Anda di halaman 1dari 11

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN ISLAM SERTA BERBAGAI

PERMASALAHANNYA
Rosaninda1
1
Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Fakultas Tarbiyah, IAI Bunga Bangsa
Cirebon

Rosaninda33@gmail.com

ABSTRACT

The main focus of the liberal education paradigm is how to prepare students to
compete in today's social structures. Liberal education recognizes that social
problems arise not as a result of the social order of society, but as a result of society's
inability to deal with them. Knowledge is doctrinal and judges nothing but the
intelligence obtained by students, resulting in learning that provides relevant
knowledge and skills for students. This educational ideology develops in the context of
an interesting global society.

Keywords:. Education Paradigm, Liberal, Fundamental

ABSTRAK

Fokus utama dari paradigma pendidikan liberal adalah bagaimana mempersiapkan


peserta didik untuk bersaing dalam struktur sosial saat ini. Pendidikan liberal
mengakui bahwa masalah sosial muncul bukan sebagai akibat dari tatanan sosial
masyarakat, tetapi sebagai akibat dari ketidakmampuan masyarakat menghadapinya.
Pengetahuan bersifat doktrinal dan menilai sesuatu hanya dengan melihat kecerdasan
intelektual yang diperoleh siswa, sehingga menghasilkan pembelajaran yang
memberikan sebanyak mungkin pengetahuan dan keterampilan yang relevan kepada
siswa. Ideologi pendidikan ini berkembang dalam konteks masyarakat global yang
menarik.

Kata Kunci : Paradigma Pendidikan, Liberal, Fundamental

PENDAHULUAN
Seiring pergantian zaman, paham-paham yang berkembang didunia mengalami
berbagai perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh pola pikir yang berkembang pada zaman
tertentu. Ada pertentangan-pertentangan yang senantiasa bertarung dan secara silih
berganti mendominasi pola pemikiran masyarakat. Misalnya pertarungan antara agama
dan sains. Pada zaman pertengahan agama mendominasi, dan sains termarjinalkan.
Selanjutnya pada zaman renaissance hingga sekarang, sains mendominasi dan menjadi
alat ukur kebenaran sedangkan agama lebih cenderung dimarjinalkan.

Dalam tataran ideologi, pertarungan antara kapitalisme dan sosialisme mewarnai


ideologi masyarakat dunia. Kapitalisme yang dimotori oleh Amerika berpegang pada
kebebasan individu secara mutlak, sedangkan sosialisme yang dimotori oleh Rusia
berpegang pada pembatasan terhadap kebebasan individu, dan semuanya diatur oleh
Negara untuk kepentingan bersama. Pertarungan ini akhirnya dimenangkan oleh
Amerika sebagai pembawa bendera kapitalis yang akhirnya berdampak pada berbagai
sector kehidupan masyarakat, salah satunya pada sector pendidikan.

Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan


seseorang. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan
yang nantinya menjadi bekal dalam kehidupan ditengah masyarakat. Isu tentang
pendidikan menarik dan senantiasa actual pendidikan tidak pernah lekang oleh zaman,
mulai dari zaman Adam, Hermes, sampai zaman kita sekarang bahkan juga pada
zaman-zaman berikutnya.

Pendidikan juga tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang ditengah
masyarakat. Ideologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga pendidikan yang
dilakukan ditengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu yang identik dengan
ideologi tertentu pula. Setidaknya ada tiga ideologi yang berkembang dalam dunia
pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kapitalis. Perbedaan dari ketiga ideologi
tersebut terkait dengan bagaimana pandangan manusia terkait dengan apa yang
menimpanya. Hal ini akan berdampak pada metode dan cara pembelajaran yang
diberikan oleh pendidikan dengan ideologi tertentu.
Kapitalisme global berimplikasi pada pengakuan terhadap hak individu. Hal ini
menimbulkan paham liberalisme yang menekankan kebebasan pada masingmasing
individu dalam segala hal. Dalam menghadapi hal tersebut, pendidikan dituntut untuk
mempersiapkan generasi-generasi yang mampu berinteraksi dengan keadaaan yang
terjadi sekarang. Untuk itu kemudian ideologi pendidikan liberal muncul. Selanjutnya
tulisan ini akan membahas tentang ideologi pendidikan liberal saat ini.

PEMBAHASAN

1. Paradigma Pendidikan Liberal

Menurut William O'neil, pakar pendidikan dari University of Southern California


dalam Ideologi Pendidikan (2001) bahwa pendidikan kalau boleh diibaratkan seperti
seorang musafir yang sedang berada pada persimpangan jalan. Jalan mana yang akan
ditempuh untuk mencapai tujuan adalah pilihan. Begitu juga dengan pendidikan, memilih
jalan itu merupakan hal yang amat penting dan menentukan keberhasilan.

