Anda di halaman 1dari 5

Rekonstruksi Paradigma Pendidikan Demokratis

Muh. Rival Karim

Ikatan Mahasiswa Manajemen FEB-UH (IMMAJ FEB-UH)

Tema: Pendidikan Yang Teralienasi

rivalkarim211102@gmail.com / 082191915404

Definisi tentang pendidikan, pendidik, dan sekolah/institusi pendidikan yang demokratis tidak
memiliki kesepakatan yang umum. Perdebatan yang berkelanjutan mengenai makna demokrasi
sendiri membuat hal ini sulit ditentukan. Namun, dalam praktiknya, terutama di Indonesia, demokrasi
seringkali didefinisikan secara dangkal sebagai proses pemilihan pemimpin politik secara kompetitif
untuk posisi legislatif dan/atau eksekutif.

Dalam pengalaman sehari-hari dengan demokrasi yang dangkal ini, kita dengan mudah
menyadari bahwa mekanisme politik representasi ini tampaknya kurang efektif dalam mencapai
tujuan sentral demokrasi, yaitu "memfasilitasi partisipasi politik warga negara secara aktif, mencapai
konsensus politik melalui dialog, merancang dan melaksanakan kebijakan publik yang membentuk
dasar ekonomi yang produktif, dan masyarakat yang sehat. Fung dan Wright ingin kita serius
memikirkan dan menerapkan "rule by the people" atau kekuasaan yang dilakukan oleh rakyat. Wright
dan Fung juga menjelaskan bahwa "demokrasi" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
subordinasi kekuasaan negara pada kekuasaan rakyat, sementara "sosialisme" merujuk pada
subordinasi kekuatan ekonomi di bawah kekuasaan rakyat. Karena negara juga memiliki kekuasaan
dalam mengatur perekonomian, demokrasi yang serius dan mendalam akan membutuhkan
"sosialisme" - begitu pula sebaliknya.

Kata "pendidikan" sendiri berasal dari Bahasa Inggris "education" dan Bahasa Latin
"eductum". Dalam etimologi, pengertian "E" dalam Bahasa Latin diartikan sebagai proses
pengembangan dari dalam ke luar, sedangkan kata "duco" diartikan sedang berkembang Oleh karena
itu, pendidikan dapat dipahami sebagai proses pengembangan dari dalam diri seseorang atau
sekelompok orang. Namun, penting untuk diingat bahwa pengertian pendidikan ini diambil dari
kamus besar bahasa Indonesia dan merupakan pengertian terminologi yang umum digunakan.
Pengertian ini tidak secara eksklusif merujuk pada asal-usul etimologi kata "pendidikan", melainkan
mencerminkan makna dan penggunaan yang umum di masyarakat.

Pendefinisian pendidikan demokratis yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang secara
sungguh-sungguh mengedepankan kepentingan rakyat, di mana kekuasaan negara dan ekonomi
dijalankan oleh rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Institusi pendidikan demokratis menjadi
tempat di mana individu dapat mempelajari secara teoritis dan praktis bentuk demokrasi yang lebih
dalam, radikal, dan egaliter. Tetapi apa yang terjadi? Pendidikan yang seharusnya mengedepankan
kepentingan rakyat justru digunakan sebagai alat untuk menjaga eksistensi pergerakan kapitalisme.
Lewat kurikulum, metode pengajaran, hingga sistem produksi guru, pendidikan sekarang untuk
menciptakan manusia-manusia yang siap menyokong konfigurasi kelompok dominan. Secara tidak
langsung, pendidikan tidak hadir dengan ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Melainkan untuk
melayani kepentingan-kepentingan eksistensi untuk menjaga para kelompok dominan atau hegemoni
gencar dilakukan.

Dalam konteks perubahan menuju masyarakat yang demokratis, keterbukaan terhadap


kebobrokan negara dan sistem sosial kita menjadi langkah awal yang penting. Tanpa pengakuan
terhadap masalah yang ada, sulit untuk mencari solusi dan melakukan perbaikan. Oleh karena itu,
penting untuk menerima bahwa ada kerusakan atau kekurangan dalam sistem sosial dan pemerintahan
kita.

