OLEH:
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Postmodern merupakan salah satu isu yang seolah tidak pernah padam di
dunia pemikiran filsafat. Hingga saat ini pun banyak yang memperdebatkan
tentang pengertian maupun batas dari zaman postmodern itu sendiri. Apa yang
menjadi pembeda antara modern dan postmodern? Apakah ketika zaman
postmodern berjalan, zaman modern lenyap? Serta banyak pertanyaan lain yang
muncul terkait postmodern.
Istilah ‘Postmodernismee’ konon pada mulanya muncul di bidang seni,
kemudian menjadi istilah yang cukup popular di dunia sastra-budaya sejak tahun
1950-an. Pada perkembangan selanjutnya di bidang Filsafat dan ilmu-ilmu sosial
baru menggema pada tahun 1970-an. Meskipun demikian tidak ada definisi yang
pasti mengenai istilah tersebut. Hal ini karena sejak istilah itu dilabelkan pada
berbagai bidang tersebut di atas dan dipelopori oleh sekian banyak tokoh dengan
seluruh variasinya yang kadang saling bertentangan. Inilah yang terkadang
membuat banyak tokoh saling bertentangan dalam memahami istilah
postmodernisme. Pada penjelasan skripsi ini istilah Postmodern akan coba dibahas
Berbicara mengenai teknologi dan ilmu pengetahuan, dua hal ini, khususnya
teknologi, memang seolah tak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Manusia
dari zaman ke zaman seolah tak pernah luput dan berhenti menemukan alat
berteknologi demi meringankan beban mereka sehari-hari.
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan makan ini adalah:
PEMBAHASAN
A. Pengertian Postmodernisme
Postmodern bila diartikan secara harfiah, kata-katanya terdiri atas “Post” yang
artinya masa sesudah dan “Modern” yang artinya era Modern, karena itu dapat
disimpulkan bahwa Postmodern adalah masa sesudah era Modern (era diatas tahun
1960-an).Ada banyak ragam terminologi dan makna istilah postmodern,
tergantung pada wilayah pendekatan yang berbeda. Di satu sisi, istilah
“Postmodern” tidak diciptakan sebagai sesuatu yang baru dalam rangka filsafat.
Sebelumnya istilah ini sudah cukup lama dipakai dalam bidang kesenian
khususnya arsitektur dan kesusastraan, terutama Amerika Serikat (Lash, S. 1990).
Bahkan seorang filosof Jerman, Rudofl Panwitz, telah menggunakan istilah
postmodern yang secara kritis digunakan untuk menangkap adanya gejala
nihilisme kebudayaan modern.Pemikiran Postmodernisme tentang masyarakat,
khususnya tentang kebijakan sosial, termasuk kebijakan global, relative belum
berkembang. Para filsuf, teolog dan ahli ilmu pengetahuan alam telah
mengembangkansuatu pandangan dunia postmodenisme sejak satu abad yang lalu.
Akan tetapi pemikiran serius yang berkesinambungan tentang tata sosial manusia
dari sudut pandang postmodernisme baru berkembang akhir-akhir ini saja. Akan
tetapi, secara umum pendekatan postmodernisme terhadap ekonomi, politik,
pertanian, policy sains, teknologi, gender, tata dunia global, pendidikan, dan
masalah-masalah lain dari kebijakan social masih muda sekali umurnya.
Para pemikir postmodernisme tertarik untuk bergerak mengusahakan
kesamaan yang lebih besar, baik di dalam suatu masyarakat maupun antar
masyarakat, dan memandang agama sebagai sumber yang potensial untuk
mendukung gerakan ini. Secara khas, kaum postmodernisme menerima suatu
masyarakat agama yang pluralistis. Mereka berharap bahwa berbagai agama
tradisional akan mengakui kesamaan masing-masing dan juga saling
mentrasnformasikan diri dengan menyesuaikan nilai-nilai dan kebenaran dari
partikularitas masing-masing.
