Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIKAN ISLAM ANTARA CITA DAN FAKTA

Muhammad Zaini
Mahasiswa Pasca Universitas Islam Negeri Mataram
Email: Muhammadzaini1417@Gmail.com

Abstrak

Diskursus pendidikan sampai kapanpun masih relevan untuk diperbicangkan,


termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses
pematangan kualitas hidup. Melalui proses pendidikan, manusia diharapkan dapat memahami
apa arti dan hakikat hidup, untuk apa dan bagaimana menjalani kehidupan secara baik dan
benar. sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan,
maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa
lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas
kehidupan maupun proes-proses pembedayaannya. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan,
bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan
ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Dalam
konteks tersebut, maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah
tentu tidak terlepas dari peran-peran pendidikannya. Islam sebagai paradigma ilmu
pendidikan memiliki arti konstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai
universal Islam. Sistem pendidikan Islam di Indonesia terus mengalami perkembangan.
Meskipun harus di akui, sebagai salah satu model pendidikan yang sudah lama (baca: Masjid;
Dayah; Surau; Pesantren dan lain-lain), perkembangan pendidikan Islam saat ini belum sesuai
harapan umat Islam di Indonesia. Permasalahan pada pendidikan Islam di Indonesia sangat
kompleks, baik dalam aspek kebijakan-struktural, sumber daya manusia, kurikulum dan lain
sebagainya

Kata Kunci: Pendidikan Islam, Antara Cita dan Fakta, di Indonesia.


A. Pendahuluan
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan
menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus
untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini
bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang
dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan
maupun proes-proses pembedayaannya. Secra ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju
mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan
oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Dalam konteks
tersebut, maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah tentu tidak
terlepas dari peran-peran pendidikannya.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pematangan kualitas hidup. Melalui
proses pendidikan, manusia diharapkan dapat memahami apa arti dan hakikat hidup, untuk
apa dan bagaimana menjalani kehidupan secara baik dan benar. 1 Pendidikan menjadikan
manusia lebih matang dalam emosional (kedewasaan), berilmu, serta membangun peradaban
manusia. Oleh karena itu, pendidikan diharapkan membantu manusia untuk melepaskan dari
kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.
Pada intinya pendidikan sampai kapanpun masih relevan untuk diperbicangkan,
termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Ada beberapa pertimbangan mengapa pendidikan
memiliki ruang untuk dikaji bahkan ditinjau ulang, yaitu: 1) pendidikan tidak bisa dilepaskan
dari kehidupan manusia. Manusia merupakan makhluk yang dinamis, senantiasa berubah
dalam menyikapi maupun merencanakan kehidupan; 2) perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang menuntut perlunya inovasi; 3) Globalisasi sebagai sebuah keniscayaan yang
tidak bisa dihindari. Globalisasi melebur sekat-sekat agama, ras, budaya, bahkan falsafah
sebuah bangsa. 2
Islam merupakan agama yang tidak hanya memuat ajaran pada aspek ritual, tetapi
juga mencakup aspek peradaban. Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit dalpat
merambah dalam ranah kehidupan apapun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam
dijadikan sebagai paradigma ilmu pendidikan, minimal berpijak pada tiga hal yaitu 1) ilmu
pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong sebagai ilmu normatif, karena terkait oleh
norma-norma tertentu; 2) Dalam menganalisis masalah pendidikan, nilai-nilai ideal Islam

1
Dedi Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011). h. 2.
2
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, dalam “pengantar penulis” (Jakarta: Kencana, 2010).
sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan; 3 3)
Menjadikan Islam sebagai paradigma, maka pendidikan memiliki ruh yang dapat
menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Islam sebagai paradigma ilmu
pendidikan dapat dipahami sebagai suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita
memahami realitas ilmu pendidikan sebagaimana Islam memahaminya. Konstruksi
pengetahuan dibangun oleh nilai-nilai Islam. Maka paradigma Islam harus memiliki desain
tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi pendidikan.
Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan memiliki arti konstruksi sistem pendidikan
yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini berpijak pada prinsip-
prinsip yang hakiki, yaitu prinsip al-Tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip
kesatuan sumber sistem. Prinsip-prinsip tersebut diturunkan sebagai cara pandang Islam
terhadap elemen-elemen pendidikan. Dalam Education Theory: A Qur’anic Outlock, Abd al
Rahman Salih Abd Allah menyatakan bahwa perumusan sistem pendidikan Islam dapat
dilakukan melalui dua corak, 1) adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan
kehidupan non muslim; 2. Berusaha mengangkat pesan Ilahi ke dalam kerangka pemikiran
pendidikan. 4
Sistem pendidikan Islam di Indonesia terus mengalami perkembangan. Meskipun
harus di akui, sebagai salah satu model pendidikan yang sudah lama (baca: Masjid; Dayah;
Surau; Pesantren dan lain-lain), perkembangan pendidikan Islam saat ini belum sesuai
harapan umat Islam di Indonesia. Permasalahan pada pendidikan Islam di Indonesia sangat
kompleks, baik dalam aspek kebijakan-struktural; sumber daya manusia, kurikulum dan lain
sebagainya.
Berdasarkan pemaparan di atas, sangat menarik mengkaji pendidikan Islam: antara
cita dan fakta yang ada di Indonesia. Pemikiran pendidikan Islam yang bermacam-macam,
mengacu pada sumber ajaran Islam dan tidak terlepas dari persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat ketika itu.

