Dosen :
DIMAS AKHSIN AZHAR
Disusun oleh :
Handy Restuady - 45200201
Teori penetapan agenda secara resmi dikembangkan oleh Max McCombs dan Donald
Shaw dalam sebuah studi tentang pemilihan presiden Amerika tahun 1968 . Pengaturan
agenda adalah teori ilmu sosial; itu juga mencoba membuat prediksi. Teori tersebut juga
menyatakan bahwa media memiliki pengaruh yang besar kepada audiensnya dengan
menanamkan apa yang seharusnya mereka pikirkan, bukan apa
yang sebenarnya mereka pikirkan. Artinya, jika suatu berita sering diliput dan disorot,
khalayak akan menganggap masalah itu lebih penting.
Penelitian awal
Sejarah studi pengaturan agenda dapat ditelusuri ke bab pertama dari buku 1922 Walter
Lippmann , Opini Publik . Dalam bab itu, " Dunia di Luar dan Gambar di Kepala Kita ",
Lippmann berpendapat bahwa media massa adalah hubungan utama antara peristiwa di dunia
dan gambaran di benak masyarakat. Tanpa menggunakan istilah "pengaturan-agenda", Walter
Lippmann menulis tentang apa yang sekarang kita sebut "pengaturan-agenda". Mengikuti
buku Lippmann tahun 1922, Bernard Cohenmengamati (pada tahun 1963) bahwa pers
"mungkin tidak selalu berhasil dalam memberi tahu orang apa yang harus dipikirkan, tetapi
sangat berhasil dalam memberi tahu pembacanya apa yang harus dipikirkan. Dunia akan
terlihat berbeda bagi orang yang berbeda lanjut Cohen, tergantung pada peta yang dibuat
untuk mereka oleh penulis, editor, dan penerbit makalah yang mereka baca." Pada awal
1960-an, Cohen telah mengungkapkan gagasan yang kemudian mengarah pada formalisasi
teori penetapan agenda oleh McCombs dan Shaw. Cerita dengan pengaruh pengaturan agenda
terkuat cenderung melibatkan konflik, terorisme, kejahatan dan masalah narkoba di Amerika
Serikat. Mereka yang tidak menyertakan atau melibatkan Amerika Serikat dan politik
diasosiasikan secara negatif dengan opini publik. Pada gilirannya, kekhawatiran berkurang.
Meskipun Maxwell McCombs sudah memiliki minat di bidang ini, dia terpapar pada
pekerjaan Cohen saat melayani sebagai anggota fakultas di UCLA , dan itu adalah pekerjaan
Cohen yang sangat mempengaruhinya, dan kemudian Donald Shaw. Konsep pengaturan
agenda diluncurkan oleh McCombs dan Shaw selama pemilihan presiden 1968 di Chapel
Hill, North Carolina. Mereka memeriksa gagasan Lippmann tentang konstruksi gambar di
kepala kita dengan membandingkan isu-isu dalam agenda media dengan isu-isu kunci pada
agenda pemilih yang belum memutuskan. Mereka menemukan bukti pengaturan agenda
dengan mengidentifikasi bahwa arti-penting agenda berita sangat berkorelasi dengan agenda
pemilih. McCombs dan Shaw adalah orang pertama yang memberikan bukti empiris kepada
bidang komunikasi yang menunjukkan kekuatan media massa dan pengaruhnya terhadap
agenda publik. Bukti empiris juga menjadikan teori ini kredibilitasnya di antara teori-teori
ilmiah sosial lainnya.
Seorang sarjana yang relatif tidak dikenal bernama G. Ray Funkhouser melakukan
penelitian yang sangat mirip dengan McCombs dan Shaw sekitar waktu yang sama ketika
penulis memformalkan teori tersebut. Ketiga cendekiawan - McCombs, Shaw, dan
Funkhouser - bahkan mempresentasikan temuan mereka pada konferensi akademik yang
sama. Artikel Funkhouser diterbitkan lebih lambat dari McCombs dan Shaw, dan Funkhouser
tidak menerima pujian sebanyak McCombs dan Shaw karena menemukan pengaturan
agenda.
