Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA BUDAYA

“ KAJIAN BUDAYA POPULER “

ASRI AYU RUSLI

1668041007

PENDIDIKAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Kajian Budaya Populer“.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini berkat tuntunan Tuhan yang
maha Esa , tentu sangat berterima kasih kepada Dosen pengampu kami, karena membantu kami
dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisan. Namun demikian penulis telah berusaha
dengan segala kemampuan untuk melakukan yang terbaik.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca makah ini.

Makassar, 30 November 2018

Asri Ayu Rusli


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lahirnya modernisasi kehidupan telah banyak merubah cara pandang dan pola hidup
masyarakat, sehingga peradaban yang terlahir adalah terciptanya budaya masyarakat konsumtif
dan hedonis dalam lingkungan masyarakat kapitalis. Fenomena ini tidaklah dianggap terlalu
aneh, untuk dibicarakan dan bahkan sudah menjadi bagian dari budaya baru hasil dari para
importir yaitu para penguasa industri budaya yang sengaja memporak porandakan tatanan
budaya yang sudah mapan selama bertahun-tahun menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia.
Tergesernya budaya setempat dari lingkungannya disebabkan oleh Kemunculannya sebuah
kebudayaan baru yang konon lebih atarktif, fleksibel dan mudah dipahami sebagian masyarakat,
bahkan masyarakat rendah status sosialnyapun dapat dengan mudah menerapkannya dalam
aktifitas kehidupan. Sebuah istilah ”Budaya Populer” atau disebut juga dengan ”Budaya Pop”,
dimana budaya ini dalam pengaktualisasiannya mendapat dukungan dari penggunaan perangkat
berteknologi tinggi, sehingga dalam penyebarannya begitu cepat dan tepat serta mendapat respon
sebagian besar kalangan masyarakat. Budaya ini tumbuh subur dan cepat mengalami
perkembangan yang cukup signifikan dalam masyarakat perkotaan dan keberadaanya sangat kuat
pada kehidupan kaum remaja kota.

Budaya populer merupakan suatu pola tingkah laku yang disukai sebagian besar
masyarakat. Tanda-tanda pesatnya pengaruh budaya populer ini dapat kita lihat pada masyarakat
Indonesia yang sangat konsumtif. Membeli barang bukan didasarkan pada fungsi guna dan
kebutuhan tetapi lebih didasarkan pada maknanya atau prestise. Semakin maraknya dan
menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan seperti mall, industri mode atau fashion, industri
kecantikan, industri gosip, dan real estate menjadi pendukung semakin kuatnya pengaruh budaya
pop ini. Dan tentu fakta-fakta demikian tidak telepas dari peran media massa, yang dewasa ini
memiliki pengaruh yang besar dalam ruang kehidupan manusia. Apalagi beberapa decade
terakhir media mengalami perkembangan yang begitu cepat, hingga membuat batas ruang dan
waktu semakin absurd. Banyaknya pemahaman tentang budaya populer yang berkembang
dengan pesat tentu memberikan dampak yang sangat besar. Dari permasalahan tersebut perlu
dikaji lebh dalam tentang budaya populer ini, dan bagaimana dampak yang diberikan terhadap
kehidupan di masyarakat Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan budaya populer


2. Apa saja karakteristik budaya populer

3. Apa dampak yang terjadi pada masyarakat Indonesia terhadap budaya populer.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Budaya Populer

Budaya populer (dikenal juga sebagai budaya pop) adalah totalitas ide, perspektif,
perilaku, meme, citra, dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam
arus utama sebuah budaya, khususnya oleh budaya Barat di awal hingga pertengahan abad
ke-20 dan arus utama global yang muncul pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.
Dengan pengaruh besar dari media massa, kumpulan ide ini menembus kehidupan
masyarakat.