Dalam kasus pandemi COVID-19 dan masalah sosial lainnya seperti penting untuk secara
terbuka mengakui tantangan yang dihadapi dan memahami akar masalah yang mendasarinya.
Optimisme yang berlebihan atau delusional tanpa dasar yang kuat hanya akan mengobati gejala,
bukan mengatasi akar permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang realistis
terhadap kondisi saat ini serta upaya untuk mengidentifikasi solusi yang mendasar.

Sampai di sini, jika sebuah institusi pendidikan mengklaim sebagai pendidikan alternatif atau
kontra-hegemoni, tetapi tidak terbuka terhadap kedalaman permasalahan sosial dan hanya berfokus
pada penyesuaian reformatif, hal tersebut dapat menjadi tantangan dalam mencapai perubahan yang
substansial. Diperlukan pemahaman yang mendalam tentang masalah yang ada dalam masyarakat
dan pendekatan yang kritis terhadap institusi dan sistem yang ada.
Untuk menantang hegemoni kekuasaan dan mencapai demokrasi egalitarian, penting untuk
membuat kekuasaan dan hegemoni tersebut terlihat dan dipahami. Hal ini dapat dicapai melalui
keterbukaan terhadap masalah sosial yang ada, pembelajaran langsung tentang isu-isu sosial ini, dan
kesadaran akan konsekuensi dari hegemoni tersebut. Oleh karena itu, dalam merancang pendidikan
alternatif atau kontra-hegemoni, penting untuk memperhatikan kedalaman permasalahan sosial dan
memastikan pembelajaran yang kritis dan kontekstual.

Pada umumnya. Pendidikan yang demokratis tidak hanya mengajarkan konsep demokrasi
secara teoritis, tetapi juga menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan sehari-hari para
aktor pendidikan. Institusi pendidikan yang demokratis melibatkan partisipasi semua pihak terkait,
seperti pendidik, peserta didik, orang tua, dan masyarakat, dalam pengambilan keputusan. Mereka
juga harus memiliki akses terhadap informasi dan dapat berpartisipasi secara kritis dalam proses
pembuatan kebijakan dan program pendidikan.

Dalam konteks pembentukan kebijakan pendidikan, gagasan tentang demokrasi harus meluas
ke semua pihak yang terlibat dengan institusi pendidikan, termasuk pendidik, orang tua, aktivis
komunitas, dan anggota masyarakat. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan
berpartisipasi secara kritis dalam pembuatan kebijakan dan program pendidikan, termasuk kurikulum.

Kurikulum alternative bertujuan untuk mengembangkan pemikiran kritis, reflektif, dan


partisipatif pada siswa, serta memberikan pengalaman belajar yang relevan dengan masalah sosial
yang dihadapi dalam masyarakat. Ini melibatkan pemberian pengetahuan dan pemahaman yang
komprehensif tentang masalah-masalah sosial yang ada, serta memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mempertanyakan, menganalisis, dan bertindak terhadap masalah tersebut. Kurikulum
alternative juga memiliki peran dalam menjaga tradisi pengetahuan radikal tetap hidup. Dalam
menghadapi serangan terorganisir terhadap pengetahuan kontra-hegemonik, kurikulum alternative
berusaha untuk mempertahankan tradisi teoretis, empiris, historis, dan politik yang radikal.

Anyon membuka (bagian Introduction) bukunya melalui tiga ide utama Marx dalam
menghubungkan secara silang sengkarut dunia Pendidikan, berangkat pada analisis keduanya yaitu:
“analisis relasi kelas sosial sebagai penjelasan atas dimensi sosial dan pendidikan. Dalam
pembahasannya, Anyon lebih banyak menggunakan teori-teori neo-Marxis seperti analisis hegemoni
Antonio Gramsci. Setelah kapitalis diyakini sebagai kelas yang dominan yang didasari atas
ketidakadilan, selanjutnya demi menopang eksistensinya, kapitalisme melancarkan serangan
serangan yang hegemonik.”

