Anda di halaman 1dari 19

KONSEP PENDIDIKAN IBNU SINA DAN

RELEVANSINYA DENGAN DUNIA


MODERN

MUHAMMAD AMIN QODRI SYAHNAIDI


NIM: 18204010034
Latar Belakang

Ibnu Sina masyhur dikalangan Timur dan Barat sebagai seorang filosof, ilmuwan dan
ahli kedokteran. Akan tetapi, Ibnu Sina kurang terkenal sebagai salah satu tokoh yang
mencetuskan pemikiran dalam bidang pendidikan. Padahal Ibnu Sina juga merupakan
seorang tokoh pendidikan yang menelurkan pemikiran tentang pendidikan.
Oleh karena itu, menarik kiranya untuk membahas tentang konsep pendidikan Ibnu
Sina
Rumusan Masalah

 Bagaimana sketsa biografi Ibnu Sina ?


 Apa saja pokok pemikiran Ibnu Sina ?
 Bagaimana konsep pendidikan Ibnu Sina?
 Bagaimana relevansi pendidikan Ibnu Sina dengan dunia modern?
Sketsa Biografi Ibnu Sina

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali al Husain bin Abdullah bin al Hasan bin Ali
bin Sina. Ia lahir di kota Afsyana suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara tahun
980 M atau 370 H
Ayahnya bernama Abdullah, seorang sarjana terhormat penganut Syi’ah Isma’iliyyah,
berasal dari Balkh Khorasan, suatu kota yang termasyur di kalangan orang-orang
Yunani dengan nama Bakhtra
Ibunya bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afghanistan
Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahiranya Bukhara.
Ibnu Sina mengawali pendidikannya di Afsyana dengan pengetahuan yang pertama
kali dipelajarinya ialah membaca Al-Qur’an
Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti tafsir,
fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil
menghafal Al-Qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang
belum genap sepuluh tahun
Pada umur 10 tahun ia sudah hafal Al-Qur’an dan mempelajari sebagian besar kesusasteraan.

Ia tidak mengikuti mazhab Syi’ah Ismailiyyah, besar sekali kemungkinan ia berfikir mandiri, dan tidak mengikuti
mazhab sunnah ataupun syiah. Sebab, sebagai seorang filosof ia mempunyai pandangan yang mandiri dalam usaha
menemukan hakekat kebenaran, baik di bidang filsafat maupun di bidang keagamaan

Pada waktu Ibnu Sina mencapai usia 14 tahun, ia telah mengalahkan gurunya. Kemudian ia melanjutkan
pengetahuannya tentang logika, matematika, dan geometri, dengan jalan belajar sendiri. Tidak berapa lama setelah
itu, ilmu-ilmu tersebut dapat dikuasainya. Kemudian, ia mulai membaca semua buku yang ditulis untuk ilmu
kedokteran. Tidak lama kemudian ia telah dapat dipersamakan kepandaiannya dengan seorang dokter.

Kalo ia disebut sebagai seorang yang haus, maka Ibnu Sina selalu dahaga akan ilmu. Bagaimana keadaannya pada
waktu ia berusia 18 tahun, ia berkata: “Kalo malam sudah datang, aku akan segera pulang ke rumah. Kuletakkan
lampu di depanku, maka sibuklah aku membaca dan menulis. Jikalau kantuk menyerangku atau aku merasa capek,
maka aku menoleh ke samping dan aku meminum segelas anggur agar kantuk hilang atau kekuatanku kembali.
Kemudian, kembalilah aku membaca. Demikianlah kerjaku tiada henti-hentinya, sehingga aku dapat menguasai
berbagai ilmu pengetahuan. Segala ilmu yang aku pelajari waktu itu, masih ku ingat sekarang, ketika aku menulis
sejarah hidup ini. Pada hari ini, tiada lagi ilmuku bertambah”
Ibnu Sina banyak membaca buku di perpustakaan istana, Kutub Khana. Beragam ilmu pengetahuan ia pelajari dan
kuasai di perpustakaan ini, termasuk di bidang filsafat. Namun dalam mempelajari filsafat ini, terkadang ia
memperoleh kesulitan. Dia mengatakan bahwa empat puluh kali dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai
kata-katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari ia menemukan pencerahan dari
uraian singkat Al-Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Dengan mengenal pemikiran Al-
Farabi, ia mengaku berhutang budi kepada Al-Farabi

