Anda di halaman 1dari 27

Ibnu Sina (370 H – 428 H / 980 M – 1037 M)

Ibnu Sina atau yang dikenal dengan Avicenna adalah seorang ilmuwan, filsuf muslim, dan dokter.
Ia mempunyai nama lengkap Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin
Sina. Ia dikenal sebagai bapak pengobatan modern karena kemahirannya sejak kecil dalam
pengobatan. Ibnu Sina juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah
tentang filosofi dan pengobatan. Ia dilahirkan di Persia (sekarang sudah menjadi bagian
Uzbekistan). Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan
pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Ibnu Sina secara penuh memberikan
perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu,
dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran.

Biografi Ibnu Sina dari Biografi Web

Ibnu Sina adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak
diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai
“bapak kedokteran modern.” George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari
Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu.” pekerjaannya
yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai
sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).

Awal Kehidupan

Kehidupannyan dikenal lewat sumber – sumber berkuasa. Suatu autobiografi membahas tiga puluh
tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan oleh muridnya al-Juzajani, yang juga
sekretarisnya dan temannya. Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya
Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang
sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah
gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan
(dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.Meskipun secara
tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan
memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada
usia 14 tahun.

Ibn Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya
menjadi kekaguman diantara para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap
intellectual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal
Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagan sayur dia
mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang
memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.

Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab
rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran,
obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan
pada abad ke-12 masehi, kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al-
Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini
pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.

Meskipun bermasalah besar pada masalah – masalah metafisika dan pada beberapa tulisan
Aristoteles. Sehingga, untuk satu setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana
dia menghadapi banyak rintangan. pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan
meninggalkan buku – bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat
sampai hidayah menyelesaikan kesulitan – kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan
kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan
meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat puluh
kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata – katanya tertulis dalam
ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari
uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Yang sangat
mengagumkan adalah kesenangannya pada penemuan, yang dibuat dengan bantuan yang dia
harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima kasih kepada Allah SWT, dan
memberikan sedekah atas orang miskin.

Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui
pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode – metode baru
dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun
dan menemukan bahwa “Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti
matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang
sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat – obat yang sesuai.” Kemasyuran
sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta
bayaran.

Pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang
berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke
perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika perpustakaan dihancurkan
oleh api tidak lama kemudian, musuh – musuh Ibnu Sina menuduh din oa yang membakarnya,
dengan tujuan untuk menyembunyikan sumber pengetahuannya. Sementara itu, Ibnu Sina
membantu ayahnya dalam pekerjaannya, tetapi tetap meluangkan waktu untuk menulis beberapa
karya paling awalnya.

Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju keruntuhannya
pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat
ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan,
memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu
tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu
opening untuk bakat – bakatnya. Shams al-Ma’äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam,
seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung,
dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina
sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi,
Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri
idmana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis
untuk orang ini ; dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal
di Hyrcania.

Dalam dunia Islam kitab – kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan
tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam
bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku – bukunya dalam bahasa Persia,
telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954. Karya – karya Ibnu Sina yang ternama dalam
lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-
Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak
menulis karangan – karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis
ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.

Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia
menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah
“Qanun” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini
dterjemahkan ke baasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya
adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak
filsafat paripatetik dalam Islam.

Diantara karangan – karangan Ibnu Sina adalah :

1. As- Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan,
atau Buku tentang Penyembuhan).
2. Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh
buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford
University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun
wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu : (1)Logika (termasuk didalamnya
terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan
segala materi dari penulis – penulis Yunani kemudiannya. (2)Fisika (termasuk psichologi,
pertanian, dan hewan). Bagian – bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara,
waktu, kekosongan dan gambaran). (3)Matematika. Bagian matematika mengandung
pandangan yang berpusat dari elemen – elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya
Ptolemy, dan ikhtisar – ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik. (4)Metafisika. Bagian
falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen –
elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide
Yunani dengan kepercayaan – kepercayaan.Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini
menjadi standar pelajaran filsafat di pelbagai sekolah tinggi.
3. Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
4. Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas
Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
5. Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
6. Al-Musiqa. Buku tentang musik.
7. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
8. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
9. Danesh Nameh. Buku filsafat.
10. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
11. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar – dasar ilmu logika
secara lengkap.
12. Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915
menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
13. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
14. Al-Hudud. Berisikan istilah – istilah dan pengertian – pengertian yang dipakai didalam
ilmu filsafat.
15. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil – dalil dan peringatan
– peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
16. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
17. dan sebagainya

Dari autobiografi dan karangan – kaangannya dapat diketahui data tentang sifat – sifat
kepribadianhya, misalnya :

1) Mengagumi dirinya sendiri


Kekagumannya akan dirinya ini diceritakan oleh temannya sendiri yakni Abu Ubaid al-Jurjani.
Antara lain dari ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku telah hafal Al-Qur’an
dan sebagian besar kesusateraan hinga aku dikagumi.

2) Mandiri dalam pemikiran


Sifat ini punya hubungan erat sudah nampak pada Ibnu Sina sejak masa kecil. Terbukti dengan
ucapannya “Bapakku dipandang penganut madzhab Syi’ah Ismailiah. Demikian juga saudaraku.
Aku dengar mereka menyebutnya tentang jiwa dan akal, mereka mendiskusikan tentang jiwa dan
akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan, memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak
dapat menerima pandangan mereka”.

3) Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara’.


Kata Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya setepat – tepatnya,
juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara syarat – syarat muqaddimahnya,
sampai aku yakin kebenaran masalah itu. Bilamana aku bingung tidak berhasil kepada
kesimpulan pada analogi itu, akupun pergi sembahyang menghadap maha Pencipta, sampai
dibukakan-Nya kesulitan dan dimudahkan-Nya kesukaran.

Rajin mencari ilmu, keterangan beliau “saya tenggelam dalam studi ilmu dan membaca selama
satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat, saya tidak tidur satu malam
suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak sibuk dengan hal – hal lainnya”
Pendendam. Dia meredam dendam itu dalam dirinya terhadap orang yang menyinggung
perasaannya. Dia hormat bila dihormati.

4) Cepat melahirkan karangan


Ibnu Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis – garis besar dari isi
pikirannya serta dia dengan mudah melahirkannya kepada orang lain. Menuangkan isi pikiran
dengan memilih kalimat/ kata-kata yang tepat, amat mudah bagi dia. