Anda di halaman 1dari 10

Diskursus Pendidikan Kritis (Critical Pedagogy) dalam Kajian Pendidikan Agama

Islam
Anita Aprilia

Abstrak
Pendidikan Agama Islam mempunyai peran yang penting untuk mempersiapkan warga
negara yang mampu menghadapi tantangan zaman. Sehingga perlu dikonstruksi secara kritis,
humanis, dan dialogis, dengan tetap mengedepankan budi pekerti dalam membangun
kemampuan berpikir kritis tersebut. Artikel ini bertujuan untuk memaparkan diskursus
pendidikan kritis dalam kajian pendidikan agama Islam dalam mewujudkan peserta didik
yang bisa berpikir secara kritis. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif,
dengan pendekatan library research. Data-data yang digunakan bersumber dari artikel ilmiah,
jurnal, buku, dan sumber bacaan yang masih relevan digunakan. Data-data yang sudah
terkumpul dianalisis dengan teknik analisis isi. Hasil pembahasan pada artikel ini ialah
terdapat lima proses dalam pendidikan kritis, yakni, dimulai dengan ‘melakukan’, bisa
dengan apresiasi pengalaman atau pengalaman peserta didik, tahap kedua adalah
mengungkapkan data atau rekonstruksi, menganalisis, menyimpulkan, dan menerapkan.
Dengan demikian, akan tercipta pendidikan yang humanis, demokratis, dan dialogis.

Kata kunci: Pendidikan Agama Islam, Pendidikan kritis.

Latar belakang

Dunia pendidikan sedang dihadapkan dengan persoalan serius. Misalnya adalah nilai
korporasi menjadi core values, sehingga mengalahkan academic values (Nuryatno, 2011).
Apabila kondisi ini terus berlanjut, maka dunia pendidikan dikhawatirkan tidak mempunyai
peran secara signifikan dalam membentuk politik, kehidupan publik, hingga kultural. Hal ini
dikarenakan pendidikan telah dibentuk oleh dunia pasar. Hal ini juga tidak terlepas dari
besarnya pengaruh globalisasi dan masifnya perkembangan teknologi yang mengisi setiap sisi
kehidupan manusia. Sebagaimana yang disebutkan oleh Hidayati (Hidayati, 2008).

Bahwa berkembangnya teknologi dan pengetahuan mempunyai dampak yang sangat besar
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Mulai dari pergeseran agama,
nilai, budaya, dan yang lainnya. Sehingga kerap menimbulkan penyimpangan-penyimpangan
nilai. Fenomena tersebut menggambarkan bahwasanya saat ini, kehidupan yang dijalani oleh
manusia semakin kompleks, sebagaimana realitas abad 21. Di mana, manusia menghadapi
tantangan global, mulai dari pengauan struktur politik, perubahan perempuan di dalam
masyarakat, perubahan dalam melintasi batas-batas nasional, sampai dengan penciptaan
bentuk-bentuk baru dari masyarakat (Kerr, 1999).
Dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan tersebut, Pendidikan Agama Islam
merupakan topik yang sangat penting dalam mempersiapkan warga negara supaya mampu
melaksakan tanggungjawab dan peran lewat peran pendidikan. Zuhairini dalam H.Moh.
Solikodin Djaelani (Djaelani, 2013) menyebutkan bahwa pendidikan agama merupakan
upaya sistematis dan pragmatis dalam membantu peserta didik supaya hidup sesuai dengan
ajaran agamanya. Sehingga dapat dikatakan, bahwa pendidikan agama merupakan pendidikan
yang sangat penting diajarkan, sebagai pembentuk kepribadian, yakni menanamkan tabiat
baik, supaya memiliki sifat yang baik pula, dan dapat berpikir kritis, sebagaimana
seharusnya. Penyelenggaraan pendidikan agama Islam telah mendapatkan perhatian yang
cukup serius dari pihak pemerintah, tepatnya setelah kemerdekaan Indonesia, baik itu di
sekolah-sekolah negeri ataupun sekolah-sekolah swasta. Upaya yang dilakukan pihak
pemerintah dimulai dengan memberikan bantuan kepada lembaga-lembaga pendidikan,
sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional, tahun 1945 (Timur,
1980). Sementara di Order Reformasi, eksistensi pendidikan Islam semakin diakui. Hal ini
dikarenakan adanya integrasi antara pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional.
Pemerintah juga memandang, bahwasanya agama memiliki kedudukan dan peran yang sangat
strategis lagi penting dalam pembangunan nasional. Agama akan mempengaruhi kebersihan
jiwa manusia, dan juga kemakmuran rakyat (Muhammad, 1985).

