Pendidikan Kritis
1
Akhyar Yusuf Lubis , Dekonstruksi Epistemologi Modern, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
(2006), 13.
menganalisis segenap potensi yang dimiliki oleh peserta didik secara bebas dan
kritis untuk mewujudkan proses transformasi sosial.2
2
Mansour Fakih, Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta: Insist, (2001),
22.
3
Muhammad Said al-Husein , Kritik Sistem Pendidikan, t.tp: Pustaka Kencana,(1999), 187
4
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, Cet. 1,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, (2011), hal. 52
mengonstruksi realitas diri dan dunianya, serta bebas untuk bercita-cita tentang
masa depan diri dan dunianya.
5
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung
Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 175.
sehingga mampu memahami bahaya dan masalah yang dihadapinya, serta
menumbuhkan kepercayaan diri yang mendalam untuk mengatasi bahaya dan
menyelesaikan masalah tersebut dengan baik.6
Bagi Freire, fitrah manusia yang sejati adalah menjadi pelaku atau subjek,
dan bukan menjadi penderita atau objek. Oleh karena itu, manusia yang sejati
adalah pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang
menindas atau mungkin menindasnya. Manusia harus mampu menggeluti dunia
dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta. Hal ini meniscayakan perlu
dikembangnnya langkah orientatif sebagai pengembangan bahasa pikiran
( Thought of Language ). Yakni, pada hakekatnya manusia mampu memahami
hakekat kebaradaan dirinya dan lingkungan dunianya dengan bekal pikiran dan
tindakan praksis manusia merubah diri, dunia, dan realitas sosialnya.9
Dalam pendidikan “gaya bank” ini, guru adalah subjek aktif, sedangkan
murid adalah objek pasif yang penurut, dan diperlakukan sama atau dianggap
menjadi bagian dari realitas dunia yang menjadi objek yang diajarkan kepada
mereka. Dengan kata lain, peserta didik diperlakukan sebagai objek pendidikan
yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dan berlangsung
satu arah. Pendidik berposisi sebagai sumber yang memberikan informasi ilmu
pengetahuan dan wajib untuk “ditelan” oleh murid, murid wajib mengingat dan
menghafalkan informasi yang diberikan oleh guru tersebut secara dogmatis dan
“haram” untuk membantahnya.
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal
yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti
gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus
diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu
menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan “biofili”.14 Implikasinya lebih
jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan
diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah akan lahir
lagi generasi baru manusia-manusia penindas. Jika diantara mereka ada yang
menjadi guru atau pendidik, maka daur penindasan segera dimulai dalam dunia
pendidikan, dan demikian terjadi seterusnya.
Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu merubah
“penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan
mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Akhirnya Freire sampai pada formulasi
13
Mansour Fakih Roem Topatimasang Toto Rahardj, ‘Pendidikan Populer : Membangun
Kesadaran Kritis’, (2001). hal 43.
14
Ibid,. hal 43
filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakannya sebagai “pendidikan kaum
tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama
dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan
pembaharu ini, kata Freire adalah, pendidikan untuk pembebasan—bukan untuk
penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan
penjinakan sosial-budaya (social and cultural do mestication). Pendidikan
bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena itu, secara metodologis
bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total—yakni prinsip bertindak
untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara
terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah
kenyataan yang menindas tersebut.
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan salah satu materi yang harus
disampaikan kepada murid khususnya yang beragama Islam. Penyampaiannya
pun hampir sama dengan prinsip pendidikan yang ditawarkan Paulo Freire, hanya
saja kebebasan berpikir maupun bertindak murid memiliki batas yang harus
dibenarkan oleh dalil Naqli, yaitu Alquran dan Hadis karena keduanya merupakan
pedoman umat Islam dalam menjalankan kehidupan.15
15
Aridlah Sendy Robikhah, ‘Paradigma Pendidikan Pembebasan Paulo Freire Dalam Konteks
Pendidikan Agama Islam’, IQ (Ilmu Al-Qur’an): Jurnal Pendidikan Islam, 1.01 (2018), hal 13.
16
Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (2006), hal. 133-134.
Hal lain yang sangat diperlukan adalah pengembangan sikap kreativitas,
yakni suatu sikap untuk memilih dan memilah informasi yang tepat, saling
menyebarkan informasi dalam suatu networking atau rangkaian sehingga
terciptalah berbagai ide-ide baru. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang
baru dari lautan informasi yang ada merupakan sesuatu yang perlu dikembangkan
di dalam sistem pendidikan. Di samping itu, “siswa dapat melakukan refleksi
pemikiran untuk melakukan berbagai perubahan dengan perubahan-perubahan
komprehensif sebagai respon terhadap perubahan dunia yang sedang terjadi, dan
atau hasil analisis prediktif yang dilakukan secara seksama dan cermat serta
holistik.”17
Apabila murid dilatih untuk aktif, kritis, kreatif dan dialogis, maka kelas
akan hidup. Saling membagi pengalaman membaca, peristiwa hidup maupun
problematika yang sedang dihadapi yang nantinya akan dikaitkan dengan Alquran
dan Hadis. Ataupun mengkaji Alquran dan Hadis dan memproyeksikan dengan
hal-hal yang terjadi saat ini. Hal ini sesuai dengan pemikiran Paulo Freire bahwa
pendidikan harus ada kaitannya dengan apa yang dialami murid, sehingga murid
mengetahui sesungguhnya hakikat belajar.
17
Siswanto, “Pendidikan Sebagai Paradigma Pembebasan Telaah Filsafat Pendidikan Pulo Freire”,
dalam Jurnal Tadris, Vol. 2 Nomor 2, (2007), hal. 261.
pendidikan Islam dalam merumuskan proses pembelajaran yang humanis serta
dapat menjadi sarana yang dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
18
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, (2002), hal 36