Anda di halaman 1dari 12

Nama : Erlangga nur Al Farizi karyadhara

NIM : 1192020073
Kelas : PAI 5B
Mata kuliah : Filsafat Islam

Materi 7 “Pemikiran Filsafat Ibnu Sina”


A. Biografi Ibnu Sina.

Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil
sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Isma’ili,
berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah Gubernur suatu daerah
di salah satu pemukiman Nuh Ibn Mansur, sekarang wilayah Afganistan (dan juga Persia). Dia
menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara. Meskipun secara tradisional
dipengaruhi oleh cabang Islam Ismalili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki
kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14
tahun. Dia menampilkan suatu pengecualian sikap intelektual dan seorang anak yang luar biasa
kepandaianya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Qur’an pada usia 5 tahun dan juga
seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagang dia belajar aritmatika, dan dia memulai untuk
belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoeh suatu mata pencaharian dari merawat
orang sakit dan mengajar anak muda[3]

Nama lengkapnya Abu Ali al-husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia
dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H (±980M).
Ayahnya berasal dari kota balakh kemudian pindah ke bukharah pada masa raja Nuh ibn
manshur dan diangkat oleh raja sebagi penguasa di kharmaitsan, satu wilayah di kota bukharah.
[4]

Menurut sejarah hidup yang disusun oleh Ibnu Sina, bernama Jurjani, dari sejak kecil
Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya. Ilmu-ilmu
itu adalah Ilmu fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain. Sewaktu Ibnu Sina masih
berusia 17 tahun, ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati
Pangeran Nuh Ibnu Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tua Ibnu Sina
meninggal saat ia brusia 22 tahun, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat Laut Kaspia, dan di
sanalah ia mulai menulis ensiklopedinya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal
dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (The Qanun). Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di
sebelah Teheran, dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anknya Majd al-Dawlah. Kemudian
Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan (di bahagian Barat dari Iran) mengangkat
Ibnu Sina menjadi Menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan meninggal di tahun 1037 M,
pada usia 58.[5]

.Di Bukharaia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam.
Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-
Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan
mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagogedan Porphyry, Eucliddan
Al-MagestPtolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika,
terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator -komentator
dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan
yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali
dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah
40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li
Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang
terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka
dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.
[6] Sirajuddin Zar menambahkan, anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu Sina adalah
seorang pewaris Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan al-Farabi. Dengan istilah lain,
Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis al-
Farabi dan dibukakan pintunya oleh al-Kindi.[7]

Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum
lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal
orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan
teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit. Ia
tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi
kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata
permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan
membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang
dihadapinya. Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana
pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu,
Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh
dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena
sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa
ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan
itu .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya.
Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu
kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara
sistematis.[8]

B. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina.

1. Filsafat Wujud.

Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu Farabi.
Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran
dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul
Lighairi dan Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue of the
Necessary Being dan Possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek
pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari
pemikiran tentang Tuhan, timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib
wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya
timbul langit-langit. Walaupun Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari akal, namun
ada pendapat Ibnu Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang wujud Tuhan bersifat
emanasionistis. Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan Yang Mesti mengalir Inteligensi
pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Akan
tetapi, sifat inteligensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan
sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua
sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama
memunculkan dua kemaujudan, yaitu: pertama, Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi
dari adanya aktualitas. Kedua, lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari
adanya kemungkinan alamiahnya. Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita
mencapai inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab demikian banyak para
filsafat Muslim yang disebut ”Malaikat Jibril”. Nama ini diberikan karena ia memberikan bentuk
atau ”memberitahukan” materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Oleh karena itu, ia
juga disebut ”pemberi bentuk”.[9]

Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan
diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam
akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal
mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu
wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah
terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.

Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :

1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu
Sina mumtani’yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).

2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini
disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud.
Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan
hancur menjadi tidak ada.

3. Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari
wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak
berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua,
tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut
mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.

Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh
oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim).
Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan
“qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah
baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini,
sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata
lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib[10][38]. Untuk menghindari keadaan
Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-
wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya
iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.

Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan
pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan
ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil
Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah
“kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.

“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai
berikut :

Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah
selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu
Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga
tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin
menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru,
tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan
Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu
Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.

Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari
perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai
perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.

Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud,
keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu
pilihan dan kehendak bebas.

Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang
paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari
segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena
iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah
kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian
telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.

Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk
memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar),
faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh
Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di
persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah
fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang
berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk
memperoleh kesempurnaan.

Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu
memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab
pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang
menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk
merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles
tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.[11]

2. Filsafat Tuhan.

Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal
secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena
ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu
wujud, tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal. Tentang apakah Tuhan itu dann
hakikat Tuhan adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi
wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya.
Dengan kata lain, seorang suku Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, maka ia tergolong salah
seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian
halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya
mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung
kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun juga tidak akan ada. Ibnu Sina dalam
membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil
dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul
Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab (’illat)
yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan
demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah, kita tidak memerlukan perenungan selain
terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu
makhluk-Nya. Sebagai pembuktian dari wacana di atas, al-Qur’an menggambarkannya dalam
Surat Fushshilat ayat 53 yang berbunyi:

‫ك َأنَّهُ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِهي ٌد‬ ِ ‫ق َأ َولَ ْم يَ ْك‬


َ ِّ‫ف بِ َرب‬ ُّ ‫اق َوفِي َأ ْنفُ ِس ِه ْم َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ ْم َأنَّهُ ْال َح‬
ِ َ‫َسنُ ِري ِه ْم آيَاتِنَا فِي اآلف‬
Artinya : ”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu?”.[12]

Filsafat emanasi ini bukan hasil dari renungan Ibn Sina tetapi berasal dari “ramuan
Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena panc;aran dari Yang Esa. Kemudian
filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “dari yang satu hanya satu yang melimpah”. Ini
diislamkan oleh Ibn Sina bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan
karena dalam al-Qur’an tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari
materi yang sudah ada atau dari tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibn Sina dan
Plotinus sama, namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan yang Esa
menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif. Ia
menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran. Adapun proses terjadinya
pancaran itu tersebut adalah ketika Allah Wujud (bukan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung
memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi pemikirannya, maka memancarlah
akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah akal kedua, jiwa pertama dan langit pertama.
Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat
menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi
pertama, yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan tanah. Bagi Ibn
Sina, akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan
sifat mungkin wujudnya jika di tinjau dari hakikat darinya. Dengan demikian, Ibn Sina membagi
objek-objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal
(wajib al-wujud li ghairihi), sebagai pancaran dari Allah dan dirinya akal-akal (mumkin al-
wujud). Akal-akal dan planet-planet dalam emanai dipancarkan (diciptakan) Allah secara hirarki
keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqqul Allah tentang zatnya sebagai sumber energi yang maha
dahsyat. Ta’aqqul Allah tentang zatnya adalah ilmu tentang dirinya dan ilmu adalah daya (al-
qudrat) yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu diciptakan, cukup sesuatu itu diketahui
oleh Allah. Dari hasil ta’aqul Allah terhadap zatnya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-
akal, jiwa-jiwa, dan lainnya memadat menjadi planet-planet. Emanasi Ibn Sina juga
menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Bagi Ibn
Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak
bisa langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah malaikat. Akal
pertama adalah malaikat dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi
dan segala isinya.Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini qadim karena diciptakan oleh Allah
sejak qidam dan azali. Akan tetapi, tentu saja Ibn Sina membedakan antara qadimnya Allah dan
alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam
tidak didahului oleh zaman, maka alam qadim dari zaman Adapun dari segi esensi sebagai hasil
ciptaan Allah secara pancaran alam ini baru (huduus zaaty). Sementara Allah adalah taqaddum
zaaty. Ia sebab semua yang ada, Ia pencipta alam.[13]