Sejak itu ia tidak perlu lagi belajar “meluas” tapi hanya perlu meningkatkan pemahaman secara “mendalam” atas apa
yang sudah dipelajari pada saat ia memasuki usia delapan belas tahun. Ketika ia memasuki usia senja, ia pernah
berkata pada muridnya, Al-Juzjani, bahwa sepanjang tahun yang dilaluinya ia telah mempelajari tidak lebih dari yang
ia ketahui sebagai seorang pemuda berusia 18 tahun. Menurut Ibnu Sina, “masa muda sangat menentukan
keberhasilan seseorang”

Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun, tepatnya pada tahun 980 H/1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag
yang kronis. Ia wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah

Ibnu Sina kurang lebih meninggalkan 257 buku. Karyanya yang terkenal diantaranya Asy-Syifa’, An-Najah, Al-
Isyarah Wa Al Tanbihat, Al-Qanun fi at-Tibb, Ahwal An Nafs, dan lain sebagainya.
Beberapa Pokok Pemikiran Ibnu Sina

Ontologi atau Filsafat Wujud


Ontologi berkaitan dengan esensi atau kuiditas (mahiyah) dan eksistensi (wujud)
Esensi atau kuiditasnya adalah jawaban atas pertanyaan, apakah sesuatu itu
Eksistensi adalah jawaban atas pertanyaan adakah sesuatu itu
Ibnu Sina berkesimpulan bahwa eksistensi (wujud)-lah yang mendasari esensi
(mahiyyah) sehingga ia menyebut prinsipnya dengan sebutan ashalatul wujud
(kemendasaran wujud). Esensi itu bergantung kepada eksistensi. Dengan demikian,
wujud lah hakikat dari sebuah realitas. Prinsip ashalatul wujud ini lalu diamini oleh
Mulla Shadra serta para Shadrian-Shadrian selanjutnya.
Ibnu Sina membuat perbedaan fundamental antara wujud wajib (wujub), kontingensi
(imkan) dan ketidakmungkinan (imtina).
Emanasi dan Kosmologi

Emanasi ialah teori tentang keluarnya suatu Wujud Mumkin (alam makhluk) dari Zat
yang Wajib alWujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan).
Yang Maha Esa berpikir tentang diri-Nya yang Esa, dan pemikiran merupakan daya
atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diri-nya merupakan daya yang dahsyat,
maka daya itu menciptakan sesuatu yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang dirinya
itu adalah akal pertama atau wujud pertama yang keluar dari Tuhan
Dalam diri yang Esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Objek pemikiran
Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikiraannya tentang Tuhan menghasilkan
Akal II dan pemikiran tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga
mempunyai objek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang
Tuhan menghasilkan Akal III. Demikianlah maka jumlah akal ada 10. 9 di antaranya
untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan dan akal ke-10 adalah Bulan,
mengawasi dan mengurusi kehidupan di bumi.
Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam filsafat emanasi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang
banyak ini, tetapi melalui Akal I yang Esa dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikian
seterusnya sampai penciptaan Bumi melalui Akal X. Jadi Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak,
tetapi melalui akal.

Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah apakah alam ini diciptakan dari tiada atau ada madah
(materi) lain yang mendahuluinya?

Ibn Rusyd berpendapat bahwa filsafat tidak menerima konsep penciptaan dari tiada. Kata khalaqa di dalam al-
Qur’an menurutnya menggambarkan penciptaan dari “ada” bukan dari “tiada” seperti yang dikatakan al-Ghazali
Falsafah tidak menerima konsep penciptaan dari tiada. “tiada” kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi “ada”
yang terjadi ialah “ada” berubah menjadi ada dalam bentuk lain bumi misalnya. Materi awal (madah) yang empat,
yaitu: api, air, tanah, udara. Lalu Allah merubah menjadi ”ada” dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Jadi
qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis)
Jiwa

Jiwa tumbuh tumbuhan (nabatiyah), ia mempunyai daya makan, tumbuh dan


berkembang biak. Jiwa nabati ini adalah jiwa terendah dari dua jiwa yang lain
Kedua, jiwa binatang (hayawaniah) yang mempunyai daya gerak pindah dari satu
tempat ketempat yang lain dan daya menangkap dengan panca indra.
Jiwa manusia (insaniyah), yang disebut juga al-nafs al-nathiqat, mempunyai dua
daya, yaitu daya praktis (al-‘amilah) dan daya teoritis (al-‘alimah)
Konsep Pendidikan Ibnu Sina

Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adah)
Menurut Ibnu Sina, tujuan pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan
seluruh potensi yang dimiliki seseorang kearah perkembangannya yang sempurna,
yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu, tujuan pendidikan
menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat
hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau
keahliann yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi
yang dimilikinya
Kurikulum

Pertama, usia 3-5 tahun. Menurut Ibnu Sina, pada usia ini anak didik perlu diberi
mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian
Kedua, Usia 6-14 tahun. Kurikulum untuk anak usia 6-14 tahun menurut Ibnu Sina
adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an, pelajaran agama,
pelajaran sya’ir dan pelajaran olahraga
Ketiga, Usia 14 tahun ke atas.pada usia ini, Ibnu Sina memandang mata pelajaran
yang harus diberikan kepada anak berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran
yang dapat diberikan kepada naka usia 14 tahun ke atas sangat banyak jumlahnya.
Namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat anak
Metode Pembelajaran

1. Metode talqin
2. Metode demonstrasi
3. Metode pembiasaan dan keteladanan
4. Metode diskusi
5. Metode magang
6. Metode penugasan
7. Metode targhib dan tarhhib
Konsep Guru

Menurut Ibnu Sina, seorang guru seyogyanya adalah seorang yang berakal sehat,
kuat agamanya, berakhlak mulia, pandai mengambil hati anak didik, berwibawa,
berkepribadian tangguh, berwawasan yang luas dan tidak statis, manis tutur katanya,
cerdik, terpelajar, necis, dan berhati suci
Relevansi Pendidikan Ibnu Sina dengan Dunia
Modern
Tujuan Pendidikan
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Maka, berdasarkan pengertian UU di atas, konsepsi pendidikan Ibn Sina ini tentang
tujuan pendidikan masih sangat relevan bila diaplikasikan di zaman sekarang. Bahkan
konsep tujuan pendidikan Ibnu Sina dapat menjadi prioritas di dalam kegiatan belajar
mengajar seperti pentingnya pendidikan akhlak, kognitif, keterampilan dan fisik.
Terdapat kesamaan antara tujuan pendidikan yang dicetuskan oleh Ibnu Sina dengan
tujuan pendidikan Indonesia yang dirumuskan menjadi Undang-undang.
Kurikulum

Ibnu Sina menganggap penting pendidikan anak usia dini dengan memberikan
pelajaran kepada anak usia 3-5 tahun. Ini sesuai dengan kurikulum pendidikan
Indonesia yang juga mementingkan pendidikan anak dengan membuat sebuah jenjang
pendidikan berupa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-Kanan
(TK).
Ibnu Sina juga membangun paradigma kurikulum integralistik atau non dikhotomis
atau integrasi-interkoneksi. Ibnu Sina memadukan pelajaran agama dengan pelajaran
umum bagi para peserta didik agar kehidupan duniawi dan ukhrawinya berjalan
seimbang. Hal ini juga menjadi perhatian di lembaga pendidikan di Indonesia yang
memadukan pelajaran agama dan umum, meskipun porsi pelajaran agama tidak
sebanyak pelajaran umum seperti di tingkat pendidikan SMP dan SMA
Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran yang ditawarkan oleh Ibnu Sina sangat relevan jika
diimplementasikan pada pembelajaran dewasa ini. Metode-metode pembelajaran
tersebut digunakan sesuai dengan materi pelajaran yang sedang berlangsung. Hal ini
sama dengan penggunaan metode pembelajaran dewasa ini yang menggunakan
metode pembelajaran sesuai dengan materi pelajaran.
Konsep Guru

Guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru mesti memiliki kriteria-kriteria yang baik.
Guru tidak hanya memiliki peran untuk transfer of knowledge, tetapi guru juga harus
mampu memainkan peran transfer of value.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, adapun macam-macam kompetensi
yang harus dimiliki oleh tenaga guru ialah kompetensi pedagogik, kepribadian,
profesional dan sosial. Dengan demikian, terdapat relevansi antara konsep guru yang
ditelorkan oleh Ibnu Sina dengan kondisi pendidikan saat ini.
ADA PERTANYAAN?

Anda mungkin juga menyukai