Anda di halaman 1dari 43

TEOLOGI WAL-‘ASHRI:

Visi Islam Berkemajuan


di Abad Kedua

Azaki Khoirudin

M uhammadiyah dan KH. Ahmad Dahlan adalah dua sisi mata uang yang
tak terpisahkan. Keduanya bergerak dalam ruang dan waktu yang
sama. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis lahir dari adalah
sosok kiai modernis-reformis, yang bernama kecil “Muhammad Darwis”.
Kiai pembawa teologi berkemajuan. Ia mendobrak tradisi dan pola pikir yang
sempit dan jumud. Ia ingin Islam yang murni, tetapi juga Islam yang elegan
dan maju. Baginya Islam adalah jalan peningkatan kualitas hidup untuk
kemajuan. Kiai Dahlan bukan kiai slogan. Julukan Kiai wal-‘Ashri memang
cocok disematkan padanya. Ia kiai berkemajuan yang mampu berpikir dan
bertindak melampuai zamannya. Kiai Dahlan bukan sosok banyak kata
minus karsa dan karya. Ia bertablig melalui pengajian di banyak tempat.
Semua itu dilakukan dalam rangka menularkan gagasan pencerahan dan
Islam berkemajuan.
Selama ini, teologi al-Ma’un lebih dikenal dalam Muhammadiyah, tetapi
sedikit sekali yang membincang teologi al-‘Ashr. Eksplorasi dan elaborasi
gagasan Kiai Dahlan tentang al-Ma’un lebih banyak daripada al-‘Ashr.
Padahal, banyak kisah dan etos utama dalam proses diseminasi spirit al-‘Ashr
yang dilakukan Kiai Dahlan. Sebut saja misalnya “Pengajian Wal-‘Ashri” dan
“Sekolah Kader Wal-‘Ashri”. Ajaran Wal-‘Ashri mampu mendorong anak
muda saat itu untuk membeli sebuah lapangan sepak bola. Kemudian diberi
nama Lapangan Asri (kata Asri diambil dari al-‘Ashr). Di lapangan inilah,
konon, salat hari raya pertama kali dilakukan di ruang terbuka, bukan
masjid. Kiai Dahlan telah menanamkan banyak nilai “kemajuan” kepada
semua muridnya. Nilai kemajuan ini tak lain adalah benih-benih penyemaian
pembangunan peradaban berkemajuan. Nilai kan­dungan Surah al-‘Ashri
sangatlah cukup dalam menanamkan fondasi pembangunan peradaban

249
250 Azaki Khoirudin

dan mengembangkannya. Jika Surah al-Ma’un mengajarkan bagaimana


mendekatkan spiritual personal dengan spiritual sosial. Sementara itu,
Surah al-‘Ashr mengajarkan nilai-nilai inti hidup kema­nusiaan dan kualitas
peradaban.
Melalui tulisan ini, penulis ingin meneguhkan al-‘Ashr sebagai pilar besar
peradaban Muhammadiyah. Bahwa bukan hanya teologi al-Ma’un yang Kiai
Dahlan wariskan kepada Muhammadiyah. Teologi al-‘Ashr adalah juga ajaran
yang memiliki makna besar dalam gerak visi peradaban Muhammadiyah.
Karena teologi al-‘Ashr, ternyata diajarkan lebih lama tinimbang teologi al-
Ma’un. Jika Surah al-Ma’un diajarkan Kiai Dahlan selama tiga bulan, Surah al-
‘Ashr diajarkan tujuh hinga delapan bulan. Ini menandakan betapa teologi al-
‘Ashr memiliki nilai keberagamaan dalam proses pembangunan peradaban
dan kualitas hidup masyarakat.
Di sisi lain, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern, saat ini
dihadapkan modernitas baru (modernitas akhir). Sosiolog Jerman, Ulrich
Beck dalam bukunya Risk Society: Towards a New Modernity, Ulrich Beck (1992),
bahwa manusia modern memasuki babak baru dalam modernitas lanjut (late
modernity). Formasi sosial yang terbentuk mengalami transformasi menuju
formasi sosial masyarakat risiko. Kesadaran risiko kemudian mewarnai
seluruh proses interaksi sosial masyarakat risiko, termasuk interaksi politik,
ekonomi, budaya dan agama. Kunci teori ini adalah “mempertimbangkan
dampak dari risiko-risiko tersebut terhadap institusi sosial dan kehidupan-
kehidupan individu. Dalam kondisi seperti ini, karakter modernitas Muham­
madiyah untuk menjawab problem peradaban kontemporer. Di abad kedua
Muhammadiyah seharusnya merumuskan visi peradabannya.

Seputar Peradaban
Hakikat peradaban adalah sejarah manusia. Begitupun hakikat kehidupan
adalah masa kesejarahan manusia. Kebudayaan merupakan tema umum
dalam kaitan dengan setiap rumusan peradaban. Peradaban dan kebudayaan
sama-sama menunjuk pada seluruh pandangan hidup manusia, dan suatu
peradaban adalah bentuk luar dari kebudayaan. Keduanya memiliki nilai-
nilai, norma-norma, institusi-institusi, dan pola pikir yang menjadi bagian
terpenting dari suatu masyarakat yang terwariskan dari generasi ke generasi.
Menurut Samuel P. Hutington, sejarah manusia adalah sejarah peradaban itu
sendiri. Tak mungkin berbicara tentang sejarah perkembangan manusia-
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 251

yang membentang di seluruh peradaban, dari Sumeria Kuno dan Mesir hingga
peradaban Klasik, dari Meso-Amerika hingga peradaban Kristen, dalam
peradaban-peradaban Islam dan pengejahwantahan-pengejahwantahan
suksesif peradaban Cina dan Hindu-melalui terma-terma yang lain.1
Terdapat hakikat, identitas, dan dinamika masing-masing dalam melihat
peradaban.
Pertama, ide tentang peradaban ala pemikir Prancis abad XVIII, yang
memiliki logika terbalik dengan konsep “barbarisme”. Masyarakat yang
berperadaban berbeda dengan masyarakat primitif. Masyarakat urban hidup
menetap dan terpelajar. Berperadaban adalah baik, tidak berperadaban
adalah buruk. Konsep peradaban menyajikan “tolok ukur” sebagai acuan
dalam memberikan penilaian terhadap pelbagai dimanika kehidupan
masya­rakat. Selama abad XIX, masyarakat Eropa banyak melakukan upaya
intelektual, diplomasi, dan politis dalam mengelaborasi kriteria yang
diterapkan pada masyarakat-masyarakat non-Eropa yang dapat mereka
anggap sebagai “masyarakat yang telah berperadaban” dan mereka terima
sebagai bagian dari sistem yang mendunia dalam tatanan masyarakat Eropa.
Pada saat yang sama, orang-orang mulai berbicara peradaban dalam konteks
plural.2
Kedua, sebuah peradaban, kecuali di Jerman, adalah sebuah identitas
kultural. Sebagaimana para pemikir Jerman abad XIX membedakan secara
tajam antara masing-masing peradaban dikarenakan pelbagai faktor, seperti
faktor-faktor mekanis, teknologikal, material dan kebudayaan; termasuk
di dalamnya nilai-nilai, pandangan hidup, kualitas-kualitas intelektual dan
moralitas yang tinggi dari suatu masyarakat. Perbedaan ini hanya dapat
dijumpai di Jerman, tetapi tidak di luar Jerman. Beberapa antropolog telah
berkesimpulan bahwa kebudayaan masyarakat non-urban dicirikan sebagai
masyarakat primitif, tidak berubah, sedangkan masyarakat urban yang telah
berperadaban, berkembang dinamis dan kompleks. Sejalan dengan pendapat
Braudel bahwa, “tidak mungkin, dalam konteks Jerman, untuk memisahkan
kebudayaan dari bangunan dasarnya, peradaban”.
Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat komperehensif. Sebuah peradaban
adalah totalitas. Dalam peradaban setiap bagiannya terumuskan melalui

1 Samuel P. Hutington. The Clash of Civilization and the Remaking of Word Order, terj. M. Sadat
Ismail dengan judul Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, cetakan ke-12,
(Jakarta: Penerbit Qalam, 2012), h. 37-38
2 Samuel P. Hutington. The Clash of Civilization, h. 38
252 Azaki Khoirudin

ketersalingterkaitan antara masing-masing bagian dengan keseluruhannya.