Maka dari itu, mengingat akan pentingnya pendidikan agama Islam, khususnya di abad ini,
maka seluruh elemen masyarakat meski membumikan kembali pendidikan agama Islam.
Karena itulah, penting sekali menelaah diskursus pendidikan kritis dalam kajian pendidikan
agama Islam dalam mewujudkan masyarakat yang bertanggung jawab dan membentuk
kepribadian luhur, sesuai dengan ajaran-ajaran dalam pendidikan agama Islam.

Kajian di atas menjadi pembahasan yang menarik untuk dibahas lebih mendalam, agar
didapatkan kajian yang komprehensif mengenai diskursus pendidikan kritis dalam kajian
Pendidikan agama Islam dalam mewujudkan peserta didik yang mampu berpikir kritis. Oleh
karena itu, artikel ini akan memfokuskan kajian bagaimana konsep pendidikan kritis (critical
pedagogy)? Bagaimana konsep pendidikan agama Islam? dan Bagaimana diskursus
pendidikan kritis (critical pedagogy) dalam kajian pendidikan agama Islam?
Metode penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pendekatan
library research atau studi kepustakaan. Data-data yang diambil diperoleh dari jurnal, buku,
artikel ilmiah yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi, identifikasi wacana dari
makalah, buku, jurnal, surat kabar, dan sumber bacaan yang lainnya, yang masih relevan
dengan diskursus pendidikan kritis (critical pedagogy) dalam kajian pendidikan agam Islam.
Sementara teknik analisis data yang dilakukan menggunakan teknik analisis isi.

Pembahasan

Konsep pendidikan kritis (critical pedagogy)

Pendidikan kritis atau critical pedagogy merupakan aliran pendidikan yang menganut
keyakinan, bahwasanya seluruh aktivitas yang terdapat di dalam pendidikan mengandung
muatan politik (Nuryatno, 2011), dengan tujuan membangun kesadaran kritis para peserta
didik (Hidayat, 2013). Munculnya pemikir pendidikan yang mengusung teori pendidikan
kritis ini dimulai pada era 1960 an. Pada dasarnya, teori yang dibawa oleh pemikir
pendidikan kritis dipengaruhi oleh teori kritis yang dibangun dalam lingkup ilmu filsafat dan
sosial di kalangan mazhab Frankfurt. Teori ini mengusung jargon kritik konstruktif dan
kebebasan terhadap ilmu pengetahuan dan sistem sosial yang dominan (Lubis, 2006).
Wacana teori kritis terus mengalami perkembangan, sampai akhirnya mampu memasuki
wacana teori pendidikan. Teori kritis memberikan paradigma baru dalam dunia pendidikan,
yang diyakini bisa memberdayakan generasi mendatang, dan mampu menghidupkan generasi
untuk menghadapi era milenium baru.

