1
EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN KRITIS PAULO FREIRE (1921-1997)1
Prawacana
Paulo Freire bagi banyak praktisi pendidikan adalah tokoh pendidikan yang penuh
misteri. Banyak mitos yang menyelimuti pemikiran pendidikannya, sehingga banyak orang
lebih menghafalkan jargon-jargon dan istilah yang dipergunakannya dalam bukunya yang
terkenal, yakni Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of The Opressed) ketimbang
memahami secara praktis kedalam proses belajar-mengajar yang membebaskan. Banyak tema
pikiran pendidikan Freire yang tertuang dalam buku tersebut tidak mampu secara metodologis
diterjemahkan ke dalam proses dan teknis belajar-mengajar oleh penganggumnya yakni ka-
langan praktisi pendidikan. Itulah makanya sebagian besar pendidik ataupun guru yang me-
rasa jadi pengikutnya, hanya pandai menghafalkan mantra-mantra Freire yang terkenal, misal-
nya "Pendidikan adalah Proses Pembebasan dan Pendidikan adalah Proses Membangkitkan
Kesadaran Kritis". Bahkan ironisnya banyak praktisi dengan menggunakan semboyan
pendidikan pembebasan dan humanisasi, tanpa menyadari terjerumus dalam tindak praktik
pendidikan penindasan dan dehumanisasi, yang justru menjadi agenda utama kritik Freire.
Apa sesungguhnya yang dia maksud dengan 'pembebasan' dan 'kesadaran kritis,' lebih
banyak dibicarakan dalam seminar dan diskusi mahasiswa maupun aktivis ornop, ketimbang
dipraktikkan di lapangan. Namun demikian, ternyata terdapat banyak tafsiran mengenai apa
yang dimaksud Freire dengan 'pendidikan pembebasan' maupun 'pembangkitan kesadaran
kritis' yang menjadi tema pokok pendidikan Freire tersebut
1
Disampaikan pada acara Diskusi Intensif Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah Institut
Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap, dengan tema: Pendidikan Barat dan Pendidikan Timur (Perspektif
Paulo Freire dan Imam Ghozali) tanggal 19 Januari 2013.
2
Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah IAIIG Cilacap, Alumnus S1 Fakultas Tarbiyah UIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta, Alumnus S2 Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM Jogjakarta, Direktur Institute For
Philosophycal and Social Studies (INPHISOS), tinggal di Ponpes Al-Madaniyyah As-Salafiyyah JL. Pucang
D.37 Gumilir Cilacap, HP. 085 647 634 312, E-Mail: nuriel.ugm@gmail.com.
2
Guru mengajar murid belajar.
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
Guru berpikir, murid dipikirkan.
Guru bicara, murid mendengarkan.
Guru mengatur, murid diatur.
Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti.
Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tin-
dakan gurunya.
Guru memilih apa yang akan diajarkan,
murid menyesuaikan diri.
Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesional-
ismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid.
Guru dalah subjek proses belajar, murid objeknya.
3
lainnya. Pandangan ini dikenal dengan teori reproduksi terhadap sistem yang tidak adil
melalui pendidikan.
Berbeda dengan pandangan maupun teori 'reproduksi' dalam pendidikan tersebut,
ada pandangan maupun teori pendidikan yang juga datang dari kelompok pendidik radikal,
yang justru berangkat dari asumsi dan keyakinan bahwa pendidikan adalah proses kesadaran
kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender, maupun kesadaran kritis
lainnya. Pandangan kedua inilah yang dianut oleh aliran Freirean tersebut. Oleh karena itu
pendidikan bagi kelompok Freirean merupakan proses pembebasan manusia. Pendirian
Freirean berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada
pada dasarnya memgalami proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender,
maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Oleh karena itu pendidikan
merupakan suatu sarana untuk 'memproduksi' kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan,
dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai
prasyarat upaya untuk pembebasan. Freire percaya bahwa tugas pendidikan adalah
memproduksi kesadaran kritis untuk suatu proses pembebasan.