Contoh Kasus
Kasus pembunuhan Angeline, anak usia 8 tahun, di Denpasar Bali adalah salah satu
kasus yang menjadi perhatian netizen, tidak hanya di Bali namun juga di seluruh
Indonesia. Kasus ini dimulai dengan tersebarnya foto yang menyatakan telah hilang
seorang anak di Denpasar bernama Angeline di media sosial baik facebook hingga path.
Penyebaran foto ini pun cukup massif, tidak hanya di Bali namun juga di seluruh
Indonesia.
Berita mengenai hilangnya Angeline mulai menghiasi media cetak, hingga media
sosial. Adapun berita mengenai hilangnya Angeline beragam sudut pandang, mulai dari
Angeline yang merupakan anak angkat, hingga berita mengenai Angeline yang
merupakan korban salah asuh, yang dipekerjakan oleh Ibu angkatnya Margariet untuk
memelihara ayam dan sebagainya. Ada pula perkembangan berita adalah Angeline yang
diberitakan tidak mendapat perlakuan yang manusiawi pergi kabur dari rumah hingga
dijemput ibu aslinya. Namun diketahui bahwa opini publik yang terbentuk di sosial media
adalah Angeline anak angkat yang dipekerjakan dan diperlakukan dengan penuh
kekerasan oleh ibu angkatnya. Perkembangan kasus semakin hangat dengan kehadiran
pihak-pihak ketiga dari pemerintah seperti KPAI, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi,
dan Menteri Pemberdayaan Perempuan yang dinilai tidak disambut cukup baik oleh pihak
keluarga. Opini publik pun semakin berkembang di mana dinilai keluarga memiliki andil
dari hilangnya Angeline ini. Hal yang cukup membuat netizen semakin beropini adalah
walau keluarga terkesan menolak Kasus ini mulai menarik perhatian pada saat jasad
Angeline ditemukan tertanam di pekarangan rumahnya sendiri. Pemberitaan maupun
informasi berkembang semakin liar di media sosial. Informasi yang tersebar ada yang
berupa tudingan hingga hujatan kepada pihak keluarga, padahal belum terdapat informasi
resmi dari kepolisian.
Opini publik di media sosial adalah Angeline dibunuh oleh ibu angkatnya Margariet.
Namun opini publik di media sosial ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang
diungkapkan kepolisian di mana tersangka adalah Agus Tey asisten rumah tangga di
rumah Margariet yang bertugas membantu Margariet mengurus ayam. Namun walau
kepolisian telah mengungkapkan Agus Tey sebagai tersangka, opini publik di media
sosial tetap tidak berubah, mereka tetap menghakimi Margariet sebagai otak dari
pembunuhan Angeline.
Opini publik mengenai pelaku utama adalah ibu angkatnya Margariet berjalan terus
walau Kepolisian pada awalnya hanya menetapkan Margariet sebagai tersangka
penelantaran anak. Bahkan kepolisian menilai proses penyelidikan yang mendapat
sorotan nasional ini penuh dengan tekanan, terutama dari media. Media dinilai ingin
segera mendapatkan berita bahwa Margariet adalah tersangka utama dari kasus ini.
Dalam kasus Angeline, media sosial berperan sebagai opinion maker, di mana
terdapat realitas yang dikonstruksi oleh media sosial. Realitas ini dapat dikatakan sebagai
realitas media sosial. Realitas media sosial terbentuk melalui interaksi yang terjadi di
media sosial, dan kemudian diyakini sebagai kebenaran bagi para netizen. Adapun
realitas media sosial yang terbentuk dalam kasus Angeline adalah, (1) Angeline adalah
korban penelantaran anak oleh ibu angkatnya Margariet, (2) Agus Tey hanyalah kambing
hitam dari konspirasi pembunuhan terhadap Angeline, (3) Margariet adalah ibu angkat
yang membunuh Angeline dengan motif harta, dan sebagainya.
