menyampaikan makna. Kedua, setelah melihat gambar dengan

39
kerangka pandang tiga metafungsi bahasa, langkah selanjutnya dalam prosedur

analisa gambar adalah penggambaran, atau identifikasi.

1.7.4 Struktur Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab, yaitu: Bab I

memuat tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, kerangka pemikiran, dan metodologi penelitian. Bab II:

menjabarkan mengenai sejarah perkembangan Punk di Indonesia, Punk Muslim di

indonesia dan Punk Muslim di media. Bab III: memuat analisis permasalahan yang

terkait dengan pertanyaan pertama dalam rumusan masalah, yakni pembahasan

tentang bagaimana transformasi identitas Punk menjadi Punk Muslim dalam

program dokumenter “Zero To Hero” di Metro TV. Bab IV: memuat penjabaran

tentang konstruksi “hero” dalam transformasi identitas Punk pada program “Zero

To Hero”. Bab V: merupakan kesimpulan atas rangkaian jawaban atas analisis

penelitian ini.

40

Anda mungkin juga menyukai