Azaki Khoirudin
M uhammadiyah dan KH. Ahmad Dahlan adalah dua sisi mata uang yang
tak terpisahkan. Keduanya bergerak dalam ruang dan waktu yang
sama. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis lahir dari adalah
sosok kiai modernis-reformis, yang bernama kecil “Muhammad Darwis”.
Kiai pembawa teologi berkemajuan. Ia mendobrak tradisi dan pola pikir yang
sempit dan jumud. Ia ingin Islam yang murni, tetapi juga Islam yang elegan
dan maju. Baginya Islam adalah jalan peningkatan kualitas hidup untuk
kemajuan. Kiai Dahlan bukan kiai slogan. Julukan Kiai wal-‘Ashri memang
cocok disematkan padanya. Ia kiai berkemajuan yang mampu berpikir dan
bertindak melampuai zamannya. Kiai Dahlan bukan sosok banyak kata
minus karsa dan karya. Ia bertablig melalui pengajian di banyak tempat.
Semua itu dilakukan dalam rangka menularkan gagasan pencerahan dan
Islam berkemajuan.
Selama ini, teologi al-Ma’un lebih dikenal dalam Muhammadiyah, tetapi
sedikit sekali yang membincang teologi al-‘Ashr. Eksplorasi dan elaborasi
gagasan Kiai Dahlan tentang al-Ma’un lebih banyak daripada al-‘Ashr.
Padahal, banyak kisah dan etos utama dalam proses diseminasi spirit al-‘Ashr
yang dilakukan Kiai Dahlan. Sebut saja misalnya “Pengajian Wal-‘Ashri” dan
“Sekolah Kader Wal-‘Ashri”. Ajaran Wal-‘Ashri mampu mendorong anak
muda saat itu untuk membeli sebuah lapangan sepak bola. Kemudian diberi
nama Lapangan Asri (kata Asri diambil dari al-‘Ashr). Di lapangan inilah,
konon, salat hari raya pertama kali dilakukan di ruang terbuka, bukan
masjid. Kiai Dahlan telah menanamkan banyak nilai “kemajuan” kepada
semua muridnya. Nilai kemajuan ini tak lain adalah benih-benih penyemaian
pembangunan peradaban berkemajuan. Nilai kandungan Surah al-‘Ashri
sangatlah cukup dalam menanamkan fondasi pembangunan peradaban
249
250 Azaki Khoirudin
Seputar Peradaban
Hakikat peradaban adalah sejarah manusia. Begitupun hakikat kehidupan
adalah masa kesejarahan manusia. Kebudayaan merupakan tema umum
dalam kaitan dengan setiap rumusan peradaban. Peradaban dan kebudayaan
sama-sama menunjuk pada seluruh pandangan hidup manusia, dan suatu
peradaban adalah bentuk luar dari kebudayaan. Keduanya memiliki nilai-
nilai, norma-norma, institusi-institusi, dan pola pikir yang menjadi bagian
terpenting dari suatu masyarakat yang terwariskan dari generasi ke generasi.
Menurut Samuel P. Hutington, sejarah manusia adalah sejarah peradaban itu
sendiri. Tak mungkin berbicara tentang sejarah perkembangan manusia-
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 251
yang membentang di seluruh peradaban, dari Sumeria Kuno dan Mesir hingga
peradaban Klasik, dari Meso-Amerika hingga peradaban Kristen, dalam
peradaban-peradaban Islam dan pengejahwantahan-pengejahwantahan
suksesif peradaban Cina dan Hindu-melalui terma-terma yang lain.1
Terdapat hakikat, identitas, dan dinamika masing-masing dalam melihat
peradaban.
Pertama, ide tentang peradaban ala pemikir Prancis abad XVIII, yang
memiliki logika terbalik dengan konsep “barbarisme”. Masyarakat yang
berperadaban berbeda dengan masyarakat primitif. Masyarakat urban hidup
menetap dan terpelajar. Berperadaban adalah baik, tidak berperadaban
adalah buruk. Konsep peradaban menyajikan “tolok ukur” sebagai acuan
dalam memberikan penilaian terhadap pelbagai dimanika kehidupan
masyarakat. Selama abad XIX, masyarakat Eropa banyak melakukan upaya
intelektual, diplomasi, dan politis dalam mengelaborasi kriteria yang
diterapkan pada masyarakat-masyarakat non-Eropa yang dapat mereka
anggap sebagai “masyarakat yang telah berperadaban” dan mereka terima
sebagai bagian dari sistem yang mendunia dalam tatanan masyarakat Eropa.
Pada saat yang sama, orang-orang mulai berbicara peradaban dalam konteks
plural.2
Kedua, sebuah peradaban, kecuali di Jerman, adalah sebuah identitas
kultural. Sebagaimana para pemikir Jerman abad XIX membedakan secara
tajam antara masing-masing peradaban dikarenakan pelbagai faktor, seperti
faktor-faktor mekanis, teknologikal, material dan kebudayaan; termasuk
di dalamnya nilai-nilai, pandangan hidup, kualitas-kualitas intelektual dan
moralitas yang tinggi dari suatu masyarakat. Perbedaan ini hanya dapat
dijumpai di Jerman, tetapi tidak di luar Jerman. Beberapa antropolog telah
berkesimpulan bahwa kebudayaan masyarakat non-urban dicirikan sebagai
masyarakat primitif, tidak berubah, sedangkan masyarakat urban yang telah
berperadaban, berkembang dinamis dan kompleks. Sejalan dengan pendapat
Braudel bahwa, “tidak mungkin, dalam konteks Jerman, untuk memisahkan
kebudayaan dari bangunan dasarnya, peradaban”.
Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat komperehensif. Sebuah peradaban
adalah totalitas. Dalam peradaban setiap bagiannya terumuskan melalui
1 Samuel P. Hutington. The Clash of Civilization and the Remaking of Word Order, terj. M. Sadat
Ismail dengan judul Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, cetakan ke-12,
(Jakarta: Penerbit Qalam, 2012), h. 37-38
2 Samuel P. Hutington. The Clash of Civilization, h. 38
252 Azaki Khoirudin
6 Ibid. h. 264-
7 Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, (Bandung, Mizan: 1989), h.29
8 Ibid, h. 150
254 Azaki Khoirudin
1. Paradigma Tauhid
Tauhid adalah prinsip mendasar bagi pembangunan peradaban Islam.
Peradaban dibangun dan ditentukan bagaimana paradigma tauhid
dibangun. Istilah Kiai Dahlan adalah iman. Dengan merujuk pada kalimat
al-Qur’an, “wa shaddaqa bi al-husnâ”, artinya adalah orang yang percaya
dengan sungguh-sungguh perbedaan antara keutamaan dan kenistaan,
dan percaya bahwa dirinya, alam semesta, semuanya ada yang mencipta
dan memelihara. Tentunya, percaya kepada Tuhan bahwa Dia akan
membalas orang yang beramal salih dan menyiksa orang yang berbuat
kejahatan. Kepercayaan ini benar-benar menghunjam, menera, dan
terpatri dalam hati sampai batas-batas menguasai kehendak hati
mereka.11 Jadi, iman itu berdampak pada amal salih. Karena teologi Kiai
Dahlan adalah teologi amal saleh, ia terkenal sebagai manusia amal.
Tauhid itu bersifat membebaskan. Sebagaimana Amin Rais yang pernah
mempopulerkan Tauhid Sosial.
Tokoh Muhammadiyah lain, Abdul Mu’ti menjadikan “Tauhid yang
Murni” sebagai fondasi utama dari Islam Berkemajuan. Tauhid adalah
doktrin sentral ajaran Islam. Tauhid adalah pintu gerbang Islam. Salah
satu misi utama Muhammadiyah adalah menegakkan tauhid yang
murni. Muhammadiyah seringkali disebut sebagai gerakan Islam Puritan
karena keteguhannya dalam mengajak masyarakat untuk senantiasa
berpegang pada akidah yang lurus, bersih dari anasir yang merusak.