Hal ini menunjukkan bahwa media mempengaruhi pola pikir manusia, termasuk terhadap
apa yang dianggap penting dan tidak. Informasi yang diangkat dalam media membuat
manusia menganggap bahwa itu adalah hal yang penting dan layak untuk diperhatikan. Media
dapat membuat apa yang tidak sebelumnya tidak begitu terlihat menjadi sorotan publik, baik
hal itu memang benar-benar penting atau tidak)
Contoh lainnya adalah fenomena telolet yang cukup ramai beberapa bulan yang lalu.
Berbeda dengan contoh sebelumnya, fenomena ini terjadi melalui media yang cukup baru
yaitu media sosial. Telolet sebenarnya hanya suara klakson bus antar kota yang khas dan
nyaring, namun jadi melejit karena viral di media sosial. Saking viral-nya, orang-orang dari
luar negeri turut memperlihatkan ketertarikan mereka terhadap fenomena telolet ini.
Fenomena telolet adalah keceriaan dan kesenangan sederhana yang tadinya tidak begitu
diperhatikan menjadi sesuatu yang besar dan tampak penting. Sebelum fenomena ini melejit,
mungkin kita bahkan tidak peduli dengan suara klakson bus yang terdengar nyaring itu.
Media sosial membuat kita menganggap bahwa itu adalah sebuah fenomena yang dan tidak
biasa.
Belum selesai kasus Jiwasraya, media kembali melempar isu baru dengan adanya
ketertarikan antara kasus Jiwasraya dengan kasus ASABRI yang merupakan perusahan
yang sama sama mengelola dana asuransi. Bahkan antara Jiwasraya dan ASABRI
dianggap memiliki keterkaitan satu sama lain dimana dari data yang diperoleh
Liputan6.com, saham yang ditransaksikan oleh Jiwasraya dan ASABRI sama. Demikian
pula untuk Manajer Investasi (MI) reksadana saham ASABRI. Jika diperhatikan satu
sama lain maka dapat disimpulkan bahwa media sadar betul adanya keterkaitan antara
satu masalah dengan masalah yang lain dan mencoba mempublikasikannya sebagai
sebuah realitas yang perlu diketahui oleh masayarakat luas. Hal ini senada dengan sudut
pandang post-positivime yang merupakan aliran dari teori Agenda Setting yang lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu hasil temuan melalui observasi. Jika ditarik
pada realitas studi kasus ini setiap media memiliki kesadaran bahwa sebuah kasus
berpotensi berkembang dengan cukup cepat.
Masalah ekonomi yang merambah politik praktis Kasus Jiwasraya dinilai memiliki
kaitan dengan politik praktis meskipun bagi partai koalisi saat ini menolak dengan tegas
hal tersebut. Media pun memberitakan hal ini sebagai keniscayaan meskipun sempat
menuai kontriversi. Namun bagi kaum intelektual keterkaitan sebuah kasus dengan politik
praktis tak mungki dapat dipisahkan. Mulai dari kebijakan, keputusan yang diambil
pemerintah saat itu, hingga kesadaran akan mencuatnya sebuah kasus tentunya memiliki
sisi politis. Media sepertinya hendak menyadarkan masyarakat bahwa sebuah fenomena
yang terjadi dalam tubuh pemerintahan tentunya tak dapat dipisahkan dengan adanya
politik praktis. Namun ketika power sebuah pemerintahan membungkam netralitas media
tentunya media tak dapat berbuat banyak kecuali membeberkan apa yang disanggah oleh
pemerintahaan dimana dalam hal ini sebagai pengelola BUMN.
