Anda di halaman 1dari 4

Tugas 3 Antropologi Gender dan Seksualitas

Pemaknaan Hijab: Identitas Diri dan Moralitas Seksual

Oleh Adita Priscilla, 1506684533

Setiap manusia memiliki identitasnya masing-masing, identitas itu dikonstruksikan oleh


masing-masing individu sebagai apa ia ingin dipandang dan bagaimana dirinya yang hendak
ditampilkan bagi orang lain. Giddens (1991) menyampaikan bahwa identitas diri tercipta dari
kemampuan untuk mempertahankan narasi perihal diri, dan dengannya membangun perasaan
yang konsisten mengenai kesinambungan biografis. Menurutnya, cerita identitas (identity story)
adalah usaha menjawab pertanyaan penting: “Apa yang akan dilakukan? Bagaimana bertindak?
Akan menjadi siapakah aku?” Individu berusaha membangun narasi identitas dengan “menyusun
lintasan perkembangan diri dari masa lalu ke masa depan yang telah diantisipasi”. 1 Oleh karena
itu, identitas diri bukanlah suatu ciri, atau sekumpulan ciri khas yang dimiliki individu, tetapi
merupakan ‘diri sebagaimana dipahami orang itu secara spontan terkait dengan biografinya’.

Sejak zaman dahulu, pakaian sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas
diri. Secara sadar maupun tidak sadar setiap manusia menyisipkan sebuah makna yang tercermin
dari pakaian dan penampilannya. Seseorang menyisipkan pesan bagaimana ia ingin terlihat dan
diperlakukan tercermin dari pakaian yang dikenakannya, karena penampilan memiliki pengaruh
yang besar dalam membentuk citra diri atau kesan terhadap pemakainya. Saat seseorang
mengubah penampilannya, identitas yang melekat padanya juga dapat berubah. Tulisan ini
membahas mengenai bagaimana hijab dimaknai sebagai identitas diri seseorang dan bagaimana
hijab dipandang sebagai moralitas seksual bagi penggunanya.

Pembentukan identitas takkan bisa terpisahkan dari lingkungan, karena lingkungan


adalah hal yang paling berpengaruh terhadap penampilan. Identitas seseorang yang
dipresentasikan melalui penampilan tidak berlaku saat pengaruh lingkungan jauh lebih kuat
daripada keinginan diri sendiri. Seperti dalam tulisan To Cover the Aurat yang ditulis oleh Lyn
Parker dalam penelitiannya di Minangkabau. Di Minangkabau remaja perempuan kewajiban
untuk berhijab yang diterapkan di sekolah. Hal ini sesuai bahwa lingkungan memiliki pengaruh

1 Giddens (1991) dalam Barnard (2011: 219)


yang signifikan dalam membentuk identitas diri seorang remaja perempuan Minangkabau untuk
menggunakan hijab. Namun meskipun lingkungan memiliki peran signifikan, perempuan tetap
memiliki agensi terhadap dirinya, yang dalam tulisan Lyn Parker tersebut dicontohkan ada
seorang perempuan yang hanya memakai hijab ketika di sekolah, namun ketika dirumah ataupun
tempat lain selain sekolah, perempuan tersebut tidak mengenakan hijab. Contoh tersebut
merupakan realitas yaitu bahwasannya setiap manusia memiliki agensi terhadap dirinya sendiri,
meskipun terikat pada lingkungan yang mewajibkan penggunaan hijab. Hijab juga dilambangkan
sebagai bentuk moralitas seksual dimana seorang perempuan yang mengenakan hijab dianggap
lebih memiliki moral yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengenakan
hijab. Perempuan yang mengenakan hijab terkonstruksi sebagai perempuan yang mulia dan suci,
sehingga identitas diri wanita yang mengenakan hijab dimaknai sebagai wanita yang memiliki
moralitas yang teruji baik.

