Anda di halaman 1dari 16

A.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Postmoderen


MODERNISME POSTMODERNISME

Sentralisasi Desentralisasi

Pertarungan Kelas Pertarungan Etnis

Konstruksi Dekonstruksi

Kultur Sub-Kultur

Hermeneutis Nihilisme

Budaya Tinggi Budaya Rendah

Hierarki Anarki

Industri Pasca-Industri

Teori Paradigma

Kekuatan Negara Kekuatan Bersama

Agama Sekte-sekte

Legitimasi Delegitimasi

Konsensus Dekonsensus

Budaya Tradisional Liberalisme

Kontinuitas Diskontinuitas

B. Implikasi Nilai-nilai Posmodernisme dalam Dunia Pendidikan


Berdasarkan pada berbagai ciri menonjol pada filsafat posmodern maka dapat
dilacak dimana letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap pendidikan mutakhir. Dimana
pendidikan tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan
(knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan
demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk
melakukan proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak
lagi terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang
sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah
itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah.
Postmodernisme yang menggunakan tema pluralitas, heterogenitas serta
deferensiasi sebagai tema utama adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan
melalui berbagai kerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas
membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan
dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai) serta transfer of
knowledge (transformasi pengetahuan). Peran guru, bahkan juga institusi sekolah
seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnya sebagai pembelenggu kreativitas anak
didik; pengajaran dengan lebih menekankan verbalisme, pola Sistem Kredit Semester
(SKS) bahkan juga ujian sebagai ukuran terakhir kemampuan anak didik adalah
representasi bagi ‘penindasan’ yang dilakukan institusi tersebut terhadap pengembangan
kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat, meminimilisasikan
kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi berdasarkan kemampuannya
secara profesional, karena disibukkan dengan beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan
pada penguasaan pada bidangbidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme,
justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan
sebagainya, dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran
kebenarannya, telah mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat
modern. Rasio manusia tidak lagi dapat diharapkan memberikan jawab atas berbagai
problem yang muncul dalam masyarakat modern. Sehingga, proses pendidikan yang
(hanya) diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan
mendatangkan bencana kepada nilai kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa
pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia. Pengangkatan
harkat dan martabat kemanusiaan tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata,
tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan (nasional)
pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu
kognitif, efektif serta psikomotorik. Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah
tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, proses
pendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan.
Kritik posmodern atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas
proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang
dimiliki manusia.
Dalam kondisi yang demikian postmodern tampil memberikan berbagai alternatif
bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodern terhadap
modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau
pluralisme, deferensiasi atau desentralisasi, dekonstruksi atau kritik dasar atas sebuah
tatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan
peluang baru bagi munculnya model (paradigma) pendidikan yang diselenggarakan oleh
negara ataupun masyarakat.
Desentralisasi Pendidikan: Pergeseran Wacana dari Grand Naratif ke Local
Narative
Belakangan ini tema tentang desentralisasi pendidikan merupakan problem
pendidikan yang cukup mengedepan. Setelah mengadakan pengkajian ulang atas
bangunan pendidikan yang ada di Indonesia, saatnya bangsa ini memberikan format baru
tentang sistem pendidikan di Indonesia. Ikhtiar reformasi sistem pendidikan nasional
tersebut diawali dengan dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) yang bertugas
untuk menyempurnakan Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Selain mempersiapkan RUU Sistem Pendidikan Nasional, KRP juga akan
menyiapkan aturan pelaksanaannya. Mengapa harus menyempurnakan UU Sisdiknas?
Setidaknya ada tiga argumentasi mengapa UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) perlu direvisi (menjadi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20/2003) untuk mengelola pendidikan secara demokratis. Pertama, dengan
mengesampingkan bahwa UUSPN adalah produk pemerintah Orde Baru, dalam 10 tahun
usianya sejak disahkan 27 Maret 1989, muatan UU tersebut dianggap sudah
kadaluwarsa. Maksudnya, perkembangan terakhir menunjukkan banyak sekali substansi
muatan UU tersebut yang dirasa berbagai kalangan tidak lagi akomodatif bagi
