Anda di halaman 1dari 9

“PENDEKATAN PSIKOANALITIK DALAM KONSELING”

A. Tingkah Laku Salah Suai

Menurut Freud, aneka situasi menekan yang mengancam akan menimbulkan


kecemasan dalam diri seseorang. Kecemasan ini sebagai peringatan bahaya
sekaligus kondisi tak menyenangkan yang harus diatasi. Jika individu mampu
mengatasi sumber takanan (stressor), kecemasan akan hilang. Sebaliknya, jika
gagal dan kecemasan terus mengancam dengan intensitas yang meningkat pula,
aka individu akan menggunakan salah satu atau beberapa bentuk mekanisme
pertahanan diri.

Pertahanan diri secara superfisial dapat membebaskan individu dari


kecemasannya, namun akibatnya dapat timbul kesenjangan antara pengalaman
individu dan realitas. Misalnya, seorang pemuda yang kecewa berat karena
cintanya pada seorang wanita ditolak, akhirnya dia menghibur diri dengan
mengatakan bahwa masih ada banyak gadis yang lain. Dalam hal ini, rasa frustasi
memang terobati, namun sesungguhnya ia tak dapat menyangkal bahwa diantara
gadis-gadis yang lain itu tidak ada gadis yang sama seperti gadis yang
didambakannya.

Jika pemuda itu tak mampu menyadari dan menerima hal itu, sehingga ia
merasa bahwa semua gadis lain tak berbeda dengan gadis yang pernah ia puja, ini
berarti kesenjangan antara pengalaman pribadinya dan realitas menjadi sangat
ekstrem, dan perilakunya pun akan terganggu.

Untuk menolongnya, sumber gangguan berupa frustasi berat yang ditekan ke


dalam ketidaksadaran itu harus dibongkar, diangkat ke permukaan untuk
selanjutnya diterima atau diakui dan diatasi melalui teknik psikoanalisis.

B. Tujuan Konseling

Tujuan utama psikoanalisa adalah untuk mengurangi simptom psikopathologi


dengan memunculkan pikiran dan perasaan-perasaan yang tertekan atau direpresi
ke dalam alam kedasarannya. Dengan kata lain membentuk kembali struktur
kepribadian klien dengan menggali kembali hal-hal yang terpendam dalam alam
ketidaksadarannya sehingga menjadi bagian dari alam kesadarannya. Untuk itu,
dalam prosesnya rintangan-rintangan harus dapat diatasi, walaupun memerlukan
waktu yang cukup lama, sulit, dan mungkin menyakitkan. Sedangkan agar
berhasil, penting untuk melibatkan emosi sebagai bagian dari proses konseling
serta menjadikan pemahamannya sebagai bagian dari upaya meningkatkan
kesadaran dirinya dengan mengkoreksi terhadap pengalaman-pengalaman
emosionalnya.

Sumber konflik adalah materi-materi yang tertekan pada alam


ketidaksadaran, terutama yang terjadi pada awal kehidupannya. Untuk itu,
konselor harus dapat membantu dan memotivasi klien agar mampu menghayati
dan mengekspresikan pengalaman-pangalaman masa lampaunya secara terbuka,
untuk selanjutnya ditata, didiskusikan, dianalisa, dan ditafsirkan dengan tujuan
utama untuk merekontruksikan kepribadiannya. Dengan demikian, anak
berkebutuhan khusus sebagai klien dapat secara sadar mampu membuat pilihan-
pilihan dan memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam menyatakan perasaan
maupun dalam bertindak sebagai wujud pemahaman baru terhadap
kepribadiannya.