Budaya populer dipandang sebagai sesuatu yang sepele dalam rangka mencari
penerimaan konsensual melalui yang arus utama. Akibatnya, budaya populer muncul dari
balik kritisisme sengit dari berbagai sumber nonarus utama (khususnya kelompok-kelompok
agama dan kelompok kontra budaya) yang menganggapnya sebagai superfisial, konsumeris,
sensasionalis, dan rusak.

Istilah "budaya populer" muncul pada abad ke-19 atau lebih awal untuk merujuk pada
pendidikan dan "culturedness" pada kelas bawah. Istilah tersebut mulai menganggap
pengertian budaya kelas bawah terpisah (dan terkadang bertentangan dengan) "pendidikan
sejati" menuju akhir abad, penggunaan yang kemudian menjadi mapan ketika periode antar
perang. Pengertian saat ini atas istilah tersebut, budaya untuk konsumsi massa, khususnya
bermula di Amerika Serikat, digunakan pada akhir Perang Dunia II. Bentuk singkatnya
"budaya pop" berawal dari tahun 1960-an.

Budaya populer awalnya berkembang di Eropa, lebih banyak diasumsikan dengan


budaya yang melekat dengan kelas sosial bawah yang membedakannya dengan budaya tinggi
dari kelas yang elit. Budaya populer juga sering kali didekatkan dengan istilah 'mass culture'
atau budaya massa, yang diproduksi secara masal dan dikonsumsi secara masal juga. Jadi,
budaya lokal adalah produk budaya yang bersifat pabrikan, yang ada di mana-mana dan tidak
memerlukan usaha untuk mengkonsumsinya

Perubahan budaya seiring dengan perkembangan zaman membuat definisi budaya


populer menjadi semakin kompleks. Adorno dan Horkheimer (1979 dalam Barker dalam
Chaniago: 2011: 93), menjelaskan bahwa budaya kini sepenuhmya saling berpautan dengan
ekonomi politik dan produksi budaya oleh kapitalis. Menurut Burton (2008 dalam Chaniago:
2011: 93), budaya populer didominasi oleh produksi dan konsumsi barang-barang material
dan bukan oleh seni-seni sejati, manakala penciptaannya didorong oleh motif laba. Hal ini
dipertegas oleh Ibrahim (2006), yang menyatakan bahwa budaya populer yang disokong
industri budaya telah mengkonstruksi masyarakat yang tidak sekedar berlandaskan konsumsi,
tetapi juga menjadikan artefak budaya sebagai produk industri dan sudah tentunya komoditi.

Istilah “budaya populer” (culture popular) sendiri dalam bahasa latin menunjuk secara
harfiah pada “culture of the people” (budaya orang-orang atau masyarakat). Mungkin itulah
sebabnya banyak pengkaji budaya yang melihat budaya yang hidup (lived culture) dan
serangkaian artefak budaya yang bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari orang
kebanyakan (Tressia: 200: 41).

Kata populer yang sering disingkat “pop”, mengandung arti “dikenal dan disukai orang
banyak (umum)”, “sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, sudah dipahami
orang banyak, disukai dan dikagumi orang banyak” (KBBI:1989). Menurut Raymond
William dalam Storey (2004), istilah populer ini memiliki 4 makna: “banyak disukai orang”,
“jenis kerja rendahan”, “karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang”, dan “budaya
yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri” (Adi: 2011: 10).

Hebdige dalam (Subandy: 2011: xxvii), sebagai contoh memandang budaya populer
sebagai sekumpulan artefak yang ada, seperti film, kaset, acara televise, alat transportasi,
pakaian, dan sebagainya. Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai
tempat dan waktu.

2. Karakteristi Budaya Populer


Adapun karakteristik budaya populer yang di poskan secara online oleh Dary Mayendra
(2011) adalah sebagai berikut:
1. Relativisme
Budaya populer merelatifkan segala sesuatu sehinggan tidak ada yang mutlak benar
maupun mutlak salah, termasuk juga tidak ada batasan apapun yang mutlak, misalnya:
batasan antara budaya tinggi dan budaya rendah (tidak ada standar mutlak dalam bidang
seni dan moralitas).

