Anda di halaman 1dari 10

IBNU SINA

1. Riwayat Hidup

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Husein ibn Abdillah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia
dikenal sebagai seorang filosof Islam terbesar dengan gelar syaikh ar-Rais. Dilahirkan dalam
keluarga yang bermadzhab syi’ah pada tahun 370 H/ 980 M. Di desa Asyfanah (Kawasan
Bukhara) . Selain dia dikenal sebagai seorang filosof dia juga adalah seorang dokter .

Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan dimana khilafah Abbasiyah mengalami
kemunduran dan Negeri-Negeri yang mula-mula berada dibawah kekuasaan khilafah tersebut
mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri .

Menurut penjelasannya sendiri, Ibnu Sina dilahirkan di desa Asyfanah, tidak jauh dari
Bukhara, di Transoxiana (Persia Utara), di mana ayahnya yang hidup dalam berbagai
kebudayaan, tinggal bersama keluarganya.

Beberapa saat kemudian keluarga ini pindah ke Bukhara sendiri, dimana si pemuda
Husein menerima pengajaran pribadi dalam (hal) membaca, menulis, aritmatika, yurisprudensi
dan logika.

Diantaranya guru-gurunya Abu Abdullah al-Natili dan ismail sang Zahid yang disebut
namanya. Tetapi iya menyambut seorang penjual makanan yang kelihatannya ahli dalam bidang
aritmatika india dan juga seorang pengajar Ismailiyah yang pernah mengunjungi ayahnya yang
telah menggolkan tujuan-tujuan Ismailiyah.

Minat Ibnu Sina terhadap filsafat tampaknya telah berkembang sejak ia menyimak
percakapan mereka itu, studi sistematikannya tentang logika dan kedokteran dimmulai beberapa
saat kemudian .

Setelah gurunya Abdullah Natili meninggal, maka Ibnu Sina mengkaji dan mencari ilmu
sendiri. Dia selanjutnya mempelajari ilmu fisika dan Ketuhanan, sehingga namanya menjadi
popular lantaran Kepiawaiannya pada bidang tersebut. Di samping itu, Ibnu Sina mengobati
orang-orang sakit, sehingga namanya semakin terkenal. Para tabib sendiri banyak yang belajar
pengobatan kepadanya, padahal umurnya pada saat itu baru mencapai enam belas tahun.

Setelah itu, Ibnu Sina remaja menghabiskan waktu sekitar 1½ tahun unutk
berkonsentrasi membaca untuk mendapatkan pelajaran dan ilmu pengetahuan. Dia kembali
mengkaji Logika dan seluruh cabang filsafat, sehingga menguasai seluruhnya. Uniknya, jika
mengalami kesulitan dalam menjawab semua masalah atau pertanyaan, maka dia berwudhu dan
pergi ke Masjid Jami’ untuk berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan dan membuka kunci
ilmunya.

Pada usia dua puluh tahun, Ayahnya meninggal dunia dan pada waktu itu kota
Samaniyah sedang mengalami kekacauan, sehingga Ia memutuskan untuk meninggalkan
Bukhara menuju Jurjan. Dari jurjan ia terus mengembara hingga sampai di Khawarazm, sebelum
kemudian sampai ke Hamadzan. Selama dalam perjalanan panjang itu, pemikiran filsafat Ibnu
Sina semakin bertambah Matang. Pada suatu waktu, ia berhasil menteri oleh membangun
pemikiran filsafatnya sendiri sebagai suatu system yang lengkap dan terperinci.

Di kota Hamadzan ia diangkat menjadi seseorang menteri oleh penguasa negeri tersebut
yaitu Syamsuddaulah sesudah ia dapat mengobati penyakit yang dideritanya meskipun pada saat
itu dia dipenjarakan. Sesudah itu ia pergi ke Isfahan dan dari pengusaha Negeri ini mendapat
sambutan baik, serta berkali-kali diajak berpergian dan berperang.

