A. Pendahuluan
Manusia komersial, hedonis, dan kanibal yang dulu sering dibaca dalam komik dan
cerita fiktif saat ini menjadi kenyataan yang membuat haru biru kehidupan. Homo homini
lupus semakin dekat dan nyata. Cerita Negara yang gemahripah loh jinawe, tata tentrem kerta
raharja menjani lamunan dan impian bersama. Memang impian, harapan, dan lamunan dalam
kondisi tertentu merupakan obat mujarab untuk memberikan lelipur lara agar
kita survive dalam hidup, bertahan dalam menghadapi prahara nasional ini.
Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan agama dibangun di atas pondasi pendidikan. Kesuksesan tanpa
proses pendidikan adalah hayalan. Hayalan yang berkembang dalam diri dan memiliki gap
yang besar akan membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang kurang memadai jika
dibarengi dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan oleh sinetron dan iklan di
media cetak dan elektronik akan membuat sebagaian masyarakat menjadi benar-benar gila.
gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya.
Bukan hanya rakyat jelata yang terserang penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa,
pengusaha, guru, dosen, dan kyai. Trend kegilaan ini bias ditemukan dalam kehidupan nyata.
Mereka yang mestinya digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan
publik. Pertikaian karena rebutan roti kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan
pernah meraih kejayaan itu.
Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata tetapi semua
orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis
yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia
akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik
adiluhung dan sekaligus mempu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan
politik pendidikan bias berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa bermusuhan.
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial disetiap negara,
baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang
terpisahkan, yang satu sama lain tidak tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya
bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara. Lebih
dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-Lembaga
dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat
dinegara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu negara
membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan erat
dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas
empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan Peradaban manusia dan menjadi
perhatian para Ilmuwan.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965:287) Education and politics are
inextricably linked (Pendidikan dan politik terkait tanpa bias dipisahkan). Menurut mereka
(1965:289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga
aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitude), masalah pengangguran
(unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the polical role of the intelligensia).
Menurut Sirozi (2005:1) seorang doktor alumnus Monash University of Australia,
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik suatu Negara,
baik negara maju ataupun negara yang sedang berkembang. Senada dengan itu, Paulo Freire
juga mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-
politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan
pengembangan pendidikan.
Hubungan erat antara pendidikan dengan politik dapat memberikan dampak positif
dan negatif bagi perkembangan pendidikan. Dampak positif yang dapat dihasilkan dari
hubungan keduanya adalah pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam politik
dapat memberikan subsidi kepada pendidikan. Dengan adanya subsidi tersebut pendidikan
bisa berkembang sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam sistem politik Islam, pendidikan merupakan satu hal yang sanagat
urgen dalam pencapaian tujuan pemerintahan. Adapun tujuan pemerintahan Islam menurut
Abdul Gaffar Aziz (1993:95) adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak
akan tercapai kecuali dengan melaksanakan syariat. Dan syariat tidak dapat berjalan bila
ummat tidak memahami agama Islam. Sedangkan untuk memahamkan syariat Islam kepada
masyarakat sarananya tiada lain adalah melalui pendidikan.
Meskipun hubungan atau ketrekaitan antara politik dan pendidikan begitu kuat dan
riil, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas tersebut. Banyak pihak yang resah
dengan realitas tersebut dan menginginkan upaya-upaya perubahan untuk meminimalisasi
atau mengikis elemen-elemen politik dalam dunia pendidikan. Mereka menginginkan agar
pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang terpisah dan tidak berhubungan. Mereka
percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat dilaukan untuk membebaskan
lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai kepentingan politik penguasa.
Namun, apapun latar belakang dan tujuan kemunculannya, kecenderungan pemisahan
dan pengintegrasian pendidikan dan politik, keduanya akan terus saling terkait. Pendidikan
menyangkut proses tranmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta prkembangan ketrampilan
dan pelatihan untuk tenga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh
dan otoritas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang
alokasi nilai-nilai dan sumber daya. Karen keduanya sarat dengan proses pengalokasian dan
pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat, maka tidaklah sulit untuk memahami bahwa
pendidikan dan politik adalah dua perangkat aktivitas yang akan terus saling terkait dan
berinteraksi.
Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat
kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai
aspek pembelajaran terutama kurikulum dan dbahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan
pada kepentingan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang,
pemimpin politik sangt menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik.
Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-
pesan politik melalui metode dan bahan ajar (Curriculum content) pendidikan. Di negara-
negara komunis misalnya, metode brain washingdigunakan secara luas untuk membentuk
pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktin komunisme.
Di Indonesia, hal serupa terjadi pada masa rezim Soeharto, beberapa kebijakan yang
dikeluarkan juga untuk menunjang daya tahan rezim tersebut. Terbukti rezim tersebut bisa
bertahan selama 32 tahun, hal tersebut pun juga tidak jauh dari kebijakan pendidikan yang
selalu berpihak pada Soeharto.
Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 telah
membawa perubahan mendasar pada beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional.
Salah satu aspek perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan
sistem pendidikan national dari paraigma sentralisasi ke desentralisasi.
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu
dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai
wilayah strategi bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di
dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatka output
yang didinginkan. Inilah salah satu alasan mengapa begitu banyak orang tua yang sanggup
mengorbankan harta mereka yang berharga untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi
anak-anak mereka. Ini pulalah salah sarua alas an mengapa suatu negara sangat peduli dan
menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang pendidikan.
Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu sistem pendidikan yang
memiliki karakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan. Untuk memastikan
terwujudnya keinginan tersebut, banyak negara yang menerapkan kontrol sangat ketat
terhadap program-program pendidikan, baik yang diselenggrakan sendiri oleh negara maupun
yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Sebagai suatu kajian yang relatif baru dan merupakan pengembangan dari bidang
kajian yang teklah mapan (established), yaitu kajian politik dan kajian pendidikan, kelayakan
politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana
ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pedidikan.
Namun, pengalaman panjang bangsa Indonesia, mulai dari era kolonial hingga era
reformasi, memperlihatkan betapa pendidikan dan politik saling berkaitan. Keterkaitan
tersebut dapat dilihat dari karakteristik berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh rezim
yang berkuasa. Hal itulah yang memperlihatkan bahwa para ilmuwan pendidikan di negeri ini
membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelskan berbagai persoalan
kependidikan yang ada.
Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan politik di negeri ini membutuhkan wawasan
kependidikan untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan politik dengan baik kepada
masyarakat. Pada konteks inilah kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang,
kajian-kajian politik pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga kajian-kajian dalam
bidang ini akan berkembang pesat.
Desentralisasi pendidikan yang saat ini diterapkan dalam sistem pendidikan nasional
cenderung mengambil bentuk dekonsentrasi, bahwa pemerintah daerah hanya menjadi
perpanjangan tangan fungsi-fungsi manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan
fundamental dalam bidang pendidikan dan nilai-nilai pendidikan tumbuh dan berkembang
dalam sistem pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah pusat,
bukan milik pemerintah daerah.
Dan harapan terbesar masyarakat Indonesia adalah ketika segala sesuatunya berjalan
sinergi antara masyarakat bawah dengan para elite negara dan juga antara politik dan
pendidikan, meskipun politik dan pendidikan adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan dan
selalu seiring sejalan, jangan sampai memanfaatkan dunia pendidikan, dunia yang sarat akan
keilmuwan, dan di dunia pendidikan ini pula generasi muda akan di bentuk. Jangan sampai
karena kepentingan satu orang, terus menghancurkan generasi muda yang ada yaitu generasi
yang akan memimpin negara ini di masa yang akan datang.
Orang Miskin Dilarang Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya
merukan potret kegelisahan public melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat
seperti bank, dan menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat
dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami proses
formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi negara membuat semua
warga salah baca terhadap pendidikan.
Pendidikan dimaknai sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian
nasional, pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada
lembaga formal yang bernama sekolah. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta keramat
yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan
sekaligus data pendukung. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap belum
cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bias mendukung ijazah ini
laku atau tidak. Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan
kemanusiaan.
Sekolah bukan lagi mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada
penyediaan lapangan kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme
baru. Tanpa membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu
direnungkan:
1. Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa tujuan dan
bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan sehingga anak paham
terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut. Pertanyaan ini selalu saja tidak
terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan merasa harga buku yang harus mereka beli
menjadi lebih mahal dan menyesakkan dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup,
kondisi lingkungan yang rusak, informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang
memanfaatkan proyek pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan
melihat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.
2. Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan orientasi yang berpihak
kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan investasi modal. Di sisi lain sekolah
juga belum mampu mengaplikasikan strategi pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh
wilayah dalam manusia agar peserta didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat
berpartisipasi untuk memajukan peradaban yang berkeadaban.
Jika sekolah masih diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi
generasi muda di negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis
lagi. Untuk mengatisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari
pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari keterpaksaan dalam
menempuh pendidikan.
H. Kesimpulan
Pendidikan dan politik merupakan elmen yang penting dalam subuah negara,
hubungan antara pendidikan dan politik tak bias dipisahkan dalam arti antara pendidikan dan
politik saling berkait.
Pendidikan dalam hal ini memberikan pengajaran atau mendidikkan pelaku atau tokoh
politik, sedangkan polotik posisinya sebagai pembuat sector kebijakan. Dalam hal ini
pendidikan dan politik seirama dalam menciptakan sebuah peradaban baru. Akan tetapi apa
bila politik dipegang oleh orang-orang yang tidak berkopenten tentu akan rusak, demikian
juga dengan pendidikan yang membutuhkan kebijakan demi kemajuan juga akan kena
dampaknya.
Daftar Pustaka
Paulo Freire, 2000. Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan, dan Pembebasan,
Terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arief Furdiyartanto. Yogyakarta: Read dan Pustaka
Pelajar.
_______Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta:LP3ES
Sirozi Muhammad, 2005, Agenda Setrategis Pendidikan Islam, Yogyakarta: AK Group
Nata, Abuddin. 2007. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
___________. 2004. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
___________.2003. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa.
Ramayulis. 2005. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Tafsir, Ahmad. 1991. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarrya.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir , 2006Ilmu Pendidikan Islam , Jakarta : Kencana.
Karim Muhammad, 2009. Pendidikan Kritis Transformatif, Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Suhartono Suparlan. 2006, Filsafat pendidikan, Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Rahman, munawar Budhy. 2006, membaca Nurcholis Madjid,Jakarta:LSAF .
Oleh :
Arif Sugianto
NIM. 07110014
JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2010