Peradaban adalah entitas paling luas dari budaya. Sebuah peradaban adalah
bentuk budaya yang paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan
tataran yang paling luas dari identitas budaya kelompok masyarakat manusia
yang dibedakan secara nyata dari makhluk-makhluk lainnya. peradaban-
peradaban besar di mana “kita” berada di dalamnya, secara kultural menja­
dikan kita bagai di rumah sendiri dan dibedakan dari “mereka” yang berada
di “luar sana”. 3
Keempat, peradaban-peradaban bersifat fana, namun hidup dalam waktu
yang panjang. Peradaban berkembang, beradaptasi dan sangat berpengaruh
terhadap kehidupan manusia, “realitas-realitas yang benar-benar dapat
bertahan dalam waktu yang lama”. Keunikan dan esensi utama adalah
kontinuitas historisnya yang panjang. Peradaban adalah fakta kesejarahan
yang membentang dalam kurun waktu yang sangat panjang. Kekuasaan-
kekuasaan berkembang dan jatuh, pemerintahan-pemerintahan datang
dan pergi, peradaban-peradaban tetap ada dan “menopang kehidupan kehi­
dupan politik, sosial, ekonomi, dan bahkan ideologi”.4 Peradaban-pera­daban
senantiasa mengalami kemunduran dan sekaligus berkembang. Ia bersifat
dinamis, bangkit dan jatuh, menyatu dan saling terpisah. Inilah mengapa
peradaban harus belajar dari sejarah. Peradaban berkembang melalui
tujuh tahapan yaitu, percampuran, pergerakan, perluasan, masa konflik,
kekuasaan universal, keruntuhan, dan invasi.
Kelima, karena peradaban merupakan entitas kultural, bukan entitas-
entitas politik, sehingga tidak berpegang pada tatanan, penegakan keadilan,
kesejahteraan bersama, upaya-upaya perdamaian, mengadakan pelbagai
negosiasi, atau menetapkan “kebijakan-kebijakan” yang biasa dilakukan
oleh pemerintahan.
Menurut Ibn Khaldun, kata`umran digunakan untuk menggambarkan
konsep peradaban. Pengagum Ibn Khaldun dan penerjemah al-Muqaddimah li
Kitab al-`Ibrar ke dalam bahasa Inggris, Franz Rosenthal menerjemahkan`umran
sebagai urbanization dan civilization.5 Oleh sebab itu, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa kata dan konsep peradaban lahir di Eropa pada abad ke-19
Masehi. Konsep khas Ibn Khaldun adalah bahwa kekuatan sesuatu kerajaan

3 Samuel P. Hutington. The Clash of Civilization, h. 42-43


4 Ibid h.45
5 Abdul Rahman Ibn Khaldun,Al-Muqaddimah. terj. bahasa Inggeris oleh Franz Rosenthal,
(New York:. Pantheon, 1958) h. xxvii
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 253

tergantung kepada semangat ‘ashabiyyah di kalangan para pemimpin


dan rakyat. Sifat ashabiyah ini adalah sifat alami untuk semua makhluk
bermasyarakat. Tingkat asabiyah serta faktor-faktor yang memperkuat dan
mendukung ashabiyah, seperti agama, akan menentukan keberhasilan dan
kesinambungan sesuatu pemerintahan dan juga umat.6
Ziauddin Sardar mempertegas “konsep ‘umran”-nya Ibnu Khaldun yang
termanifestasi dalam visi “Negara Madinah”. Menurut Sardar, Negara
Madinah dibangun atas nilai-nilai etis spiritual dan kultural tertentu. Nilai-
nilai ini jelas yang membentuk sistem nilai Islam yang abadi. Kedua, terdapat
dinamika yang sangat kuat yang memberikan sifat tegar dan energi yang
berkobar pada Negara Madinah. Bagi Sardar, Al-Qur’an memberikan garis
pedoman dan prinsip-prinsip untuk semua aktivitas manusia dan kerangka
teoritis bagi parameter peradaban Islam. Al-Qur’an dan Sunnah merupakan
kerangka pedoman mutlak dari peradaban Muslim.7
Dengan mengingat teori peradaban Ibnu Khaldun, Sardar membagi jalur
cita-cita dasar menjadi komponen-komponen “fakta” dan “gaya”. Kom­
ponen fakta mewakili sifat nilai dan spiritualitas Islam yang abadi. Kom­
ponen kedua adalah gaya yang sudah tentu dapat berubah sesuai dengan
laju perkembangan zaman. Sardar menambahkan bahwa kesempurnaan
spiritual, tanpa dibarengi dengan pelaksanaan nilai-nilai Islam di bidang
sosial, ekonomi, dan politik hanya akan melahirkan peradaban yang pincang.
Sardar mementingkan bahwa untuk mencapai model “Negara Madinah”
yang diimplementasikan pada peradaban. Proyek ‘umran dapat menjadi
alternatif.8
Ditegaskan oleh Sardar, bahwa ‘umran adalah konsep peradaban yang
digunakan Ibnu Khaldun untuk menggambarkan suatu peradaban yang
dinamis dan berkemajuan, selalu berkembang dan operasional. Model
Negara Madinah sebagai model ideal. Pada hakikatnya cita-cita itu terdapat
pada konsep ‘umran, merupakan tujuan jangka panjang. Cita-cita peradaban
Muslim diartikulasikan dan direalisasikan dengan baik. Sardar menyatakan,
“kesempurnaan spiritual, tanpa dibarengi dengan pelaksanaan norma-
norma Islam dalam bidang sosial-budaya, sosial-ekonomi, dan sosial-politik,
hanya akan melahirkan suatu peradaban yang pincang, seperti karya seni
yang tidak selesai”.

6 Ibid. h. 264-
7 Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, (Bandung, Mizan: 1989), h.29
8 Ibid, h. 150
254 Azaki Khoirudin

Empat Pilar Peradaban Islam Berkemajuan:


Inspirasi Wal-‘Ashri
Wal-‘Ashr dapat menjadi ideologi peradaban. Surah Al-‘Ashr dapat ditautkan
dengan konsep peradaban. Di kandungan surah ini terdapat sumpah Islam
yang berkemajuan Karena itu makna, wa al-‘ashr inna al-insâna lafî khusr,
(demi kehidupan, sesungguhnya peradaban umat manusia di dalam aneka
ragam kehancuran). Kiai Dahlan pun sebenarnya sangat takut dengan risiko-
risiko kehidupan. Maka ia pernah menuliskan peringatan untuk dirinya
sendiri, “Hai Dahlan!! Sungguh bahaya yang menyusahkan itu terlalu besar,
demikian pula perkara-perkara yang mengejutkan di depanmu, dan pasti
kau akan menemui kenyataan demikian itu, mungkin engkau selamat tetapi
juga mungkin tewas menemui bahaya.”
Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa, wa al-‘ashr memiliki makna ‘demi
waktu yang bergerak ke depan’, ‘ke masa depan’, ‘demi waktu yang bergerak
maju’, ‘demi masa yang menuju masa depan’, atau ‘demi kehidupan yang
senantiasa bergerak maju’, bukan waktu masa lampau, jadul (zaman dulu), dan
berkemunduran. Di sini Allah menggunakan kata al-‘Ashr untuk menjelaskan
masa. Selain bermakna waktu ashar, dalam beberapa Kamus Bahasa Arab,
al-‘Ashr juga memiliki makna maju, baru, dan modern. Kata ‘ashara berarti
memodernkan, membuat sesuatu menjadi baru, dan menjadikan modern.9
Dengan kata lain adalah “demi waktu yang berkemajuan”. Selain secara
makna, ayat ini juga memiliki sosio-historis dengan Kiai Dahlan, sehingga
teologi al-‘Ashr harus dijadikan basic teologis Islam Berkemajuan di abad
kedua.
Surah al-‘Ashr itu sangat padat, mencakup kehidupan sejarah peradaban
umat manusia. Transformasi teologi al-’Ashr dapat membawa manusia ke
arah kehidupan akhirat yang baik dan kehidupan dunia yang berkemajuan
dan berperadaban tinggi.10 Hal ini dinyatakan Imam Syafii bahwa andai kata
Allah tidak menurunkan ayat atau surah dari al-Qur’an, maka cukuplah
dengan wa al-‘Ashri. Betapa ayat ini meliputi peradaban dan gerak langkah
manusia. Samuel P. Hutington mengatakan hakikat peradaban adalah sejarah
manusia, dan sejarah manusia adalah sejarah peradaban itu sendiri.