Dia sangat menyayangi perempuan , khamar dan kemewahan hidup. Namun dalam
jawaban terhadap kawannya yang mencoba menasihatinya agar hidup yang benar, dia berkata :
“Aku lebih mementingkan hidup singkat, tetapi berhati lapang dari pada hidup lama, tetapi
menderita” Tentang khamar dia berkata : “Sesungguhnya khamar diharamkan untuk orang
bodoh dan lenah sebaliknya, Khamar dihalalkan bagi orang orang berakal”

Keyakinan-keyakinan ini menimbulkan bencana bagi dirinya sendiri. Para ulama


Ahlusunnah menuduhnya sebagai Zindik. Tuduhan seperti itu dalam peradaban Islam, biasa
dilontarkan kepada setiap orang muslim yang berupaya menjadi pemikiran Filosofi sebagai
pemikiran Asli, atau kepada orang yang menggabungkan Filsafat dengan ketuhanan.

Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktiitas dan kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk
urusan Negara dan menulis, sehingga iya ditimpa sakit perut (maag) yang tidak sanggup ia
mengobatinya. Pada bulan-bulan terakhir dari hayatnya, ia menanggalkan pakaiannya untuk
diganti dengan pakaian putih, memerdekakan semua budaknya dan menyedekahkan harta
kekayaannya untuk para fakir miskin serta menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada
Allah. Pada tahun 428 H/1037 M, Ibnu Sina meninggal dunia pada hari jum’at bulan Ramadhan,
dalam usia 58 tahun dan dikubur di Hamadzan.

2. Karya-Karyanya

Sebenarnya hidup ibnu sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak
panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibukan dalam urusan Negara, sehingga ia tidak banyak
mempunyai kesempatan-kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meninggalkan
berpuluh-puluh karangan. Kesuburan hasill karya ini di sebabkan oleh beberapa factor :

a. Ia pandai mengatur waktu, di mana siang di sediakan untuk pekerjaan pemerrintahan,


sedang malamnya untuk mengajar dan mengarang.
b. Kecerdasan otak dan kekuatan hafalan zuga tidak sedikit artinya bagi kepadatan
Karyanya.
c. Sebelum Ibnu Sina telah hidup Al-Farabi yang juga mengarang dan mengulas buku-
buku filsafat. Ini berarti bahwa Al-Farabi telah meratakan jalan baginya.

Pada tahun 1950 Bapa George Syahatah Qamwani memberikan penjelasan lengkap
tentang buku-buku karangan ibnu sina dalam rangka mengenang ibnu sina dengan judul
Mu’allafaat ibnu sina.Diantara buku-buju ibnu sina yang dicetak dan cukup populer serta
berkaitan dengan psikologi atau berisi topik-topik penting psikologi adalah sebagai berikut :

1. Asy-Syfa, ditahkik oleh Bapa George syahatah Qanwani dan said Zaid, disunting oleh
Ibrahim Bayumi madkur,kairo : Lembaga Buku Nasional Mesir,1975.Kitab ini adalah
karangan penting tentang falsafah, dan terdiri atas empat bagian : Logika, Fisika,
Matematika dan metafisika (Illahiyah) ; Suatu ensiklopedi besar dalam ilmu falsafah
atas terdiri atas delapan belas jilid tebal
2. An-Najah, Kairo : Percetakan sa’adah,1331 H.Buku ini merupakan ringkasan buku As-
Syfa dan dijelaskan oleh ar-Razi yang meninggal pada tahun 600 H
3. Al-syarat wa at-Tanbinhat,Kairo ; 1325 H.Juga diterbitkan Baru-baru ini oleh sulaiman
Dunya.Al-Juzjati berkomentar bahwa buku ini merupakan buku terkhir dan yang terbaik
yang ditulis oleh ibnu Sina, serta dijelaskan oleh nashiruddin ath-Thusi yang meninggal
dunia pada tahun 762 H
4. Al-Qanun fi-Thibb, roma 1653 M
5. Risalah fi-Ma’rifati an-Nafs an-Nathiqah wa ahwaliha, diterbitkan oleh muhammmad
Tsabit al-Fandi,Kairo,1934 M
6. Mabhats ‘an al-Quwa an-Nafsaniyah, diterbitkan oleh Fandik,Kairo,1315 H
7. Ahwal an-Nafs, di tahkik oleh fu’ad al-ahwani,Kairo, Dar Ihya al-Kutub
al-‘arobiyah,1952
8. Sembilan buku kecil tentang hikma Fisika, Istabul,1298 H.
9. Uyun al-Hikmah, di tahkik dan diterbitkan oleh Abdurrahman Badawi,cet II,Kuwait :
Wakalah al-Matbu’at,1980 M.
10. Hay bin Yaqzhan,1809 M.
11. At-Ta’ligat ‘ala Hawasyi kitab an-nafsi li aristho,ditakhih oleh Abdurrahman Badawi,
Kiro : Lembaga buku Nasional Mesir,1973 M
12. AL-Qashidah al’ainiyah fi an-Nafs : Syarh al-Manawi ,Kairo,1318 H
13. Kitab as-siyasah, diterbitkan dan diberi komentar oleh Bapa Paulus Ma’luf Jesuit,1911 M
14. Kitab al-Mubahatsat,termasuk buku Aristho ‘inda al-Arab ,cet II, disusun oleh
Abdurrahman al-Badawi ,Kuwait : Wakalah al-Mathbu,1978 M.

