Anda di halaman 1dari 5

TUGAS SEJARAH INDONESIA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK 4:
1) DINI AMZIYAH
2) DEVINI DWI RAHAYU
3) RIFDAH TSABITA
4) RAMA ARDIANSYAH
5) DAFFA DWI IKHWANSYAH

Guru Pembimbing: Tri Darma Sari,S.pd

SMA NEGERI 1 INDRALAYA


TAHUN AJARAN 2019-2020
SEJARAH PEMIKIRAN

Sejarah mentalitas atau sejarah pemikiran (l’histoire mentalite) sama dengan sejarah


kuantitatif, masih merupakan sebuah kemungkinan yang tidak jauh dari jangkauan. Sejarah
Mentalitas dekat dengan tingkat kesadaran masyarakat, sumbernya tersedia dengan mudah
(koran, masyarakat sejarah lisan), dan sejarah mentalitas tidak memerlukan sumber asing
(Belanda), karena topik-topik kontemporer (sesudah 1945) banyak sekali.Sebelum
mendefisinikan sejarah mentalitas, perlu kita perhatikan peristiwa-peristiwa yang
menyangkut fakta individual dan fakta sosial.

1. Pertama, fakta individual. Dalam pertemuan Sarekat Islam (SI) di Yogyakarta 20


April 1914 ada keputusan yang mendudukan Tjokroaminoto sebagai ketua dan
Samanhudi sebagai ketua kehormatan. Pada waktu itu Mas Marco yang mengelola
Majalah Doenia Bergerak di Surakarta menyesalkan peristiwa itu, karena SI telah
berpindah kepimimpinan dari wong cilik ke priyayi. Pendapat itu yidak diperhatikan
oleh Samanhudi yang terus menjalin hubungan baik denagan Tjokroaminoto.
2. Kedua, fakta sosial. Dicontohkan dua kasus mengenai collective mentality  yang
menyangkut popular art dan folk religion. Kasus pertama mengenai popular art, buku
kumpulan cerpen yang diterbitkan penerbit terkenal selama 2 (dua) tahun 1999-2000
hanya laku 376 buku, sedangkan kaset musik pop Sheila On 7 dalam seminggu (pada
2001) terjual 400.000 keping. Kasus lain menyangkut folk religion, agama yang
berbaur dengan budaya rakyat.

 Asal-Usul. Gejala dalam kasuas popolar art dan folk religion diatas termasuk collective
consciousness atau representation collective dalam peristilahan Emile Durkheim (1858-
1917). Dalam sosiologi Durkheim, mentalitas kolektif bukanlah persoalan psikologi yang
membicarakan fakta individual tetapi persoalan sosiologis. Fakta sosial ialah gejala yang
dimiliki secara umum oleh anggota-anggota kelompoknya. Durkheim mengatakan bahwa “
fakta sosial adalah semua cara  bertindak  suatu masyaraka, setuju atau tidak individunya.”
Sejarah mentalitas (l’histoire mentalite) berasal dari teori Durkheim mengenai menenai fakta
sosial itu. Sejarah mentalitas dikembangkaan oleh kelompok annales di Perancis. (Annales
d’histoire economique et sociale majalah yang didirikan Lucien Febvre dan Marc Bloch pada
1929).

Sejarah mentalitas munculpada 1960-an dan 1970-an sebagai reaksi terhadap determinisme.
Sejarah mentalitas melihat mentalitas sebagai fakta sosial, merdeka dari determinisme apa
pun. Oleh karenanya, dikatakan bahwa sejarah mentalitas telah mengangkat mentalitas dari
ruang bawah tanah ke ruang bawah atap (form cellar to attic).

Rintisan Sejarah Mentalitas. Lucien Febvre (1878-1956), dengan konsep


mengenai sensibilite dalam sejarah. Sensibilitas (sensibilite, sensibility, sensitivity) adalah
emosional manusia. Febvre mengharapkan adanya jenis sejarah yang baru tentang cinta,
kesedihan, ampunan, berkah, kematian, belas kasihan, kekejaman, ketakutan, kebencian, dan
sebagainya.

Philippe Aries (pada 1960) menerbitkan buku Centuries Of Childhood: A Social History of
Family Life, buku yang dianggap karya pertama tentang sejarah mentalitas.

Selanjutnya tema-tema sejarah mentalitas berkembang, berubah, dan diperluas. Tema baru
yang muncul: mentalitas revolusioner, kontra revolusioner, orang-orang militan, kaum
anarkis, perbanditan, pelacuran, petualangan, pembunuhan, kriminalitas, budaya
populer,penindasan, kekerasan, dan  kematian (sikap, ”seni”, upacara).