9 Sukriyanto, AR., “Menangkap Pesan Surah al-‘Ashr”, (Wirokerten, 2 Dzulhijjah 1435/ 26


September 2014), h. 2
10 Ibid, h. 1
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 255

Dalam Surah al-‘Ashr, ayat-ayatnya menggunakan bentuk jamak dalam


meningkatkan kualitas hidup individu maupun masyarakat, yaitu kata-
kata al-insân, khusr, âmanû, ‘amilû, dan tawâshau, maka kualitas hidup
lebih bersifat kolektif (al-muj’tama’). Kehidupan kolektif biasanya disebut
dengan ummah. Dalam Muhammadiyah populer istilah khairu ummah
(umat terbaik atau masyarakat utama). Masyarakat utama dalam bentuk
kebudayan atau peradaban yang maju dan berkemajuan perspektif teologi
al-‘Ashr ini berlawanan dengan konsep khusr (‘kerugian’, ‘kehancuran’,
‘primitif’, ‘tertinggal’, dan ‘berkemunduran’). Sebagaimana ditunjukkan
oleh Allah dalam kalimat inna al-insâna lafî khusr, yang mengisyaratkan
bahwa sesunggunya seluruh manusia benar-benar di dalam beraneka ragam
kehancuran peradaban. Bertolak dari sinilah kemudian kita dapatkan konsep
peradaban utama atau peradaban berkemajuan tersebut sebagai antitesis
dari kondisi umum masyarakat khusr (keterbelakangan). Untuk mencapai
lingkungan peradaban yang maju, maka teologi al-‘Ashr memberikan empat
pilar untuk merajut peradaban.
Dari Surah al-‘Ashr dapat menjelaskan empat pilar untuk membangun
sebuah peradaban yang berkemajuan. Pilar pertama, iman dalam konsep
peradaban adalah paradigma tauhid. Tauhid menjadi intisari peradaban
Islam. Tauhid sebagai pilar mendasar karena esensinya adalah menghadirkan
Allah dalam kehidupan sehari-hari yang dipahami dari penggalan ayat
âmanû. Pilar kedua, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks) yang
dipahami dari penggalan ayat wa tawâshau bi al-haq; bukankah ilmu itu
mempertanyakan kebenaran?. Al-haq di sini dipahami simbol dari ilmu,
karena selain kebenaran Mutlak ada kebenaran relatif, kebenaran relatif
inilah ilmu pengetahuan teknologi dan sains. Selain itu secara historis
tidak ada kebudayaan/peradaban yang maju tanpa Ipteks yang maju. Ipteks
menjadi lebih holistik: ilmu (kognitif), teknologi (skill/psikomotor), dan seni
(afektif). Pilar ketiga adalah kerja keras, produktif, mendapat pengakuan
baik dari sesama manusia maupun rida dari Allah dipahami dari kata ‘amilû
al-shâlihât yang melahirkan kreativitas masyarakat yang membentuk sebuah
kebudayaan. Pilar keempat adalah moralitas/akhlaq yang dapat dipahami
dari penggalan ayat wa tawâshau bi al-shabr. Kesabaran merupakan simbol
dari moral tertinggi yang mengandung nilai-nilai keutamaan sebagai fondasi
pembangunan masyarakat atau peradaban utama. Maka dari teologi al-
’Ashr terdapat empat pilar/prasyarat peradaban utama, yaitu “Paradigma
Tauhid”, “Pengembangan Ipteks (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni)”,
256 Azaki Khoirudin

“Amal Usaha: Kerja-Kerja Peradaban”, dan “Penguatan MEA (Moral-Etika-


Akhlak)”.

1. Paradigma Tauhid
Tauhid adalah prinsip mendasar bagi pembangunan peradaban Islam.
Peradaban dibangun dan ditentukan bagaimana paradigma tauhid
dibangun. Istilah Kiai Dahlan adalah iman. Dengan merujuk pada kalimat
al-Qur’an, “wa shaddaqa bi al-husnâ”, artinya adalah orang yang percaya
dengan sungguh-sungguh perbedaan antara keutamaan dan kenistaan,
dan percaya bahwa dirinya, alam semesta, semuanya ada yang mencipta
dan memelihara. Tentunya, percaya kepada Tuhan bahwa Dia akan
membalas orang yang beramal salih dan me­nyiksa orang yang berbuat
kejahatan. Kepercayaan ini benar-benar menghunjam, menera, dan
terpatri dalam hati sampai batas-batas menguasai kehendak hati
mereka.11 Jadi, iman itu berdampak pada amal salih. Karena teologi Kiai
Dahlan adalah teologi amal saleh, ia terkenal sebagai manusia amal.
Tauhid itu bersifat membebaskan. Sebagaimana Amin Rais yang pernah
mempopulerkan Tauhid Sosial.
Tokoh Muhammadiyah lain, Abdul Mu’ti menjadikan “Tauhid yang
Murni” sebagai fondasi utama dari Islam Berkemajuan. Tauhid adalah
doktrin sentral ajaran Islam. Tauhid adalah pintu gerbang Islam. Salah
satu misi utama Muhammadiyah adalah menegakkan tauhid yang
murni. Muhammadiyah seringkali disebut sebagai gerakan Islam Puritan
karena keteguhannya dalam mengajak masyarakat untuk senantiasa
berpegang pada akidah yang lurus, bersih dari anasir yang merusak.
Secara tradisional, menurut Isma’il Raji al-Faruqi tauhid adalah
keyakinan dan kesaksian “tiada tuhan selain Allah”. Segala keragaman,
kekayaan dan sejarah, kebudayaan dan pengetahuan, kebijaksanaan dan
peradaban Islam diringkas dalam kalimat pendek, “Lâ Ilâha illa Allâh”.12
Tuhan adalah tujuan akhir, yakni akhir di mana semua kaitan finalistik
mengarah dan berhenti. Tauhid adalah intisari peradaban Islam. Esensi
peradaban Islam adalah pengetahuan. Tauhid sebagai esensi adalah
sebagai prinsip penentu pertama dalam Islam, kebudayaannya, dan
peradabannya. Tauhid adalah yang memberikan identitas peradaban
Islam, yang mengikat semua unsurnya bersama-sama menjadikan

11 KRH. Hadjid, h. 86.


12 Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid (Bandung: Penerbit Pustaka, 1982), h. 9
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 257

unsur-unsur tersebut suatu kesatuan yang integral dan organis yang


disebut dengan peradaban.
Tauhid sebagai esensi adalah sebagai prinsip penentu pertama
dalam Islam, kebudayaannya, dan peradabannya. Tauhid adalah yang
memberikan identitas peradaban Islam, yang mengikat semua unsurnya
bersama-sama menjadikan unsur-unsur tersebut suatu kesatuan yang
integral dan organis yang disebut dengan “peradaban”. Tanpa harus
mengubah sifat-sifat sesuatu, esensi tersebut mengubah unsur-unsur
yang membentuk suatu peradaban, dengan memberikannya ciri
baru sebagai bagian dari peradaban tersebut. Tauhid menempatkan
manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika di mana
keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dengan tingkat
keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu,
dalam dirinya dan juga lingkungan sekitarnya. Dalam bertauhid dengan
memurnikan iman seseorang maka, akan melahirkan pengertian-
penger­tian logis tentang prinsip ketuhanan sebagai implikasi tauhid.
Pengertian logis prinsip ketuhanan, yaitu; pertama, Kesatuan Pen­
ciptaan (Unity of Creation), Kesatuan Kemanusiaan (Unity of Mankind),
Kesatuan Pedoman Hidup (unity of guidance), dan Kesatuan tujuan hidup
(unity of the purpose of life). Implementasi tauhid dalam pembangunan
peradaban ditafsirkan sebagai jalan menuju pencerahan, pembebasan,
dan kesemestaan.