3. Pemikirannya tetntang Emanasi / Al-Fayd


Filsafat ibnu sina yang menandai puncak filsafat paripetik islam di dasarkan pada
Ontology, dan Ibnu Sina pula di sebut dengan “Filosof Wujud”, dan pendiri filsafat di tengah-
tengah, apakah itu mencirikan Yahudi, Kristen atau Islam. Bagi Aristoteles, eksistensi adalah
wujud murni, sedangkan transendensi rantai wujud dan tatanan eksistensi kosmik dan dunia
adalah kontigen (tergantung). Untuk membedakan wujud murni dan eksistensi dunia, Ibnu Sina
membuat pembedaan Fundamental antara Wajib (wujud), kointengensi (imkan) dan
ketidakmungkinan (imtina). Wujud yang wajib adalah realitas yang harus ada dan tidak bisa
tidak ada, realitas yang tidak eksis menunjukkan Kontradiksi. Hanya ada satu Realitas, dan itu
adalah wujud yang wajib (wajib al-wujud) yakni Tuhan, sebagai yang di nyatakan dalam agama-
agama monoteistik. Wujud yang mungkin (mumtani al-wujud) adalah kuaditas yang tidak dapat
ada secara Obyektif, baginya haruslah terdapat Kontradiksi. Semua wujud yang terlepas dan
wujud yang wajib, adalah wujud-wujud yang tergantung (mumkin al-wujud) ; di anggap sebagai
Kuaditas, ia dapat eksis dan dapat pula tidak Eksis.

Pemikiran Metafisika Ibnu Sina ini bertitik tolak pada pandangan filsafatnya yang
membagi tiga jenis hal, yaitu :

1. Penting dalam dirinya sendiri, tidak perlu kepada sebab yang lain untuk kejadiannya,
selain dirinya sendiri yaitu Tuhan.
2. Berkehendak kepad ayang lain, yaitu Makhluk yang butuh kepada yang
menjadikannya.
3. Makhluk Mungkin, yaitu bisa ada dan bisa pula tidak ada, dan Ia sendiri tidak butuh
kepada kejadiannya maksudnya benda-benda yang tidak berrakal seperti pohon, air,
batu, tanah, api, dan lain-lain.

Dalam membahas mengenai adanya Tuhan dalam hubungannya dengan alam semesta. Ibnu Sina
mengatakan dalam bukunya “Al-Isyarat” ia berkata : Tilik dan pandanglah Argumen Kita,
tehadap Wujud yang pertama, Keesan-Nya dan kemahaAgungan-Nya, tidak berkehendak pada
suatu yang lain, selian dari pada cintanya atas makhluk itu sendiri, tanpa pandangan betapun
Ciptaan dan bentuknya. Meskipun Ciptaan-Nya, dipandang sebagai Adanya Tuhan. Pendekatan
Faham Kita, lebih kut dan Baik, terhadap Tuhan, karena adanya makhluk berarti adanya Tuhan.
Adanya segala makhluk, dapat dibenarkan tentang : Adanya Tuhan.

Percobaan-percobaan kebenaran ini, di lakukan Ibnu Sina dalam berbagai Kitabnya. Dalam al-
Najat, di nyatakan sebagai berikut : “ sesuatu ada yang di butuhkan, adalah keadaan yang masuk
akal, bukanlah hal yang mustahil, Ada yang di butuhkan ini adalah Tuhan Yang Esa”. Segala ada
yang lain itu, adalah mungkin, akan tetapi sebagian darinya diperlukan oleh ada, dan
sebagiannya pula tidak diperlukan. Mereka ini mempunyai akal yang terpisah (separate
Intelligents) antara yang satu dengan yang lain.