kepentingan perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan nasional. Semangat
sentralistik yang dianut UU tersebut dalam mengelola pendidikan nasional, selain
menjadikan praktik pendidikan nasional sebagai sub-ordinat kekuasaan, juga dirasakan
tidak mampu lagi menjawab tantangan kekinian dan kemasadepanan.
Kedua, mau tidak mau, kelahiran UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah
(UUPD) dalam beberapa hal mesti berbenturan dengan muatan UUSPN. Dimana UU
tersebut mengisyaratkan adanya kewenangan penuh bagi daerah untuk mengelola
daerahnya secara mandiri. Terlebih-lebih diketahui, pemerintah pusat tidak lagi memiliki
kewenangan untuk mengelola pendidikan nasional karena Pasal 11 ayat 2 UUPD
menyatakan bahwa diantara 11 kewenangan bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai daerah otonom adalah pendidikan dan
kebudayaan.
Ketiga, dari berbagai kajian hasil Konferensi Asia Pasifik mengenai pelaksanaan
Education for All (EFA) yang berlangsung di Bangkok, Thailand pada 17-20 Januari
tampak jelas bahwa ada persoalan serius dalam hal pembiayaan pendidikan nasional
masing-masing negara, dimana kenaikan nasional setiap negara untuk pendidikan (dasar)
cenderung menurun lima tahun terakhir. Bantuan internasional memang naik 3,8 milyar
dollar pada 1985, namun kemudian berhenti. Artinya, negara-negara donor gagal
memenuhi komitmennya memberi 0,7 % GNP-nya guna membantu negara-negara
berkembang, sehingga target alokasi 20 % untuk sektor pembangunan sosial terpenuhi.
Pendidikan di berbagai belahan dunia selalu dipakai sebagai modal dasar
pengembangan dan pemilihan kebijakan pembangunan. Hampir di semua negara selalu
menggunakan pendidikan sebagai proses pencapaian pembentukan kualitas sumber daya
manusia; baik sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan. Negara yang mempunyai
konsep dan proses pendidikan yang baik dan modern biasanya menghasilkan out put
pendidikan yang mempunyai kemampuan melaksanakan segenap agenda pembangunan.
Melalui pendidikan; proses pemenuhan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan
penggalian potensi nasional maupun lokal sebagai pendukung utama keberlangsungan
pembangunan dapat terpenuhi. Memahami aspek pendidikan sebagai bagian yang tidak
terpusatkan dalam proses berlangsungnya pembangunan nasional maupun lokal,
selayaknya untuk selalu dikedepankan. Selama ini terkesan bahwa pendidikan nasional
kita selalu menjadi agenda yang nomor sekian setelah agenda pembangunan bidang
ekonomi dan politik. Padahal kedua bidang tersebut tidak pernah bisa berjalan tanpa
keberhasilan di sektor pendidikan. Apalagi dalam terminologi memasuki otonomi daerah
yang telah dilaksanakan pada bulan Januari 2001 yang lalu, maka sektor pendidikan
sebagai sarana awal pemecahan persoalan-persoalan lokal; seperti pemenuhan kebutuhan
SDM, penentuan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan lokal dan sebagainya, harus
menjadi agenda pembangunan yang tidak bisa ditunda-tunda.
Selama ini yang terjadi adalah betapa proses pendidikan selalu tidak sejalan dengan
agenda pembangunan lokal. Proses pendidikan, dalam artian pendidikan formal (sekolah)
sesungguhnya diterapkan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan
sumber daya manusia (minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang
melingkupinya. Setiap proses pendidikan di dalamnya seharusnya mengandung berbagai
bentuk pelajaran dengan muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat.
Sehingga hasil atau out put pendidikan adalah manusia yang sanggup untuk memetakan
sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Bagaimana
mungkin dapat diperoleh keluaran pendidikan yang mengerti kebutuhan daerah (lokal)
manakala proses belajarnya tidak pernah bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan yang
memang mengangkat dalam masyarakat.
Berbagai ilustrasi dimunculkan, betapa proses pendidikan yang dijalankan sering kali
tercerabut dari akar persoalan riil, tapi ilustrasi tersebut hanya menjadi bahan
pembicaraan yang tidak bergaung. Misalnya, fakta bahwa mayoritas masyarakat
Indonesia ada di pedesaan yang notabene adalah masyarakat agraris, tetapi dalam praktek
pendidikannya hampir tidak berorientasi pada problem masyarakat, khususnya
masyarakat desa. Praktik pendidikan yang demikian disinyalir membuat orang sekolahan
menjadi asing dan tidak mengenal persoalan yang sedang terjadi disekitarnya. Bahkan
tidak jarang, justru banyak produk-produk pendidikan tersebut seringkali melecehkan
kehidupan dan pekerjaan masyarakat sekitar misalnya sebagai petani. Hal ini karena anak
didik lebih banyak di’intervensi’ oleh praktik pendidikan model perkotaan dengan tipikal
masyarakat industrialnya sehingga muncul ketidakpercayaan diri anak didik atas profesi
sebagai petani dan memilih gaya hidup sebagai priyayi dengan fenomena rebuatan
keluaran pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil atau minimal pekerja di
perkantoran.
Selain itu ada sebuah ilustrasi menarik untuk mencoba menggambarkan seringnya
praktik pendidikan yang tidak berkorelasi dengan kebutuhan mendasar. Di beberapa
daerah pedalaman dan masyarakat terisolir, yang merupakan daerah pedesaan dan