2. Penguasaan dan Pengembangan Ipteks


Muhammadiyah sampai detik ini terkenal kepiawaiannya dalam hal me­
nge­lola dunia pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Muham­madiyah
berkomitmen pada pengembangan Ipteks (Ilmu Pengetahuan, Teknologi,
dan Seni). Dengan Ipteks, menciptakan berbagai kemungkinan yang
mempermudah hidup manusia, hal itu dapat dibantah. Ipteks yang
dipahami dari penggalan ayat wa tawâshau bi al-haqq; bukankah ilmu
itu mempertanyakan kebenaran? Al-haqq di sini dipahami simbol dari
ilmu, karena selain kebenaran Mutlak ada kebenaran relatif, kebenaran
relatif inilah ilmu pengetahuan teknologi dan sains. Selain itu secara
historis tidak ada kebudayaan atau peradaban yang maju tanpa Ipteks
yang maju. Ipteks menjadi lebih holistik: ilmu (kognitif), teknologi
(skill atau psikomotor), dan seni (afektif). Sejak awal berdiri pendidikan
Muhammadiyah sangat mengapresiasi dan mengintegrasikan antara
iman dan kemajuan Ipteks.
258 Azaki Khoirudin

Sekarang pertanyaannya, bagaimana kedudukan Ipteks dalam


peradaban? Untuk membangun kehidupan sosial-ekonomi, sosial-
politik, dan sosial-kebudayaan, selain harus didasari oleh agama dan
tauhid, diperlukan juga pengetahuan dalam bidang-bidang kehidupan.
Menurut Sidi Gazalba, menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai aset kebudayaan, tetapi saling terkait dengan bidang-bidang lain.
Pengetahuan secara universal ditemukan dalam setiap kebudayaan atau
peradaban. Gazalba membagi pengetahuan dalam beberapa tingkatan,
pertama pengetahuan indra adalah kemampuan melihat, mendengar,
merasa, meraba, mencium segala sesuatu dengan melibatkan pikiran
dan indera. Kedua, pengetahuan ilmu yaitu kemampuan berpikir secara
sistematis dan radikal yang disertai dengan riset. Hasil berpikir dan
berbuat dengan metode ini membentuk sebuah pengetahuan. Ketiga,
pengetahuan filsafat, yaitu kemampuan memikirkan secara sistematik,
radikal, dan universal.13
Ilmu pengetahuan menemukan alat-alat kerja yang menepatgunakan
dan menempat-hasilkan kerja-kerja peradaban. Kerja-kerja menggu­
nakan alat disebut dengan teknik. Pada tingkat peradaban pengetahuan
meningkat menjadi ilmu dan teknik, maka meningkat menjadi tek­
nologi. Sidi Gazalba mendefinisikan teknologi sebagai kerja-kerja yang
memanfaatkan ilmu-ilmu fakta, kimia, aljabar, ilmu ukur, dan statistik.
Kebudayaan bersahaja dibina oleh pengetahuan dan tek­nik, sedangkan
kebudayaan modern oleh ilmu dan teknologi. Yang menjadikan tolok
ukur kemajuan masyarakat adalah tingkat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa kema­
juan di bidang-bidang sosial, ekonomi, politik, seni, dan filsafat.14
Selain ilmu pengetahuan dan teknologi, kesenian adalah unsur yang
tak kalah penting bagi bangunan peradaban. Seni membuat peradaban
mampu menghadirkan nilai-nilai estetik. Kesenian adalah usaha untuk
membentuk kesenangan. Kesenangan adalah salah satu naluri asasi atau
kebutuhan asasi manusia. Dengan demikian, kesenian terkait dengan
kemanusiaan, seperti agama, sosial, ekonomi, berpikir, pengetahuan,
dan kerja. Bagi Gazalba, selain Islam sebagai agama juga sebagai

13 Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam: Pembahasan Ilmu dan Filsafat tentang Ijtihad, Fiqih,
Akhlak, Bidang-Bidang Kebudayaan, Masyarakat, dan Negara, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 281
14 Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, h. 283
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 259

kebudayaan. Walaupun memang benar, seni tidak ada hubungannya


dengan agama, karena seni merupakan kebudayaan universal.
Selain seni, filsafat juga bagian terpenting bagi perkembangan
peradaban. Filsafat biasanya berkaitan seperti ilmu pikir (logika), ilmu
alam (physica), ilmu kesusilaan (ethica), dan ilmu negara (politica).
Filsafat merupakan bidang yang membahas prinsip dan hukum ten­
tang segala sesuatu. Filsafat berkembang mengikuti kemajuan yang
terjadi pada ilmu pengetahuan dan pemahaman manusia. Perkembangan
filsafat terjadi  setiap generasi. Menurut sejarah perkembangannya,
filsa­fat banyak  mempelajari  masalah yang tergolong baru atau
malah berusaha mencari jawaban dari permasalahan yang dihadapi
berbagai lintas peradaban. Dalam konteks peradaban, tawâshau bi
al-haqq dapat bermakna integrasi-interkoneksi ilmu. Di sini, al-haqq
adalah kebenaran Mutlaq (tauhid), sedangkan ilmu adalah kebenaran
relatif-saintifik. Jadi, ilmu harus saling menyapa, saling menasihati,
mengoreksi, mengkonfirmasi dengan kebenaran ilmu lainnya.

3. Amal Usaha: Kerja-kerja Peradaban


Ada 360 kata tentang ‘amal dalam berbagai sighat dalam al-Qur’an yang
menggambarkan betapa Tuhan meletakkan konsep amal sedemikian
penting. Esensi dasarnya adalah Islam memandang penting amal,
tetapi lebih konkret lagi bahwa bentuk manifestasi dan aktualisasi
Islam adalah dalam amal salih.15 Senapas dengan Kiai Dahlan yang
berkata “kamu sekalian walaupun sudah menjalankan amal salih,
kamu belum diakui baik, kalau belum menjadi abrar, sehingga kamu
berani mbeset (menguliti) kulitmu sendiri, artinya hingga kamu berani
membelanjakan harta benda yang sangat kamu cintai”. Ada semacam
etos pengorbanan dalam beragama. Maka dalam pengajian wal-Ashri,
kata-kata “yen durung wani mbeset kulite dewe durung Islam temenan”
(kalau belum berani mengelupas kulitnya sendiri belum menjadi Islam
yang sejati). Jadi berislam harus berani berkorban, gagah, berani,
layak Umar bin Khattab.16 Islam sejati, Muslim sejati, yang disebut Kiai
Dahlan inilah yang pada perjalanan Muhammadiyah disebut Islam yang
sebenar-benarnya yang kemudian menjadi tujuaan Muhammadiyah,

15 Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,


2010), hlm. 395.
16 KRH. Hadjid, op. cit., hlm. 158.
260 Azaki Khoirudin

yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (Peradaban Utama).