Perbedaan Ibnu Sina dengan Kalangan Mutakkalimin ahli agama, dalam beranggapan harus
(contigrnt). Dalam pembedaan ini Ibnu Sina mengkritik atas Faham mutakalimun dalam An-
Najat : “Mungkin, itu adalah sebab, demikian diperlukan suatu kebutuhan atas suatu keperluan
sepertiterjadinya.

Kemudian lebih lanjut di jelaskan oleh Ibnu Sina dengan suatu Aturan, dari bentuk yang
sempurna kebutuhan ada bentuk tidak sempurna dan kemungkinan. Yang di maksud dengan
bentuk Sempurna dan Kebutuhan itu adalah Tuhan. Jalan pikiran ini di susun Ibnu Sina sebagai
berikut :” akal terpisah,bentuk,jasmani, benda dan Kejadian, dalam setiap ukuran ini, terdapat
berbagai jenis makhluk yang berbedadalam susunan kejadiannya”. Akal terpisah, mempunyai
susunan Kebawah dan Keatas. Yang paling tinggi adalah akal terpisah atau sebab pertama.

Yang terendah adalah Akal Kesepuluh, yang disebut sebagai wakil akal.masuk kedalam
alam,turun temurunan dan Rusak. Akal mengalir dari Apa yang di butuhkan dengan jalan
pelimpahan. Yang kedua melimpah dari yang pertama, demikian terus menerus sampai Kepada
Akal Kesepuluh.

Tuhan adalah Akal Murni, mengetahu dirinya sendiri. Pengetahuan diri sendiri adalah sebab
pelimpahan. Akal Pertama, dan karena itu, ia mengingat dan memikirkan. Tuhan, akal
pertamamelimpah kedalam akal kedua dan karena itu, dan mengingat dirinya sendiri sebagai
keperluan bagi yang lain. Yang akhir ini melimpah kedalam jiwa penggerak, “primun mobile”,
karena itu mengingat dalam dirinya, yang kemudian mengalir atau melimpah kedalam tubuh
Primum Mobile membuat manusia berilmu.

Filsafat Jiwa

Definisi Jiwa

Ibnu Sina mendifiniskan jiwa sebagaimana Aristoteles mendefisikan pada waktu


sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, Jiwa adalah kesempurnaan Awal, karena dengannya spesies
(Jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia Nnyata. Pengertian kesempurnaan menurut
Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan Keberadaannya tabiat menjadi jenis Manusia.

Ibnu sina dan Aristoteles berbeda pandangan dalam memahami makna kesempurnaan.
Aristoteles memahami kesempurnaan sebagai Potret. Ketika Aristoteles mendefinisikan Jiwa
sebagai suatu kesempurnaan awal bagi Rubuh alami, maka yang ia maksudkan adalah Potret bagi
fisik Alami dan Prinsip Perbuatannya yang dinamis. Sedangkan Kesempurnaan kedua adalah
sifat yang berkaitan dengan Manusia seperti pemahaman inderawi bagi manusia dan memotong
bagi pedang.

Ibnu Sina membagi Daya Jiwa menjadi tiga bagian, masing-masing bagian yang
mengikuti, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa Rasional.

1. Jiwa Tumbuh-tumbuhan
Mencakup daya-daya yang ada pada Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan sebagai
awal kesempurnaan bagi tubuh yang bersifat Alamiah, dan Mekanistik, baik dari Aspek
Melahirkan, tumbuh dan Makan. Jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya yaitu :

a) Daya Nutrisi, yaitu daya yang mengubah makanan menjadi bentuuk tubuh, dimana daya
itu didalamnya. Makanan mengganti Unsur yang Rusak dari tubuh.
b) Daya Penumbuh, yaitu daya yang menambah kesesuain pada seluruh bagian tubuh yang
dirubah karena makanan, baik dari sisi panjang, lebar maupun Volume. Tujuannya agar
tubuh dapat mencapai kesempurnaan Pertumbuhan.
c) Daya Generative, yaitu daya yang mengambil dari tubuh suatu bagian yang secara
potensial Sama, sehingga terjadi proses penciptaan dan pencampurnaan yang
membuatnya sama secara Nyata.
2. Jiwa Hewan