Agenda Setting Jiwasraya di Era Digital Keberadaan social media dalam era disrupsi
saat ini memiliki peran yang cukup penting dalam menyuarakan suara masyarakat melalui
netizen journalism. Jika dilihat dari beberapa fungsi social media, berikut ini adalah
beberapa penjabaran yang dapat ditangkap dari teori Agenda Setting di Era Digital. o
Trend postingan dalam social media Trending postingan dalam social media berupa
#JiwasrayaSkandalPilpres sempat naik menjadi trending topic di Twitter. Agenda Setting
di era digital tentunya banyak dipengaruhi oleh postingan dari netizen. Hal ini membuat
isu yangs emua tak terukur menjadi lebih muduah untuk diukur dalam jumlah tweets atau
percakapan. Berbeda dengan trending topic yang cibicarakan melalui komunikasi
konvensional yang hanya dapat diukur melalui intensitas seberapa banyak mereka
menonton televisi atau media-media tertentu yang diasosiasikan dengan ketrtarikan
netizen dalam mencari informasi terkinid ari sebuah issue yang sedang mengemuka.
Netizen saat ini pun dituntut untuk menjadi lebih kritis karena memiliki media dalam
menyuarakan responsenya terhadap sebuah kasus, Jika dulu teori agenda setting hanya
merupakan teori turunan dari teori peluru atau jarum hipodermik
saat ini justru terjadi pergeseran paradigma terhadap masyarakat yang melihat sebuah
realitas. o Agenda setting yang terbangun melalui algoritma gatekeeper Teori agenda
setting juga terjadi pergeseran karena pengarug era disrupsi yang semakin massif. Jika
dulu media konvensional hanya menampilan mana berita yang hendak diangkat ke
permukaan, namun saat ini search engine telah melakukan perluasan fungsi dengan
menekankan pada fungsi algoritma gatekeeper. Algoritma gatekeeper adalah system
dalam komputer yang menentukan mana material yang muncul dalam search engine,
social media feeds, dan apapun yang berkaitan dengan internet. Kecanggihan teknologi
dalam membuat agenda setting tentunya merupakan salah satu indikator bahwa melempar
issue ke audience bukan serta-merta hanya informasi apa yang paling penting namun juga
apa yang paling audience minati sehingga publikasi oleh media digital pun ikut terkena
imbas dari naiknya traffic terhadap sebuah topic yang biasanya telah di khususkan dalam
bentuk tagar internal sebuah portal berita seperti dibawah ini.
4. Tidak ada yang salah dalam Episode Kursi Kosong Mata Najwa
Najwa kemudian menjelaskan pertanyaan yang ia lontarkan sebagian berasal dari publik
yang disampaikan kepadanya. Oleh karena itu, ia mengundang Terawan untuk hadir dalam
acara "Mata Najwa" yang ia pandu. "Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Waktu dan
tempat dipersilahkan," ujar dia. Saat dikonfirmasi oleh Kompas.com, Najwa mengaku sudah
sering mengundang Terawan untuk hadir dalam acara "Mata Najwa". Undangan itu sudah ia
sampaikan jauh sebelum dibuatnya video "Mata Najwa" edisi "Menanti Terawan" di media sosial.
"Hampir tiap minggu selalu kirim undangan. Tiap episode soal pandemi," kata Najwa kepada
Kompas.com, Selasa (29/9/2020).
Dan juga program Mata Najwa adalah program news tv dan sesekali muncul di channel
Youtube, merupakan karya jurnalistik. Sumber hukumnya adalah UU Pers, bukan UU
Penyiaran. UU Penyiaran sendiri mengakui, program berita atau news domain dari UU Pers.
Najwa tidak menyiarkan episode kursi kosong di Trans7 (seperti biasanya) tapi di channel
YouTube. Apa karena bukan di media konvensional maka Mata Najwa bukan karya
jurnalistik? Tetap saja karya jurnalistik. Pasal 1 UU Pers no 40/1999, tegas menyebutkan
platform pers bukan hanya di media cetak dan elektronik, tetapi juga pada saluran yang
tersedia. Apakah itu wilayah UU ITE? Bukan! Itu wilayah UU Pers. Saya mendapat
informasi Polisi sudah menolak pengaduan pelapor Najwa, dan meminta pengadu
menghubungi Dewan Pers. Itu benar. Memang demikian aturannya. Ada MoU antara Dewan
Pers, Polri, dan Jaksa Agung. Pengaduan soal berita diserahkan kepada Dewan Pers yang
punya kewenangan untuk menilai suatu sengketa berita. Yang mengherankan sejauh ini
Menkes sendiri belum pernah saya dengar keberatan terhadap wawancara kursi kosong di
Mata Najwa. Padahal, menteri punya hak jawab yang wajib ditunaikan oleh Mata Najwa.