3. Filsafat Akal.

Menurut Ibnu Sina akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Ada dua
macam akal yaitu : akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia
sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah semua
pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan.
Ibnu Sina juga terkenal dengan rumusannya yaitu : akal (pemikiran) membawa alam semesta ini
kedalam bentuk-bentuk. Rumusan Ibnu Sina diambil alih oleh seorang pendeta Domician
Albertus Magnus (1206-1280) yang dikemukakan di dunia barat.[14]

Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan
langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke
sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama
adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.[15]

Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya
atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence . Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai
mungkin wujudnya. Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang
dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai
mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa

yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh. Segi - segi kejiwaan pada Ibnu
Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :

a. Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun
sedikitpun.

b. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal – hal abstrak.

c. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.

d. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu
pada daya upaya.[16]

4. Filsafat Jiwa.

Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang
sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai
fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya
sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat pada badan. Pendapatnya juga searah
dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua
kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di
yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu
bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan
dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan
jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang
subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka
mata.[13] Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah bulan,
memancar dari Akal kesepuluh.[14] Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :

a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya :

1) Makan (nutrition)

2) Tumbuh (Growth)
3) Berkembang biak (reproduction)

b. Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;

1) Gerak (locomotion),

2) Menangkap (perception).

Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian :

1) Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.

2) Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi :

a) Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh pancaindera

b) Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama

c) Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi,

d) Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpama
keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala

e) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.

c. Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya ;

1) Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan

2) Teoritis (theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.

Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiea
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-
tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang.
Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka
orang itu dekat menyerupai Malaikat dan dekat pada kesempurnaan. Ibnu Sina, meski ia seorang
dokter, namun ia sadar bahwa penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak
masuk dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa
pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan
filosof berbeda pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa maalah
jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan,
baik pada dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat
scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert
Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan
pemikiran Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.[17]
C. Karya-Karya Ibnu Sina

1. Qanun fi Thib (Canon of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan)

2. Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)

3. An Nayyat (Book of Deliverence) buku tentang kebahagiaan jiwa.

4. Al-Majmu : berbagai ilmu pengetahuan yang lengkap, di tulis saat berusia 21 tahun di Kawarazm

5. Isaguji (The Isagoge) ilmu logika Isagoge : Bidang logika

6. Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah (On the Divisions of the Rational Sciences) tentang pembahagian
ilmu-ilmu rasional.

7. Ilahiyyat (Ilmu ketuhanan) : Bidang metafizika

8. Fiad-Din yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi "Liber de Mineralibus" yakni
tentang pemilikan (mimeral).

9. Risalah fi Asab Huduts al-Huruf : risalah tentang sebab-sebab terjadinya huruf – Bidang sastera
arab

10. Al-Qasidah al- Aniyyah : syair-syair tentang jiwa manusia - Bidang syair dan prosa

11. Risalah ath-Thayr : cerita seekor burung. - Cerita-cerita roman fiktif

12. Risalah as-Siyasah : (Book on Politics) – Buku tentang politik - Bidang politik

13. Al Mantiq, tentang logika. Buku ini dipersembahkan untuk Abu Hasan Sahil.

14. Uyun Al Hikmah (10 jilid) tentang filsafat. Ensiklopedi Britanica menyebutkan bahwa
kemungkinan besar buku ini telah hilang.

15. Al Hikmah El Masyriqiyyin, tentang filsafat timur.

16. Al Insyaf tentang keadilan sejati.

17. Al Isyarat Wat Tanbihat, tentang prinsip ketuhanan dan kegamaan.

18. Sadidiya, tentang kedokteran.

19. Danesh Nameh, tentang filsafat.

20. Mujir. Kabir Wa Saghir, tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.

21. Salama wa Absal, Hayy ibn Yaqzan, al-Ghurfatul Gharabiyyah (Pengasingan di Barat).

DAFTAR PUSTAKA
Hitti, Philip K. History of Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2014

http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/05/pemikiran-filsafat-ibnu-sina.html

http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm

http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-ibnu-sina-dan-pemikiran.html

http://www.tongkronganislami.net/2015/09/makalah-mengenal-biografi-ibnu-sina-dan-
pemikiranya.html