perkampungan hutan serta masyarakat nelayan, ditemui suatu kenyataan betapa anak-
anak yang seharusnya berada pada jam sekolah tetapi justru melakukan kegiatan atau
aktivitas kerja, semisal bertani, mencari rumput, menggembala, berladang dihutan serta
mencari ikan dan sebagainya.
Secara spontan kita akan menuduh bahwa kebudayaan masyarakat di tempat tersebut
kurang mendukung pembangunan pendidikan dengan adanya kebiasaan orang tua untuk
mengajar anak-anak mereka masuk hutan, bertani atau berlayar mencari ikan. Pernyataan
tersebut nampaknya mau menunjuk bahwa kebiasaan orang tua mereka untuk masuk ke
hutan, berladang dan menangkap ikan adalah antitesis tersendiri dari dunia pendidikan
yang seharusnya diikuti oleh anakanak. Antitesis dunia pendidikan bisa diperluas
cakupannya menyangkut kebiasaan orang tua nelayan yang mengajak anaknya melaut,
kebiasaan orang tua perkotaan yang mengharuskan anaknya bekerja disektor informal.
adalah anak-anak pinggiran yang luput dari perhatian kurikulum. Mereka terbiasa belajar
sambil bekerja.
Mendesaknya agenda pengembangan pendidikan dalam rangka pembangunan, baik
nasional maupun daerah terkait dengan dua dokumen penting yang keluar beberapa
waktu yang lalu yang diperkirakan berdampak langsung pada sistem pendidikan nasional
yang layak mendapat perhatian serius. Dokumen pertama adalah rekomendasi jangka
panjang Bank Dunia terhadap pendidikan Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi
dan moneter sebagaimana tercantum dalam laporan Nomor 18651-IND bertajuk
Education in Indonesian : From Crisis to Recovery yang berisi tentang kegagalan
pendidikan di Indonesia yang dianggap masih belum memuaskan.
Sehingga salah satu rekomendasinya adalah mendesaknya diberlakukan desentralisasi
pendidikan. Dokumen kedua adalah keluarnya Undang-undang No. 22/1999 tentang
Otonomi Daerah, dimana kabupaten dan kotamadya menjadi basis pengelolaan
pemerintah daerah otonom. Pemberlakukaan UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah secara politis-sosiologis bermakna strategis dalam jangka panjang. Secara politis,
UU ini akan mereduksi peranan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan administrasi
pemerintahan yang selama tiga dasawarsa telah mengalami proses sentralisasi. UU ini
merupakan landasan hukum bagi diberlakukannya proses desentralissai kekuasaan
dengan memberikan Otonomi penuh kepada daerah. Secara sosiologis, UU ini
merupakan langkah nyata pemberdayaan daerah.
Berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pendidikan, maka revisi UU SPN tentang
perlunya azas desentralisasi dan otonomi pendidikan merupakan babak baru menguatnya
iklim demokratisasi dalam pendidikan nasional. Desentralisasi pendidikan mengandaikan
dimulainya pemberian peran lebih besar kepada pemerintah daerah tingkat Kabupaten
atau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan. Desentralisasi ini berkaitan oleh
sebuah keinginan mendasar bahwa kebutuhan lokal atau juga nilai-nilai sosial-kultural
setiap daerah berbeda sehingga memungkinkan diberlakukannya suatu sistem pendidikan
yang mengakomodir kebudayaan lokal tersebut.
Desentralisasi pendidikan mengisyaratkan suatu sistem pendidikan yang bersifat
indegenous (pribumisasi) karena didasarkan pada aspek-aspek dasar dari lokalitas
masyarakat. Hal ini agar masyarakat atau peserta didik tidak tercerabut dari akar
kebudayaannya. Dengan demikian ada relasi mutualistik antara penyelenggaraan
pendidikan dengan situasi lokal yang membutuhkan penjelasan dan pengenalan secara
lebih komprehensif. Sistem ini jelas memberikan peluang terjadinya demokratisasi
pendidikan, karena ia tidak lagi terpusat dalam soal penyusunan kurikulum bahkan soal
pengangkatan guru. Desentralisasi pendidikan merupakan langkah strategis untuk
menguatkan daerah dan memberikan kebebasan dalam menyusun sebuah kurikulum
berbasis kompetensi yang belakangan sedang ramai dibicarakan. Peralihan kewenangan
dari pusat ke daerah ini bertujuan agar setiap daerah mampu memberikan kontribusi
positif bagi pengembangan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan daerah untuk mampu dihadapkan pada wacana global.
Dari uraian tentang desentralisasi pendidikan tersebut tampak jelas betapa tema
tentang local narative merupakan pilihan penting untuk menggantikan grandnarative
yang selama ini mendominasi sistem pendidikan nasional (kita). Awalnya negara
memainkan peranan besar untuk menghegemoni sistem penyelenggaraan pendidikan di
setiap sekolah. Negara mencoba menerapakan pendidikan yang sifatnya homogen.
Situasi ini jelas menjadi tema dan sasaran kritik utama postmodern, yang sejak semula
tidak sepakat dengan apa yang disebut sebagai homogen, sebab masyarakat adalah
heterogen, baik karakter maupun kebutuhannya. Sehingga menjadi tidak populer kalau
negara masih memaksakan kehendaknya untuk mempengaruhi dan menjadikan
pendidikan-persekolahan menjadi seragam atau homogen. Peralihan wacana dari
grandnarative ke local narative tersebut ditandai dari pergeseran peran yang semula
sentralistik menuju desentralistik. Jika dulu negara yang sangat berperan dalam
menentukan berbagai kebijakan menyangkut pendidikan persekolahan, maka dengan