Bagaimana proses pembebasan, pembangkitan kesadaran kritis, dan pembebasan itu
dilakukan? Para praktisi dalam menjawab pertanyaan ini umumnya lebih konsentrasi pada
metode pendidikan belaka. Namun sesungguhnya, pendidikan tidak pernah berdiri bebas
tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan
diselenggarakan. Oleh karena itu proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak pemah
terlepas dari sistem dan struktur sosial, yakni konteks sosial yang menjadi penyebab atau yang
menyumbangkan proses dehumanisasi dan keterasingan pada waktu pendidikan
diselenggarakan. Dalam era globalisasi kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan
pada tantangan bagaimana mengkaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami
globalisasi secara kritis. Strategi umumnya pendidik lebih tertuju pada bagaimana membuat
kelas mereka relevan terhadap formasi sosial yang dominant saat ini. Strategi seperti ini lebih
berkesan menerima dan mensiasati dan yang paling penting melakukan penyesuaian terhadap
ideologi dominan. Sementara itu jarang pendidikan yang mengintegrasikan analisis kritis dan
bagaimana mereka berperan dengan proses kritik dan melakukan dekonstruksi, untuk
menemukan solusi alternatif terhadap globalisasi, seperti misalnya menciptakan diskursus
tandingan terhadap sistem dominan ataupun diskursus dominan dengan perspektif alternatif.
Untuk mendorong pendidikan menjadi peka terhadap persoalan ketidakadilan sosial,
perlu setiap kelas secara otonom menentukan visi dan misi sesuai perkembangan formasi
sosial, bagaimana mereka memperjelas keberpihakan terhadap proses ketidakadilan sosial,
serta bagaimana mereka menterjemahkan semua itu dalam metodologi pendidikan. Oleh
karena itu metode dan teknik pendidikan 'hadap masalah' menjadi salah satu kegiatan
strategis untuk merespon sistem dan diskursus yang dominan. Persoalannya, proses
pendidikan kelemahannya dan sekaligus kekuatannya, seringkali menjadi arena yang paling
tidak terkontrol dan tidak termonitor. Sehingga diperlukan mekanisme yang memungkinkan
peserta didik menjadi subjek dan pusat kegiatanpendidikan. Oleh karena itu orientasi untuk
setiap peserta pendidikan adalah menghayati visi dan misi pendidikan mereka. Yang jauh
lebih penting adalah kesadaran kritis peserta didik sangat diperlukan jika pendidikan hendak
meletakkan peserta didik sebagai subjek dan pemonitor. Kesadaran kritis perlu agar proses
dan metode pendidikan dapat menuju pada tujuan sesungguhnya yakni sebuah transformasi
sosial.
Untuk itu perlu ditunjukkan bagaimana proses 'penyadaran kritis' itu beroperasi
dalam metodologi pendidikan sehingga secara teknis metode tersebut dapat dilakukan. Secara
konkret perlu dijabarkan bagaimana teori pendidikan 'konsientisasi' yang menjadi pemikiran
dasar Paulo Freire dipraktikkan, dan disajikan dalam bentuk uraian yang mudah ditangkap.
Dengan cara penyajian dan analisis seperti ini diharapkan memberi inspirasi bagi setiap
4
kalangan yang ingin mengetahui lebih mendalam metode pendidikan Paulo Freire. Dasar
terpenting dari metodologi Freire ini adalah meletakkan peserta didik sebagai subyek
pendidikan. Secara lebih khusus melalui metodologi Freire akan ditunjukkan bagaimana
ideologi di balik metode penyelenggaraan pendidikan dibongkar. Oleh karena itu pendirian
teoretik dan paradigma pendidikan pembebasan Freirean memang akan memberikan inspirasi
alternatif bagi semua, kalangan yang memerlukan perubahan pendidikan secara mendasar.
Seperti, penting kiranya untuk dikupas secara lebih mendalam bagaimana operasionalisasi
dari berbagai ideologi serta perspektif dunia pendidikan yang berkembang.
Dalam perspektif kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap
sistem dan 'ideologi yang dominan' yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang
sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu
masyarakat yang adi. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan
ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan sruktur ketidakadilan sosial, serta
melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial
yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, objektif maupun dari kondisi
masyarakat sekitar lembaga pendidikan.