2. Pragmatisme
Budaya populer menerima apa saja yang bermanfaat tanpa memperdulikan benar atau
salah hal yang diterima tersebut. Semua hal diukur dari hasilnya atau manfaatnya, bukan
dari benar atau salahnya. Hal ini sesuai dengan dampak budaya populer yang mendorong
orang-orang untuk malas berpikir kritis sebagai akibat dari dampak budaya hiburan yang
ditawarkannya.

3. Sekularisme
Budaya populer mendorong penyebarluasan sekularisme agama tidak lagi begitu
dipentingkan karena agama tidak relevan dan tidak menjawab kebutuhan hidup manusia
pada masa ini. Hal yang terutama adalah hidup hanya untuk saat ini (here and now),
tanpa harus memikirkan masa lalu dan masa depan.

4. Hedonism
Budaya populer lebih banyak berfokus kepada emosi dan pemuasannya daripada intelek.
Yang harus menjadi tujuan hidup adalah bersenang-senang dan menikmati hidup,
sehingga memuaskan segala hati dan hawa nafsu. Hal seperti ini menyebabkan
munculnya budaya hasrat yang mengikis budaya malu.

5. Materialisme
Budaya populer semakin mendorong paham materialism yang sudah banyak dipegang
oleh orang-orang modern sehingga manusia semakin memuja kekayaan materi, dari
segala sesuatu yang diukur berdasarkan hal itu. Budaya populer sebenarnya menawarkan
budaya pemujaan uang, hal ini dapat kita lihat dengan larisnya buku-buku self-hel
membahas mengenai menjadi orang sukses dan kaya.

6. Popularitas
Budaya populer mempengaruhi banyak orang dari setiap sub-budaya, tanpa dibatasi latar
belakang etnik, keagamaan, status sosial, usia, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
Budaya populer mempengaruhi hamper semua orang, khusunya orang-orang muda dan
remaja, hamper di semua bagian dunia, khususnya di Negara-negara yang berkembang
dan Negara-negara maju.

7. Kontemporer
Budaya populer merupakan sebuah kebudayaan yang menawarkan nilai-nilai yang
bersifat sementara, kontemporer, tidak stabil, yang terus berubah dan berganti (sesuai
tuntutan pasar dan arus zaman). Hal ini dapat dilihat dari lahgu-lagu pop yang beredar.

8. Kedangkalan
Kedangkalan (disebut juga banalisme) ini dapat dilihat misalnya dengan muncul dan
berkembangnya teknologi memberikan kemudahan hidup, tetapi manusia menjadi
kehilangan makna hidup (karena kemudahan tersebut), perteman dalam Friendster
maupun Facebook adalah pertemanan yang semu dan hanya sebatas ngobrol (chatting),
tanpa dapat menangis dan berjuang bersama sebagaimana layaknya seorang sahabat yang
sesungguhnya. Kedangkalan atau bunalisme ini juga terlihat dari semakin banyak orang
yang tidak mau berpikir, merenung, berefleksi, dan bersikap kritis. Sifat-sifat seperti
keseriusan, autentisitas, realism, kedalaman intelektual, dan narasi yang kuat cenderung
diabaikan. Hal ini menimbulkan kecenderungan bahan atau budaya yang buruk akan
menyingkirkan bahan atau budaya yang baik, karena lebih mudah dipahami dan
dinikmati. Akan muncul generasi yang “tidak mau pakai otak secara maksimal”.
9. Hibrid
Sesuai dengan tujuan teknologi, yaitu memperoleh hidup, muncullah sifat hibrid, yang
memadukan semua kemudahan yang ada dalam sebuah produk, misalnya: telepon seluler
yang sekaligus berfungsi sebagai media internet, alarm, jam, kalkulator, video, dan
kamera; demikian juga ada restoran yang sekaligus menjadi tempat baca dan
perpustakaan bahkan outlet pakaian.