Tema para pemikir sosial postmodernisme adalah bahwa agar terwujud suatu
masyarakat yang sehat dan berkesinambungan, maka kehidupan publik harus
mencerminkan nilai-nilai religius. Keyakinan ini mensyaratkan keyakinan-
keyakinan yang sudah ada sebelumnya bahwa kebijakan publik harus
mencerminkan nilai moral. Dan bahwa moralitasitupada akhirnya berakar dalam
visi religius; ini berarti penolakan terhadap asumsi modern bahwa moralitas itu
bisa bersifat otonom (Lash, S. 1990).
B. Sejarah Postmodernisme
Jean Francois Lyotard adalah filsuf kelahiran Versailles Perancis yang mulai
meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus postmodernisme. Lyotard
mencatat beberapa ciri utama kebudayaan postmodern. Menurutnya, kebudayaan
postmodern ditandai oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya masyarakat
komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi besar modernisme, lahirnya prinsip
delegitimasi, disensus, serta paralogi. Realitas sosial budaya masyarakat dewasa
ini seperti yang ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada adalah masyarakat
yang hidup dengan ditopang oleh sarana teknologi informasi, terutama komputer.
Dengan komputerisasi, prinsip-prinsip produksi, konsumsi dan transformasi
mengalami revolusi radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin terbatas
dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi, percepatan
pengolahan data dan informasi yang mampu mengubah bahkan memanipulasi
realitas, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara massif, adalah beberapa
konsekuensi perkembangan teknologi. Dalam masyarakat komputerisasi seperti
ini, nilai-nilai serta asumsi dasar modernisme: rasio, ego, narasi besar, otonomi,
identitasnya tidak lagi mampu menggambarkan realitas. Bahkan, realitas telah
berubah sesuai dengan perubahan karaktermasyarakatpostmodernisme.
Realitas masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah, arena perjuangan, nilai-
nilai barupostmodernisme (Rosenau, Pauline M. 1992).
Sentralisasi Desentralisasi
Konstruksi Dekonstruksi
Kultur Sub-Kultur
Hermeneutis Nihilisme
Hierarki Anarki
Industri Pasca-Industri
Teori Paradigma
Agama Sekte-sekte
Legitimasi Delegitimasi
Konsensus Dekonsensus
Kontinuitas Diskontinuitas
F. Konsep Postmodernisme
Dari penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai perkembangan
postmodernisme
Dalam bukunyahingga ciri-ciri
Visi-visi postmodernisme
Postmodern, Dafid dapat diketahui
Ray Griffin bahwa dalam
menjelaskan bahwa
konsep postmodernisme terdapat beberapa prinsip yang menonjol dalam konsep
konsep postmodernisme sebenarnya merupakan gagasan untuk bergerak maju ke
pemikirannya.
suatu dunia postmodernisme, ini berarti mengambil unsur- unsur yang baik dari
modernitas dan memperbaiki yang buruk. Hal-hal yang baik antara lain, ideal
tentang komunitas, kebebasan dan persamaan. Kepekaan postmodernitas, yang
mengakui adanya hubungan-hubungan internal, tidak menganggap kebebasan,
persamaan dan persaudaraan sebagai pertentangan satu sama lain, melainkan
sebagai ideal-ideal yang saling mendukung.Postmodernisme yang kita pahami saat
ini, merupakan konsep pemikiran baru yang hadir dalam berbagai bidang
kehidupan, antara lain seni, filsafat, sastra, arsitektur dan lain sebagainya. Namun,
pemikiran Griffin di atas sangat mendukung terbentuknya konsep-konsep baru
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan saat ini. Hal-hal
baik yang diusung oleh postmodernisme antara lain tentang komunitas, kebebasan,
dan persamaan dapat dikembangkan dalam dunia pendidikan hingga menjadi
warna baru dalam pengembangan ilmupengetahuan.Dari beberapa tema besar
yang diusung oleh postmodernisme dapat ditarik beberapa kajian keilmuan dalam
dunia pendidikan yang berkembang saat ini. Komunitas, kebebasan dan
persamaan menjadi kajian pentingkebebasan akademik dalam pendidikan,
khususnya di Perguruan Tinggi.