Visi kritis pendidikan terhadap sistem dominan digunakan sebagai bagian pemihakan
terhadap rakyat kecil dan yang tertindas. Metode ini digunakan bagi muneulnya sistem sosial
baru yang lebih adil dan yang selama ini menjadi cita-cita pendidikan Freirean. Dalam
perspektif Freirean, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan
menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama
pendidikan adalah 'memanusiakan' kembali manusia yang mengalami 'dehumanisasi' karena
sistem dan struktur yang tidak adil. Paham pendidikan Freirean ini cocok dengan paradigma
transformatif. Pendidikan dalam perpektif ini juga menjadi arena kritik ideologi. Dalam
pelatihan bagi para buruh misalnya, peserta pendidikan perlu ditantang untuk memahami
proses eksploitasi yang mereka alami, serta memikirkan proses pembebasan dari alienasi dan
eksploitasi buruh, disamping penekanan pada teori motivasi kerja demi efisiensi yang hanya
menguntungkan akumulasi kapital. Demikian halnya dalam konteks pendidikan pertanian
misainya, para petani saat ini sering diarahkan hanya untuk memenuhi ambisi produktivitas
dan efisiensi. Ambisi ini muncul karena pandangan pertanian yang didominasi oleh ideologi
Revolusi Hijau dan rekayasa genetika. Dengan metodolog;i pendidikan Freirean, petani
difasilitasi untuk mempertanyakan relasi kekuasaan yang selama ini mengambil peranan besar
dalam mempermainkan keidupan mereka. Dalam konteks itulah pilihan paradigma pendidikan
memainkan peran strategis untuk proses perubahan dan transformasi sosial.
5
tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih
menyalahkan subjeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang orang
miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah
mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil
meraih sesuatu. Banyak orang ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh
karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai
giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan
dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat
dalam mencairkan konflik dan kontradiksi.
6
atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan
masyarakat dianggap tidak stabil karena kepentingan-kepentingan anggotanya yang tidak
stabil.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui
proses persaingan antar murid. Pembuatan ranking untuk menentukan murid terbaik, adalah
implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam
berbagai pendekatan andragogy" seperti dalam pelatihan manajemen kewiraswastaan dan
manajemen lainnya. Achievement Motivation Training (AMT) yang diciptakan oleh David
McClelland adalah contoh terbaik pendekatan liberal. Mclelland berpendapat bahwa akar
masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakannya
"N Ach". Oleh karena syarat pembangunan bagi rakyat Dunia Ketiga adalah perlu virus N
Ach yang membuat individu agresif dan rasional (McClelland, 1961). Berbagai pelatiha
pegembangan masyarakat (Community Development) seperti usaha bersama, intensifikasi
perlanian dan lain sebagainya, umunmya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.
Positivisme juga berpengaruh dalam pendidikan liberal. Positivisme sebagai suatu
paradigma ilmu sosial yang dominan dewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan
Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode
dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar
pada tradisi ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam
menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui
metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme
berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap appropriate semua fenomena. Oleh karena
itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan
nletode ilmiah yakni objektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah
yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode "scien-
tific". Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka
menuju pada pemahaman objektif atas realitas sosial. Habermas, seorang penganut Teori
Kritik melakukan kritik terhadap positivisme dengan menjelaskan berbagai kategori
pengetahuan sebagai berikut. Pertama, adalah apa yang disebutnya sebagai "instrumental
knowledge" atau positivisme dimana tujuan pengetahuan adalah untuk mengontrol,
memprediksi, memanipulasi dan eksploitasi terhadap objeknya. Kedua adalah "hermeneutic
knowledge" atau "interpretative knowledge", dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk
memahami. Ketiga adalah "critical knowledge" atau emancipatory knuwledge yakni suatu
pendekatan yang dengan kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini menempatkan ilmu
pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan potensi manusia. Paradigma pendidikan
liberal pada dasarnya sangatlah positivistik.