C. Proses Konseling

1) Tujuan therapi psikoanalisa


Tujuan psikoanalisis bervariasi bergantung pada klien, tetapi fokus utamanya
pada penyesuaian pribadi, biasanya memicu reorganisasi kekuatan internal di
dalam diri seseorang. Pada kebanyakan kasus tujuan utamanya adalah membantu
klien agar lebih menyadarai aspek-aspek tidak sadar dalam kepribadiannya dan
untuk menghadapi reaksi-reaksi kini yang mungkin disfungional.
Selanjutnya, tujuan utama yang kedua, seringkali berkaitan dengan yang
pertama, adalah membantu klien menghadapi tahap perkembangan yang belum
terpecahkan. Jika tercapai, kebuntuan yang dirasakan klien akan lenyap dan dia
dapat hidup lebih produktif. Untuk menghadapi tahap perkembangan yang belum
terpecahkan dibutuhkan rekonstruksi kepribadian secara besar-besaran.
Sedangkan tujuan akhir psikoanalisis adalah membantu klien menghadapi
tuntutan masyarakat tempat dimana ia hidup. Teori ini menekankan pada
penyesuaian lingkungan, khususnya dalam bidang pekerjaan dan keintiman.
Fokusnya adalah memperkuat ego sehingga persepsi dan rencana akan menjadi
lebih realistis.
2) Helping relationship
Dalam teori ini, fungsi terapis adalah sebagai penganalisa dan
penginterpretasi, perannya adalah: (a) menolong klien mendapatkan self-
awarenessnya, kejujuran dan relationship personal yang efektif dalam
menghadapi kecemasan dan dalam memperoleh kontrol atas perilaku yang
impulsif dan irasional, (b) menciptakan hubungan kerja dengan klien,
mendengarkan dan menginterpretasi, (c) memperhatikan resistensi klien
sementara ia pun mendengarkan dan mempelajari kapan mengajukan pertanyaan
yang tepat. Kesemuanya berfungsi untuk mempercepat menampilkan bahan-
bahan yang tidak disadari, (d) therapis mendengarkan gap dan ketidak
konsistenan pada cerita klien, sambil sekali-sekali menyisipkan makna mimpi dan
asosiasi bebas si klien dan peniliti.
Dengan cara mengorganisasi proses penyembuhan ini dalam konteks
pengertian atas struktur kepribadian dan psikodinamika maka therapis mampu
memformulasikan sebab dari pada problem yang dihadapinya. Proses yang
dinyatakan di atas dimaksudkan untuk:
a) Mengajar klien tentang makna proses yang berlangusng sehingga ia dapat
memperoleh insight atas problemnya
b) Meningkatkan kesadaran klien atas cara-cara perubahan. Dengan demikian
memperoleh kontrol rasional yang lebih banyak lagi.

D. Teknik Konseling

1) Asosiasi bebas

Secara mendasar, tujuan teknik ini adalah untuk mengungkapkan


pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan
pengalaman traumatik masa lampau.

Dalam psikoanalisa tradisional, penerapan teknik asosiasi bebas ini dilakukan


dengan klien berbaring di dipan dan konselor duduk di kursi sejajar dengan
kepala klien, sehingga klien tidak melihat konselor. Dengan demikian, klien dapat
mengungkapkan atau menyalurkan materi-materi yang ada dalam
ketidaksadarannya secara bebas, terbuka, tidak menutup-nutupi tanpa harus malu,
meskipun materi tersebut menyakitkan, tidak logis, atau tidak relevan.
Selama berlangsung asosiasi bebas, konselor harus mampu menjadi
pendengar yang baik serta mendorong klien agar mampu mengungkapkan secara
spontan setiap ingatan yang terlintas dalam pikirannya, pengalaman traumatik,
mimpi, penolakan, dan pengalihan perasaannya.

Agar konselor dapat menginterpretasikan secara tepat apa yang dikatakan


klien, selama asosiasi bebas berlangsung konselor harus aktif memperhatikan
perasaan, ucapan- ucapannya, mencatat gerak tubuh, nada suara, dan bahasa
tubuh klien secara umum. Penting bagi konselor untuk mencermati kata-kata
yang muncul diluar kesadarannya (misal : salah ucap, atau kata-kata yang
kemudian diralat), serta menafsirkan segala sesuatu yang dimanifestasikan oleh
klien dengan menunjukkan arti dan maknanya tanpa disertai sikap berprasangka.

2) Interpretasi atau Penafsiran

Interpretasi atau penafsiran adalah teknik yang digunakan oleh konselor


untuk menganalisis asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi perasaan
klien dengan tujuan utama untuk menemukan materi yang tidak disadari. Dengan
demikian ego klien dapat mencerna materi tersebut melalui pemahaman baru dan
dengan penuh kesadaran.