Secara tradisional, menurut Isma’il Raji al-Faruqi tauhid adalah
keyakinan dan kesaksian “tiada tuhan selain Allah”. Segala keragaman,
kekayaan dan sejarah, kebudayaan dan pengetahuan, kebijaksanaan dan
peradaban Islam diringkas dalam kalimat pendek, “Lâ Ilâha illa Allâh”.12
Tuhan adalah tujuan akhir, yakni akhir di mana semua kaitan finalistik
mengarah dan berhenti. Tauhid adalah intisari peradaban Islam. Esensi
peradaban Islam adalah pengetahuan. Tauhid sebagai esensi adalah
sebagai prinsip penentu pertama dalam Islam, kebudayaannya, dan
peradabannya. Tauhid adalah yang memberikan identitas peradaban
Islam, yang mengikat semua unsurnya bersama-sama menjadikan
13 Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam: Pembahasan Ilmu dan Filsafat tentang Ijtihad, Fiqih,
Akhlak, Bidang-Bidang Kebudayaan, Masyarakat, dan Negara, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 281
14 Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, h. 283
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 259
4. Penguatan MEA
Tausiah kesabaran dalam Surah al-‘Ashr dalam konteks peradaban
dapat dimaknai sebagai saling berwasiat untuk menguatkan MEA
(Moral-Etika-Akhlak) individu maupun kolektif masyarakat. Kesabaran
adalah puncak dari keutamaan moralitas sebagai penyokong peradaban
utama. Etika utama dapat diambil dari penggalan ayat wa tawâshau bi
al-shabr. Kesabaran adalah simbol moral tertinggi, peradaban utama.
Ada permintaan yang tidak dapat ditawar-tawar di era global saat ini.
Manusia kontemporer mendamba spiritualitas yang tidak terkotak-kotak
dalam sektarianisme keagamaan yang akut. Masyarakat merindukan
keberagamaan yang tidak ada syiar kebencian di dalamnya. Artinya,
tidak ada the ideology of takfirism (ideologi yang mudah mengkafirkan
orang atau kelompok) yang marak belakangan ini. Corak keberagamaan
yang harmonis yang melahirkan sikap unity in diversity (kesatuan dalam
perbedaan), simpati dan empati terhadap orang dan kelompok lain yang
berbeda (empahty perpetuates the distinction between the object and subject;
sikap empati dapat menembus perbedaan yang tajam antara subjek dan
objek). 21
Dalam Islam kita mengenal ihsan, tasawwuf dan ‘irfani menjadi modal
dasar yang sangat berharga, sebagai metode dan pendekatan untuk
dapat memahami keberadaan kelompok lain yang berbeda ras, suku,
etnis, kelas, gender maupun (organisasi) agama, tanpa harus mening
galkan kepercayaan dan identitas agama dan kepercayaan sendiri.
Di sini ditegaskan oleh M. Amin Abdullah, bahwa global ethics dan
multikulturalitas era kontemporer hanya bisa ditopang dengan tradisi
ihsan, tasawwuf dan irfany. Perpaduan ketiga elemen inilah corak
keberagamaan yang intersubjektif, yaitu jenis atau corak spiritualitas
yang mau membuka diri, spiritualitas yang bersedia untuk share atau
berbagi dengan berbagai tradisi spiritualitas keberagamaan lain yang
21 M. Amin Abdullah, Ihsan dan Tasawwuf dalam Pemikiran Islam klasik dan Kotemporer.
Makalah disampaikan dalam Pengajian Ramadlan 1434 H., Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Yogyakarta, 3 Ramadlan 1434 / 11 Juli 2013
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 263
23 Huntington, Samuel P., Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M.
Sadat Imail, (Yogyakarta: Qalam, 2002), h. 12.
24 W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (London : Oxford University Press, 1956), h.
195-204.