3
Dalam konteks pendidikan, para ahli mempunyai kecendrungan mengambil teori-teori dan falsafah pendidikan Barat.
Falsafah pendidikan Barat lebih bercorak “sekuler”, yang memisahkan dimensi kehidupan (dunia-akhirat; umum-agama;
ruh-badan/gejala tubuh). Masyarakat Indonesia mayoritas mempunyai kecendrungan lebih “religius”.
4
Corak pertama bersifat pragmatis, yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Artinya, sistem pendidikan
Islam dapat diadopsi dari sistem pendidikan kontempore Barat yang mapan dan tentu telah mendapatkan legalitas-justifikasi
dari al-Qur’an dan Sunnah. Corak kedua bersifat idealistis, yang memformulasikan sistem pendidikan islam digali dari
ajaran Islam. Corak ini menggunakan pola pikir deduktif.
B. Fakta (Persoalan) Pendidikan Islam
Pendidikan Agama Islam semakin mendapat posisi yang penting dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada beberapa pasal dalam undang-undang
tersebut yang menyinggung pendidikan Islam. Setidaknya ada tiga hal yang terkait dengan
Pendidikan Islam; pertama, kelembagan formal, nonformal dan informal dengan
didudukkannya madrasah sebagai pendidikan formal yang setara dengan lembaga pendidikan
sekolah. Dalam pendidikan nonformal, majelis taklim diakui keberadaannya dan Raudatul
Athfal (RA) dimasukkan sebagai Pendididikan formal dalam Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) serta pesantren dimasukkan dalam lembaga keagamaan.5 Kedua, Pendidikan Agama
Islam menjadi mata pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur, jenis
dan jenjang pendidikan. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai, yaitu adanya nilai-nilai Islam
dalam Sistem Pendidikan Nasional. 6
Kajian pendidikan Islam senantiasa bertolak pada problem yang ada di dalamnya,
kesenjangan antara fakta dan realita, kontroversi antara teori dan empiris. Maka dari itulah,
wilayah kajian pendidikan Islam bermuara pada tiga problem pokok, antara lain:
a). Foundational problems, yang terdiri dari atas religious foundation and philosophic
foundational problems, empiric fondational problems (masalah dasar, fondasi agama dan
masalah landasan filosofisempiris) yang didalamnya menyangkut dimensi-dimensi dan kajian
tentang konsep pendidikan yang bersifat universal, seperti hakikat manusia, masyarakat,
akhlak, hidup, ilmu pengetahuan, iman, ulul albab dan lain sebagainya. Yang semuanya
bersumber dari kajian fenomena qauliyah dan fenomena kauniyah yang membutuhkan
pendekatan filosofis.
b). Structural problems (masalah struktural). Ditinjau dari struktur demografis dan geografis
bisa dikategorikan ke dalam kota, pinggiran kota, desa dan desa terpencil. Dari struktur
perkembangan jiwa manusia bisa dikategorikan ke dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa
dan manula. Dari struktur ekonomi dikategorikan ke dalam masyarakat kaya, menengah dan
miskin. Dari struktur rumah tangga, terdapat rumah tangga karier dan non karier. Dari
struktur jenjang pendidikan bisa dikategorikan ke dalam pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.

5
Lebih jelasnya lihat pasal 26, 28 dan 30 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
6
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 9.
c). Operational problem (masalah operasional). Secara mikro akan berhubungan dengan
berbagai komponen pendidikan Islam, misalnya hubungan interaktif lima faktor pendidikan
yaitu tujuan pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan, peserta didik dan alat-alat
pendidikan Islam (kurikulum, metodologi, manajemen, administrasi, sarana dan prasarana,
media, sumber dan evaluasi) dan lingkungan atau konteks pendidikan. Atau bisa bertolak dari
hubungan input, proses dan output. Sedangkan secara makro, menyangkut keterkaitan
pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama baik yang
bersifat Nasional dan Internasional. 7