Dari tulisan To Cover the Aurat karya Lyn Parker yang memiliki fokus kajian di
Minangkabau, kurang lebih serupa dengan apa yang terjadi di masa sekarang ini khususnya
Jakarta. Berdasarkan pergaulan sehari-hari saya dengan teman-teman saya yang berhijab maupun
tidak, penggunaan hijab memang dianggap sebagai simbol dari identitas diri seorang perempuan
Muslim yang memiliki moral yang baik. Berdasarkan cerita dari teman saya, yang juga salah satu
mahasiswa Antropologi. Bahwa ia terlahir di keluarga dengan seluruh anggota perempuannya
berhijab. Sehingga sejak kecil ia diajarkan dan dibiasakan untuk mengenakan hijab, dan ia selalu
mengenakan hijab ketika bersama keluarganya. Namun, saat berada di area tempat dimana ia
tidak bersama keluarganya, misalnya di kampus ataupun saat berpergian dengan teman ataupun
pacarnya, ia tidak mengenakan hijab. Hal tersebut dikarenakan ia merasa bahwa jilbab adalah
formalitas dari suruhan orang tuanya, dan ia merasa mengenakan hijab haruslah didasari dari
hati. Hal ini menunjukan bahwa setiap orang memiliki agensinya sendiri untuk menujukan
identitasnya, dari contoh diatas dapat terlihat bahwa identitas diri seseorang dapat berbeda sesuai
dengan apa yang ingin ditunjukan oleh individu tersebut, dan dengan siapa individu tersebut
ingin menunjukan identitasnya. Bagi teman saya lainnya yang mengenakan hijab, selain sebagai
kewajiban wanita muslim, hijab dimaknai sebagai pakaian yang melindungi dirinya terutama dari
kejahatan seksual. Ia menganggap bahwa perempuan yang mengenakan hijab akan terlindungi
dari pandangan laki-laki, sehingga menggunakan hijab membuatnya nyaman dan dianggap dapat
menjauhkan dari segala bentuk kejahatan, terutama kejahatan seksual. Selain itu, ia juga
menjadikan hijab sebagai trend fashion dan menganggap dirinya terlihat lebih cantik saat
menggunakan hijab, karena saat ini hijab sudah memiliki berbagai model yang modern dan
tentunya mengikuti perkembangan zaman.

Hijab dapat dimaknai dan direpresentasikan berbeda oleh setiap perempuan, baik yang
mengenakannya maupun tidak. Hijab sebagai kewajiban berpakaian bagi wanita muslim namun
dibalik itu semua terdapat pemaknaan yang beragam dan mencerminkan identitas diri yang
terkait dengan moralitas seksual perempuan. Di Indonesia, sebagai Negara dengan penduduk
mayoritas Muslim, seseorang yang mengenakan hijab, umumnya ingin menunjukan identitas diri
sebagai wanita Muslimah yang suci, mulia, dan taat beragama. Sehingga, ketika seorang wanita
tidak mengenakan hijab, dianggap sebagai wanita non Muslim, ataupun wanita Muslim namun
belum memiliki akhlak dan moral yang sebaik wanita berhijab. Namun, ada pula perempuan
yang memaknai hijab dengan perspektif berbeda, dimana hijab hanya dianggap sebagai paksaan
dan kewajiban dari sekolah ataupun lingkungan. Sehingga ketika ia tidak berada suatu area
ataupun tempat dimana tidak adanya kewajiban untuk berhijab, maka ia tidak mengenakan hijab.
Ada pula yang melihat hijab sebagai trend fashion, bahwa hijab dimaknai sebagai pakaian yang
modis, elegan, dan menjadikan penggunanya terlihat lebih cantik. Meski alasan menggunakan
jilbab adalah karena jilbab merupakan pakaian wajib bagi perempuan muslim, terkadang secara
sadar ataupun tidak, hijab tersebut mengabaikan beberapa aturan berjilbab dalam Islam dan lebih
terpusat pada perkembangan trend. Meski demikian, adanya variasi model, bahan, dan aksesoris
jilbab membuat perempuan muslim tertarik untuk mengenakannya.

Dari berbagai perspektif dan makna yang berbeda mengenai hijab, kita dapat mengetahui
bahwa hijab dapat menjadi simbol dari identitas dan citra diri seorang perempuan yang
menunjukan moralitas seksualnya. Yaitu seperti apa ia ingin dipandang, diperlakukan, dan
bagaimana ia merepresentasikan dirinya terhadap lingkungannya. Ketika seseorang mengenakan
hijab maka secara moralitas ia dinilai telah melaksanakan kewajibannya sebagai wanita muslim.
Namun hal tersebut tidak dapat terlepas dari lingkungan dan agensi diri mereka sebagai
perempuan. Ketika lingkungan mewajibkan penggunaan hijab, namun disaat yang sama individu
juga memiliki agensi dirinya untuk berperilaku diluar konteks yang dikonstruksi oleh
lingkungannya. Hal inilah yang menjadikan pemaknaan hijab dapat berbeda-beda namun akan
selalu terkait dengan identitas diri dan moralitas seksual bagi perempuan.
Refrensi:

Barnard, Malcolm. 2011. “Fashion sebagai Komunikasi, Cara Mengomunikasikan


Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender”. Yogyakarta: Jalasutra.

Parker, L. 2008. “To Cover the aurat: Veiling, Sexual Morality and Agency among the
Muslim Minangkabau, Indonesia”, Intersections, no.16

Anda mungkin juga menyukai