Muhammadiyah terkenal dengan kerja keras, produktif, mendapat
pengakuan baik dari sesama manusia maupun rida dari Allah yang
dipahami dari kata ‘amilû al-sâlihât (amal salih) sebagai kerja-kerja
peradaban yang melahirkan kreativitas masyarakat yang membentuk
sebuah kebudayaan.
Wujud dari suatu kebudayaan menurut J.J. Hoenigman dalam Koentjara­
ningrat (1986) yaitu gagasan, aktivitas dan artefak. Idealnya kebudayaan
adalah kumpulan ide, gagasan, nilai dan sebagainya yang bersifat
abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Manifesto kebudayaan itu
terletak di dalam kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat
yang terwujud dalam aktifitas dan tindakan masyarakat, sedangkan
wujud fisiknya berupa artefak, perbuatan dan karya yang bersifat
materialistik. Dalam kenyataannya, wujud kebudayaan yang satu tidak
dapat dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain.17
Pelembagaan kebudayaan tersebut menjadi ciri khas kreativitas yang
didukung oleh lingkungan yang berlangsung antargenerasi. Begitupula
dalam Muhammadiyah yang memiliki sistem gagasan mulai dari
Masalah Lima, Muqadimah Anggaran Dasar, Khittah, dan keputusan
organisasi yang bersifat ideologis lainnya. Aktivitas Muhammadiyah
dapat dilihat dari perilaku masyarakat Muhammadiyah, misalnya
kegiatan-kegiatan organisasi yaitu muktamar, tanwir, musyawarah,
pengajian, tablig akbar, dan aktivitas sosial lainnya maupun yang
bersifat ritual. Terakhir, artefak adalah berbagai amal usaha atau aset
yang dimiliki Muhammadiyah seperti masjid, sekolah, kampus, kantor
dan lain-lain.
Toynbee melihat pola dasar terjadinya peradaban sebagai suatu pola
interaksi antara “tantangan dan tanggapan”. Tantangan dari lingkungan
alam dan sosial memancing tanggapan kreatif suatu masyarakat, atau
kelompok sosial, yang mendorong masyarakat membentuk peradaban.18
Muhammadiyah selalu malakukan respons terhadap realitas. Hadirnya
amal usaha pendidikan, sosial, kesehatan, filantropi, kebencanaan,
pemberdayaan orang miskin merupakan repons Muhammadiyah
terhadap kebutuhan masyarakat.

17 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1986)


18 Fritjof Capra, The Turning Point, h. 13
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 261

Fritjof Capra misalnya, mengemukakan bahwa peradaban terus tumbuh


ketika tanggapan terhadap “tantangan awal” berhasil membangkitkan
momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi
equilibrium memasuki suatu keseimbangan yang berlebihan (over­balance)
yang tampil dengan tantangan baru. Dengan cara ini, pola tanta­ngan
dan tanggapan terulang dalam fase-fase pertumbuhan berikutnya, di
mana masing-masing perkembangannya berhasil menim­bulkan suatu
disequilibrium yang menuntut penyesuaian-penyesuaian kreatif baru
membangun peradaban.
Setelah mencapai puncak vitalitasnya “Peradaban Utama”, peradaban
cenderung kehilangan tenaga budayanya dan kemudian runtuh. Ini
yang harus diantisipasi oleh Muhammadiyah. Prestasi gemilang selama
seabad jangan sampai mengakibatkan hilangnya inovasi dan tajdid.
Meminjam Toynbee, jangan sampai Muhammadiyah kehilangan daya
fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi
kaku sehingga masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan, akhirnya peradaban Muhammadiyah tak mampu lagi
melanjutkan evolusi budaya kreatif, sehingga Muhammadiyah akan
selalu eksis melewati apa yang diramalkan Alvin Toffler tentang masa
depan peradaban dunia19. Menurutnya ada tiga “gelombang perubahan”
yang membawa dampak monumental pada jatuh bangunnya peradaban,
sebagaimana dalam bukunya The Third Wave. Intinya, Toffler membagi
sejarah peradaban dalam 3 (tiga) babak waktu yang berbeda yang dia
sebut sebagai “gelombang” (wave) yang masing-masing mempunyai
karakteristik, sebagai masyarakat tani (8000 S.M. – 1700), masyarakat
industri (1700 – 1970) dan masyarakat informasi (1970 – lewat tahun
2000).20
Muhammadiyah harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan adanya
“Gelombang Keempat”. Sebut saja dengan era kreatif. Tiga gelombang
sebelumnya, era pertanian, era industri, dan era ilmu pengetahuan
teknologi, informasi. Penggerak utama pertumbuhan ekonomi sebuah
bangsa pada era keempat ini adalah ide, kreativitas dan inovasi. Dunia
kini memasuki era kreatif yang diprediksi akan menjadi industri masa
depan sebagai fourth wave industry (industri gelombang keempat),
yang menekankan pada gagasan dan ide kreatif. Di era gelombang ini,

19 Alvin Tofler, Kejutan dan Gelombang (Jakarta: PT Pantja Simpati,1987), h. 12-13


20 Alvin Tofler. 1990. Gelombang Ketiga (Bagian Kedua). Jakarta: PT Pantja Simpati. hlm.
262 Azaki Khoirudin

kreativitas menjadi modal utama bagaimana menghadapi masyarakat


modern akhir dengan meminimalisir risiko. Lebih-lebih, menjadi
peradaban yang unggul dengan potensi keunggulan yang ada.

4. Penguatan MEA
Tausiah kesabaran dalam Surah al-‘Ashr dalam konteks peradaban
dapat dimaknai sebagai saling berwasiat untuk menguatkan MEA
(Moral-Etika-Akhlak) individu maupun kolektif masyarakat. Kesabaran
adalah puncak dari keutamaan moralitas sebagai penyokong peradaban
utama. Etika utama dapat diambil dari penggalan ayat wa tawâshau bi
al-shabr. Kesabaran adalah simbol moral tertinggi, peradaban utama.
Ada permintaan yang tidak dapat ditawar-tawar di era global saat ini.
Manusia kontemporer mendamba spiritualitas yang tidak terkotak-kotak
dalam sektarianisme keagamaan yang akut. Masyarakat merindukan
keber­agamaan yang tidak ada syiar kebencian di dalamnya. Artinya,
tidak ada the ideology of takfirism (ideologi yang mudah mengkafirkan
orang atau kelompok) yang marak belakangan ini. Corak keberagamaan
yang harmonis yang melahirkan sikap unity in diversity (kesatuan dalam
perbedaan), simpati dan empati terhadap orang dan ke­lom­pok lain yang
berbeda (empahty perpetuates the distinction between the object and subject;
sikap empati dapat menembus perbedaan yang tajam antara subjek dan
objek). 21
Dalam Islam kita mengenal ihsan, tasawwuf dan ‘irfani menjadi modal
dasar yang sangat berharga, sebagai metode dan pendekatan untuk
dapat memahami keberadaan kelompok lain yang berbeda ras, suku,
etnis, kelas, gender maupun (organisasi) agama, tanpa harus mening­
galkan kepercayaan dan identitas agama dan kepercayaan sendiri.
Di sini ditegaskan oleh M. Amin Abdullah, bahwa global ethics dan
multikulturalitas era kontemporer hanya bisa ditopang dengan tradisi
ihsan, tasawwuf dan irfany. Perpaduan ketiga elemen inilah corak
keberagamaan yang intersubjektif, yaitu jenis atau corak spiritualitas
yang mau membuka diri, spiritualitas yang bersedia untuk share atau
berbagi dengan berbagai tradisi spiritualitas keberagamaan lain yang