Jiwa hewan mencakup semua daya yang ada pada manusia dan Hewan, sedangkan
pada tumbuh-tumbuhan tidak ada sama sekali. Ibnu Sina mendefinisikan jiwa hewan sebagai
sebuah Kesempurnaan awal bagi tubuh Alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta
mengangkap berbagai Parsialistis dan bergerak karena keinginan. Jiwa hewan mempunyai
dua kekuatan yaitu daya penggerak dan daya persepsi.

a) Daya penggerak terdiri atas dua bagian, yaitu penggerak karena sebagai pemicu dan
Penggerak sebagai pelaku. Penggerak sebagai pemicu adalah Hasrat, yaitu daya yang jika
terbentuk didalam khayalan suatu bentuk yang dinginkan, maka hal itu akan
mendorongnya untuk menggerakkan.

daya penggerak dalam kedudukannya sebagai pelaku adalah daya yang muncul di
dalam urat dan Syaraf untuk melaksanakan pergerakan yang sesuai demi mewujudkan
tujuan yang diinginkan.

b) Daya persepsi menjadi dua bagian. Pertama, daya yang mempersepsi dari Luar, yaitu
Panca Indera Eksternal semisal Mata, telinga, hidung, lidah dan Kulit. Kedua, daya yang
mempersepsi dari dalam, yaitu indera batin semisal indera Kolektif, daya Konsepsi, daya
Fantasi, waham, dan memori.
3. Jiwa Rasional

Jiwa rasional di kenal juga jiwa insani, yang maksudnya adalah kesempurnaan
awal bagi jisim alami yang organis dari segi melakukan perbuatan yang ada dengan
ikhtiar pikirab mengambil Kesimpulan (istinbath) dengan nalar, dan dari segi mengetahui
hal-hal yang menyerah (kulliy).

Ibnu Sina membedekan dua daya didalam jiwa rasional sebagimana dilakukan al-
Farabi sebelumnya, yaitu daya akal Praktis dan daya akal Ilmiah atau daya Akal teoritis.
Daya Akal Praktis cendurung untuk mendorong manusia memuaskan perbuatan yang
pantas dilakukan atau di tinggalkan, di mana kita biasa menyebutnya perilaku Moral.
Dengan perilaku moral ini semua keahlian dapat tercapai, sementara daya akal teoritis
adalah mempersepsi potret-potert universal yang bebas dari Materi.

Ada bebarapa tingkatan Akal teoritis, yaitu : 1. Akal Potensial atau Akal
Hayulani; 2. Akal Bakat (Habitual); 3. Akal Actual 4. Akal Perolehan

Filsafat Kenabian

Dalam bidang filsafat, ibnu sina termasuk segelincir pemikir muslim yang berupaya
mewujudkan salah satu kewajiban yang ditetapkan oleh tuhan bahwa akal manusia mesti di pakai
untuk memikirkan hal-hal yang ada di alam semesta ini.dalam hal di dalam hal metafisika, dia
banyak memakai kaidah aristoteles dan plato-yang dijelaskan kembali oleh para filosof yunani
untuk di tetapkan terhadap akidah islam ibnu sina mengakui hakikat kenabian, keharusan adanya
kenabian, dan pentingnya kenabian.

meskipun demikian, dia berpendapat bahwa para nabi agar risalah mereka dapat dipahami
dan diterima oleh orang awam hendaknya menggunakan rumus-rumus,contoh,dan kiasan yang
dapat diterima secara harfiah oleh orang awam

sebaliknya, bagi orang yang otaknya cemerlang tidak perlu menggunakan metode
tersebut. Menurutnya, surga dan neraka bersifat ruhani,bukan jasmani, karena jasad manusia
tidak kekal bahkan ia berpendapat bahwa keabangkitan jasad tidak dapat diterima oleh akal
pendapat ibnu sina tentang nabi bertitik tolak dari tingkatan akal, akal materi sebagai terendah,
adakalanya tuhan menganugerakan kepada manusia dan akal materi yang besar lagi kuat

Oleh karena itu ibnu sina dinamakan al-hudus yaitu intuisi daya yang ada pada akal
materi serupa ini begitu besarnya, sehingga dapat melakukan latihan dengan muda dapat
berhubungan dengan akal aktif dan dapat dengan mudah dapat menerima cahya atau wahyu dari
tuhan. Akal beruoa ini mempunyai Quwatu Qadasiyah yaitu bersifat suci. Inilah bentuk akal
tertinggi yang dapat di peroleh manusia yaitu akal yang ada pada nabi-nabi.

