Istilah paraphilia (kelainan seksual) pertama kali disebut oleh seorang psikoterapis bernama Wilhelm Stekel dalam bukunya berjudul Sexual Aberrations pada tahun 1925. Paraphilia berasal dari bahasa Yunani, para berarti "di samping" dan philia berarti "cinta".
Definisi mengenai paraphilia menjelaskan sebagai kondisi yang ditandai dorongan, fantasi, atau perilaku seksual yang berulang dan intensif, yang melibatkan objek, aktivitas atau situasi yang tidak biasa dan menimbulkan keadaan distress (stres yang berbahaya) yang meyakinkan secara klinis atau kerusakan dalam masyarakat, pekerjaan atau area fungsi-fungsi lainnya. 2. Jenis-jenis penyimpangan seksual 1. Ekshibisionisme: mempertunjukkan alat kelamin kepada orang yang tidak dikenal untuk mendapatkan kenikmatan seksual.
2. Fetisisme: umumnya menggunakan benda-benda khas wanita seperti bra, celana dalam, untuk mendapatkan kenikmatan seksual.
3. Froteurisme: kenikmatan seksual dengan menyentuh dan menggesek-gesekkan ke bagian sensitif orang yagn sedang tidak memperhatikan di tempat yang berdesakan.
4. Pedofilia: aktivitas seksual dengan anak-anak.
5. Masokisme seksual: kenikmatan seksual diperoleh jika secara fisik dilukai, diancam, atau dianiaya.
6. Sadisme seksual: kebalikan dari masokisme, yaitu kenikmatan seksual diperoleh jika menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis pada mitra seksual.
7. Fetisisme transvestik: dorongan seksual diperoleh dengan berpikir atau berimajinasi sebagai wanita, mengenakan baju wanita.
8. Veyourisme: kenikmatan seksual dengan mengintip orang lain yang sedang mengganti atau menanggalkan pakaiannya, telanjang, atau sedang beraktivitas seksual.
9. Paraphilia yang tak terdefinisikan, terdiri dari berpuluh-puluh jenis kelainan seksual lainnya, seperti nekrofilia (perilaku seksual dengan mayat), bestialiti (perilaku seksual dengan binatang), dan lain-lain. 2. 1. Scoptophilia: Senang melihat orang lain bersetubuh.
2. Voyeurisme: Senang mengintip wanita telanjang mandi.
3. Pedophilia : Senang melakukan hubungan sex dengan anak kecil di bawah umur.
4. Bestially: Senang melakukan hubungan seks dengan binatang (ayam, sapi, kambing, anjing, kuda dll).
6. Nymphomania: Wanita yang kuat nafsu seksnya, tak puas dengan satu lelaki, melakukan sex dengan banyak lelaki tetapi bukan pelacur.
7. Satyriasis: Lelaki yang kuat nafsu sexnya dan senang melakukan dengan banyak wanita.
8. Necrophilia: bernafsu atau senang melakukan hubungan seks dengan mayat.
9. Incest: Senang melakukan hubungan seks dengan keluarga sedarah (adik, kakak, ibu, bapak).
10. Zoophilia: Senang melihat hewan melakukan hubungan seks.
11. Molested: Senang mencari kesempatan untuk dapat melakukan pelecehan seks (misalnya dokter /dukun yang pura pura mau periksa kesehatan.
12. Trollisme: Lelaki yang suka pacar atau istrinya disetubuhi orang lain, setelah itu dia akan terangsang.
13. Wifeswapping: Senang mengganggu istri orang lain dan melakukan hubungan seks dengan istri orang lain, juga senang saling tukar pasangan untuk melakukan hubungan seks.
14. Exhibitionisme: Senang memperlihatkan alat vital di depan umum.
15. Sadomasokisme: tindakan melukai diri sendiri agar dapat terangsang.
16. Protterisme: Senang menggosok-gosokkan alat kelamin ke orang lain, ditengah keramaian Molested: Senang mencari kesempatan untuk dapat melakukan pelecehan seks (misalnya dokter /dukun yang pura pura mau periksa kesehatan. a. Fetitisme Penderita fetisisme banyak menggunakan benda mati sebagi cara eksklusif untuk mencapai kepuasan seksual. Fetisy dapat berupa suatu bagian dari tubuh wanita seperti bulu kemaluan, rambut. Dapat juga berupa pakaian atau benda lain milik wanita semacam Bra (BH), sepatu, dan barang lainnya. Ada pula yang berkaitan dengan fetisys di masa kecil. Kegiatan seksual dapat ditujukan pada fetisy itu sendiri seperti melakukan masturbasi menggunakan BH, lalu berejakulasi ke dalamnya. Atau, fetisy diintegrasikan dengan kegiatan seksual dengan orang lain, seperti menuntut agar pasangannya mengenakan BH warna tertentu atau sepatu berhak tinggi saat melakukan kegiatan seksual. Semua benda-benda itu mutlak dibutuhkan untuk dapat membangkitkan nafsu seksualnya. Termasuk dalam golongan fetisme adalah manekinisme yang fetisy-nya berupa manekin (patung pamer pakaian) di toko. Ada lagi pigmalionisme yang fetisy-nya berbentuk arca hasil pahatan. Istilah ini diambil dari nama raja Cyprus, Pygmalion, yang jatuh cinta kepada patung wanita hasil pahatannya sendiri.