a. Aspek Pemikiran/Nilai Pendidikan Islam


Permasalahan yang ada dalam pendidikan Islam sangat kompleks, seperti:
1). Pendidikan Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang tradisional dan
konservatif, hal ini wajar karena orang memandang bahwa kegiatan pendidikan Islam
dihinggapi oleh lemahnya penggunaan metodologi pembelajaran yang cenderung tidak
menarik perhatian dan memberdayakan.
2). Pendidikan Islam terasa kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah
pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi suatu “makna dan nilai” yang perlu di
internalisasikan dalam diri seseorang lewat berbagai cara, media dan forum.
3). Metodologi pengajaran agama berjalan secara konvensional-tradisional, yakni
menitikberatkan pada aspek korespondensi tekstual yang lebih menekankan yang sudah ada
pada kemampuan anak didik untuk menghafal teks-teks keagamaan daripada isu-isu sosial
keagamaan yang dihadapi pada era modern seperti kriminalitas, kesenjangan sosial dan lain
lain.
4). Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk metodologi yang bersifat statis
indoktrinatif-doktriner.8
5). Tujuan pendidikan Islam kurang berorientasi pada nilai-nilai kehidupan masa yang akan
datang, belum mampu menyiapkan generasi yang sesuai dengan kemajuan zaman.
6). Pendidik dan tenaga pendidikannya mulai memudar dengan doktrin awal pendidikan
Islam tentang konsep nilai ibadah dan dakwah syiar Islam. Pendidik juga disibukkan dengan
hal-hal teknis seperti tunjangan honor, tunjangan fungsional dan tunjangan sertifikasi.

7
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Perss, 2011), h. 45.
8
Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih Paradigma Unggul (Malang: UIN-Maliki Press,
2011), h. 37.
7). Di kalangan peserta didikpun dalam menuntut ilmu cenderung mengesampingkan nilai-
nilai ihsan, kerahmatan dan amanah dalam mengharap ridha Allah.
Selain itu, permasalahan yang mewarnai atmosfer dunia pendidikan Islam dewasa ini
pada umumnya adalah :
1). Dichotomi keilmuan. Masalah yang cukup serius dalam dunia pendidikan Islam adalah
adanya dichotomi keilmuan yaitu antara ilmu agama dengan ilmu umum, antara wahyu
dengan akal serta antara wahyu dengan alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala
perdebatannya menampilkan dua wajah pendidikan Islam dewasa ini. Yakni pendidikan
Islam yang hanya bisa menerima kebenaran dan pengetahuan dalam perspektif agama (Islam)
dan pendidikan Islam yang berusaha untuk lebih bersifat general dan inovatif dengan
menerima kebenaran dalam ranah study yang mempunyai paradigma modern.
2). To General Knoweldge, Kelemahan yang kedua bahwa pendidikan Islam dengan sifat
ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/ umum dan kurang memperhatikan pada
upaya penyelesaian (Problem solving). Produk-produk keilmuan yang dihasil kan cenderung
kurang membumi (landing) dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat dari sisi
kontekstualisasinya.
3). Lack of spirit inquiry, Persoalan lainnya yang menjadi faktor penghambat kemajuan
pendidikan Islam adalah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian ataupun
penyelidikan.
4). Memorisasi. Dalam masyarakat Muslim dimana lembaga-lembaga pendidikannya masih
sibuk dengan cara belajar hafalan (study teks) akan tetapi bukan bagaimana melakukan kajian
yang integratif untuk mendefinisikan sebuah tema kajian yang lebih kritis dan paradigmatif-
dinamis.
5). Certificate oriented. Adanya kecenderungan pergeseran orientasi dari knoweledge
oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya sebuah jalan untuk
mendapatkan ijazah semata, sedangkan semangat dan kwalias keilmuan menempati prioritas
berikutnya.

b. Aspek Kelembagaan
Dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan Islam ada beberapa macam
bentuk. Pertama, lembaga pendidikan formal (MI, MTs, MA-MAK, Perguruan
Tinggi); kedua, Lembaga Pendidikan Nonformal (lembaga kursus, pelatihan, majlis taklim
dan lain sebagainya); ketiga, Lembaga Pendidikan Informal (kegiatan kependidikan yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri); keempat, Pendidikan anak usia dini (TK, RA); kelima, Pendidikan keagamaan
(Madrasah Diniyah, Pesantren).
Menurut Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, bahwa kementrian agama
mencatat jumlah lembaga pendidikan Islam sebanyak 300.270 tersebut, meliputi 717
perguruan tinggi, termasuk sebanyak 55 perguruan tinggi berstatus negeri. Di tambah
Madrasah dari berbagai tingkatan, yaitu mulai dari diniyah hingga aliyah, dengan total
berjumlah 75.199 lembaga. Serta Pondok Pesantren sekitar 27.290 yang ada di nusantara. 9
Lembaga pendidikan Islam yang sangat banyak memang menjadi keuntungan, tetapi
ada beberapa persoalan antara lain, pertama, lembaga pendidikan Islam berada di bawah
naungan kementrian agama sehingga kurang efektif, karena banyaknya lembaga pendidikan,
apalagi ada desentralisasi pendidikan ditingkat propinsi dan kabupaten atau
kota; kedua, manajemen kelembagaan, terutama yang swasta belum ada stadarisasi yang
jelas. Sebagian besar masih menggunakan kepemimpinan kharismatik atau
tradisional; ketiga, beberapa lembaga pendidikan Islam, belum dipertimbangkan secara
strategis dan signifikan dalam sistem pendidikan nasional. 10

c. Aspek Kurikulum/Materi
Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah
mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga bentuk, pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama
Islam di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan
umum berciri Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Ketiga,
pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren
yang diselenggarakan pada jalur formal, dan non formal, serta informal.
Kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam berupa kegiatan,
pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak
didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Atau dengan kata lain kurikulum
pendidikan Islam adalah semua aktivitasi, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja

9
http://www.kabarpas.com/menag-ri-jumlah-lembaga-pendidikan-islam-di-indonesia-terbesar-di-dunia
10
Hal ini terlihat ketika dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum, meskipun sudah ada legitimasi madrasah diniyah
formal, pengakuan ma’had aly.
dan secara sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik dalam rangka tujuan
pendidikan Islam.
Pada kenyataannya, pendidikan Islam hanya didasarkan oleh pemahaman pendidikan
Islam yang hanya mementingkan aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan
duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Oleh karena
itu, akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan
agama, yang sakral dengan yang profan, antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang
memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomi.
Kuriulum PAI yang digunakan disekolah cenderung memiliki kompetensi yang tidak
terlalu luas, lebih-lebih lagi guru PAI seringkali terpaku pada kurikulum yang tidak terlalu
komprehensif tersebut. Selain itu, kurikulum PAI lebih cenderung menjelaskan persoalan-
persoalan teoretis agama yang bersifat kognitif dan amalan-amalan ibadah praktis. Padahal
PAI seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. 11

C. Konsep (Cita) Pendidikan Islam Sebagai Tawaran Solusi


Pemaknaan Pendidikan Agama Islam (PAI) sering dipahami dan ditekankan pada
aspek normatif dalam pelajaran agama Islam, apabila terkait dengan aspek aktifitas dan
institusi, umumnya dipakai kata pendidikan Islam. 12 Pendidikan Islam pada dasarnya adalah
pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan
seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuh-suburkan
hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. 13 Dalam
kurikulum PAI, Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani,
ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain
dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan
persatuan bangsa.14

11
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam;Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum
Hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2009), 242.
12
Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), h. 104.
13
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). h. 31.
14
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004), h. 130.
9
a. Aspek Pemikiran Pendidikan Islam
Pendidikan [Islam] pada periode awal [masa Nabi Muhammad saw] misalnya, tampak
bahwa usaha pewarisan nilai-nilai diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar
terbebas dari belenggu aqidah sesat yang dianut oleh sekolompok masyarakat elite Quraisy
yang banyak dimaksudkan sebagai sarana pertahanan mental untuk mencapai status quo,
yang melestarikan kekuasaan dan menindas orang-orang dari kelompok lain yang dipandang
rendah derajatnya atau menentang kemauan kekuasaan mereka. Gagasan-gagasan baru yang
kemudian dibawa dalam proses pendidikan Nabi, yaitu dengan menginternalisasi nilai-nilai
keimanan baik secara individual maupun kolektif, bermaksud menghapus segala keperyaan
jahiliyah yang telah ada pada saat itu. Dalam batas yang sangat meyakinkan, pendidikan Nabi
dinilai sangat berhasil dan dengan pengorbanan yang besar, jahiliyahisme masa itu secara
berangsur-angsur dapat dibersihkan dari jiwa mereka, dan kemudian menjadikan tauhid
sebagai landasan moral dalam kehidupan manusia. Proses pendidikan yang dilakukan Nabi,
yang aksentuasinya sangat tertuju pada penanaman nilai aqidah [ketauhidan], keberhasilan
yang dicapainya memang sangat ditunjang oleh metode yang digunakannya. Pada proses
pendidikan awal itu, Nabi lebih banyak menggunakan metode pendekatan personal-
individual. Dalam meraih perluasan dan kemajuaannya, baru kemudian diarahkan pada
metode pendekatan keluarga, yang pada gilirannya meluas ke arah pendekatan masyarakat
(kolektif).
Pengembangan pendidikan Islam yang telah ada itu, yang pada awalnya lebih tertuju
pada pemberdayaan aqidah, diupayakan Nabi dengan menempatkan pendidikan sebagai
aspek yang sangat penting, yang tercermin dalam usaha Nabi dengan menggalakkan umat
melalui wahyu agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan setinggi-tingginya. Masjid-
masjid, pada periode awal itu, bahkan menjadi pusat pengembangan ilmu dan pendidikan,
sekalipun masih mengkhususkan pada menghafal al-Qur’an, belajar hadis, dan sirah Nabi.
Disiplin-disiplin lain seperti filsafat, ilmu kimia, matematika, dan astrologi kemudian juga
berkembang, namun tidak dimasukkan dalam kurikulum formal. Semua disiplin ini diajarkan
atas dasar kesadaran orang tua untuk mencarikan guru demi kemajuan anaknya.
Pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai proses transinternalisasi pengetahuan dan
nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan,
pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan
kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. 15 Untuk menelaah tugas pendidikan Islam, dapat