21 M. Amin Abdullah, Ihsan dan Tasawwuf dalam Pemikiran Islam klasik dan Kotemporer.
Makalah disampaikan dalam Pengajian Ramadlan 1434 H., Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Yogyakarta, 3 Ramadlan 1434 / 11 Juli 2013
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 263

hidup dalam sejarah panjang kemanusiaan di alam semesta. Spiritualitas


yang tidak egosentrik, tetapi spiritualitas yang altruistik.
Keberagamaan intersubjektif adalah corak keberagamaan yang mampu
menjembatani corak keberagamaan yang bercorak objektif dan sub­
jek­
tif. Keberagamaan subjektif adalah keberagamaan yang hanya
memen­tingkan kelompoknya sendiri, hampir-hampir melupakan atau
tidak peduli ter­hadap orang atau kelompok lain. Keberagamaan Islam
bercorak subjektif umumnya adalah keberagamaan Islam yang bercorak
akidah dan fiqhiyyah (subjektif-fiqhiyyah) yang dilandasi oleh al-‘aql al-
lahûti al-siyâsi (corak berpikir keagamaan yang berlandaskan asumsi
politik-ketuhanan). Adapun keber­agamaan objektif ditandai dengan
muncul dan berkembangnya ilmu-ilmu sosial dan studi (sosial) agama,
sehingga dapat mempunyai mentalitas dan cara berpikir yang bercorak
keilmuan (scientific mentality). Dasar keberagamaan secara universal ini
melalui penggunaan akal yang bercorak historis-keilmuan (al-‘aql al-
târîkhy al-ilmi).22
Kombinasi dan sinergitas spiritualitas keberagamaan yang bercorak
subjektif (imaniyyah) dan objektif (ilmiyyah) adalah corak keberagamaan
yang ketiga, yaitu keberagamaan intersubjektif. Selanjutnya sebut
saja spiri­tualitas tata nilai, global ethics di era globalisasi kontemporer.
Corak keberagamaan ini sudah ada sebagimana keberagamaan profetik,
keberagamaan Piagam Madinah, di Indonesia keberagamaan Pancasila.
Tanpa mengurangi arkanul Iman maupun arkanul Islam sedikit pun.
Keberagamaan intersubjektif masih mempertahankan eksistensi dan
keberadaan masing-masing, tanpa mengganggu gugat keberadaan
berikut hak-hak dan kewajiban-kewajiban sosialnya. Hal penting dalam
keberagamaan intersubjektif adalah spiritualitas tata nilai (value) yang
dapat mendukung kehidupan bersama yang amat plural dalam era
modernitas dan lebih-lebih era postmodernitas dan global.
Corak spiritualitas di atas disebut Amin Abdullah dengan “Spiritualitas
Ihsan yang Berkemajuan”. Spiritualitas yang terkandung nilai-nilai
utama sebagai penopang “peradaban utama” seperti kasih sayang,
kebaikan, ketulusan, pengab­ dian, tolong-menolong, kedamaian,
kepedulian, orientasi hidup yang nirpamrih (altruistik), kelem­butan,
rasa untuk berbagi, mengalah demi kebaikan, memikirkan kepentingan

22 M. Amin Abdullah, “Ihsan dan Tasawwuf,


264 Azaki Khoirudin

bersama (public good), kesabaran, kesederhanaan, Verstehen (memahami


secara mendalam eksistensi dan aspirasi kelompok lain), emphathy,
symphaty, respect, non-violence, altruism, benevolence, compassionate,
inclusive, partnership, dialogical. Inilah seperangkat tata nilai yang
diperlukan oleh akal pikiran baru keberagamaan manusia yang
tercerahkan (al-‘aql al-jadid al-istitla’i) yang melahirkan “akal pikiran
suci” yang bersumber dari “hati suci” untuk membangun keutamaan
moral yang dilandasai etos belas asih.
Ketika Samuel P. Huntington23 menyatakan agama merupakan
salah satu pembatas peradaban, umat manusia terkelompok dalam
agama Islam, Kristen, Katolik, Konghucu dan sebagainya berpotensi
konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Hans Kung menghasratkan
komitmen global untuk menjadikan etika bersama sebagai dasar
dialog antarperadaban. Hans Kung sangat optimis untuk membawa
dunia ini ke dalam kehidupan yang lebih adil, damai, aman, dan
berperikemanusiaan. Di tengah pluralisme budaya, tradisi, dan agama,
Hans Kung mengidealisasikan “etika global” sebagai solusi bersamanya.
Sebuah sikap etik bersama yang sepenuhnya bertumpu pada penegakan
nilai-nilai universal kemanusiaan.
Dalam sejarah Islam, tepatnya pada periode Madinah, hubungan umat
Islam, Nasrani dan Yahudi ditandai terbentuknya negara Kota Madinah
yang menjunjung tinggi pluralitas, baik agama, suku dan golongan.
Bahkan sebelumnya, ketika umat Islam baru saja melakukan hijrah ke
Madinah, kesadaran pluralitas ini terlihat sangat menonjol. Hubungan
umat beragama waktu itu diawali dengan kontak damai antara umat
Islam dengan penduduk Madinah, baik yang sudah menjadi Muslim
maupun yang masih memegang agama dan keyakinan sebelumnya.
Semua penduduk menyambut kedatangan umat Islam dengan damai.
Bahkan, orang-orang musyrik dan Yahudi menyambut kedatangan
Muhammad dengan baik.24
Di antara isi Piagam Madinah adalah bahwa negara mengakui
dan melindungi kebebasan menjalankan ibadah agama masing-
masing, semua orang memiliki kedudukan yang sama sebagai ang­

23 Huntington, Samuel P., Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M.
Sadat Imail, (Yogyakarta: Qalam, 2002), h. 12.
24 W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (London : Oxford University Press, 1956), h.
195-204.
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 265

gota masyarakat.25 Dari situlah penduduk Madinah memiliki rasa


nasionalisme yang tinggi, lintas agama dan lintas suku. Dalam konteks
etika gobal, maka di Indonesia Pancasila dapat menjadi inspirasi untuk
dunia. Bangsa lain dapat menjadikan Pancasila sebagai inspirasi. Pera­
daban dunia butuh sebuah ideologi dan pemikiran yang konstruktif
untuk membangun kebersamaan, solidaritas, dan persatuan. Apa yang
dihadapi dunia Arab (Islam) misalnya, adalah terburuk dalam sejarah
karena absennya ideologi yang mampu jadi pilar kebangsaan dan
kenegaraan.

Visi Peradaban Muhammadiyah Abad Kedua:


Berangkat dari Al-Ma’un atau Al-‘Ashr”
“Peradaban Berkemajuan memiliki ciri khas rekayasa sosial yang tidak
berbasis pada keputusasaan (pesimisme), akan tetapi optimisme”. Dalam
bahasa lain kemajuan peradaban itu hendaknya berbasis pada kekuatan
positif yang dibangun di tengah masyarakat dengan menghargai ruang
dan potensi individu”. (Alinea ini kutipan dari mana?)

Rumusan formal cita-cita peradaban Muhammadiyah akan selalu


ambigu-“Peradaban Utama”, “Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya”-
yang sekadar normatif jika acuan indikator tidak dirumuskan berdasarkan
peta dakwah. Karena sejak didirikannya Kiai Dahlan sebenarnya tidak
mencantumkan secara tersurat tujuan pembentukan masya­rakat yang dicita-
citakan. Tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya secara
formal baru dirumuskan tahun 1946. Namun, secara tersirat dan subtantif
sebenarnya telah melekat dengan cita-cita kelahiran Muhammadiyah.
Perumusan konsep masyarakat impian Muhammadiyah tersebut dapat
dilihat dari sejarah dan konteks tujuan itu, sebagai bagian tidak terpisahkan
dari spirit dan pergumulan gerakan Islam pembaru ini dalam menorehkan
sejarah peradaban Islam dan umat manusia yang disinari nilai-nilai dasar
Islam yang berkemajuan. Hingga kini, Muhammadiyah memiliki cita-cita
ideal mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Walaupun
dalam lintas sejarah, maksud dan tujuan Muhammadiyah mengalami
perubahan, hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut:

25 Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


1996),h. 93-94.
266 Azaki Khoirudin

Tabel:
Dinamika Rumusan Tujuan Muhammadiyah 1912-2005

RUMUSAN MAKSUD DAN TUJUAN


No. TAHUN
MUHAMMADIYAH
Maka Perhimpunan Itu Maksudnya: a. Menyebarluas-
kan Pengajaran Igama Kanjeng Nabi Muhammad Shal-
1 1912 lallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera
di dalam residensi Yogyakarta, dan b. Memajukan hal
Igama kepada anggauta-anggautanya

Maksud Persyarikatan ini yaitu: a. Memajukan dan


menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam
2 1914 di Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggem-
birakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan
ahama Islam kepada lid-lid-nya.