10. Penyeragaman Rasa


Hamper di setiap tempat di seluruh penjuru dunia, monokultur Amerika terlihat semakin
mendominasi. Budaya tunggal semakin berkembang, keragaman bergeser ke
keseragaman. Penyeragaman rasa ini baik mencakup konsumsi barang-barang fiscal, non-
fiskal sampai dengan ilmu pengetahuan. Keseragaman ini dapat dilihat dari contoh
seperti: makanan cepat saji (fast food), minuman ringan (soft drink), dan celana jeans
yang dapat ditemukan di Negara manapun. Keseragaman ini juga dilihat dari hilangnya
oleh-oleh khas dari suatu daerah, misalnya: empek-empek Palemang dapat ditemukan di
daerah lain selain Palembang seperti Jakarta, Medan, Lampung, bahkan sudah menjamur
di Malang.

11. Budaya Hiburan


Budaya hiburan merupakan ciri yang utama dari budaya popuer di mana segala sesuatu
harus bersifat menghibur. Pendidikan harus menghibur supaya tidak membosankan, maka
munculla edutainment. Olah raga harus menghibur, maka munculla sportainment.
Informasi dan berita juga harus menghibur, maka muncullah infotainment. Bahkan
muncul juga religiotainment, agama sebagai sebuah hiburan, akibat pekawinan agam dan
budaya populer. Hal ini dapat dilihat sangat jelas bisnis hiburan merupakan bisnis yang
menjanjikan pada masa seperti ini.

12. Budaya Konsumerisme


Budaya populer juga berkaitan erat dengan budaya konsumerisme, yaitu sebuah
masyarakat yang senantiasa merasa kurang dan tidak puas secara terus menerus, sebuah
masyarakat konsumtif dan konsumeris, yang membeli bukan berdasarkan kebutuhan,
namun keinginan, bahkan gengsi. Semua yang kita miliki hanya membuat kita semakin
banyak “membutuhkan”, dan semakin banyak yang kita miliki semakin banyak
kebutuhan kita untuk melindungi apa yang sudah kita miliki. Misalnya, komputer
“membutuhkan” perangkat lunak, yang “membutuhkan” kapasitas memori yang lebih
besar, yang “membutuhkan” flash disk dan hal-hal lain yang tidak berhenti berkembang.
Ketika kita sudah memiliki memori yang besar, kita ingin memori yang lebih besar lagi
supaya komputer kita dapat bekerja lebih cepat. Barang-barang tersebut memperbudak
manusia sepanjang hidupnya agar mendapatkannya.

13. Budaya Instan


Segala sesuatu yang bersifat instan bermunculan baik dari segi makanan maupun hal
lainnya seperti mie instan, makanan cepat saji, banyak orang ingin menjadi kaya dan
terkenal secara instan dengan mengikuti audisi-audisi.
14. Budaya Massa
Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial
produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen
massa. Budaya massa ini berkembang sebagai akibat dari kemudahan-kemudahan
reproduksi yang diberikan oleh teknoogi seperti percetakan, fotografi, perekaman suara,
dan sebagainya. Akibatnya music dan seni tidak lagi menjadi objek pengalaman estetis,
melainkan menjadi barang dagangan yang wataknya ditentukan oleh kebutuhan pasar.

15. Budaya Visual


Budaya populer juga erat berkaitan dengan budaya visual yang juga sering disebut
sebagai budaya gambar atau budaya figural. Oleh sebab itu, pada zaman sekarang kita
melihat orang tidak begitu suka membaca seperti pada zaman modern (budaya
diskursif/kata). Pada zaman sekarang orang lebih suka melihat gambar, itulah sebabnya
idustri film, animasi dan kartun serta komik berkembang pesat pada zaman ini.