Para penganut liberalisme percaya bahwa setiap manusia itu unik dan memiliki potensi
yang belum dimanfaatkan yang harus diwujudkan. Dalam liberalisme pendidikan, ini
adalah gagasan manusia. Manusia memiliki otonomi penuh dalam hal pengaturan dan
pengarahan diri sendiri (O'neil, 2008: 418). Semua manusia memiliki kebebasan untuk
memilih dan memandang dunia berdasarkan preferensi dan pemikirannya, sehingga
pengalaman yang dimilikinya dapat diinterpretasikan sesuai keinginannya. Begitu pula
dengan kurikulum pendidikan liberal yang dikeluarkan sesuai dengan keinginan sekolah
dan siswa. Akibatnya, penganut paham liberalisme pendidikan tidak perlu mengambil
pelajaran sekolah untuk memperoleh tingkat intelektual yang tinggi karena informasi
dapat diperoleh dari pengalaman atau ditemukan sendiri.

Namun, dalam pendidikan, pertanyaannya adalah apakah pendidikan akan


melegitimasi institusi dan struktur sosial saat ini atau apakah pendidikan akan memainkan
peran penting dalam upaya membawa perubahan sosial dan transisi menuju dunia yang
lebih adil. Kedua pilihan ini akhirnya melahirkan ideologi pendidikan yang liberal dan
kritis. Berikut adalah penjelasan dari kedua paradigma tersebut.
Pendidikan, menurut paradigma kritis, adalah medan pertempuran politik. Pendidikan,
dari sudut pandang kritis, merupakan refleksi kritis terhadap “ideologi dominan” menuju
reformasi sosial. Tujuan mendasar pendidikan adalah untuk menumbuhkan pemikiran
kritis tentang sistem dan struktur ketidakadilan, serta untuk mendekonstruksi dan
mengadvokasi tatanan sosial yang lebih adil. Seperti yang disarankan oleh positivisme,
pendidikan tidak bisa objektif, tidak memihak, atau terlepas dari masyarakat (detasemen).
Tujuan pendidikan adalah untuk mengkritisi sistem yang berlaku untuk memihak orang
miskin dan tertindas untuk mengembangkan struktur sosial yang baru dan lebih adil.
Pendidikan, dari sudut pandang kritis, harus mampu menyediakan ruang di mana siswa
dapat dengan bebas menemukan dan menilai informasi secara kritis. Dengan kata lain
tugas utama pendidikan adalah 'memanusiakan' kembali manusia yang mengalami
dehumanisasi karena sistim dan struktur yang tidak adil (Aini, 2017).

Kedua, paradigma liberal, yang didasarkan pada anggapan bahwa kesalahan ada pada
sikap, kreativitas, dorongan, kemampuan teknis, dan kecerdasan siswa, bukan pada
struktur yang mengatur masyarakat.

Paradigma pendidikan liberal dengan demikian mempromosikan tingkat kesadaran


yang dikenal sebagai kesadaran naif, menggunakan istilah Freire (1970). Pemahaman ini
mengkategorikan masalah dengan menekankan "aspek manusia" sebagai inti penyebab
masalah masyarakat. "Masalah etis", "kreativitas", dan "keinginan untuk mencapai"
semuanya dianggap sebagai faktor perubahan masyarakat dalam pola pikir ini.

Jadi, menurut paradigma pendidikan liberal, masyarakat miskin ada karena orang
miskin itu “salah”, yaitu malas, kurang berwirausaha, kurang budaya “membangun”, dan
sebagainya. Oleh karena itu 'man power development' adalah sesuatu yang diharapkan
akan menjadi pemicu perubahan Dalam kerangka ini, pendidikan tidak mempersoalkan
sistem dan struktur yang ada, bahkan jika dipandang baik dan benar.

Kaum liberal lebih mementingkan upaya untuk menyesuaikan "subjek" dengan realitas
yang melingkupinya jika dikaitkan dengan realitas sosial saat ini. Dengan demikian, untuk
menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur saat ini, "subjek", dalam hal ini peserta
didik, agar bisa beradaptasi dengan sistem dan struktur yang sedang berjalan.
Berkaitan dengan pendidikan, kaum liberal percaya bahwa subjek terpisah dari politik
dan ekonomi masyarakat. Lebih jauh lagi, pendidikan tidak wajib menjadi katalisator
perubahan sosial. Fokus pendidikan kemudian bergeser untuk menyesuaikan diri dengan
sistem dan struktur sosial saat ini. Yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan
kualitas proses belajar mengajar itu sendiri, seperti dengan membangun fasilitas dan ruang
kelas baru, memperbarui peralatan sekolah, dan menyeimbangkan rasio guru-siswa.

Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan
pelatihan yang lebih effisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics)
'learning by doing', 'experimental learning', ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) sebagainya. Usaha peninkatan tersebut terisolasi dengan system dan struktur
ketidak adilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam
masyarakat.

Kaum liberal setuju bahwa pendidikan bersifat apolitis dan bahwa tujuan utama
pendidikan haruslah " excellence ". Kaum liberal percaya bahwa masalah sosial dan
pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak merasakan kaitan antara
pendidikan dan dominasi politik dan budaya, serta diskriminasi gender dalam masyarakat
secara keseluruhan. Bahkan pendidikan untuk salah satu sekolah liberal, "structural
functionalisme", dirancang untuk menjaga norma dan nilai masyarakat agar tetap
terkendali. Pendidikan dirancang untuk mensosialisasikan dan mereproduksi cita-cita,
moral, keyakinan, dan prinsip-prinsip dasar agar masyarakat yang lebih besar dapat
berfungsi dengan baik.

Perspektif liberal ini menerima konsep pendidikan, termasuk pendidikan formal dan
nonformal, seperti berbagai jenis pelatihan. Liberalisme adalah sudut pandang yang
mencakup keterampilan membangun, membela hak dan kebebasan, serta mengidentifikasi
masalah dan upaya perubahan sosial dalam organisasi untuk mempertahankannya
sepanjang waktu.

Tujuan dasar pendidikan, menurut seorang liberal, adalah untuk melindungi dan
memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan berhasil mendidik masyarakat berdasarkan
realitas sosial saat ini. Kekuatan liberalisme pendidikan dipisahkan menjadi dua bagian,
yaitu liberalisme sistematis (patterning) dan liberalisme yang berupa pengarahan
(directing). Seorang liberal pada dasarnya menempatkan dirinya pada posisi "menjaga"
apa yang sudah ada, tanpa tahap pemikiran atau kritik terbuka untuk membantunya
membebaskan diri. Sekalipun "kebebasan" yang dimaksud dibatasi pada "perbaikan"
sistem saat ini daripada dengan berani mengusulkan tatanan baru berdasarkan pemikiran
dan pemikiran bebas yang sebenarnya. Karena tingkat kesadarannya baru mencapai tahap
kebebasan berekspresi, bukan kebebasan bereksperimen, seorang liberal tidak akan
mampu menjadikan dirinya penentu tatanan. Terlepas dari pernyataan bahwa liberalisme
pendidikan pada hakekatnya masih merupakan bagian dari “polarisasi” isi tatanan
(pengetahuan) gaya baru tanpa kehilangan esensi dari tujuan utamanya, yaitu kooptasi
kesadaran melalui sains dan pengetahuan sebagai hasil dari apa yang disebut pendidikan
(Wisarja & Sudarsana, 2017).

Jenis-jenis pendidikan liberal atau liberalisme pendidikan diantaranya adalah:

a. Liberalisme metodis
Karakter kaum liberlisme metodis bersikap selama metode metode harus
disesuaikan dengan zaman terkini. Agar mencakup renungan renungan baru
tentang hakikat belajar. Pada saat yang sama tidak merubah sesuatu yang
dianggapnya sudah sesuai dengan kriteria baik.

b. Liberalisme Direktif
Karakter kaum liberalisme direktif kecenderungannya akan menginginkan
perubahan mendasar atau dapat dikatakan sebagai pembaharuan terkait dengan
tujuan tujuan pendidikan serta cara kerja. Kaum liberalism direktif memendang
bahwa wajib belajar merupakan keharusan.Dibandingkan dengan liberalisme
metodis, yang merubah dan disesuaikan dengan keadaan zaman serta masih
mempertahankan sesuatu yang dainggapa baik. Sedangkan kaum liberalism
direktif akanmemandang tujuan dan cara kerja harus dirubah secara radikal dari
orientasi semula.
c. Liberalisme Non-direktif
Kaum liberalism nondirektif sepakat terkait dengan perubahan secara radikal
seperti halnya kaum liberal direktif. Namun mereka ingin mengurangi seluruh
batasan di dalam situasi persekolahan konvensional. Dengan cara merubah sesuatu
dalam taraf tertentu seperti menghapus wajib belajar, bahkan menghapus mata
pelajaran wajib.