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 265
Tabel:
Dinamika Rumusan Tujuan Muhammadiyah 1912-2005
26 Ahmad Norma Pertama, “Teologi Al-‘Ashr dan Visi Peradaban Muhammadiyah” dalam Azaki
Khoirudin, Teologi Al-‘Ashr: Etos dan Ajaran KHA Dahlan yang Terlupakan, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2015)
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 269
melainkan “hasil akhir dari gabungan kehendak dan usaha semua orang”, itu
sebabnya Allah bersumpah “Demi masa”. Sistem yang baik dan berkeadlian
adalah sistem yang terbuka, yang memberi kesempatan semua orang
berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan secara setara. Intervensi
dan modifikasi terhadap sistem bukanlah sebuah tindakan yang baik karena
berarti menempatkan seseorang atau salah satu pihak memiliki posisi lebih
tinggi dibanding yang lain.
Selanjutnya, Ulrich Beck, melihat ada babak modernitas baru yang muncul
ditandai dengan teknologi, fenomena ini ia sebut dengan masyarakat berisiko
(risk society).27 Dalam pandangan Ulrich Beck dikatakan bahwa manusia
modern memasuki babak baru dalam modernitas lanjut (late modernity) di
mana formasi sosial yang terbentuk mengalami transformasi menuju formasi
sosial masyarakat risiko (risk society). Kesadaran risiko kemudian mewarnai
seluruh proses interaksi sosial masyarakat risiko, termasuk interaksi
politik, ekonomi, budaya dan agama. Jika dalam modernitas klasik masalah
sentralnya berkisar pada kekayaan dan bagaimana cara mendistribusikannya
dengan merata, sementara itu dalam modernitas baru masalah sentralnya
adalah risiko dan bagaimana cara mencegah, meminimalkannya, atau me
nyalurkannya.28
Sejauh ini, jalur kiri (kritis) itu heroik, namun kurang produktif. Berbeda
dengan jalur kanan yang produktif meski tidak heroik. Dalam konteks ini,
teologi Al-‘Ashr ada di jalur kanan, bukan Al-Ma’un. Intinya dalam al-Ma’un,
praktis sosial diyakini bernilai agama, sehingga cenderung menolak formalitas
agama, karena sudah termasuk dalam keberpihakan sosial membela yang
lemah. Atmosfir gerakan bersifat perlawanan (kritis-transformatif), profetik
mencoba ingin ke kanan, akhirnya pun masih cenderung ke kiri dan
biasanya dibutuhkan kambing hitam untuk dipersalahkan: status quo, sistem,
penguasa, orang kaya, kapitalis, struktur sosial dan lain-lain.
Dalam teologi al-‘Ashr, agama (iman) dan peradaban (amal salih)
ditempatkan sebagai dua entitas yang terpisah dan harus diraih secara
terpisah. Sehingga agama sebagai formalitas simbolik menjadi penting.
Peradaban dibangun bukan melalui perlawanan melainkan melalui proses
pembelajaran dan eksperimentasi (tawâshshau bi al-haqq) dan kegigihan
untuk mengalahkan (keterbatasan) diri sendiri (tawâshshau bi al-shabr). Ibarat
27 Ulrich Beck, Risk Society: Toward a New Modernity, (London: Sage Publication, 1992).
28 Gabe Mythen. Ulrich Beck A Critical Introduction to the Risk Society (London: Pluto Press,
2004).
TEOLOGI WAL-‘ASHRI 271
menanam sebuah pohon, teologi kiri seperti menanam pohon pisang. Ketika
pohon pisang sudah berbuah, maka ia harus ditebang dan ditanam lagi.
Berbeda dengan menanam pohon jati yang membutuhkan waktu yang relatif
lama, dan memiliki batang yang kuat dan membutuhkan etos kesabaran dan
kekuatan moralitas utama.