Lebih lanjut ibnu sina menjelaskan bahwa akal manusia yang telah mencapai derajat akal
perolehan dapat mengadakn Hubungan dendan jibril.komunikasi bisa terjadi karena akal
perolehan tidak begitu terlatih dan begitu kuat daya tangkapnya sehingga mampu menangkap
hal-hal yang abstrak akan tetapi komunikasi antara nabi dengan tuhan dilakukan memalui akal
dalam derajat materil

seorang nabi di anugerahkan oleh tuhan dengan akal materi meskipun akal meteri lebih rendah
derajatnya dari akal perolehan namun akal materi memounyai tangkap yang luar biasa sehingga
tanpa latihan ia dapat mengadakan komunikasi langsung dengan jibril sehingga akal demikian
mempunyai kekuatan suci dan atidak ada yang lebih kuaat dari akal materi, akal itu hanya
dimiliki oleh para nabi.
Konsep Jiwa (Al-Nafs) Dalam Filsafat Islam

Dalam sejarah pemikiran islam tercatat banyak pemikir yang dipengaruhi oleh ajaran
Plato dan Aristoteles, khususnya tentang ajaran jiwa dan badan atau forma dan materi. Kedua hal
ini hampir tidak pernah di tinggalkan ketika kita berbicara mengenai manusia.

Menurut Aristoteles, jasad adalah materinya sedangkan jiwa adalah formanya. Kedua-
duanya bersatu pada manusia secara esensial tanpa dapat dipisahkan, forma berperan sebeagai
penentu wujud, bentuk, dan kesempurnaan materi. Demikian pula halnya yang dilakukan jiwa
terhadap jasad. Dua insan yang bersatu secara esensial ini akan menjadi rusak (fana) karena
rusaknya pihak lain, dengan kata lain forma akan hancur karena hancurnya materi.

Aristoteles tidak berhenti di sini, tentang kehancuran ia mengeluarkan jiwa al- natiqah.
Jiwa tersebut, tidak akan hancur karena mengandung unsur-unsur keIlahan yaitu akal, istilah
yang di gunakan Harun Nasution adalah nous aktif. Jiwa al-Natiqah mempunyai kemampuan
mengetahui hal-hal yang bersifat metafisis secara langsung, karena ia tidak terikat oleh jasad.

Sementara itu al-kindi sebagaimana di kemukakan oleh Fakhusi. Menyatakan bahwa kita
datang di alam inni bagaikan penyebaran titian atau jembatan, tidak mempunyai tempat
permanen, kita berharap tempat permanen kita adalah alam yang tinggi yang luhur yang
kesanalah jiwa kita berpindah sesudah mati. Pernyataan al-Kindi ini jelas tidak memberikan
jawaban dari mana nafs itu datang, walaupun pernyataanya menunjuk alam tinggi lagi luhur (
al-‘alam al-‘a’la al-‘sharif ) sebagai tempat jiwa kita berpindah sesudah mati. Memang
pernyataan tersebut menunjuk adanya keterasingan ketika kita berada di dunia ini, tetapi sekali
lagi tetap tampak tidak jelas darrii mana berasal.

Tampaknya dalam hal ini al-kindi tidak menentukan sikap berhadapan dengan pemikiran
filosofinya Plato dan Aristoteles seperti yang di kemukan di atas. Persoalan ini menjadi jelas
dalam pemikiran filosofinya al-Farabi ketika ia menyatakan: I’anna rubak min amr rabbik wa
badanak min khalak rabbik.

Di samping pernyataan ini al-Farabi juga menyatakan bahwa : jiwa-jiwa di bumi (al-
anfus al-ardiyat ) itu berasal dari pancaran akal aktif (al-aghl al-Fa’al), akal kesepuluh yaitu
pemberi forma (wahiib al-suwar). Dalam hal ini tampak bahwa al-Farabi memakai istilah untuk
jiwa : ruh dan nafs. Mungkin ia menyamakan anatara kedua istilah tersebut, sehingga
pernyataannya di atas harus di pahami dengan jalan mengkopromikan sebagai berikut : bahwa
jiewa itu berasal dari Allah melaluii pancaran akal kesepuluh. Jika ia tidak menyamakan kedua
istilah tersebut, tentunya ia bermaksud menyatakan bahwa ruh berasal dari Allah sedang nafs
berasal dari akal kesepuluh.