Dari ketiga corak pendidikan liberalisme di atas, secara keseluruhan akan ditemukan
karakter yang berbeda antara ketiganaya namun ketiganya mempunyai tujuan yang sama
yaitu tentang memecahkan masalah masalahnya sendiri secara efektif (Khoeroni, 2017).

Sampai hari ini, tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan. Pendidikan
liberal adalah produk globalisasi ekonomi "liberal" kapitalisme. Dalam konteks lokal,
paradigma pendidikan liberal telah menjadi komponen dari sistem developmentalisme,
yang didasarkan pada anggapan bahwa akar masalahnya adalah “keterbelakangan” karena
ketidakmampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam sistem kapitalis. Pendidikan
harus membantu siswa dalam memasuki sistem developmentalisme sehingga mereka
dapat bersaing dalam sistem kapitalis (Ihwan, n.d.).

2. Paradigma Pendidikan Fundamental

Sebelum menggali lebih jauh fundamentalisme, diperlukan suatu definisi untuk


membantu memahami fundamentalisme dan menjadi pedoman bagi topik-topik yang
dikaji. Fundamentalisme memiliki banyak interpretasi yang berbeda, dan sering kali
dibingungkan dan sengaja disamarkan, sehingga makna sebenarnya menjadi ambigu. Hal
ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ungkapan “fundamentalisme” akan identik dengan
realitas yang melingkupinya. Fundamentalisme adalah sebuah ungkapan dengan definisi
yang sangat sempit dan sosial, namun kadang-kadang digabungkan dengan interpretasi
ideologis dan teologis.

Pada mulanya istilah ini muncul dari bahasa Perancis yang berasal dari kata
fonamental yang berarti dasar, yang menjadi pokok dan yang penting. Fundamentalisme,
menurut Bassam Tibi, merupakan fenomena ideologis yang muncul sebagai respons
terhadap globalisasi, fragmentasi, dan tantangan peradaban. Fundamentalisme, menurut
Tibi, adalah filsafat politik yang lebih mementingkan politisasi agama daripada keyakinan
agama itu sendiri. Politik agama sebagai sarana untuk mendefinisikan kembali tujuan
sosial ekonomi dan politik dalam terang kehendak Tuhan. Kaum fundamentalis percaya
bahwa agama, seperti halnya dunia, adalah ekspresi dari tatanan Tuhan, dan bahwa dunia
ini tidak dapat diatur oleh sistem sekuler (Mahmudah, 2017).

Fundamentalisme adalah posisi etis yang mengklaim bahwa menjalani kehidupan yang
layak membutuhkan mengikuti norma-norma kepercayaan dan tindakan yang
diungkapkan atau diciptakan secara intuitif. Kaum fundamentalis percaya bahwa
pendidikan harus digunakan untuk membangkitkan dan menegaskan kembali metode lama
yang dulunya lebih unggul daripada sekarang. Sementara itu, tujuan lembaga pendidikan
adalah membangun kembali masyarakat dengan mendorong masyarakat untuk kembali ke
tujuan semula (perilaku tradisional), yaitu memberikan informasi dan keterampilan yang
diperlukan untuk pencapaian sosial.

Kaum fundamentalis percaya bahwa pendidikan adalah proses regenerasi yang


memungkinkan manusia menjadi agen moral. Kode moral yang berlaku harus diikuti oleh
seluruh umat manusia. Menurutnya, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang
bermoral. Manusia akan condong ke arah kejahatan dan kejahatan jika tidak dibimbing
dan diajar dengan baik.

Sementara itu, tolok ukur perilaku moral tradisional digunakan untuk mengukur
kurikulum dalam pandangan fundamentalis bahwa sekolah harus menekankan karakter
yang sesuai dan melatih anak-anak untuk menjadi individu yang layak. Fokus pada
menghidupkan kembali pola budaya lama dan membantu siswa menemukan kembali
prinsip-prinsip yang tercermin dalam tradisi budaya fundamental setiap saat. Regenerasi
moral harus diberikan prioritas materi sehingga metode dan pendekatan konvensional
dapat digunakan untuk mengembangkan ide dan perilaku manusia. Indoktrinasi moral
harus, pada saat yang sama , melampaui pengetahuan akademis sambil meminimalkan
bahaya intelektual (teoretis dan ideasional).

Kaum fundamentalis percaya bahwa pendidikan harus didasarkan pada selalu mentaati
dan mentaati guru dan Firman Tuhan. Guru harus bertindak sebagai panutan utama di
kelas, dan murid harus meniru perilaku dan ucapan mereka. “Sami'na wa atho'na,” atau
pembenaran tanpa kritik, adalah strategi yang digunakan pesantren salafiah di Indonesia.
Fundamentalisme menggunakan strategi tradisional di mana guru tetap menjadi panutan
utama. Maka dari itu, pendidik lebih aktif daripada murid (Aini, 2017).