Dalam hal ini, Mansour Fakih menjelasakan, paradigma pendidikan kritis ialah paradigma
pendidikan yang mengarahkan pendidikan melakukan refleksi kritis terhadap ideologi yang
dominan ke arah transformasi sosial. Pendidikan kritis ialah pendidikan yang berupaya
menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis seluruh potensi setiap peserta
didik secara kritis dan bebas, dalam mewujudkan transformasi social (Fakih, 2001). Selain
itu, paradigma pendidikan kritis juga dapat diartikan sebagai paradigma pendidikan yang
menerapkan pola pikir kreatif, kritis, aktif kepada peserta didik dalam menjalani proses
pembelajaran.
Pada dasarnya, pendidikan kritis adalah kelanjutan dari gerakan pembebasan dari berbagai
sudut pandang keilmuan. Sehingga, dalam kacamata pendidikan kritis, kritis dan pembebasan
bukan dua hal yang dapat dipisahkan. Semangat pembebasan pendidikan kritis belajar dari
banyak tokoh yang berasal dari beberapa disiplin ilmu. Salah satunya adalah dari Gustavo
Guterez, yang merancang konsep teologi pembebasan. Selain itu, paradigma tersebut juga
tidak terlepas dari Paulo Freire, yang merupakan peletak dasar filosifis dari gagasan
pendidikan kritis. Freire memberikan makna pembebasan, dengan menekankan bangkitnya
kesadaran kritis masyarakat. Dalam pandangannya, pembebasan masyarakat tidak hanya
sekedar kebebasan dari segi material belaka. Tapi terbukanya ruang kebebasan dalam lingkup
yang luas. Mulai dari spiritual, sosial, ideologi, sosial kultural, politik, dan lain sebagainya.
Freire mengatakan, ‘masyarakat bukan hanya membutuhkan kebebasan dari kelaparan, tapi
juga bebas untuk mencipta, mengkonstruksi realitas diri dan dunianya, serta bebas bercita-
cita tentang masa depan dirinya dan dunianya.’ Freire, kerap menyebut paradigma pendidikan
kritis dengan sebutan pendidikan humanis atau pendidikan yang membebaskan (Paulo Freire,
2004).

Menurutnya, pendidikan yang membebaskan ialah kesadaran manusia sebagai potensi untuk
memandang dunia. Cakupan dalam pendidikan kritis ialah teori pendidikan dan praktek
pembelajaran, dengan tujuan membangun kesadaran kritis peserta didik di kondisi sosial yang
menindas (Hidayat, 2013). Hal tersebut senada dengan pendapat Giroux, yang menyebutkan,
bahwasanya pendidikan kritis sebagai pendidikan radikal yang mempunyai konsen pada
prinsip kebabasan dan demokrasi dari penindasan dalam praktik pendidikan (Hidayat, 2013).
Sehingga membuatnya ingin membangun kemungkinan munculnya penalaran yang tidak
mungkin berlangsung di dalam kelas, sehingga pendidikan kritis berupaya menciptakan
pendidikan yang optimis dalam membangun masyarakat. Dapat disimpulkan, bahwasanya
pendidikan kritis merupakan aliran pendidikan yang sangat menekankan kepada kesadaran
berpikir kritis untuk menciptakan pendidikan yang bebas dan bisa menghadapi berbagai
situasi dan kondisi.

Dalam konteks persekolahan, pendidikan kritis bisa dipahami sebagai proses dialektis yang
mendukung proses dialog antara guru dengan peserta didik (Mclaren, 2002), yang didasarkan
pada realitas bahwasanya pendidikan di ruang kelas sarat akan dominasi guru dan hegemoni.
Pada kondisi tersebut, peserta didik menjadi tidak aktif, karena hanya berperan sebagai
penerima ilmu saja dengan cara mendengarkan, kemudian mencatat, dan menghafal. Hal ini
menunjukkan tidak adanya proses dialogis dan berpikir kritis yang terjadi di dalam kelas.
Model pembelajasan seperti itu disebut dengan ‘gaya pendidikan bank’ oleh Freire. Fakta
tersebut membuat Freire mengganggagas sistem pendidikan dengan orientasi kemanusiaan.
Di mana, guru dan peserta didik mempunyai peran sebagai subjek. Keduanya mempunyai
kesetaraan untuk membangun pengalaman keseharian dan membangun dialog guna
menumbuhkan kesadaran kritis dan menciptakan pengetahuan yang dibangun di dalam kelas
(Hidayat, 2013).