G. Postmoderen dalam kurikulum Pendidikan
Kurikulum di era postmodern menjadi keterlibatan estetika dan pencarian
pemahaman yang lebih dalam yang akan mengarah pada keadilan, kasih sayang,
dan keberlanjutan ekologis di mana batas antar siswa dikaburkan, dan semua
siswa memiliki akses ke sumber materi pembelajaran. Pendidik dan siswa tidak
menyalin teks sesuai dengan materi pelajaran. Sebaliknya, pendidik dan siswa
semua memasuki lingkaran hermeneutik untuk berinteraksi membangun
pengetahuan.
Rekonseptualisasi pengembangan kurikulum dan proses penafsiran materi di
sekolah merupakan kesadaran estetika yang sama dengan tanggung jawab etis
dari kesadaran dialogis. Naluri untuk bersekutu adalah kerinduan agar dunia hadir
bagi kita sebagai pribadi. Mikhail Bakhtin menegaskan bahwa estetika muncul
sebagai penyempurnaan dari apa yang dibangun melalui kolaborasi yang
produktif di antara lawan bicara, yakni guru dan siswa. Dengan kata lain,
kesadaran mental subyektif kita disusun secara intersubjektif melalui persepsi
indrawi. Dalam istilah Deweyan, estetika memberi kita hal-hal interpretatif yang
memungkinkan kita membayangkan skenario alternatif dan kemungkinan untuk
situasi yang bermasalah secara moral. Kapasitas untuk proyeksi imajinatif ini juga
ditemukan dalam gagasan Bakhtin tentang “Answerability.” Dalam hal ini,
keterlibatan siswa dengan cara estetika dan imajinatif menjadi tanggung jawab
moral bagi semua pendidik. Pendidik tidak perlu terlalu mengatur atau memimpin
dalam upaya untuk terkait keterlibatan dalam materi dan diskusi satu sama lain.
H. Implikasi Nilai-nilai Posmodernisme dalam Dunia Pendidikan
Berdasarkan pada berbagai ciri menonjol pada filsafat posmodern maka
dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap pendidikan
mutakhir. Dimana pendidikan tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses
transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah
(pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’
dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat.
Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang
pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama
sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui
pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah.
Postmodernisme yang menggunakan tema pluralitas, heterogenitas serta
deferensiasi sebagai tema utama adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan
melalui berbagai kerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi,
realitas membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis
dan dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai) serta
transfer of knowledge (transformasi pengetahuan). Peran guru, bahkan juga
institusi sekolah seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnya sebagai
pembelenggu kreativitas anak didik; pengajaran dengan lebih menekankan
verbalisme, pola Sistem Kredit Semester (SKS) bahkan juga ujian sebagai ukuran
terakhir kemampuan anak didik adalah representasi bagi ‘penindasan’ yang
dilakukan institusi tersebut terhadap pengembangan kreativitas anak didik. Beban
pelajaran yang sedemikian berat, meminimilisasikan kemampuan anak didik untuk
‘melakukan’ eksperimentasi berdasarkan kemampuannya secara profesional,
karena disibukkan dengan beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran
seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidangbidang tersebut. Padahal dalam
perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis
moral, krisis sosial dan sebagainya, dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan
rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya, telah mendatangkan persoalan yang
cukup berat menimpa masyarakat modern. Rasio manusia tidak lagi dapat
diharapkan memberikan jawab atas berbagai problem yang muncul dalam
masyarakat modern. Sehingga, proses pendidikan yang (hanya) diarahkan pada
kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kepada
nilai kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan
sebagai alat untuk memanusiakan manusia. Pengangkatan harkat dan martabat
kemanusiaan tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus
integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan
(nasional) pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga
kemampuan dasar yaitu kognitif, efektif serta psikomotorik. Ketidakmampuan
mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang
timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk memainkan
ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan. Kritik posmodern atas situasi masyarakat
modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya
mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.
Dalam kondisi yang demikian postmodern tampil memberikan berbagai
alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar
postmodern terhadap modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting
seperti paralogy atau pluralisme, deferensiasi atau desentralisasi, dekonstruksi atau
kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah
yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma)
pendidikan yang diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat.
I. Kelebihan dan kelemahan post moderen
Kelebihan postmodernisme antara lain bahwa perspektif postmodernisme
dapat membuat kita peka terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif,
prinsip-prinsip etika positif, dapat diputar dan dipakai untuk menindas manusia.
