Anda di halaman 1dari 4

Conjunctive Faith Menurut James Fowler

Nama: Wira Candika

NIM: 102016211

Kelas: A

Conjunctive faith adalah salah satu dari enam tahap perkembangan iman menurut James
Fowler. Conjunctive faith adalaha tahap ke-lima yang dapat dicapai manusia dalam
perkembangan imannya. Sebelumnya, tahap perkembangan iman menurut James Fowler
dikategorikan berdasarkan kedewasaan pribadi dan iman seorang manusia. Conjunctive faith
adalah tahap yang hanya dapat dicapai setelah seseorang telah matang secara mental, pribadi,
dan iman.

Menurut Fowler, sebagian orang dewasa telah memasuki tahap ini. Mereka mampu
menganalisis pandangan-pandangan yang dianggap saling bertentangan dan bersikap lebih
terbuka terhadap pandangan yang berbeda. Tetapi, logika dan penalaran seseorang yang
terbatas dapat menjadi masalah, karena tidak mampu memahami kerumitan ajaran dari
agamanya. Bagi sebagian orang yang lebih banyak menonjolkan intelektualitasnya, sikap
kritis terhadap ajaran agama orang tersebut menimbulkan dampak negatif dan positif. Contoh
dampak negatif adalah, orang tersebut mungkin akan keluar dari kelompok agamanya dan
berusaha mendirikan aliran sendiri, atau bahkan bisa murtad dari agamanya. Sedangkan dari
sisi positif, orang yang bersikap kritis tersebut akan mempelajari tentang ajaran agamanya
dengan lebih mendalam untuk memahami dan memperkuat kepercayaannya.

Pada tahap conjunctive faith, seseorang akan merasa keadilan yang merata tanpa
memperhatikan perbedaan agama, suku, ras, dan bangsa adalah hal yang penting.
Kedewasaan pemikiran seperti itu akan membuat seseorang berusaha untuk mempersatukan
semua pemikiran-pemikiran yang berbeda guna memperkuat dan mempertahankan
kepercayaan mereka masing-masing.
Seseorang yang telah mencapai tahap conjunctive faith memiliki beberapa karakteristik.
Orang tersebut mampu memahami perbedaan kepercayaan yang dianut orang lain, dan akan
membantu sesama sebaik mungkin. Orang tersebut mampu memahami sesuatu yang bersifat
simbolik dari kepercayaan yang mereka anut sebagaimana mereka memahami ajaran yang
bersifat teori dan menyelaraskannya untuk mendalami kepercayaan yang dianut. Sikap kritis
akan ditunjukkan orang tersebut dalam menghadapi sesuatu seperti mitos dan prasangka yang
terdapat dalam lingkungan sosial, tradisi keagamaan dan dalam suatu kelompok etnis tertentu.
Dalam suatu komunitas orang yang telah mencapai tahap conjunctive faith, mereka
memerlukan suatu panutan sebagai pembina moral, karena orang yang berada pada tahap
conjunctive faith memiliki kemungkinan untuk membentuk suatu kepercayaan yang mereka
yakini sendiri karena mempertanyakan kepercayaan yang saat ini mereka anut. Selain itu,
pada tahap ini, orang mampu menyelesaikan permasalahan dengan baik, karena mereka tidak
memandang permasalahan hanya dari satu sisi, melainkan dari kedua sisi. Mereka mampu
menganalisa permasalahan dan membuat keputusan yang lebih matang untuk menyelesaikan
permasalahan. Mereka percaya bahwa suatu hal memiliki keterkaitan dengan hal lain, sebagai
contoh, seseorang dapat hidup dengan benar karena mereka mencintai kehidupan mereka
sendiri, dan karena adanya pekerjaan yang baik untuk menghidupi keluarga. Orang yang telah
mencapai tahap ini sudah mengerti bahwa ego diri masing-masing tidak boleh mengambil
alih atas diri sendiri, ini sebagai bukti bahwa kedewasaan pemikiran mereka telah
berkembang sehingga mampu mengendalikan ego dan berpikir jernih. Keyakinan yang
diketahui yang berasal dari cerita-cerita, simbol, dan tradisi dirasa kurang cukup untuk
memahami apa yang dimaksud dengan Tuhan, karena mereka meyakini masih ada hal lain
yang belum terungkap untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan Tuhan bagi mereka.
Disamping itu, orang-orang yang telah mencapai tahap conjunctive faith adalah pribadi yang
sangat menghargai simbol-simbol, mitos, dan ritual dari keberagaman kepercayaan yang ada.

Tetapi conjunctive faith memilii kelemahan. Jika seseorang terlalu larut dalam keberagaman
yang ada, maka orang tersebut dapat kehilangan identitas. Misalnya, orang tersebut
meninggalkan kelompoknya karena ada beragam kelompok lain yang dirasanya lebih cocok
untuknya.
Sebagai kesimpulan, untuk mencapai tahap conjunctive faith tidaklah mudah. Perlu proses
untuk mengembangkan diri agar pribadi dan pemikiran seseorang menjadi lebih dewasa.
Selain itu, proses belajar dan interaksi dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda
untuk menambah wawasan juga mempengaruhi perkembangan pemikiran seseorang.
Semakin banyak seseorang belajar dan berinteraksi, semakin berkembanglah kedewasaan
pemikirannya hingga akhirnya mampu bersikap terbuka terhadap berbagai pemikiran dan
timbul ketertarikan untuk mempelajarinya. Jika seseorang telah mencapai tahap conjunctive
faith, maka orang tersebut mulai menyadari keterbatasan logika untuk menjelaskan tentang
kepercayaan yang mereka anut. Oleh karena itu, mereka akan mempelajari berbagai ajaran
dan tradisi dari kepercayaan yang berbeda sebagai wawasan yang berguna untuk mengkritisi
kepercayaan yang mereka anut. Tetapi, karena sikap kritis tersebut, tidak menutup
kemungkinan bahwa mereka akan melepaskan kepercayaan yang mereka anut saat ini untuk
membentuk suatu kepercayaan baru dari pemikiran mereka sendiri yang dianggap lebih benar
dari kepercayaan mereka yang sebelumnya atau bahkan menjadi murtad. Pada sisi baiknya,
jika semakin banyak orang yang mencapai tahap conjunctive faith, maka kedamaian antar
manusia mungkin terwujud, karena pemikiran yang lebih dewasa dan penyelesaian masalah
yang baik dapat menghindari konflik yang berarti. Pertukaran pendapat juga akan berjalan
dengan baik karena sifat terbuka yang dimiliki, selain itu, yang paling penting adalah sikap
untuk saling menghargai perbedaan antar manusia.

Referensi

1. Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo


2. http://www.psychologycharts.com/james-fowler-stages-of-faith.html
3. http://www.niu.edu/grad/thesis/pdf/examples/table-continued.pdf

Anda mungkin juga menyukai