Konsep pendidikan agama Islam


Hasan Langgulung dalam Abuddin Nata (Langgulung, 1980) menyebutkan, sumber atau
dasar pendidikan Islam adalah al-Quran dan al-Sunnah, ungkapan para sahabat, tradisi,
kemaslahatan umat, dan hasil ijtihad para ahli. Konsep pendidikan Islam merupakan upaya
transformasi nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam, dengan menjadikan al-Quran serta
sunnah sebagai acuan paling tinggi. Secara umum, sistem pendidikan agama Islam memiliki
karakter religius, dan kerangka etik dalam tujuan dan sasaran. Konsep pendidikan agama
Islam sendiri dapat ditinjau dari beberapa pendapat. Salah satunya adalah al-Ghazali. Secara
umum, pemikiran pendidikan al-Ghazali bersifat religius etis, yang dipengaruhi oleh
penguasaannya pada bidang sufisme. Menurutnya, pendidikan yang benar ialah pendidikan
yang bisa mendakatkan diri kepada Allah, sehingga mengantarkan manusia mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Selain itu, pendidikan juga bisa dijadikan sebagai sarana
untuk menebarkan manfaat. Untuk mencapai hal-hal tersebut, maka pendidikan Islam meski
memperhatikan berbagai faktor penting.

Konsep pendidikan agama Islam menuurt al-Ghazali dapat diketahui dengan cara mengetahui
dan memahai pemikirannya terlebih dahulu, yakni yang berkenaan dengan pendidikan.
Misalnya tentang faktor-faktor pendidikan. Adapun faktor-faktor tersebut, pendidikan
mempunyai tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup, baik di dunia ataupun di akhirat.
Sehingga yang menjadi landasan utamanya adalah al-Quran dan hadis. Tujuan akhir dari
kegiatan pendidikan terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah menjadi insan yang selalu
mendekatkan diri kepada Allah. Dan yang kedua ialah kesempurnaan insani yang bermuara
pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, al-Ghazali mempunyai cita-cita untuk
mengajarkan manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan tersebut. Tujuan yang dimiliki
oleh al-Ghazali terlihat bernuansa moral dan religius, tanpa mengesampingkan permasalahan
duniawi.
Seorang guru atau pendidik meski memiliki niat yang iklash, yakni mendidik para murid
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, bisa dijadikan sebagai tauladan bagi seluruh
peserta didiknya, dan mempunyai kompetensi mengajar. Hal ini ditandai dengan penguasana
terhadap materi, sikap objektif, memperlakukan para peserta didik layaknya anak sendiri.
Sementara para peserta didik juga meski mempunyai niat untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Berusaha sekeras mungkin untuk menghindari maksiat, karena ilmu itu suci, dan ia
tidak akan diberikan kepada hal-hal yang tidak suci. Seorang peserta diidk juga harus rajin
belajar, beruasaha untuk memahami pelajaran yang telah diberikan oleh sang guru, serta
menghormati gurunya. Adapun kurikulum dalam pendidikan meski disesuaikan dengan
perkembangan peserta didik.

Mereka diberikan materi dengan cara bertahap, dengan memilih materi yang termudah
dahulu. Dalam hal kurikulum, sudah sepatutnya seorang guru menjadikan materi ke tauhid an
sebagai landasan utama, sebeum memberikan materi yang lain. Lingkungan pendidikan
terbagi menjadi 3 bagian. Yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Peserta didik
harus dijauhkan dari lingkungan yang tidak baik, karena akan memberikan pengaruh tidak
baik nantinya (Putra, 2016) . Dewasa ini, tampaknya sudah banyak yang menerapkan nilai-
nilai atau konsep pendidikan agama Islam perspektif al-Ghazali. Hal ini ditandai dengan
banyaknya sekolah formal dengan nuansa Islam. Seperti Sekolah Islam Terpadu, Sekolah
Plus, dan lain sebagainya.