Dalam memberikan penafsiran, konselor harus hati-hati serta dapat memilih


waktu dan kata-kata yang tepat agar klien tidak justru menjadi menutup diri atau
mengembangkan pertahanan dirinya. Untuk itu, penafsiran hendaknya bersifat
hipotetik, bukan menyatakan fakta, mendekati kesadaran klien, dimulai dari yang
sifatnya permukaan menuju ke arah yang mempunyai bobot emosional yang lebih
mendalam, serta dilakukan dengan terlebih dahulu menunjukkan pertahanan diri
klien sebelum ke hal-hal yang dianggap mendasarinya.

3) Analisis Mimpi

Bagi Freud mimpi adalah ekspresi simbolik dari kebutuhan- kebutuhannya


yang terdesak. Dalam keadaaan tidur, kesadaran manusia menjadi lemah, dan
pada saat itulah materi-materi dalam ketidaksadaran sulit untuk dikontrol,
diawasi, dan dikendalikan sehingga muncul ke permukaan. Sedangkan mimpi
adalah jalan utama bagi semua keinginan, kebutuhan, ketakutan, dan kecemasan
yang tidak disadari diekspresikan dalam bentuk simbolik. Representasi dari
dorongan-dorongan seksual yang tidak terpenuhi, perasaan berdosa, atau bentuk
penghukuman diri dari super ego.

Setiap mimpi memiliki isi yang bersifat manifes atau disadari dan juga yang
bersifat laten (tersembunyi). Isi yang bersifat manifes adalah mimpi sebagai
tampak pada diri orang yang mipi, sedangkan isi yang bersifat laten terdiri atas
motif- motif tersamar dari mimpi tersebut. Tujuan analisis mimpi adalah untuk
mencari isi yang laten atau sesuatu yang ada dibalik isi yang manifes, untuk
memenukan sumber-sumber konflik terdesak. Analisa mimpi hendaknya
difokuskan kepada mimpi- mimpi yang sifatnya berulang-ulang, menakutkan, dan
sudah pada taraf mengganggu.

4) Analisis Resistensi

Freud memandang bahwa resistensi merupakan suatu dinamika yang tidak


disadari untuk mempertahankan kecemasan. Resistensi atau penolakan adalah
keengganan klien untuk mengungkapkan materi ketidaksadaran yang mengancam
dirinya, yang berarti ada pertahanan diri terhadap kecemasan yang dialaminya.
Apabila hal ini terjadi, maka sebenarnya merupakan kewajaran. Namun, yang
penting bagi konselor adalah bagaimana pertahanan diri tersebut dapat diterobos
sehingga dapat teramati, untuk selanjutnya dianalisis dan ditafsirkan, sehingga
klien menyadari alasan timbulnya resistensi tersebut.

5) Analisis Transferensi

Transferensi atau pengalihan adalah pergeseran arah yang tidak disadari


kepada konselor dari orang-orang tertentu dalam masa silam klien. Pengalihan ini
terkait dengan perasaan, sikap, dan khayalan klien, baik positif maupun negatif
yang tidak terselesaikan pada masa silamnya

Teknik analisis transferensi dilakukan dengan mengusahakan agar klien


mampu mengembangkan transferensinya guna mengungkap kecemasan-
kecemasan yang dialami pada masa kanak-kanaknya. Apabila transferensi ini
tidak ditangani dengan baik, maka klien dapat menjadi bersikap menolak
terhadap perlakuan terapis dan proses terapi dapat dirasakan sebagai suatu
hukuman. Karena itu dalam menghadapi trasferensi, konselor harus mampu
bersikap obyektif, netral, anonim, dan pasif. Tidak mengembangkan sikap
perlawanan atau countertransference berupa respon-respon emosional tertentu
yang tidak disadari, karena akan sangat berbahaya bagi obyektivitas penyuluh
dalam memperlakukan kliennya.

E. Analisa Kasus Berdasarkan Psikonalisa

a. Identitas Klien

Nama : IK

Jenis kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Alamat : Padang

Status dalam keluarga : Anak kandung

Pekerjaan : Mahasiswa

b. Gambaran Masalah

Dari konseling yang telah saya lakukan dengan klien, saya mendapat
gambaran tentang masalah klien yang bahwasanya, klien adalah seorang yang
pendiam dikelas dan kurang bisa bergaul dengan lawan jenisnya, akan tetapi ia
tetap memiliki teman dekat perempuan. Masalahnya adalah klien menyadari
bahwa dirinya bermasalah dalam belajar. Rasa malas didalam dirinya sudah
tertanam dari ia sejak kecil, sehingga berdampak hingga sekarang.