15
Ibid., h. 28.
dilihat dari tiga (3) pendekatan, yaitu 1) pendidikan dipandang sebagai pengembangan
potensi; 2) pendidikan dipandang sebagai pewarisan budaya; 3) pendidikan dipandang
sebagai interaksi antara pengembangan potensi dan pewarisan budaya. 16 Menurut Abdul
Mujib, ada tujuh macam potensi bawaan manusia, yaitu al-Fitrah, al-Hayah (vitality), al-
Khuluq (Karakter), al-Thab’u (tabiat), al-Sajiyah (bakat), al-Sifat dan al-Amal. Sedangkan
fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan
tugas pendidikan Islam tercapai dan berjalan dengan lancar. Fungsi pendidikan Islam juga
dapat dibagi dua (2), yaitu 1) alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan
tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa;
2) alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan melalui pengetahuan dan
skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk
menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi. 17 Perumusan tujuan pendidikan
Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, seperti 1)
tujuan dan tugas hidup manusia; 2) memperhatikan sifat-sifat dasar manusia; 3) tuntutan
masyarakat; 4) Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, seperti kesejahteraan, kebahagiaan
serta keseimbangan dan keserasian kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.

b. Aspek kelembagaan
Adapun prinsip-prinsip dalam pembentukan lembaga pendidikan Islam adalah:
1). Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia
masuk neraka;
2). Prinsip pembinaan umat manusia;
3). Prinsip pembentukan pribadi manusia;
4). Prinsip amar ma’ruf nahi munkar
5). Prinsip pengembangan daya pikir, daya nalar, daya rasa sehingga menciptakan peserta
didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa dan karsa.

16
Menurut Hasan Langgulung, ketiga pendekatan tersebut tidak dapat berdiri sendiri, karena satu keutuhan. Tetapi dalam
pelaksanaannya, ada yang lebih dominan daripada yang lainnya. Baca: Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi
Abad 21, (Jakarta: al-Husna, 1988).
17
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h. 20.
Menurut Sidi Gazalba, yang menyelenggarakan lembaga pendidikan adalah: 1) rumah
tangga; 2) sekolah; 3) kesatuan sosial. 18 Adapun wujud lembaga pendidikan Islam seperti 1)
masjid (surau, langgar, musalah, meunasah); 2) madrasah dan pondok pesantren (kuttab); 3)
pengajian dan penerangan Islam (majlis taklim); 4) kursus-kursus keIslaman; 5) badan-badan
pembinaan ruhani (biro pernikahan, biro konsultasi keagamaan; 6) MTQ.
Sebagai warisan (legacy) Islam yang sangat penting, pendidikan Islam Indonesia
mengalami pertumbuhan signifikan dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
pendidikan Islam sebagai lembaga atau program. Dalam praktiknya, pendidikan Islam
kategori ini mencakup setidaknya 6 (enam) jenis lembaga/program, yaitu:
1. Pondok Pesantren dan Diniyah (Ula, Wustha, ’Ulya) dan Ma’had ’Aly (Pesantren Luhur)
dengan segala variasi dan kualitasnya. Lembaga/program ini telah memperoleh kedudukan
yang semakin kokoh melalui UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 dan PP
55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
2. Madrasah (MI, MTs, MA) yang disebut sebagai ‘pendidikan umum berciri khas Islam’
yang dalam praktiknya ‘sama tapi tak sebangun’ dengan sekolah;
3. Perguruan tinggi Islam dengan keragamannya seperti Sekolah Tinggi, Institut (negeri dan
swasta) dan Universitas (UIN) yang memperoleh kedudukan khusus dalam UU no 12 tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi;
4. Pendidikan usia dini/TK/RA/BA yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah
naungan yayasan dan organisasi Islam;
5. Pelajaran agama Islam (PAI) di Sekolah/Madrasah/Perguruan Tinggi sebagai suatu mata
pelajaran, mata kuliah, dan/atau sebagai program studi; dan
6. Pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, forum-forum kajian
keIslaman, majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnya yang digalakkan masyarakat, atau
pendidikan (Islam) melalui jalur pendidikan non formal dan informal.
c. Aspek Kurikulum/Materi
Dalam kurikulum PAI, Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga
mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut

18
Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam: Masalah terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat (Jakarta: Bhratara, 1970),
h. 27.
agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud
kesatuan dan persatuan bangsa.19
Komponen kurikulum dalam pendidikan sangat berarti, karena merupakan
operasionalisasi tujuan yang dicita-citakan. Komponen kurikulum setidaknya mencakup
tujuan, struktur program, strategi pelaksanaan, penilaian hasil belajar, bimbingan-
penyuluhan, administrasi dan supervisi pendidikan. Menurut Muhaimin, komponen
kurikulum setidaknya mencakup empat (4) klaster, yaitu: 1) klaster komponen dasar, yang
mencakup dasar tujuan, prinsip-prinsip, pola organisasi, kriteria keberhasilan, orientasi
pendidikan dan sistem evaluasi; 2) klaster komponen pelaksana, seperti materi, sistem
penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan dan pemanfaatan lingkungan sebagai
sumber belajar; 3) klaster komponen pelaksana dan pendukung kurikulum, seperti pendidik,
peserta didik, bimbingan konseling, administrasi pendidikan, sarana prasarana dan biaya
pendidikan; 4) klaster komponen usaha pengembangan. 20
Adapun dasar pokok kurikulum pendidikan Islam, al-Syaibani menetapkan empat (4)
dasar, yaitu 1) Dasar religi; 2) Dasar falsafah; 3) Dasar psikologis; 4) Dasar sosiologis dan
organisatoris. 21 Beliau menambahkan prinsip utama dalam kurikulum pendidikan Islam
adalah, 1) Berorientasi pada Islam, termasuk ajaran dan nilainya; 2) Prinsip menyeluruh; 3)
prinsip keseimbangan antara tujuan dan kandungan kurikulum; 4) prinsip interaksi antara
kebutuhan peserta didik dengan masyarakat; 5) prinsip pemeliharaan antara perbedaan
individu; 6) prinsip perkembangan dan perubahan; 7) prinsip integritas antara mata pelajaran,
pengalaman, dan aktivitas kurikulum dengan kebutuhan peserta didik, masyarakat dan
tuntutan zaman.22
Adapun orientasi kurikulum pendidikan Islam meliputi: 1) orientasi pada pelestarian
nilai; 2) orientasi pada kebutuhan sosial (social demand); 3) orientasi pada tenaga kerja; 4)
orientasi pada peserta didik; 5) orientasi pada masa depan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Mengenai isi kurikulum, sebagian besar pemikir pendidika Islam masih
mencerminkan dikotomi ilmu pengetahuan. 23 Padahal, secara epistemologi Islam dinyatakan
bahwa semua ilmu itu merupakan produk dan milik Allah, sedangkan manusia sebagai