Diskursus pendidikan kritis dalam kajian Pendidikan Agama Islam

Dalam upaya merespon tuntutan zaman, menuntut adanya upaya-upaya pengembangan


kurikulum dan pembelajaran (Winataputra, U S. & Dasim B, 2012) PAI. Banyaknya
persoalan-persoalan yang terjadi meski segera diatasi, tanpa harus menunggu keputusan dari
pihak atas (Ana, 2009). Adapun landasan kurikulumnya terdiri atas landasan sosial budaya,
filosofis, dan juga psikologi. Hal tersebut senada dengan pendapat Abdul Majid dan Dian
Andayani yang dikemukakan Murray Print, bahwa landasan kurikulum terdiri atas landasan
sosial, filosofis, sosial budaya, dan psikologi (Abdul Majid, Dian Andayani, 2004)

Pernyataan tersebut menegaskan bahwasanya di abad 21, terminologi PAI meski dimaknai
secara luas, karena didasari dengan realitas abad ini manusia menghadapi banyak tantangan
kehidupan yang kompleks. Sehingga PAI mempunyai posisi sebagai bagian dari kurikulum
persekolahan, guna mengemangkan kemampuan peserta didik dalam merespon tantangan
global. Sementara keterampilan berpikir kritis sendiri menekankan rasionalitas dalam
merekonstruksi suatu ilmu, dan menjadi hal yang sangat penting diperhatikan. Giroux
(Giroux, 1980) mendefinisikan rasionalitas sebagai kesadaran yang dibangun dari nalar
manusia sebagai dasar untuk menyingkap kepentingan di balik ilmu pengetahuan yang
menunjukkan kemampuan berpikir kritis seseorang dalam merenungkan dan merekonstruksi
sebuah gagasan sehingga ilmu menjadi bersifat objektif. Berdasarkan pola Habermas,
pengetahuan dikategorikan ke dalam tiga kategori. Yakni teknis, praktis, dan emansipatoris.

Sementara dalam proses pembelajaran, terdapat lima tahapan praktik pendidikan kritis, yakni,
dimulai dengan ‘melakukan’. Adapun yang dimaksud dengan tahap ‘melakukan’ ialah proses
yang selalu dimulai dengan pengalaman. Yaitu dengan melakukan kegiatan secara langsung.
Maka dalam hal ini, peserta didik terlibat langsung, bertindak dan berperilaku dengan
mengikuti pola yang sudah disepakati. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengamati,
mengerjakan, melihat, atau mengatakan sesuatu. Pengalaman ‘melakukan’ inilah yang
nantinya akan menjadi titik tolak tahap yang berikutnya.

Tahap melakukan juga dapat berbentuk apresiasi akan pengetahuan atau pengalaman yang
dimiliki oleh para peserta didik. Adapun tahap yang kedua adalah ‘mengungkapkan data’.
Atau yang sering disebut rekonstruksi. Di tahap ini, para peserta didik dapat mengungkapkan
kembali apa saja yang telah dialaminya, kemudian memberikan tanggapan ataupun kesan atas
pengalaman tersebut. Ketika data yang didapatkan dari peserta didik sudah lengkap, baru
masuk ke tahap ‘menganalisis’. Dalam menganalisa data-data yang ada, pendidik
memberikan model pertanyaan, seperti mengapa hal tersebut bisa terjadi? Bagaimana kalau
sekiranya kejadian tersebut ditinggalkan saja? Apa yang terjadi kalau .. ? Misal terjadi seperti
ini, maka apa yang terjadi? Dan masih banyak pertanyaan analitik yang lainnya. Setelah
semua pertanyaan terjawab dengan baik, maka pendidik dengan peserta didik dapat membuat
rencana apa yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan sebuah masalah. Rencana tersebutlah
yang akan diejawantahkan di tahapan yang selanjutnya. Sementara tahap yang berikutnya
ialah tahap menyimpulkan. Proses ini mengharuskan peserta didik untuk mengembangkan
ataupun merumuskan prinsip berupa kesimpulan umum dari pengalaman tersebut. Hal ini
karena dengan menyatakan apa saja yang sudah dialami dan dipelajari akan membantu para
peserta didik untuk merumuskan. Tahap yang terakhir adalah menerapkan. Yang dimaksud
dengan tahap menerapkan ialah melakukan perencanaan untuk menerapkan prinsip yang
sudah disimpulkan dari pengalaman sebelumnya.