7
(detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap
sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta
sistem sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu
menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk
transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah "memanusiakan"
kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil
8
3. Kesadaran Kritis (Critical Consciousness)
Kesadaran Kritis lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Pendekatan structural menghindari "blaming the victims" dan lebih menganalisis untuk seeara
kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada
keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu
mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu
melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana
mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang
dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang
secara fundamental baru dan lebih baik.
9
hadap siapa, pendidikan sulit diharapkan menjadi institusi kritis untuk pembebasan dan peru-
bahan sosial. Pendidikan juga perlu melakukan identifikasi isu-isu strategis dan menetapkan
visi dan mandat mereka sebagai pendidikan untuk pemberdayaan. Tanpa pemihakan, visi,
analisis, dan mandate yang jelas, pendidikan tanpa disadari telah menjadi bagian dari 'status
quo' dan ikut melanggengkan ketidakadilan. Bahkan tanpa pemihakan yang jelas, pendidikan
hanyalah menjadi alat penjinakan atau alat hegemoni diri sistem dan ideologi kelompok
dominan. Ideologi dan pendirian pendidikan ini akan berimplikasi terhadap metodologi dan
pendekatan, serta yang lebih penting dalam proses belajar mengajar.
10
Lewat pendidikan gaya Freire, kaum tertindas, seperti kaum buruh yang
tereksploitasi namun menerima eksploitasi mereka dengan sukarela, akan terbangun
kesadarannya. Para buruh tani, kaum miskin kota, masyarakat adat, dan kelompok-kelompok
tertindas lainnya, melalui pendidikan Freire, didorong untuk membe'baskan diri dari segala
bentuk penindasan. Dibebaskan untuk menjadi manusia kembali, manusia yang bebas dari
penindasan. Dengan memanfaatkan metode Freire, pendidikan akan berlangsung dalam
kesadaran yang membebaskan. Melalui metode Freire dominasi pada sistem pendidikan akan
dienyahkan. Tentu ini adalah sebuah proses yang akan membawa negeri ini ke dalam masa
depan yang lebih baik. Sebuah masa depan yang menjanjikan keberpihakan kepada kaum
yang tertindas.
REFERENSI
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, Cet. III., 2000.
Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan, Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas,
Yogyakarta, Kanisius, Cet. I., 2001.
Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Proses, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,. I., 2001.
Paulo Freire, & Ira shor, Menjadi Guru Merdeka, Yogyakarta, LKiS, Cet. I., 2001.
Joy A. Palmer, 50 Pemikir Pendidikan, Yogyakarta, Jendela, Cet. I., 2003.
Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet.I., 2001.
Darmaningtiyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis, Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 1999.
H.A.R, Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural,
Magelang, Indonesiatera, Cet. I., 2003.
Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu, Yogyakarta, PP., INSIST, Cet. III., 2001.
M. Escobar, Sekolah Kapitalisme yang Licik, Yogyakarta, LKiS, Cet. III., 2001.
Naim, Ngainun, Rekonstruksi Pendidikan Nasional; Membangun Paradigma yang
Mencerahkan (Yogyakarta: Teras, 2009).
Santoso, Nur Sayyid, Manifesto Wacana Kiri: Membentuk Solidaritas Organik (Buku
Panduan Pelatihan Basis PMII, Tahun 2012).
Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007
Brown, Francis J., Educational Sociology, New York: Prentice-Hall. Inc., 1970.
Koentjaraningrat, 2005, Pengantar Ilmu Antropologi I & II, Jakarta, Rineka Cipta.
Maliki, Zainuddin, Sosiologi Pendidikan, Yogyakarta: UGM Press.
Nasution, Sosiologi Pendidikan, Bandung: Jemmars, 1983.
St Vembrianto, 1993, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, PT. Gramedia.
Sanapian Faisal,tth, Sosiologi Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional.
Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta:
Kanisius, 1990.
Rahman, Fazlur, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman; Studi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999.
Bukhori, Mukhtar, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Danim, Sudarwan, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003.
Faqih, Mansour, Sesat Pikir Teori Pembangunan & Globalisasi, INSIST, 2001.
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21, Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1988.
Makhalli, Imam & Musthofa, Pendidikan Islam & Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2004.
11