Sementara dalam masalah asal usul nafs tersebut, Ibnu Sina memiliki dua pendapat, ia
menyatakan bahwa nafs baru terjadi setelah jasad saiap menerimanya, jasad itu sendiri
merupakan alat bagi nafs, dengan demikian bagi Ibnu Sina nafs itu tidak terdapat dalam keadaan
terpisah dari jasad, lalu bertempat padanya. Dengan kata lain, nafs itu tercipta semata-mata di
perlukan bagi suatu jasad tertentu, sehingga setiap jasad memiliki jasad yang memang spesifik
baginya.

Akan tetapi Ibnu Sina juga memiliki ppendapat yang berlawanan dengan pendirian ini.
Dalam hal ini ia menyebut bahwa nafsu itu habitat ilayk min al-mahall al-aifa’, suatu pendirian
yang mirip dengan teori dunia ide Plato.

Menurut Ibnu Sina nafs dalam jasad itu bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar,
merindukan kebebasannya di alam rohani, alam asalnya, setiap kali ia mengingat alam assalnya,
iapun menangis karena rindu ingin kembali.

Mengenai dua pendapat Ibnu Sina yang saling berlawanan tersebut memang didapati
upaya pengkompromian sebagai berikut: ahwa nafs parsial terpancar dari nafs universal, akan
tetapi nafs tersebut tidak mengaktualisasikan diri, sampai tercipta suatu jasad tertentu baginya.
Hanya saja timbul persoalan dengan adanya pernyataan Ibnu Sina bahwa nafs itu turun dalam
keadaan lengkap untuk kemudian terbelenggu oleh jasad.

Dengan demikian tampaknya dua pendapat tersebut sulit untuk di upayakan


pengkomprpmiannya, kecuali di pahami aspek pandang yang berbeda. Sudut pandang perama
dari segi studi filosofis, bahwa ibnu sina, tampaknya berusaha menyempurnakan teori Aristoteles
dengan cara melepaskan nafs dan sebagai forma menjadi sebagai kamal (penyempurnaan) bagi
badan jasmani. Sedangkan sudut pandang yang lain ialah dari segi tasawuf; badan kasar manusia
adalah belenggu bagi kebebasan nafs menuju alam rohaninya.

4. Teori Wujud

Masalah al-wujud, Ibnu Sina sebagai seorang filosof sepaham dengan Aristoteles dan al-
Farabi, dengan membagi wujud ini kepada dua jenis : Wajib Wujud dan Mumkin Wujud, dengan
penjelasan sebagai berikut :

1. Wajib Wujud adalah sesuatu yang ada (al-maujud) yang jika di andaikan tidak ada, ia
menjadi Mustahil, yakni yang mesti adanya.
Ibnu Sina membagi Wajib Wujud menjadi Dua :
a. Dengan Dzatnya (Wajib al-Wujud bi dzatihi), yaitu wujudnya karena dzatnya semata,
sehingga menjadi mustahil jika di andaikan tidak ada.
b. Dengan Lainya (Wajib al-Wujud bi Ghairih), yaitu Wujudnya karena ada sesuatu
yang lain di luar dzatnya, misalnya empat yang adanya itu bukan karena dirinya, tapi
Karena hasil penambahan dua dengan dua.
2. Mumkin Wujud adalah yang jika di andaikan tidak ada atau ada, ia tidak menjadi
Mustahil, yakni boleh ada dan boleh tiada; tidak mesti ada atau tiada dari sisi Apapun.
Apapun yang mungkin itu dapat di lihat dari sisi dzatnya, dalam hal ini, ia tidak mesti ada
dan tidak ada, dan karena itu di sebut Mumkin bi dzatihi ; dan Juga dapat di lihat dari Sisi
Lainnya, sehingga ia di sebut Mumkin bi Dzatih dan Wajib bi Ghairih. Dan jenis Mumkin ini
menjangkau Alam semesta ini.

Adapun “Wajib Wujud” dengan Dzatnya, maka iu adalah Tuhan yang dari-Nya berasal
segala yang ada Ini.

Anda mungkin juga menyukai