Fundamentalisme terbagi menjadi dua bagian. Pertama, fundamentalisme pendidikan


relegius yang memiliki komitmen sangat kuat terhadap pandangan atas kenyataan yang
cukup kaku sesuai dengan apa yang ada dalam otoritas agama. Kedua, fundamentalisme
pendidikan sekular lebih mengembangkan komitmen yang ada dalam pandangan relegius
terhadap cara pandang dunia melalui akal sehat yang disepakati (Usman & Usman, 2019).

Memahami ideologi pendidikan fundamentalisme, masyarakat saat ini menghadapi


keruntuhan moral dalam waktu dekat, dan reformasi untuk mengukur kepercayaan dan
perilaku tradisional dengan cara yang sebanding dengan karakteristik yang lebih tinggi di
masa lalu adalah suatu keharusan. Akibatnya, tujuan pendidikan adalah untuk menemukan
cara yang lebih baik untuk menciptakan kembali tatanan sosial saat ini. Murid sekolah
memiliki karakter moral yang baik, dan instruksi mereka untuk menjadi orang baik dinilai
dari perilaku moral tradisional.

Sekolah mesti memusatkan perhatian pada pembaharuan pola-pola budaya lama; ia


harus membantu siswa untuk menemukan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisitradisi budaya yang mendasar, penekanannya harus diberikan pada regenerasi
moral, dalam hal membangun kemabali masyarakat menurut jalur-jalur pendekatan
tradisional terhadap keyakinan dan perilaku. Menurut William F. O’Neil, sekolah juga
mesti menekankan latihan moral dan berbagai jenis keterampilan-keterampilan akademik
dan praktis yang diperlukan untuk membantu siswa menjadi anggota yang aktif dalam
tatanan sosial yang digenerasikan secara tepat: keterampilan-keterampilan belajar yang
mendasar, pelatihan pembentukan karakter, pendidikan fisik (termasuk pelajaran
kesehatan), sejarah nasional, kesusastraan nasional, pelajaran agama (Gunawan et al.,
2020).

KESIMPULAN

Fokus utama dari paradigma pendidikan liberal adalah bagaimana mempersiapkan


peserta didik untuk bersaing dalam struktur sosial saat ini. Pendidikan liberal mengakui
bahwa masalah sosial muncul bukan sebagai akibat dari tatanan sosial masyarakat, tetapi
sebagai akibat dari ketidakmampuan masyarakat menghadapinya. Pengetahuan bersifat
doktrinal dan menilai sesuatu hanya dengan melihat kecerdasan intelektual yang diperoleh
siswa, sehingga menghasilkan pembelajaran yang memberikan sebanyak mungkin
pengetahuan dan keterampilan yang relevan kepada siswa. Ideologi pendidikan ini
berkembang dalam konteks masyarakat global yang menarik.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, R. (2017). Titik Temu Ideologi Pendidikan Islam Konservatif dan Liberal.
Edukasia Islamika: Jurnal Pendidikan Islam, 2(2), 230.
https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1670

Gunawan, A., Abdussahid, & Mahmudah, H. (2020). POTRET IDEOLOGI


PENDIDIKAN DALAM PENANAMAN NILAI KEISLAMANDI SDIT IMAM
SYAFI’IY KOTA BIMA. 18(1), 138–147.

Ihwan, C. (n.d.). Paradigma pendidikan liberal.

Khoeroni, F. (2017). Ideologi Liberalisme Sebagai Dasar Konsep Pendidikan Integratif.


IJTIMAIYA: Journal of Social Science Teaching, 1(1).
https://doi.org/10.21043/ji.v1i1.3102

Mahmudah, H. (2017). Transmisi Ideologi Fundamentalisme Dalam Pendidikan.


TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan, 1(2), 200–216.
https://doi.org/10.52266/tadjid.v1i2.45

Usman, J., & Usman. (2019). IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM PESANTREN DI


INDONESIA PERSPEKTIF MUHAMMAD JAWWAD RIDLA DAN WILLIAM
F. O’NEAL. Tadris, 14(1), 10–27.

Wisarja, I. K., & Sudarsana, I. K. (2017). Refleksi Kritis Ideologi Pendidikan


Konservatisme Dan Libralisme Menuju Paradigma Baru Pendidikan. Journal of
Education Research and Evaluation, 1(4), 283.
https://doi.org/10.23887/jere.v1i4.11925

Anda mungkin juga menyukai