diterapkannya sistem desentralisasi, pihak sekolah dan masyarakatlah yang berperan
aktif secara profesional mengembangkan sistem pendidikan persekolahannya.
Bangsa Indonesia saat ini tengah disibukkan dengan geliat reformasi di segala bidang,
termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah mereformasi
sejumlah fakta negatif pada sistem pendidikan nasional ke arah perbaikan. Menurut Kartono
yang perlu dilakukan secara mendasar adalah perubahan paradigma antara lain :
1. Dari pendidikan yang menekankan segi kognitif menuju pendidikan yang
menekankan seluruh segi kemanusiaan yang lebih utuh.
2. Dari pembelajaran yang lebih menekankan keaktifan guru/dosen menuju kepada
pembelajaran yang lebih menekankan peserta didik aktif untuk mengembangkan
diri dan mengkonstruksi pengetahuan mereka. Secara sistematis telah
diperkenalkan metodologi CTL (Contextual Teaching & Learning) yang
memungkinkan guru cermat membangun pengalaman bagi siswa.
3. Dari pendidikan yang hanya memperhatikan hasil akhir menuju pendidikan yang
menghargai proses dan memperhatikan perkembangan peserta didik. Kejujuran
sebagai bagian dari proses perlu menjadi perhatian dalam pendidikan di jenjang
manapun.
4. Dari kurikulum yang berorientasi pada banyaknya materi menuju kepada
kurikulum yang memperhatikan konsep dasar, tantangan zaman, dan juga
kebutuhan lokal. Ada peluang untuk memilih materi yang sesuai konteks
setempat.
5. Dari pendidikan yang hanya dikelola oleh sekolah/institusi menuju pendidikan
yang dikelola dan menjadi tanggung jawab sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
6. Dari pendidikan yang dikelola secara sentralistik dan otoriter menuju pendidikan
yang lebih desentralistik, otonom, demokratis, dan dialogal.
7. Dari pendidikan yang membedakan gender menuju kepada pendidikan yang lebih
menghargai semua gender baik perempuan maupun laki-laki.
8. Dari pendidikan yang diasingkan dari masyarakat menuju pendidikan yang peka
dan kritis terhadap masyarakat.
9. Dari pendidikan yang mengakibatkan orang hidup eksklusif menuju pendidikan
yang membantu setiap orang menjadi saudara, sesama, sahabat yang dapat bekerja
sama membangun dirinya yang damai dan maju.
Adapun ikhtiar untuk merealisasikan paradigm tersebut antara lain diawali dengan
dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) yang bertugas untuk menyempurnakan
Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain
mempersiapkan RUU Sistem Pendidikan Nasional, KRP juga akan menyiapkan aturan
pelaksanaannya dengan beberapa argumentasi berikut : Pertama, dengan mengesampingkan
bahwa UUSPN adalah produk pemerintahan Orde Baru, dalam 10 tahun usianya sejak
disahkan 27 Maret 1989, muatan UU tersebut dianggap sudah kadaluwarsa. Maksudnya,
perkembangan terakhir menunjukkan banyak sekali substansi muatan UU tersebut yang
dirasa berbagai kalangan tidak lagi akomodatif bagi kepentingan perkembangan dan
kemajuan dunia pendidikan nasional. Semangat sentralistik yang dianut UU tersebut dalam
mengelola pendidikan nasional, selain menjadikan praktik pendidikan nasional sebagai sub-
ordinat kekuasaan, juga dirasakan tidak mampu lagi menjawab tantangan kekinian dan
kemasadepanan.
Kedua, mau tidak mau, kelahiran UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah
(UUPD) dalam beberapa hal mesti berbenturan dengan muatan UUSPN. Dimana UU tersebut
mengisyaratkan adanya kewenangan penuh bagi daerah untuk mengelola daerahnya secara
mandiri. Terlebih-lebih diketahui, pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk
mengelola pendidikan nasional karena Pasal 11 ayat 2 UUPD menyatakan bahwa satu
diantara 11 kewenangan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah
daerah sebagai daerah otonom adalah pendidikan dan kebudayaan.
Ketiga, Menurut Francis Wahono dalam artikelnya “Kapitalisme Pendidikan Antara
Kompetensi dan Keadilan” disebutkan bahwa dari berbagai kajian hasil Konferensi Asia
Pasifik mengenai pelaksanaan Education for All (EFA) yang berlangsung di Bangkok,
Thailand pada 17-20 Januari tampak jelas bahwa ada persoalan serius dalam hal pembiayaan
pendidikan nasional masing-masing negara. Sementara anggaran untuk pendidikan di
Indonesia, pada tahun 1998/1999 berkisar 8 %  dan telah menurun menjadi 6 % pada tahun
1999/2000. Anggaran pendidikan yang kecil tersebut sampai sekarang walaupun sudah
mencapai 20 % namun itu sudah termasuk dengan gaji guru dan tunjangan lainnya dalam
aspek kepentingan pendidikan.
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme yang mengusung tema pluralitas,
heterogenitas serta deferensiasi, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan gerakan
ini terhadap paradigma KURIKULUM. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di
lapangan bahwa sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi terdapat sejumlah fakta, di
antaranya adalah:
1. Muatan kurikulum dan pelaksanaannya oleh para guru cenderung lebih
mengutamakan banyaknya materi pelajaran yang diberikan (overload). Guru dibebani
target menghabiskan materi. Devinisi keberhasilan proses pendidikan lantas diukur
dengan angka-angka kuantitatif, baik angka perolehan ujian maupun persentase