19
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam, h. 130.
20
Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, sebuah telaah komponen Dasar Kurikulum, (Solo: Romadhoni, 1991), h. 12.
21
Umar Muhammad al-Thaumi al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), h. 532.
22
Ibid., h. 522`
23
Beberapa tokoh seperti Ibnu Jama’ah, al-Qabisi, al-Ghazali, al-Zarnuji dan lain sebagainya.
penemu dan menginterpretasikannya. Berdasarkan QS. Fussilat: 53, Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakkir menyatakan ada tiga isi kurikulum, yaitu: 1) Isi kurikulum yang berorientasi pada
“ketuhanan”; 2) Isi kurikulum yang berorientasi pada “kemanusiaan”; dan 3) Isi kurikulum
yang berorientasi pada “kealaman”`24
Kurikulum adalah salah satu komponen operasional pendidikan agama Islam sabagai
sistem materi atau disebut juga sebagai kurikulum. Jika demikian, maka materi yang
disampaikan oleh pendidikan (khususnya pendidik agama Islam) hendaknya mampu
menjabarkan seluruh materi yang terdapat di dalam buku dan tentunya juga harus ditunjang
oleh buku pegangan pendidik lainnya agar pengetahuan anak didik tidak sempit.
Disamping itu materi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak
didik dan tujuan pembelajaran. Sesuai dengan pernyataan Nur Uhbiyati mengenai definisi
kurikulum, bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pembelajaran, kebudayaan sosial,
olah raga dan kesenian yang tersedia di sekolah bagi anak didik dan tujuan didik di dalam
dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk perkembangan menyeluruh dalam
segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pembelajaran. 25
Dalam perkembangannya kurikulum pendidikan Islam juga harus menyesuakan
prinsip-prinsip kurikulum secara umum, sebagai berikut:
1). Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki
posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk
mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan
dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan
lingkungan.
2). Menyeluruh dan berkesinambungan. Kesinambungan disini dimaksudkan adalah saling
hubungan atau jalin menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan. Substansi
kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata
pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang
pendidikan.

24
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, h. 154.
25
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: C.V. Pustaka Setia, , 1997), h. 75.
3). Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum
disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik sehingga terjadi interaktif anatara pengajaran
denagan daya berpikir anak. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat
dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4). Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Prinsip relevensi adalah kesesuaian, keserasian
pendidikam dengan tuntutan masyarakat. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan
melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan
dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha
dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir,
keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan
keniscayaan.
5). Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa
membedakan suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender.
Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan
pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang
bermakna dan tepat antarsubstansi.
6). Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal,
dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah
pengembangan manusia seutuhnya. Sekolah tidak saja memberi pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan pada saat peserta didik tamat dari sekolah namun juga
memberikan bekal kemampuan untuk dapat menumbuh kembangkan dirinya di luar sekolah
dan berjalan terus menerus sepanjang hayat.
7). Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan
dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan
daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kurikulum Pendidikan Islam
bertujuan menanamkan kepercayaan dalam pemikiran dan hati genarasi muda, pemulihan
akhlak dan membangunkan jiwa rohani. Ia juga bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
secara berterusan, gabungan pengetahuan dan kerja, kepercayaan dan akhlak dan penerapan
amalan teori dalam hidup.

D. Solusi Alternatif (Rekomendasi).


a). Dimensi ontologis mengarahkan kurikulum agar lebih banyak memberi peserta didik
untuk berhubungan langsung dengan fisik objek-objek, serta berkaitan dengan pelajaran yang
memanipulasi benda-benda dan materi-materi kerja. Dimensi ini menghasilkan verbal
learning (belajar verbal), yaitu berupa kemampuan memperoleh data dan informasi yang
harus dipelajari dan di hafalkan. Dimensi ini diambil dari proses pembelajaran yang
dilakukan oleh Allah SWT. kepada Nabi Adam, dengan mengajarkan nama-nama benda,
seperti termaktub dalam firman Allah: (QS. al-Baqarah: 31).