16. Budaya Ikon


Budaya ikon erat kaitannya dengan budaya visual. Muncul banyak ikon budaya yang
berupa manusia sebagai Madonna, Elvis Presley, Merlyn Monroe, Michael Jackson, dan
sebagainya; maupun yang berupa artefak seperti Patung Liberty, Menara Eiffel, dan
sebagainya, termasuk juga ikon merek seperti Christian Dior, Gucci, Rolex, Apple,
Ferrari, Marcedes, dan sebagainya. Jika dengan budaya Korea seperti grup-grup boy dan
girl band, makanan khas mereka seperti sushi, dan lain-lain.

17. Budaya Gaya


Budaya visual juga telah menghasilkan budaya gaya, dimana tampilan atau gaya lebih
dipentingkan daripada esensi, substansi, dan makna. Maka muncul istilah “Aku bergaya
maka aku ada”. Maka pada budaya ini, penampilan (packaging) seseorang atau sebuah
barang (branding) sangat dipentingkan.

18. Hiperealitas
Hiperealitas (hyper-reality) atau realitas yang semu (virtual reality), telah menghapuskan
perbedaan antara yang nyata dan yang semu/imajiner, bahkan menggantikan realitas dan
ilusi, antara realitas sebagaimana adanya dan realitas sebagaimana seharusnya menjadi
hilang. Menjadi hiper berarti menjadi cair, bukan melampaui atau memisahkan, opisi
lama. Ketika garis batas antara yang nyata dan yang imajiner terkikis, realitas tidak lagi
diperiksa untuk membenarkan dirinya sendiri. Realitas ini lebih “nyata daripada yang
nyata” karena telah menjadi satu-satunya eksistensi. Realitas semu ini dapat dilihat pada
permainan tomagochi atau hewan peliharaan semu (virtual pet), penggunaan simulator
(untuk permainan, untuk latihan mengemudikan pesawat dan mobil), permainan video,
dan sebagainya.

19. Hiangnya Batasan-batasan


Budaya populer menolak segala perbedaan dan batasan yang mutlak antara budaya klasik
dan budaya salon, anatar seni dan hiburan, yang ada antara budaya tinggi dan budaya
rendah, iklan dan hiburan, hal yang bermoral dan yang tidak bermoral, yang bermutu dan
tidak bermutu, yang baik dan jahat, batasan antara yang nyata dan semu, batasan waktu,
dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lagi memiliki arti yang nyata.
Perbedaan-perbedaan dan batasan-batasan tersebut ternyata hanya dimanupulasi untuk
alasan-alasan pemasaran. Akibatnya, tidak berbeda dengan es krim, burger, dan hal yang
lain. Musik dan karya seni yang lain juga dapat ditanggapi sebagai objek sensual oleh
para pendengar positif, yang ketika beraksi, tidak lagi membedakan apakah reaksi itu
kepada Simfoni Ketujuh Beet.

3. Dampak dari Budaya Populer


Tentu saja budaya popular yang menyebar di seluruh masyarakat menyebabkan
dampak-dampak yang banyak, ada dampak positif dan dampak negatif.

a. Dampak positif

1. Masyarakat bergerak maju.


Dengan adanya budaya popular ini masyarakat bergerak maju, maksudnya adalah dari
yang awalnya tradisional menjadi masyarakat yang modern.

2. Beragamnya model berpakaian.


Adanya budaya popular ini menyebabkan banyaknya model berpakaian bagi masyarakat
sehingga dapat memilih dan menyesuaikan model berpakaian yang mereka inginkan.