kelulusan peserta ujian. Akibatnya pendidikan hanya menjunjung tinggi supremasi
otak.
2. Tuntutan Kurikulum yang tidak dapat diterjemahkan dengan cerdas oleh pelaksana di
lapangan seperti Proses pendidikan berlangsung dalam komunikasi “satu arah” dari
guru kepada siswa. Situasi demikian dapat kesempatan untuk menyampaikan
kreatifitas berpikir dan sikap siswa. Teori lebih diutamakan sehingga kehilangan
keterkaitan aplikasinya dengan dunia nyata.
Selama ini, materi pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada
penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru
masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang
dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya
telah mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban atas berbagai
problem yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses pendidikan yang hanya
diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana
kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat
untuk memanusiakan manusia.
Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh
nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual. Dalam
konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan nasional pengembangan
kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif
serta psikomotorik. Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah tersebut akan
melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus
dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan.
Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan
kritik atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai
yang dimiliki manusia. Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan
berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar
postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting
seperti paralogy atau pluralisme, deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik
dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya
memberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu
diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat khususnya di Indonesia.
C. Perkembangan Postmoderen dalam Kurikulum Pendidikan 
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004,
dan yang sekarang 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya
perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan
bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan
secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua
kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD
1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
merealisasikannya.
Perubahan kurikulum tersebut tentu disertai dengan tujuan pendidikan yang berbeda-
beda, karena dalam setiap perubahan tersebut ada suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai
untuk memajukan pendidikan nasional kita. Perubahan kurikulum di dunia pendidikan
Indonesia beserta tujuan yang ingin dicapai dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kurikulum 1947
Kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum
pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan
Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana
Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial
Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang
merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism, bertujuan
untuk membentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan
sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
2. Kurikulum 1952
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional.
Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap
rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari.
3. Kurikulum 1964
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan
sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964.
Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah
bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan
akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan
pada program Pancawardhana yang meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa,
karya, dan moral (Hamalik, 2004). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima
kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan
(keterampilan), dan jasmani. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan
dan kegiatan fungsional praktis.
4. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya
perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan
jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968
merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan
pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan
keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif.
“Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO
(management by objective) yang terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan
pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan
bahasan.
Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional
khusus(TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan
dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
6. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan
pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut
“Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek
belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga
melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active
Leaming (SAL). Kurikulum 1984 ini berorientasi kepada tujuan instruksional.
Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam
waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan
efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama
harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
7. Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan
sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah
dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang
pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi
kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan
pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan
soal dan pemecahan masalah.
8. Kurikulum 2004 (KBK)
Kurikukum 2004 ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan
untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar
performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared
toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam
Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya
penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah
ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis
kompetensi sebagai pedoman pembelajaran. Kurikulum Berbasis Kompetensi
berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta
didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman
yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a).
Tujuan yang ingin dicapai menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal.
9. Kurikulum 2006 (KTSP)
Kurikulum 2006 ini dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan, muncullah KTSP. Tinjauan dari segi isi
dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi
tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol
adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai
dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan
karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan
kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah
ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat
pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan
pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
(TIAR) Tujuan KTSP ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan
kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh
sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan
penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Tujuan Panduan Penyusunan KTSP ini untuk menjadi acuan bagi satuan pendidikan
SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam
penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat
satuan pendidikan yang bersangkutan.
D. PENUTUP
A.      KESIMPULAN
1.         Secara etimologis Postmodernisme terdiri dari dua kata, post dan modern. Kata post
adalah bentuk prefix, diartikan dengan ‘later or after’ dalam Webster’s Dictionary Library.
Hal ini berarti Postmodern adalah sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman modern yang
muncul karena adanya modernitas itu sendiri.
2.         Pendidikan dapat dimaknai segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan dan dilakukan
sepanjang hayatnya . Kurikulum adalah sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah
mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga
pendidikan.
3.         Pengaruh Postmodern terhadap kurikulum : 1. Muatan kurikulum dan pelaksanaannya
oleh para guru cenderung lebih mengutamakan banyaknya materi pelajaran yang diberikan
(overload). 2. Tuntutan Kurikulum yang tidak dapat diterjemahkan dengan cerdas oleh
pelaksana di lapangan. 3. Birokrasi pengelola pendidikan mempunyai “kekuasaan” yang
acapkali bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
4.         Implikasi Postmodern terhadap Pendidikan, dengan geliat reformasi di segala bidang,
termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah mereformasi
sejumlah fakta negatif pada sistem pendidikan nasional ke arah perbaikan.

DAFTAR RUJUKAN

Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
Jakarta: Ciputat Press, 2005

Arsyar, Mohammad, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK


Ditjen PT Departemen P&K., 1989

Bambang, I. Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat cet. 8, Yogyakarta: Kanisius,


2008

Budiman, Arief, Postmodernisme dan Realitas, dalam Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban,
ed. Suyono, et. all. Yogyakarta: Aditya Media, 1994
Drost, J., Sekolah Mengajar atau Mendidik, Yogyakarta : Kanisius, 1998

Hidayat, Ainurrahman “Implikasi Postmodernisme dalam Pendidikan”, Tadris Vol.1 No.1 2006

Ismail, Mohammad, Postmodernisme dan Kritik Ideologis Terhadap Ilmu Pengetahuan,


http://mohismaiel.blogspot.com/2013/06/postmodernisme-dan-kritik-edeologis_22.html

Machalli, Imam dan Musthofa, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Buah Pikiran
Seputar; Filsafat, politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Yogjakarta : Ar-ruzz, 2004

Nugroho, Heru, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003

Pidarta, Made, Landasan Kependidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 1994

Anda mungkin juga menyukai