b. Tranvetisme Terasa aneh kedengarannya penderita kelainan transvestisme. Pria heteroseksual dalam fantasinya atau secara aktual mengenakan pakaian wanita untuk membangkitkan nafsu seksual dan kemudian mendapatkan kepuasan seksual. Mengenakan pakaian wanita merupakan pernyataan identifikasi diri sebagai wanita (feminine identification). Jika keinginan mengenakan pakaian wanita tidak tersampaikan, ia akan frustrasi. Biasanya kelainan ini bermula sejak anak-nak atau remaja. Seperangkat pakaian yang disukai dapat menjadi benda yang merangsang nafsu seksualnya. Yang dikenakan mula-mula hanya terbatas cross-dressing parsial (hanya mengenakan pakaian wanita BH dan celana dalam), lama kelamaan, ia mengenakan pakaian wanita lengkap, cross-dressing total. Seiring dengan bertambahnya usia, kecenderungan untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui cara ini dapat berkurang atau bahkan hilang. Walaupun ada kalanya sejumlah transvestif muncul pada usia lebih lanjut, yang menghendaki mengenakan pakaian wanita dan hidup sebagai wanita secara tetap. Dalam kasus transeksualisme ini; penderita ingin berganti kelamin, menjadi seperti lawan jenis, dan tidak lagi mendapatkan kepuasan seksual hanya dengan cross- dressing. Penderita merasa dirinya benar-benar wanita.
3. Mekanisme secara psikologi Seperti dijelaskan Susan Noelen Hoeksema dalam bukunya Abnormal Psychology, lebih dari 90 persen penderita paraphilia adalah pria. Hal ini tampaknya berkaitan dengan penyebab paraphilia yang meliputi pelampiasan dorongan agresif atau permusuhan, yang lebih mungkin terjadi pada pria daripada wanita.
Penelitian-penelitian yang mencoba menemukan adanya ketidaknormalan testoteron ataupun hormon-hormon lainnya sebagai penyebab paraphilia, menunjukkan hasil tidak konsisten. Artinya, kecil kemungkinan paraphilia disebabkan ketidaknormalan hormon seks pria atau hormon lainnya.
Di sisi lain, penyalahgunaan obat dan alkohol ditemukan sangat umum terjadi pada penderita paraphilia. Obat-obatan tertentu tampaknya memungkinkan penderita paraphilia melepaskan fantasi tanpa hambatan dari kesadaran.
Paraphilia menurut perspektif teori perilaku merupakan hasil pengondisian klasik. Contohnya, berkembangnya bestialiti mungkin terjadi sebagai berikut: Seorang remaja laki-laki melakukan masturbasi dan memperhatikan gambar kuda di dinding. Dengan demikian mungkin berkembang keinginan untuk melakukan hubungan seks dengan kuda, dan menjadi sangat bergairah dengan fantasi demikian.
Hal ini terjadi berulang-ulang dan bila fantasi tersebut berasosiasi secara kuat dengan dorongan seksualnya, mungkin ia mulai bertindak di luar fantasi dan mengembangkan bestilialiti.
Lingkungan keluarga dan budaya di mana seorang anak dibesarkan ikut memengaruhi kecenderungannya mengembangkan perilaku seks menyimpang. Anak yang orangtuanya sering menggunakan hukuman fisik dan terjadi kontak seksual yang agresif, lebih mungkin menjadi agresif dan impulsif secara seksual terhadap orang lain setelah mereka berkembang dewasa.