3. Dapat mengetahui budaya lain


Dengan adanya media massa yang menayangkan budaya lain ini, kita sebagai masyarakat
Indonesia dapat mengetahui bagaimana budaya yang ada dan berkembang di Negara lain.

b. Dampak negatif

1. Kekaburan Makna dan Pergeseran Nilai


Kekaburan makna dan pergeseran nilai disini disebabkan oleh media massa yang dengan
sengaja tidak secara langsung memaparkan budaya tersebut namun mereka mengelola
budaya yang akan disebarkan agar masyarakat lebih mudah dalam menerima budaya baru
yang akan diterima. Dengan pengolahan tersebut masyarakat akan secara tidak sadar
menerima budaya baru dan akan diadopsi oleh masyarakat. Budaya tersebut menjadi
popular karena diadopsi oleh masyarakat secara luas. Sehingga hal tersebut akan
mengaburkan makna dan akan menggeser nilai dari sebuah budaya yang sesungguhnya.

2. Media Ciptakan Gaya Hidup Sebagai Cerminan Budaya Populer


Tayangan yang di berikan dengan sengaja oleh media massa akan membentuk gaya
hidup dalam masyarakat, sehingga masyarakat akan menciptakan atau mengusung
budaya baru dan akan membentuk perilaku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma
budaya Indonesia. Contohnya adalah pergaulan bebas, materialistik, dan individualistis.

3. Hilangnya Jatidiri Bangsa Indonesia

Perilaku-perilaku yang disebabkan oleh budaya popular ini tentu saja akan menjadi
kebudayaan baru jika intensitas mereka mengandopsi budaya popular ini berlebihan.
Budaya baru tersebut tentu saja akan menggilas atau menggeser budaya Indonesia atau
budaya local yang mengutamakan nilai dan norma kesopanan dan budi pekerti luhur
sebagai adat budaya Indonesia.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Budaya populer adalah totalitas ide, perspektif, perilaku, meme, citra, dan fenomena
lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama sebuah budaya, khususnya
oleh budaya Barat. Budaya populer didominasi oeh produksi dan konsumsi barang-barang
material dan bukan oleh seni-seni sejati, yang tentunya budaya populer ini disokong industri
sehingga budaya telah mengkonstruksi masyarakat dimana budaya ini tidak sekedar
berlandaskan konsumsi bagi masyarakat, tetapi juga menjadikan artefak budaya sebagai produk
industri dan sudah tentunya komoditi. Budaya populer atau yang biasa disebut budaya pop sering
dijumpai disekitar masyarakat dan sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Budaya pop ini
selalu berubah dan mucul secara unik untuk memuaskan para konsumennya.

B. SARAN
Dengan perkembangan budaya populer dalam masyarakat, sebaiknya kita pandai menilai
lingkungan dan keadaan di sekitar kita, mana yang baik dan yang buruk. Zaman modern ini,
perkembangan teknologi akan semakin maju untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat,
namun sebaiknya perkembangan teknologi ini masyarakat harus tetap menjaga nilai-nilai, dan
norma-norma bangsa kita, bangsa Indonesia. Sebagai masyarakat yang tidak lupa terhadap
kebudayaan yang telah turun temurun menjadi kebudayaan Indonesia, tetap menjaga nilai-nilai
luhur bangsa, jangan hanya karena ingin dianggap dan terus mencari sensasi malah berdampak
buruk terhadap diri sendiri bahkan orang lain. Maka dari itu, gunakan teknologi sebaik-baiknya,
tetap menjaga ideologi bangsa dan kebudayaan kita.
DAFTAR PUSTAKA

Aslamiyah, M, “Budaya Populer” http://etheses.uin-malang.ac.id/2621/3/09410151_Bab_2.pdf

_______, “Budaya Populer” https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_populer

_______, “Dampak Dari Budaya Populer” https://lenggahanblog.wordpress.com/dampak-


dampak-dari-budaya-popular/

_______, “Media dan Pop Culture” http://hafirudinlaode.blogspot.com/2016/09/media-dan-pop-


culture-perempuan-gaya.html

Rudiansyah, “Kajian Budaya, Budaya Populer”


https://kajianbudayablog.wordpress.com/category/budaya-populer/

Anda mungkin juga menyukai