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjizd_mzc_LAhX
XCI4KHXa4B2oQFggiMAE&url=https%3A%2F%2Fbolehjadi2.files.wordpress.com
%2F2010%2F06%2Ffilsafat-ibnu-
sina.pdf&usg=AFQjCNFLzRj4BTTN8_POUfhH4wPtMGfNaA&sig2=PbXDryrfaNapOMv3hRs
Acg&bvm=bv.117218890,d.c2E, PDF

http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjizd_mzc_LAhX
XCI4KHXa4B2oQFggvMAM&url=http%3A%2F%2Frumahislam.com%2Fhalaman-utama
%2F3-ilmuwan-muslim%2F74-ibnu-
sina.pdf&usg=AFQjCNHutDvEIRcc29OZdRVgFd16UmE1Xw&sig2=SmpFIixMaGvgoKw62s
NPUg&bvm=bv.117218890,d.c2E, PDF

[1] Hitti, Philip K. History of Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2014, Hal 359
[2] https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjizd_mzc_LAhX
XCI4KHXa4B2oQFggiMAE&url=https%3A%2F%2Fbolehjadi2.files.wordpress.com
%2F2010%2F06%2Ffilsafat-ibnu-
sina.pdf&usg=AFQjCNFLzRj4BTTN8_POUfhH4wPtMGfNaA&sig2=PbXDryrfaNapOMv3hRs
Acg&bvm=bv.117218890,d.c2E, pdf, Hal 1, Pukul : 22. 13, 23 Maret 2016

[3]http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjizd_mzc_LAhX
XCI4KHXa4B2oQFggvMAM&url=http%3A%2F%2Frumahislam.com%2Fhalaman-utama
%2F3-ilmuwan-muslim%2F74-ibnu-
sina.pdf&usg=AFQjCNHutDvEIRcc29OZdRVgFd16UmE1Xw&sig2=SmpFIixMaGvgoKw62s
NPUg&bvm=bv.117218890,d.c2E, pdf, Hal 2-3, Pukul : 22. 16, 24 Maret 2016

[4] http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/05/pemikiran-filsafat-ibnu-sina.html,
Pukul : 22.27, 23 Maret 2016

[5] http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-ibnu-sina-dan-pemikiran.html,
Pukul : 22.41, 23 Maret 2016

[6] https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjizd_mzc_LAhX
XCI4KHXa4B2oQFggiMAE&url=https%3A%2F%2Fbolehjadi2.files.wordpress.com
%2F2010%2F06%2Ffilsafat-ibnu-
sina.pdf&usg=AFQjCNFLzRj4BTTN8_POUfhH4wPtMGfNaA&sig2=PbXDryrfaNapOMv3hRs
Acg&bvm=bv.117218890,d.c2E, pdf, Hal 1, Pukul : 22.13, 24 Maret 2016

[7] http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-ibnu-sina-dan-pemikiran.html,
Pukul : 22.41, 23 Maret 2016

[8] http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm, Pukul : 22.25, 24 Maret


2016

[9] http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-ibnu-sina-dan-pemikiran.html,
Pukul : 22.41, 23 Maret 2016

[11] http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm, Pukul : 22.25, 24


Maret 2016

[12] http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-ibnu-sina-dan-pemikiran.html,
Pukul : 22.41, 23 Maret 2016
[13] http://www.tongkronganislami.net/2015/09/makalah-mengenal-biografi-ibnu-sina-
dan-pemikiranya.html, Pukul : 22.31, 24 Maret 2016

[14] http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/05/pemikiran-filsafat-ibnu-sina.html,
Pukul : 22.27, 23 Maret 2016

[15] Filsafat-Ibnu-Sina, pdf, Hal 7

[16] Filsafat-Ibnu-Sina, pdf, Hal 8-9

[17] http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-ibnu-sina-dan-pemikiran.html,
Pukul : 22.41, 23 Maret 2016

Anda mungkin juga menyukai