Terkadang kita sebagai individu pasti pernah merasakan perasaan lebih hebat dari
beberapa individu lain yang ada dalam hidup kita. Namun, ada saat dimana perasaan
tersebut membuat orang lain merasa resah dan tidak nyaman dengan cara kita
bersikap. Sebaliknya, mungkin kita pernah menghadapi orang lain yang memiliki
perasaan lebih hebat dibandingkan orang-orang lain di sekitarnya sampai di tahap
kita juga lelah dan malas menghadapi tingkahnya.
Perilaku ini disebut sebagai superiority complex. Penggunaan sebutan itu pertama
kali dikeluarkan oleh seorang ahli psikologi bernama Alfred Adler (Holland, 2019).
Adler mengatakan kalau perilaku ini sendiri sebenarnya dimiliki individu untuk
menutupi kekurangan yang dimiliki oleh individu tersebut. Dalam Holland (2019),
dijelaskan kalau superiority complex sendiri adalah sebuah perilaku dimana
seseorang mempercayai kalau ia lebih baik dibandingkan orang lain. Seseorang dengan
perilaku ini cenderung memiliki opini yang berlebihan mengenai diri mereka sendiri
dan percaya kalau kemampuan dan kesuksesan yang dimiliki melebihi orang lain.
Narasati (2019), menyatakan kalau kata superior biasanya diasosiasikan dengan laki-
laki. Hal ini dikarenakan laki-laki selalu memiliki cara untuk dapat terlihat lebih
hebat dengan kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah bagaimana konstruksi sosial
membuat peran laki-laki dianggap lebih sulit dan kompleks jika dibandingkan oleh
peran perempuan. Perasaan superiority yang dimiliki oleh laki-laki juga bisa saja
muncul dari adanya toxic masculinity dalam diri laki-laki.
Meskipun begitu, superiority complex sendiri tidak memandang gender. Perempuan juga
bisa saja memiliki superiority complex apabila memang ada faktor-faktor yang
mendukung untuk ia dapat berperilaku demikian.
Superiority complex sendiri tidak masuk dalam gangguan mental formal dan tidak ada
dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5)
(Holland, 2019). Meskipun begitu, psikolog klinis tetap bisa melakukan diagnosis
terhadap perilaku tersebut, psikolog selain melibatkan klien pada sesi tatap muka
dan sesi terapi, juga dapat melibatkan keluarga dan orang-orang yang terkena dampak
langsung perilaku Superiority Complex.
Meski individu dengan perilaku ini memiliki peluang kecil menjadi ancaman kepada
individu di sekitarnya, namun kebohongan yang terus-menerus dan hal-hal yang
dilebih-lebihkan dapat membuat orang-orang lain menjadi jengkel. Oleh karena itu,
kerabat dekat dapat menganjurkan dan membantu individu dengan superiority complex
untuk menemui terapis.
#SyahMP
#Menurutpsikologi
#MeaningfulPsychology