Untuk menelusuri nilai-nilai apa yang dapat diusung dan dipraktikkan dalam proses
kontrahegemoni, kesempatan-kesempatan dan ruang-ruang untuk kontra-hegemoni harus pertama-
tama kita identifikasi terlebih dahulu. Tujuannya tidak lain adalah agar kita dapat menemukan celah
kesempatan untuk mempraktikkan kontra-hegemoni dengan menyuntikkan ruang-ruang ini dengan
nilai-nilai kontra-hegemonik serta memberi kita harapan nyata tidak hanya di tataran teoritik akan
kemungkinan-kemungkinan kontra-hegemoni itu sendiri.

Para pendidik dalam institusi pendidikan formal, seperti guru, dosen, dan asisten dosen,
memiliki potensi untuk melakukan intervensi terhadap hegemoni dan menjadi agen perubahan di
dalam kelas. Mereka bukan hanya penerima pasif atau kendaraan ideologi negara, tetapi juga "penjaga
gerbang" pengetahuan yang dapat membuka ruang untuk kontra-hegemoni. Meskipun mereka
mungkin menghadapi tekanan dan batasan dari institusi dan negara untuk mereproduksi nilai-nilai
hegemonik, mereka tetap memiliki otonomi, keberdayaan, dan peluang dalam melaksanakan
upayaupaya kontra-hegemoni di ruang kelas. Peran para pendidik ini sangat penting dalam
menentukan apa yang diajarkan (kurikulum-pengetahuan) dan bagaimana pengajarannya dilakukan
(pedagogi). Mereka juga berperan dalam membentuk apa yang dikenal sebagai "hidden curriculum"
atau kurikulum yang tersembunyi. Kurikulum yang tersembunyi mencakup nilai-nilai, norma, dan
sikap yang tidak secara eksplisit diajarkan, tetapi tersirat dalam interaksi dan dinamika di dalam kelas.
Melalui kurikulum yang tersembunyi, para pendidik memiliki kesempatan untuk menjalankan
kontrahegemoni dan membuka ruang bagi alternatif nilai-nilai yang memanusiakan.

Maka sekali lagi kita dapat melihat bagaimana hegemoni tidaklah sempurna. Akan selalu ada
ruang untuk mengintervensi dominasi. Tetapi hal utama yang ditekankan di sini adalah bahwa
kesempatan tersebut hanyalah kesempatan. Tidak ada jaminan bahwa upaya kontra-hegemoni yang
dapat dilakukan kedua aktor tersebut selalu adalah upaya-upaya kontra-hegemoni yang progresif.
Meminjam Gramsci, Anyon mengemukakan bahwa hegemoni tidak diciptakan dalam bentuk yang
final oleh kapitalisme, melainkan dibangun di atas kontradiksi (kontra-hegemoni) yang menyerang
hegemoni tersebut. Makanya hegemoni oleh kapitalisme terus-menerus diproduksi di media, sekolah,
koran dan produk kultural lainnya dari kapitalisme demi kelangsungan eksistensinya, sekaligus
memberangus kontradiksinya.
Meskipun, kesempatan kontra-hegemoni serta batasan-batasannya telah kita identifikasi,
termasuk masih terbatasnya diskursus akan pendidikan yang menyatakan dirinya sebagai
emansipatoris (karena kerap kali masih berpusat pada individualisasi permasalahan sosial ketimbang
struktur yang menaunginya).

REFERENSI

Fung, A., & Wright, E. O. (Eds.). (2003). Deepening Democracy: Institutional Innovations in
Empowered Participatory Governance. London: Verso.

Sim, J. B.-Y. (2010). Simple ideological “dupes” of national governments? Teacher agency and
citizenship education in Singapore. In K. J. Kennedy, W. O. Lee, & D. L. Grossman (Eds.),
Citizenship Pedagogies in Asia and the Pacific. Hong Kong: Springer.

Anyon, J. (2011). Marx and Education. New York: Routlege.

Laksana . C. Ben K. (2020). Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Demokratis (1): Terbuka akan
Kelemahan. Diakses pada 4 Juni 2023, dari
https://indoprogress.com/2020/10/prinsipprinsipdasar-pendidikan-demokratis-1-terbuka-
akan-kelemahan/.

Anda mungkin juga menyukai