Yang mengadukan Najwa malah pihak lain. Bahkan tiba-tiba bermunculan humas-humas
Menkes di media-media sosial mengecam Najwa. Apa salahnya? Karya jurnalistik adalah
karya yang terukur. Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia adalah parameter untuk
menilai apakah Najwa melakukan pelanggaran pasal-pasal dalam KEJ.
Hanya itu ukuran menilai apakah sebuah berita melanggar kaidah jurnalistik, juga apakah
sebuah berita punya kandungan itikad buruk. Tanpa diminta, saya sudah memeriksa tayangan
itu. Sebatas pengetahuan saya, tidak ada pelanggaran kode etik dalam program Mata Naja
episode kursi kosong itu. Yang banyak dipakai orang untuk menilai Najwa, kebanyakan
karena semata ketidaksukaan, dan memandang Najwa arogan. Saya mau katakan, apakah
Najwa arogan atau suka memotong sumber bicara itu bukan kejahatan. Jangan tonton kalau
tidak suka. Saya melihat itu lebih sebagai gaya atau style. Itu sah saja.Jurnalisme sebenarnya
ilmu yang terus berkembang, termasuk platform-nya. Mungkin kursi kosong bagi banyak
orang adalah hal yang baru, tapi itu juga bukan kejahatan. Mungkin itulah salah satu
terobosan Najwa, memanfaatkan peluang yang ditawarkan media baru.Sumber berita, siapa
pun, tentu saja punya hak. Tetapi sumber berita pejabat publik hanya memiliki sedikit hak
untuk menghindar dari kewajiban memberikan penjelasan.
Pejabat publik mendapat gaji, fasilitas berlimpah, berkecukupan sumber daya, dan
anggaran dari negara. Itu semua uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan kepada
publik, termasuk menjelaskan apa yang sudah dikerjakan sesuai tugas dan amanah di
pundaknya. Dalam konteks bencana kesehatan, pandemi corona di Indonesia jelaslah sumber
yang paling kompeten adalah Menkes. Namun, Menkes Terawan pula yang berbulan-bulan
"bersembunyi." Pandemi sudah merenggut belasan ribu nyawa, dan ratusan ribu orang
tertular. Dampak ikutannya ekonomi rakyat terpuruk, kehidupan sosial-budayanya bahkan
ibadahnya menjadi berantakan. Presiden saja sebagai atasannya saya catat tiga kali
menyampaikan kegeraman kepada beberapa menterinya. Itulah pasti termasuk Menkes
karena disampaikan dalam konteks penanganan pandemi corona. Bahkan tiga kali pula
Presiden mengancam akan lakukan reshuffle.
Namun, sampai sekarang ancaman itu tak terealisasi. Artinya, sosok Terawan ini semakin
penting bagi wartawan untuk diwawancarai. Wartawan sesuai fitrahnya memang hanya patuh
pada konstitusi, pada amanah rakyat, bukan pada atasan atau pejabat setinggi apa pun
pangkatnya. Wartawan bekerja untuk sebesar-besar manfaat rakyat. Maka, sesuai prinsip
kerja jurnalistik, wartawan mana pun wajar menjadikan Menkes Terawan sebagai sumber
berita mahkota untuk diwawancarai. Tapi belum ada yang berhasil. Najwa tentu berhak
mengatasi tantangan itu. Maka lahirlah gagasan kursi kosong. Ini tidak haram dilakukan
wartawan. Baca pasal 2 huruf h KEJ: Wartawan dimungkinkan menempuh cara tertentu demi
kepentingan publik.Najwa tidak memaksa sumbernya untuk bicara.