Berdasarkan ungkapan klien, pada masa kecilnya dulu saat ia duduk di kelas
2 SD, ia mendapatkan sebuah pernyataan yang hingga kini masih tertanam
dibenaknya, yaitu orang tua lebih mengatakan lebih memilih untuk mencari uang
daripada mengajarinya belajar, dengan menggunakan kalimat seperti ini “Lebih
baik, ayah capek mencari uang di luar sana, dari pada mengajari dan menunggu
kamu yang lamban dalam belajar”.
Sejak menerima pernyataan yang dikeluarkan oleh ayahnya, semangat
belajarnya pun menurun, dan ia lebih memilih untuk tidak belajar sama sekali
daripada harus menunggu bantuan orang lain menjelaskan kepadanya.

Berdasarkan kasus yang diungkapkan oleh klien, dapat dianalisis berdasarkan


teori konseling psikoanalisis klasik yatu menilik kembali dasar – dasar atau latar
belakang dari munculnya tingkah laku tersebut.

c. Sebab Tingkah Laku salah Suai

Berdasarkan kasus yang diungkapkan klien dilihat dari segi perkembangan


kepribadiannya, klien mengalami perlakuan yang tidak sesuai dengan tahap
perkembangan kepribadiannya.

1) Tahap Laten : pada tahap ini, anak seharusnya pada masa rehat, dimana anak
bermain dengan teman sebaya. Pada tahap perkembangan ini, anak
seharusnya bisa memanfaatkan situasi belajar bersama dengan teman
sebayanya.

2) Tahap Genital : pada tahap inilah, klien saat duduk di kelas 2 SD, klien mulai
mendapatkan pernyataan bahwa dia seorang anak yang lamban, sehingga dari
pernyataan yang muncul dari orang tuanya membuat dia menjadi tidak
bersemangat dalam belajar dan akhirnya malas dalam belajar.

Ketidakberanian klien untuk meminta bantuan kepada orang lain untuk


mengajarkan dalam belajar, membuat dia semakin membiarkan situasi itu berlalu
begitu saja, sehingga saat dia sedang tidak mengerti dia akan tetap diam dan tidak
berusaha sendiri atau bertanya dan dampaknya hingga masa sekarang.

Pernyataan yang dikeluarkan oleh orangtua klien kepada klien, telah


memasuki alam bawah sadar klien terlalu dalam, sehingga klien ketidaksadaran
klien akan hal itu membuat ia merasa rugi sekarang. Ia menyadari kalau dirinya
bermasalah, namun klien belum dapat menyadari pada saat itu hal apa yang
memulai semua itu.

d. Tujuan Konseling
Untuk melepaskan tekanan yang selalu mendesak di alam bawah sadar klien
yang selama ini tidak dilepaskan agar bisa muncul kea lam sadar klien, dan
memberikan pemahama kepada klien maksud dari tekanan yang klien rasakan

e. Teknik Konseling

Dalam membantu klien mengatas permasalahannya, saya menggunakan


teknik asosiasi bebas. Yang mana dalam pelaksanaan konseling saya memberikan
kesempatan sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya untuk klien mengungkapkan
dan bercerita tentang apa yang dirasakannya dan dipikirkannya, sehingga klien
pun bisa mengungkapkan segala apa yang selama ini disimpan ataupun yang
dipendam klien selama ini.

Selain itu, klien juga dapat bercerita panjang lebar tentang kehidupannya
sejak kecil hingga ia sekarang sudah kuliah. Yang mana, pada masa kecilnya
orang tuanya kurang memberikan perhatian kepada dirinya. Orang tuanya sangat
mementingkan pekerjaan daripada mengurus dirinya dan saudara – saudaranya. Ia
lebih banyak dibantu oleh pembantu mereka namun ia mengabaikan begitu saja,
akibat tekanan dari pernyataan yang dikeluarkan oleh orang tuanya

KEPUSTAKAAN
Corey, G. (2005). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika
Aditama.
Komalasari, G, dkk. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: Indeks.

Prayitno & Amti, E. (2009). Dasar-dasar bimbingan konseling. Jakarta: PT Asdi


Mahasatya.
Taufik. (2002). Model-model konseling. Padang: BK FIP UNP.

Anda mungkin juga menyukai