Martabat manusia harus dijunjung tinggi, seperti kebebasan adalah nilai tinggi,
tetapi bisa saja terjadi bahwa nama kebebasan sekelompok orang mau ditiadakan.
Postmodernisme ikut membuat kita sadar, sebuah kesadaran bahwa semua
cerita besar perlu dicurigai, perlu diwaspadai agar tidak menjelma rezim
totalitarianisme yang hanya mau mendengarkan suara diri sendiri dan
mengharuskan suara-suara yang berbeda dari luar (Zaprulkhan, 2006: 323-324).
Menurut Franz Dahler, postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan
untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli,
dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi
(Jalaluddin, 2013: 67).
Zaprulkhan menyatakan bahwa setidaknya ada kelemahan yang ada pada
postmodernisme, yang penulis rangkum menjadi tiga poin utama, yaitu, pertama,
postmodernisme yang sangat semangat mempromosikan narasi-narasi kecil,
ternyata buta terhadap kenyataan bahwa banyak juga narasi kecil yang
mengandung banyak kebusukan. Katakanlah kaum komunitarian yang membela
tradisi-tradisi komunitas dikemukakan bahwa banyak tradisi komunitas
bertentangan tidak hanya dengan suatu ide abstrak martabat manusia
postmodernisme akan menolak argumen itu, melainkan terhadap institusi-institusi
moral mendalam manusia. Kedua, postmodernisme tidak membedakan antara
ideologi, di satu pihak dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, di pihak lain.
Dengan istilah-istilah kabur seperti cerita besar mereka menutup perbedaan yang
prinsipil itu. Yang mempermudah adalah pendekatan ideologis dan bukan nilainilai
dan prinsip-prinsip dasar moralitas yang terbuka. Dalam arti ideologi tertutup,
memang bertentangan dengan martabat manusia sebagai makluk yang bertindak
berdasarkan kesadaran akan baik dan buruk, yang sanggup untuk bertanggung
jawab, karena ideologi selalu menuntut ketaatan mutlak. Dan yang ketiga
Postmodernisme menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita
kecil atau lokal. Dengan kata lain tuntutan postmodernisme kontradiktif,
memaklumkan kepada umat manusia bahwa maklumat-maklumat kepada umat
manusia (cerita besar) harus ditolak sama artinya dengan memaklumatkan bahwa
maklumat itu sendiri tidak perlu dihiraukan (Zaprulkhan, 2006: 322-323).
BAB III
PENUTUP
Lahirnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari adanya paham modernisme.
Pandangan modernisme menganggap bahwa kebenaran ilmu pengetahuan bersifat mutlak
dan objektif, artinya tidak adanya nilai dari manusia. Di sinilah lahir suatu paham baru
yaitu postmodernisme yang salah satu tokohnya bernama Jean Francouis Lyotard,
postmodernisme merupakan kelanjutan dan koreksi dari modernisme untuk memberikan
suatu pemikiran baru dan solusi dalam pandangannya terhadap ilmu pengetahuan.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode hermeneutika filosofis, dengan unsur-unsur: interpretasi, deskripsi, dan
komparasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi postmodernisme, ilmu pengetahuan
tidaklah bersifat objektif tetapi subjektif dan interpretasi dari manusia itu sendiri, sehingga
kebenarannya adalah relatif. Postmodernisme tidak lepas dengan adanya kelemahannya
dan apakah relevan terhadap kehidupan masa kini, maka terlepas dari itu postmodernisme
menambah pembendaraan pengetahuan yang dapat diterima
keberadaannya.
DAFTAR RUJUKAN
Allan George. 2004. Higher Educationin the Making (Pragmatism, Whitehead, and the
Canon). State University of New York Pers: New York.
Car David. 1998. Education, Knowledge, and Truth. Routledge: London and New York.
Patrick Slattery. 2006. Postmoderen Era in the Curriculum Developmen. Roudledge: New
York.
Pilliang, Amir Yasraf. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika.
Jalasutra: Yogyakarta
Rosenau, Pauline M. 1992. Postmodernisme and Social Sciences: Insight, Inroads, and
Intrusion, Princeton: Princeton UniversityPress