Dapat dikatakan bahwa pergeseran Al-Ma’un menuju Al-‘Ashr jika melihat
kemunculan masyarakat risiko meminjam teori Ulrich Beck. Salah satu
perubahan yang dimaksud dalam hal masalah sentral. Jika dalam Al-Ma’un
adalah modernitas klasik masalah sentralnya berkisar pada kekayaan dan
bagaimana cara mendistribusikannya dengan merata serta adil bagi kaum
tertindas (mustadh’afîn). Sementara itu, dalam al-‘Ashr membawa modernitas
“baru” dengan masalah sentralnya adalah risiko dan bagaimana cara men
cegah, meminimalkannya, atau menyalurkannya. Fenomena ini terjadi
dalam masyarakat urban, teratur dan peradaban. Senada dengan kaidah
ushul fiqh yang berbunyi: “Menghilangkan kerusakan lebih didahulukan
daripada mengambil manfaat”.
Atas dasar itu, teologi al-‘Ashr bukanlah teologi yang memprioritaskan
amal, memproduksi sebanyak-banyaknya, akan tetapi teologi yang begitu
memperhitungkan (sebagaimana spirit demi masa) untuk meminimalisasi
risiko, berupa konflik, kerusakan, dan lain sebagainya yang membawa
kehancuran. Teologi yang membawa spirit masyarakat modernitas akhir
yang bertujuan dar’ul mafasid (mencegah aneka ragam kerusakan).
Sebagaimana teori maqashid syari’ah (tujuan syariat) yaitu pertama, menjaga
agama (al-diin): menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan beragama
dan berkepercayaan. Kedua, menjaga jiwa (al-nafs) yaitu menjaga kehormatan
dan melindungi martabat kemanusiaan serta menjaga dan melindungi hak-
hak asasi manusia. Ketiga, menjaga akal (al-aql) dengan melipatgandakan
pola pikir dan penelitian ilmiah; mengutamakan perjalanan untuk mencari
ilmu pengetahuan; menekan pola pikir yang mendahulukan kriminalitas
kerumunan gerombolan; menghindari upaya-upaya untuk meremehkan
kerja otak. Keempat, menjaga keturunan (an-nasl) yaitu teori yang berorientasi
kepada perlindungan keluarga, melakukan kepedulian yang lebih terhadap
institusi keluarga. Kelima, menjaga harta (maal) Mengutamakan kepedulian
sosial, menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan ekonomi,
mendorong kesejahteraan manusia, menghilangkan jurang antara miskin
272 Azaki Khoirudin
dan kaya.29 Ada juga yang menambah menjaga lingkungan (bi’ah) melihat
kondisi lingkungan kehidupan yang semakin mengalami kerusakan.
Ditinjau dari perspektif teologi, kiranya teologi Kiai Dahlan lebih tepat
dikategorikan dalam teologi fungsional atau teologi kebudayaan, lebih dekat
lagi teologi amal shaleh bahkan empirik. Sebagaimana Peursen membagi
kebudayaan menjadi tiga yaitu mistis, ontologis, dan fungsional. Dalam wacana
teologi kebudayaan, di satu sisi teologi merupakan pengembagan keimanan
dan religiositas yang fungsional terhadap kehidupan objektif dan di sisi lain
merupakan realisasi konseptual dinamika sejarah kehidupan sebagai proses
ibadah kepada Allah30. Melalui cara pandang teologi al-Ashr, mencoba melihat
masalah dimulai dengan menerima realitas yang ada untuk membangun
peradaban. Bagaimana caranya? yaitu, diawali dengan mengapresiasi ke
kuatan yang ada pada diri, memetakan modal kekuatan (ontologi sosial),
kemudian merancang, merekayasa sosial untuk melakukan transformasi
sosial-kebudayaan.[]
29 Jaser ‘Audah, Al-Maqasid untuk Pemula (Yogyakarta: Suka Press, 2013), hlm. 52–55; Maqasid
al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach (London: The International
Institute of Islamic Thought, 2008). Lihat juga M. Amin Abdullah, “Memaknai Al-Ruju’ ila
Al-Qur’an wa Al-Sunnah”, Disampaikan dalam Halaqah Fikih Kebhinnekaan, Ma’arif Institut,
Jakarta, 24 Februari 2015.
30 Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 38.