Terjemahnya: dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)


seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS.
al-Baqarah: 31).
b). Implikasi dimensi ontologi dalam kurikulum pendidikan ialah bahwa pengalaman yang
ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam fisik tapi juga alam tak
terbatas. Maksud alam tak terbatas adalah alam rohaniah atau spiritual, yang mengantarkan
manusia pada keabadian. Di samping itu, perlu juga ditanamkan pengetahuan tentang hukum
dan sistem kesemestaan yang melahirkan perwujudan harmoni dalam alam semesta
yang menentukan kehidupan manusia di masa depan. Menghilangkan paradigma dikotomi
antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas untuk dinilai. Itulah
sebabnya diperlukan adanya pencerahan dalam mengupayakan integralisasi keilmuan. 26
c). Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan
murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif,
memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat pula mengkritisi pendapat guru
jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa
untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.27

26
Muhammad In’am Esha, Institusional Transformation, Reformasi dan Modernisasi Pendidikan Tinggi Islam (Malang:
UIN-Malang Press), h. 81.
27
Sutrisno, Pembaharuan Dan Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Fadilatama, 2011), h. 105.
d). Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah
SWT. Sebab, paradigma ideologis ini –karena otoritasnya – dapat mengikat kebebasan tradisi
ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis paradigma ideologis tidak memberikan ruang
gerak pada penalaran atau pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal,
wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti,
melakukan observasi, dan menemukan ilmu pengetahuan dengan petunjuk wahyu Allah
SWT. Dan paradigma ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu, tetap akan menjadi sekuler.
Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya harus
berpijak pada wahyu Allah.
e). Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu dilakukan
rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini, menjadi kurikulum
yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang bersumber pada hasil penelitian
pada alam semesta (ayat kauniyah) maupun penelitian terhadap ayat qauliyah atau naqliyah
(al-Qur’an dan al-Sunnah) merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu
bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis tauhid ini harus
memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang Islam. Karena kurikulum merupakan
sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Terkait dengan pengembangan kurikulum
pendidikan Islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis, dan transendental perlu
diturunkan dan dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan. Ilmu-ilmu yang berbasis pada
realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi, psikologi, filsafat kritis yang sifatnya
membumi perlu dijadikan dasar pembelajaran, sehingga ilmu betul-betul menyentuh
persoalan-persoalan dan pengalaman empiris.
f). Epistemologi pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal
dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada pertumbuhan yang
integral antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua dimensi ini bergerak saling melengkapi
satu sama lainnya, sehingga perpaduan seluruh dimensi ini mampu menelorkan manusia
paripurna yang memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu
pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang berpijak pada “semua bersumber dari
Allah, semua milik Allah, difungsikan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah
dan sebagai abdullah, dan akan kembali kepada Allah (mentauhidkan Allah)”.
g). Konsekuensi yang lain adalah merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau
konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini pendidikan Islam harus
menyediakan berbagai media penunjang untuk mencapai hasil pendidikan yang diharapkan.
Menurut perspektif Islam bahwa media pendidikan Islam adalah seluruh alam semesta atau
seluruh ciptaan Allah SWT.
h). Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang meliputi kompetensi personal,
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Sehingga dengan
pemenuhan kompetensi inilah, seorang tenaga pendidik mampu menemukan metode yang
diharapkan sebagaimana harapan dalam kajian epistemologis.
Ada beberapa nilai etika profetik dalam rangka pengembangan dan penerapan Ilmu
Pendidikan Islam, yaitu:
a. Nilai ibadah, yakni bagi praktisi dan pemerhati pendidikan Islam, dalam segala proses dan
berfikirnya senantiasa tercatat sebagai ibadah.
b. Nilai ihsan, yakni penyelenggaraan pendidikan Islam hendaknya dikembangkan atas dasar
berbuat baik terhadap sesama. Allah berfirman:
c. Nilai masa depan, pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa
depan yang lebih baik, karena mendidik berarti menyiapkan generasi yang hidup dengan
tantangan yang jauh berbeda dengan periode sebelumnya, yakni menyiapkan sumber daya
manusia yang cakap, terampil dan profesional.
d. Nilai kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi kepentingan dan
kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta.
e. Nilai dakwah, yakni penerapan dan pengembangan ilmu pendidikan Islam merupakan
wujud penyebaran syiar Islam,

E. Penutup : Agenda Aksi


1. Adapun persoalan (fakta) pendidikan Islam dalam aspek pemikiran/nilai adalah tujuan
pendidikan Islam kurang berorientasi masa depan, dikotomi ilmu pengetahuan, kurang nya
penelitian, krisis nilai-nilai ihsan dan rahmat. Sedangkan pada aspek kelembagaan yaitu
banyaknya lembaga pendidikan Islam dan semua dibawah naungan kementrian agama,
belum ada standarisasi pengelolaan; dan aspek kurikulum/materi masih terkesan sempit
(urusan akhirat) dan berkutat pada aspek kognitif.