Banyak penderita pedofilia yang miskin dalam keterampilan interpersonal, dan merasa terintimidasi bila berinteraksi seksual dengan orang dewasa. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa empat dari lima penderita pedofilia telah mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak. penyimpangan psikoseksual ini adalah timbulnya fantasi atau tindakan yang tidak lazim dan merupakan keharusan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Fantasi ini cenderung berulang secara mendadak dan terjadi dengan sendirinya. Penyebab utamanya berhubungan dengan faktor psikologis. Sedangkan gangguan fungsi karena kelainan atau gangguan organik pada alat kelamin tidak dimasukkan dalam parafilia Bila fantasinya tidak bisa dimanifestasikan dengan sesungguhnya, baik dengan pasangan maupun melakukan kegiatan sendirian, maka hal yang dibayangkan haruslah terdapat dalam fantasi yang menyertai masturbasi atau persetubuhan. Sebab pada saat itulah nafsu erotiknya bangkit, sebaliknya jika tidak terdapat fantasi parafilia yang dibayangkan, maka kepuasan seksual atau orgasme tidak akan tercapai. Para penderita parafilia sering 1. tidak mampu melakukan hubungan seksual yang penuh kasih sayang secara timbal balik. 2. disfungsi psikoseksual seperti nafsu seksual normal yang terhambat, ejakulasi dini, orgasme terhambat, atau pada wanita timbul diprapeunia (vagina terasa nyeri waktu melakukan hubungan seksual). 3. tidak merasa cemas atau depresi, meski dalam banyak kasus ada juga yang merasa bersalah, malu atau depresi karena seringnya melakukan kegiatan seksual tidak normal atau lazim. 4. Penderita rata-rata tidak merasa atau menganggap dirinya tidak sakit atau mengidap kelainan seksual, sampai ia mendapatkan perhatian dokter akibat perbuatan seksual itu yang menimbulkan konflik di sekitarnya 5. terdapat gangguan kepribadian, terutama dalam hal kedewasaan emosi. Sehingga hubungan sosial dan seksual terganggu bila perilaku seksualnya itu diketahui orang dekatnya, seperti istri, atau bila pasangan sesksualnya tidak lazim. Oleh karena itu, pendekatan kepada penderita hendaknya dengan penuh pengertian, tidak dengan menghakimi atau mempermasalahkan. Juga dicoba menyelami perasaan dan jiwa mereka karena acap kali gangguan itu terbentuk dari keinginan dan pengalaman masa lalu.
4. penatalaksanaan a. Tidak gampang untuk menangani para penderita parafilia. Karena mereka sering tidak menghendaki atau merasa tidak perlu mendapat terapi. Namun demikian, perlu ada beberapa terapi psikiatrik yang dapat dicoba. Pertama, melakukan pendekatan psikodinamik dan psikoanalitik (menggali pengalaman masa lalu yang menyebabkan kelainan kejiwaan). Kedua, Melakukan terapi perilaku yang terdiri dari aversive conditioning, yaitu conditioning untuk menimbulkan rangsangan (stimulus) terhadap lawan jenis. b. Atau mengukur tingkat birahi dengan pletismometris penis. Tentang terapi ini Prof. Arif Adimoelya, seorang ahli androlog dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, terapi aversion diperlukan untuk menghilangkan conditioning yang ada atau hal-hal yang menyebabkan kelainan psikoseksual. c. Penderita diberi kejutan listrik sementara disuguhi gambar-gambar atau film mengenai penyimpangan seksual. Khususnya pada voyeurisme dan ekshibisionisme, penderita hendaknya dipacu secara halus untuk lebih berani berkomunikasi langsung dengan lawan jenisnya, sehingga diharapkan lambat laun akan berani melakukan kontak badan langsung. Atau penderita diajari mengatasi rasa takut dan malu untuk mengungkapkan keinginan seks yang benar. d. Ketiga, karena umumnya penderita mempunyai sifat dasar kekurangan social skill (kecakapan sosial), maka mereka perlu disertakan dalam program terapi yang mengajarkan kecakapan sosial serta empati terhadap dunia sekelilingnya. Ditambah lagi terapi perilaku secara individual. e. Keempat, terapi farmakologi yang meliputi pemberian hormon wanita, anti androgen, dan obat-obatan golongan penghambat daur ulang serotonin yang biasanya digunakan untuk mengobati penderita depresi tetapi keberhasilan terapi ini tampak lebih disebabkan oleh penurunan nafsu birahinya. Terapi ini mungkin lebih efektif pada penderita parafilia bersifat hiperseks. f. Kelima, tidak kurang pentingnya perhatian masyarakat terhadap penderita. Mereka hendaknya tidak dicemoohkan tetapi diberi pengarahan agar berusaha menghilangkan kebiasaan yang memalukan tersebut. Daftar pustaka Abdillah, Asep Chabdra. 2008. Parafilia penyimpangan perilaku seks. Diakses tanggal 26 Januari 2010. www.UNCF.ORG/WaveofHope.
Budijanto, dkk.2002.Parafilia. diakses tanggal 25 Januari 2010. http://www.omnilogos.blogspot.com
Widyarini, Nilam. 2009. Kelainan seksual, apa penyebabnya.diakses tanggal 25 januari 2010. www. Kompas.com
Anonim a. 2006. Tourette syndrome. Diakses pada tanggal 20 Desember 2009. http://www.naset.org/fileadmin/user_upload/Pro_Development/Tourette_Syndrome.pdf