Maksud Persyarikatan ini yaitu: a. Memajukan dan


menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam
3 1921 di Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggem-
birakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan
ahama Islam kepada lid-lid-nya.
Hajat persyarikatan itu: a. Memajukan dan menggem-
birakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia
4 1934 Nederland, dan b. Memajukan dan menggembirakan ke-
hidupan (cara hidup) sepanjang kemauan ahama Islam
kepada lid-lid-nya (segala sekutunya).
Hajat persyarikatan itu: a. Memajukan dan menggembi-
rakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Indone-
5 1941 sia, dan b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan
(cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-
lid-nya (segala sekutunya).
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 267

Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemak-


muran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan
Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh Tuhan
Allah, maka perkumpulan ini: a. hendak menyiarkan
Agama Islam, serta melatih hidup yang selaras dengan
6 1943
tuntunannya, b. hendak melakukan pekerjaan kebaikan-
kebaikan umum, c. hendak memajukan pengetahuan
dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada
anggauta-anggautanya itu ditujukan untuk berjasa men-
didik masyarakat ramai.
Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegak-
7 1946 kan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegak-
8 1950 kan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan
9 1959 menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwu-
jud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan
10 1966 menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwu-
jud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan
11 1968 menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwu-
jud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan


dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud
12 1985
masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah
Subhanahu wata’ala.
Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan
13 2000 menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwu-
jud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan
14 2005 menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwu-
jud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
268 Azaki Khoirudin

Dinamika redaksional rumusan tujuan Muhammadiyah baik yang


memuat konsep Masyarakat Utama ataupun MIYS (Masyarakat Islam yang
Sebenar-benarnya), lahir sebagai respons kondisi sosial objektif umat
Islam di Indonesia berkaitan dengan perubahan sosial saat itu. Lalu, mana
sebenarnya teologi sejati yang menjadi visi peradaban Muhammadiyah: Al-
Ma’un yang kiri, atau Al-‘Ashr yang kanan? Bisa jadi keduanya bisa sama-sama
benar, atau sama-sama salah! Bahwa Al-Ma’un dan Al-‘Ashr bukanlah pilihan
melainkan arah gerak peradaban Muhammadiyah—yang memiliki konteks
kehidupan beragam. Manakah logika yang tepat untuk melihat realitas sosial
saat ini? Al-Ma’un atau Al-‘Ashr? Ajaran Kiai Dahlan al-Ma`un dan al-`Ashr
memiliki logika yang berbanding terbalik.
Menurut Ahmad Norma-Permata, teologi Al-Ma’un mengajarkan bahwa
kepedulian sosial merupakan komponen sekaligus kriteria dari kesalihan
spiritual. Dalam bahasa populer kontemporer perspektif ini sering disamakan
dengan ideologi “kiri”, yaitu pemahaman strukturalis terhadap ketimpangan
sosial yang dilawankan dengan kesetaraan hak individual. Yang menjadi
kambing hitam biasanya adalah ketimpangan sosial: bahwa peradaban selalu
dikuasai kelompok kuat (penguasa, kaya, pandai, dsb.) namun moralitas
selalu berpihak kepada kelompok lemah (miskin, tertindas, bodoh, dsb.).
Dalam tradisi Al-Ma’un para penguasa dan kelompok kaya cenderung dilihat
sebagai “tersangka” secara moral, jika bukan sudah terdakwa, terkait dengan
keberadaan berbagai persoalan dan penderitaan kelompok lemah dan ter­
tindas.
Wawasan Al-Ma’un akan mendorong terbentuknya institusi atau
sistem kehidupan yang memberikan peluang kepada kelompok lemah
atau kelompok tertindas untuk menuntut kesamaan hak dan kesempatan
dalam membangun kehidupan. Perspektif strukturalis ini secara politis
cenderung populis, karena secara sosial kehidupan manusia terbelah ke
dalam tingkatan-tingkatan di mana ada kelompok yang diuntungkan dan
dirugikan. Sehingga kesimpulannya kelompok yang diuntungkan cenderung
dianggap bersalah atau paling tidak bertanggung jawab untuk menolong
kelompok yang tertindas. 26
Sementara, disisi lain, kelompok lemah dan tertindas biasanya merupakan
bagian mayoritas di masyarakat, gagasan strukturalis moralis semacam ini

26 Ahmad Norma Pertama, “Teologi Al-‘Ashr dan Visi Peradaban Muhammadiyah” dalam Azaki
Khoirudin, Teologi Al-‘Ashr: Etos dan Ajaran KHA Dahlan yang Terlupakan, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2015)
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 269

akan mudah mendapatkan audiens dan menarik pengikut. Logika Al-Ma’un


yang selalu berupaya merumuskan sebuah sistem alternatif untuk peradaban
Islam karena mereka meyakini bahwa problem sosial, ketimpangan dan
ketidakadilan lahir dari adanya sistem sosial yang menyimpang dari nilai-
nilai ajaran Islam. Sehingga, logisnya, untuk memperbaiki situasi dan
menanggulangi ketimpangan dan ketidakadilan, tidak ada cara lain kecuali
memperbaiki, atau jika perlu mengganti, sistem yang ada.
Sementara teologi Al-‘Ashr mengajarkan bahwa iman dan amal
salih, meskipun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
keberislaman, namun keduanya berbeda dalam dimensi dan konstruksinya.
Artinya, meskipun upaya untuk membangun salah satunya akan secara
otomatis membantu dan memfasilitasi perbaikan yang lain, namun
ketiadaan atau kekurangan salah satunya tidak serta merta membatalkan
atau mengurangi nilai yang lain. Kepedulian sosial mengandung nilai dan
kebaikan agama, namun kebaikan agama tetap dapat dicapai meskipun
tanpa kepedulian sosial.
Bagi Ahmad Norma, logika Al-‘Ashr ini akan memiliki konsekuensi
institusional yang berorientasi kepada keterbukaan kesempatan untuk
meraih kebaikan, yang mengutamakan kapasitas dan kemampuan usaha
individu, apresiasi dan perlindungan kepada hasil kinerja dan prestasi
personal. Dalam konteks ini, logika Al-‘Ashr akan menempatkan peradaban
sejalan dengan evaluasi moral. Kebaikan tidak hanya dilihat dari perspektif
moral yang pasif melainkan dari ukuran moralitas aktif. Kejayaan dan
keberhasilan lebih utama dibanding kekalahan dan kegagalan jika posisi
moralnya sama. Keberhasilan tidak identik dengan kecurangan sementara
kegagalan tidak selalu identik dengan ketulusan. Berbanding terbalik dengan
logika Al-Ma’un, logika Al-‘Ashr akan cenderung melihat penguasa dan orang
kaya sebagai teladan untuk diikuti sedangkan kelompok lemah dan tertindas
sebagai peringatan dan bahan pelajaran untuk dihindari.
Dalam upaya menyelesaikan persoalan dan memperbaiki situasi, teologi
Al-‘Ashr tidak berorientasi pada sistem dan tidak mendorong inter­vensi
atau rekonstruksi sistem-sistem alternatif, melainkan lebih kepada upaya
menghilangkan atau mengurangi persoalan dan ketidakadilan yang secara
konkret dihadapi oleh masyarakat. Logika Al-‘Ashr ini bersifat rasional dan
empiris. Sistem kehidupan merupakan rangkuman dari seluruh proses
tindakan dan interaksi usaha seluruh anggota masyarakat. Sehingga,
sistem kehidupan bukanlah hasil ciptaan seseorang atau sebuah kelompok,
270 Azaki Khoirudin