2. Adapun tawaran idealitas pendidikan Islam dalam aspek pemikiran/nilai


bahwa Pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai proses transinternalisasi pengetahuan
dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan,
pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan
kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat; aspek kelembagaan prinsip-prinsip dalam
pembentukan lembaga pendidikan Islam adalah Prinsip pembebasan manusia dari
ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia masuk neraka; Prinsip pembinaan umat
manusia; Prinsip pembentukan pribadi manusia; Prinsip amar ma’ruf nahi
munkar; Prinsip pengembangan daya pikir, daya nalar, daya rasa sehingga menciptakan
peserta didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa dan karsa. Sedangkan
aspek kurikulum/materi adalah Komponen kurikulum dalam pendidikan sangat berarti,
karena merupakan operasionalisasi tujuan yang dicita-citakan. Kurikulum adalah salah
satu komponen operasional pendidikan agama Islam sabagai sistem materi atau disebut
juga sebagai kurikulum. Jika demikian, maka materi yang disampaikan oleh pendidikan
(khususnya pendidik agama Islam) hendaknya mampu menjabarkan seluruh materi yang
terdapat di dalam buku dan tentunya juga harus ditunjang oleh buku pegangan pendidik
lainnya agar pengetahuan anak didik tidak sempit.

3. Solusi alternatifnya seperti:


a. Adanya verbal learning (belajar verbal), yaitu berupa kemampuan memperoleh data
dan informasi yang harus dipelajari dan di hafalkan.
b. Pengalaman yang ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam fisik tapi
juga alam tak terbatas.
c. Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan
murid.
d. Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah
SWT.
e. Rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual, menjadi kurikulum
yang berbasis tauhid.
f. Orientasi pendidikan Islam ditekankan pada pertumbuhan yang integral antara iman, ilmu,
amal, dan akhlak.
g. Merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual
atau aplikatif.
h. Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang meliputi kompetensi personal,
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.
i. Ada beberapa nilai etika profetik dalam rangka pengembangan dan penerapan Ilmu
Pendidikan Islam, yaitu: nilai ibadah, nilai ihsan, nilai masa depan, nilai kerahmatan, nilai
dakwah.
DAFTAR PUSTAKA

Dedi Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2011). h. 2.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, dalam “pengantar
penulis” (Jakarta: Kencana, 2010).
Dalam konteks pendidikan, para ahli mempunyai kecendrungan mengambil teori-
teori dan falsafah pendidikan Barat. Falsafah pendidikan Barat lebih bercorak “sekuler”, yang
memisahkan dimensi kehidupan (dunia-akhirat; umum-agama; ruh-badan/gejala tubuh).
Masyarakat Indonesia mayoritas mempunyai kecendrungan lebih “religius”.
Corak pertama bersifat pragmatis, yang lebih mengutamakan aspek praktis dan
kegunaannya. Artinya, sistem pendidikan Islam dapat diadopsi dari sistem pendidikan
kontempore Barat yang mapan dan tentu telah mendapatkan legalitas-justifikasi dari al-
Qur’an dan Sunnah. Corak kedua bersifat idealistis, yang memformulasikan sistem
pendidikan islam digali dari ajaran Islam. Corak ini menggunakan pola pikir deduktif.
Lebih jelasnya lihat pasal 26, 28 dan 30 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 9.
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta:
Rajawali Perss, 2011), h. 45.
Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih Paradigma
Unggul (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), h. 37.

http://www.kabarpas.com/menag-ri-jumlah-lembaga-pendidikan-islam-di-indonesia-
terbesar-di-dunia
Hal ini terlihat ketika dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum, meskipun
sudah ada legitimasi madrasah diniyah formal, pengakuan ma’had aly.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam;Dari Paradigma Pengembangan,
Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum Hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, 2009), 242.
Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Kurnia Kalam,
2005), h. 104.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). h. 31.
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 130.
Ibid., h. 28.
Menurut Hasan Langgulung, ketiga pendekatan tersebut tidak dapat berdiri sendiri,
karena satu keutuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya, ada yang lebih dominan daripada yang
lainnya. Baca: Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, (Jakarta: al-
Husna, 1988).
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h.
20.
Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam: Masalah terbesar Kurun Kini Menentukan
Nasib Umat (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 27.
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam, h. 130.
Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, sebuah telaah komponen Dasar
Kurikulum, (Solo: Romadhoni, 1991), h. 12.
Umar Muhammad al-Thaumi al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 532.
Ibid., h. 522`
Beberapa tokoh seperti Ibnu Jama’ah, al-Qabisi, al-Ghazali, al-Zarnuji dan lain
sebagainya.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, h. 154.
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: C.V. Pustaka Setia, , 1997), h. 75.
Muhammad In’am Esha, Institusional Transformation, Reformasi dan Modernisasi
Pendidikan Tinggi Islam (Malang: UIN-Malang Press), h. 81.
Sutrisno, Pembaharuan Dan Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Fadilatama, 2011), h. 105.

Anda mungkin juga menyukai