Jadi apa definisi sejarah mentalitas? Michele Vovelle yang sudah menulis sudah menulis
tentang sekularisasi pada abad ke-18 melihat adanya kekaburan bila sejarah mentaliatas
didefisinikan sebagai sejarah mentalitas kolektif saja.  Menurut Vevelle, dalam collective
mentality harus dibedakan antara pemikiran atau kesadaran kolektif yang dimiliki oleh para
elite dan orang kota dengan ketaksadaran kolektif. Maka Sejarah mentalitas menurut Vovelle 
merupakan sejarah ketaksadaran kolektif, sejarah tentang mentalitas yang pra-verbal dan pra-
refleksif.

SEJARAH MENTALITAS DI INDONESIA

Sastra dan Sejarah. Sejarah mentalitas telah dirintis oleh Sartono Kartodirdjo dengan
tulisannya “Literature and History: Soewarsih’s Buiten  het Gareel, a Piece of I’Histoire
Mentalite”. Setting cerita Bandung tahun 1930-an, menceritakan tentang semangat
nasionalisme anggota partai Marhaen pimpinan Ir. Soekarno.

Tetapi kalau kita memakai definisi Michele Vovelle tentang sejarah mentalitas sebagai
“sejarah ketaksadaran kolektif”, kiranya nasionalisme para anggota partai tidak termasuk
sejarah mentalitas. Nasionalisme mereka adalah kesadaran kolektif. Namun dalam tulisan
Soewarsih itu dikatakan bahwa sejarah mentalitas adalah sejarah pemikiran sebab keduannya
berbicara soal menti-facts.
 Sejarah Mentalitas (Oleh Sartono Kartodirdjo), ada tiga fakta dalam sejarah yaitu mentifact
(berkaitan dengan mentalitas) yang berupa ide-ide, pemikiran-pemikiran, dan gagasan-
gagasan; sosiofact yang berupa struktur sosial, kelembagaan, organisasi; dan artefact yang
berupa benda-benda.

Sosiofact sangat berpengaruh pada mentifact, misalnya pemikiran Marx berkembang pada
masa Kapitalisme, sehingga dia memikirkan Sosialisme (paham yang mengutamakan
kepentingan bersama).

Sumber: Buku Metodologi Sejarah Edisi Kedua

Link : http://nawanafrian7.blogs.uny.ac.id/2015/11/09/sejarah-pemikiran/#
Garis Besar Sejarah Pemikiran Modern

Sejarah pemikiran modern berlangsung antara tahun 1500-1800. Pemikiran modern lahir dari
konteks sosial, politik, religius, ilmu pengetahuan dan ekonomi zamannya yang ditandai oleh
berbagai fenomena (berakhirnya dominasi Gereja dan aristokrat dalam berbagai bidang,
reformasi dan kontra-reformasi, emansipasi kelas-kelas sosial, pembaruan tatanan politik,
revolusi ilmu pengetahuan) yang menuntut sumbangan pemikiran filosofis demi transformasi
budaya.

Humanisme dan renesans  mengawali periode modern. Burdoch menjelaskan keduanya


sebagai satu fenomen budaya yang sama yang membawa spirit dan visi pembaruan dengan
menggunakan sarana studia humanitatis. Pemicu filsafat modern adalah revolusi ilmiah yang
diprkarsai Copernicus dan dikembangkan oleh Kepler, Brahe, Galilei, dan Newton, yang
menawarkan berbagai perubahan dalam cara pandang terhadap kosmos, manusia, dan Allah.
Filsafat pun berkembang membahas matra-matra sosial-politik seperti yang digeluti
Machiaveli, More, Bodin hingga Grotius. Selanjutnya dibahas persoalan seputar metode dan
kritik. Dalam hal ini lahir aliran pemikiran rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme
menekankan dasar pengetahuan yang sifatnya apriori. Para rasionalis seperti Descartes,
Leibniz, Spinoza, mengungkapkan bahwa sumber pengetahuan adalah akal (rasio) dan
pengalaman hanya digunakan sebagai alat untuk mendukung apa yang telah dipikirkan
sebelumnya. Empirisme yang didukung oleh tokoh-tokoh semisal Hobbes, Locke, dan Hume,
mengedepankan sifat aposteriori pengetahuan dengan menekankan bahwa pengalaman
inderawi sebagai satu-satunya sumber pengetahuana yang absah. Selanjutnya sekitar abad-18
di Eropa lahirlah masa yang disebut zaman pencerahan (Aufklẚrung), yang mengedepankan
pendewaan ilmu pengetahuan, perkembangan paham empirisme, rasionalisme, anti-tradisi,
dan optimisme utopis. Pada masa-masa ini, Kant hadir dengan filsafat kritisisme-nya dengan
membangun suatu sintesis apriori  sebagai dasar pemikiran yang benar.

Link:https://www.kompasiana.com/eckamarley/555fe25a709773564ce28c13/garis-besar-
sejarah-pemikiran-modern#

Anda mungkin juga menyukai