melainkan “hasil akhir dari gabungan kehendak dan usaha semua orang”, itu
sebabnya Allah bersumpah “Demi masa”. Sistem yang baik dan berkeadlian
adalah sistem yang terbuka, yang memberi kesempatan semua orang
berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan secara setara. Intervensi
dan modifikasi terhadap sistem bukanlah sebuah tindakan yang baik karena
berarti menempatkan seseorang atau salah satu pihak memiliki posisi lebih
tinggi dibanding yang lain.
Selanjutnya, Ulrich Beck, melihat ada babak modernitas baru yang muncul
ditandai dengan teknologi, fenomena ini ia sebut dengan masyarakat berisiko
(risk society).27 Dalam pandangan Ulrich Beck dikatakan bahwa manusia
modern memasuki babak baru dalam modernitas lanjut (late modernity) di
mana formasi sosial yang terbentuk mengalami transformasi menuju formasi
sosial masyarakat risiko (risk society). Kesadaran risiko kemudian mewarnai
seluruh proses interaksi sosial masyarakat risiko, termasuk interaksi
politik, ekonomi, budaya dan agama. Jika dalam modernitas klasik masalah
sentralnya berkisar pada kekayaan dan bagaimana cara mendistribusikannya
dengan merata, sementara itu dalam modernitas baru  masalah sentralnya
adalah risiko dan bagaimana cara mencegah, meminimalkannya, atau me­
nyalurkannya.28
Sejauh ini, jalur kiri (kritis) itu heroik, namun kurang produktif. Berbeda
dengan jalur kanan yang produktif meski tidak heroik. Dalam konteks ini,
teologi Al-‘Ashr ada di jalur kanan, bukan Al-Ma’un. Intinya dalam al-Ma’un,
praktis sosial diyakini bernilai agama, sehingga cenderung menolak formalitas
agama, karena sudah termasuk dalam keberpihakan sosial membela yang
lemah. Atmosfir gerakan bersifat perlawanan (kri­tis-transformatif), profetik
mencoba ingin ke kanan, akhirnya pun masih cenderung ke kiri dan
biasanya dibutuhkan kambing hitam untuk dipersalahkan: status quo, sistem,
penguasa, orang kaya, kapitalis, struktur sosial dan lain-lain.
Dalam teologi al-‘Ashr, agama (iman) dan peradaban (amal salih)
ditempatkan sebagai dua entitas yang terpisah dan harus diraih secara
terpisah. Sehingga agama sebagai formalitas simbolik menjadi penting.
Peradaban dibangun bukan melalui perlawanan melainkan melalui proses
pembelajaran dan eksperimentasi (tawâshshau bi al-haqq) dan kegigihan
untuk mengalahkan (keterbatasan) diri sendiri (tawâshshau bi al-shabr). Ibarat

27 Ulrich Beck, Risk Society: Toward a New Modernity, (London: Sage Publication, 1992).
28 Gabe Mythen. Ulrich Beck A Critical Introduction to the Risk Society (London: Pluto Press,
2004).
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 271

menanam sebuah pohon, teologi kiri seperti menanam pohon pisang. Ketika
pohon pisang sudah berbuah, maka ia harus ditebang dan ditanam lagi.
Berbeda dengan menanam pohon jati yang membutuhkan waktu yang relatif
lama, dan memiliki batang yang kuat dan membutuhkan etos kesabaran dan
kekuatan moralitas utama.
Dapat dikatakan bahwa pergeseran Al-Ma’un menuju Al-‘Ashr jika melihat
kemunculan masyarakat risiko meminjam teori Ulrich Beck. Salah satu
perubahan yang dimaksud dalam hal masalah sentral. Jika dalam Al-Ma’un
adalah modernitas klasik masalah sentralnya berkisar pada kekayaan dan
bagaimana cara mendistribusikannya dengan merata serta adil bagi kaum
tertindas (mustadh’afîn). Sementara itu, dalam al-‘Ashr membawa modernitas
“baru” dengan masalah sentralnya adalah risiko dan bagaimana cara men­
cegah, meminimalkannya, atau menyalurkannya. Fenomena ini terjadi
dalam masyarakat urban, teratur dan peradaban. Senada dengan kaidah
ushul fiqh yang berbunyi: “Menghilangkan kerusakan lebih didahulukan
daripada mengambil manfaat”.
Atas dasar itu, teologi al-‘Ashr bukanlah teologi yang memprioritaskan
amal, memproduksi sebanyak-banyaknya, akan tetapi teologi yang begitu
memperhitungkan (sebagaimana spirit demi masa) untuk meminimalisasi
risiko, berupa konflik, kerusakan, dan lain sebagainya yang membawa
kehancuran. Teologi yang membawa spirit masyarakat modernitas akhir
yang bertujuan dar’ul mafasid (mencegah aneka ragam kerusakan).
Sebagaimana teori maqashid syari’ah (tujuan syariat) yaitu pertama, menjaga
agama (al-diin): menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan beragama
dan berkepercayaan. Kedua, menjaga jiwa (al-nafs) yaitu menjaga kehormatan
dan melindungi martabat kemanusiaan serta menjaga dan melindungi hak-
hak asasi manusia. Ketiga, menjaga akal (al-aql) dengan melipatgandakan
pola pikir dan penelitian ilmiah; mengutamakan perjalanan untuk mencari
ilmu pengetahuan; menekan pola pikir yang mendahulukan kriminalitas
kerumunan gerombolan; menghindari upaya-upaya untuk meremehkan
kerja otak. Keempat, menjaga keturunan (an-nasl) yaitu teori yang berorientasi
kepada perlindungan keluarga, melakukan kepedulian yang lebih terhadap
institusi keluarga. Kelima, menjaga harta (maal) Mengutamakan kepedulian
sosial, menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan ekonomi,
mendorong kesejahteraan manusia, menghilangkan jurang antara miskin
272 Azaki Khoirudin

dan kaya.29 Ada juga yang menambah menjaga lingkungan (bi’ah) melihat
kondisi lingkungan kehidupan yang semakin mengalami kerusakan.
Ditinjau dari perspektif teologi, kiranya teologi Kiai Dahlan lebih tepat
dikategorikan dalam teologi fungsional atau teologi kebudayaan, lebih dekat
lagi teologi amal shaleh bahkan empirik. Sebagaimana Peursen membagi
kebudayaan menjadi tiga yaitu mistis, ontologis, dan fungsional. Dalam wacana
teologi kebudayaan, di satu sisi teologi merupakan pengembagan keimanan
dan religiositas yang fungsional terhadap kehidupan objektif dan di sisi lain
merupakan realisasi konseptual dinamika sejarah kehidupan sebagai proses
ibadah kepada Allah30. Melalui cara pandang teologi al-Ashr, mencoba melihat
masalah dimulai dengan menerima realitas yang ada untuk membangun
peradaban. Bagaimana caranya? yaitu, diawali dengan mengapresiasi ke­
kuatan yang ada pada diri, memetakan modal kekuatan (ontologi sosial),
kemudian merancang, merekayasa sosial untuk melakukan transformasi
sosial-kebudayaan.[]

29 Jaser ‘Audah, Al-Maqasid untuk Pemula (Yogyakarta: Suka Press, 2013), hlm. 52–55; Maqasid
al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach (London: The International
Institute of Islamic Thought, 2008). Lihat juga M. Amin Abdullah, “Memaknai Al-Ruju’ ila
Al-Qur’an wa Al-Sunnah”, Disampaikan dalam Halaqah Fikih Kebhinnekaan, Ma’arif Institut,
Jakarta, 24 Februari 2015.
30 Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 38.

Anda mungkin juga menyukai