Dari kelima tahapan di atas, dapat kita lihat, bahwa praktik pendidikan kritis sangatlah
demokratis. Dalam artian, proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas melibatkan
seluruh peserta didik dalam mengalami sesuatu, dan peserta didik juga menganalisa masalah
yang telah mereka hadapi, lalu menyimpulkan dan melakukan aksi untuk merubah dirinya
dan lingkungannya. Dalam pendidikan kritis, harus ada proses horizontal, yakni antara
pendidik dengan peserta didik, harus ada dialog dua arah, yang memiliki implikasi pada
empati, saling percaya, dan cinta.

Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan kritis merupakan
konsep pendidikan yang bertujuan untuk membangun pengalaman keseharian dan
membangun dialog demi menumbuhkan kesadaran kritis para peserta didik. Dalam proses
pembelajaran, terdapat lima tahapan praktik pendidikan kritis, yakni, dimulai dengan
‘melakukan’, bisa dengan apresiasi pengalaman atau pengalaman peserta didik, tahap kedua
adalah mengungkapkan data atau rekonstruksi, menganalisis, menyimpulkan, dan
menerapkan.
Daftar Pustaka
Abdul Majid, Dian Andayani. (2004). Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
Konsep dan Implementasi Kurikulum.
Ana, A. (2009). Analisis Konsep Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam dalam
Perspektif Prof. Dr. H. Muhaimin, MA. Menuju Institut Agama Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya. Surabaya.
Djaelani, H. S. (2013). Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga Dan Masyarakat .
Jurnal Ilmiah Widya .
Fakih, M. (2001). Pendididkan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Insist .
Giroux, H. A. (1980). Critical Theory And Rationality In Citizenship Education, Curriculum
Inquiry. Amerika Serikat: Boston University .
Hidayat, R. (2013). Pedagogi Kritis: Sejarah, Perkembangan dan Pemikiran. Jakarta:
Rajawali Pers.
Hidayati. (2008). Pentingnya Pendidikan Nilai di Era Globalisasi: Dinamika Pendidikan.
Kerr, D. (1999). Citizenship Education: An International Comparison. International Review
of Curriculum and Assessment Frameworks Paper 4. London: QCA.
Langgulung, H. (1980). Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-
Ma’arif.
Lubis, A. Y. (2006). Dekonstruksi Epistemologi Modern . Pustaka Indonesia Satu.
Mclaren. (2002). Contesting Capital: Critical Pedagogy And Globalism, A Response To
Michael Apple. Journal Comparative Education. Columbia University.
Muhammad, Y. (1985). Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta : Hidakarya.
Nuryatno, M. A. (2011). Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book.
Paulo Freire. (2004). The Political Of Education: Culture, Power, And Liberation, Yang
Diterjemahkan Oleh Agung Prihantono Dan Arif Yudi Hartanto. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Putra, A. A. ( 2016). Konsep Pendidikan Agama Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Jurnal
Al-Thariqah.
Timur, D. (1980). Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama.
Jakarta : Dermaga .
Winataputra, U S. & Dasim B. (2012). Pkn Dalam Perspektif Internasional (Konteks, Teori
Dan Profil Pembelajaran). Bandung: Widya Aksara Press .

Anda mungkin juga menyukai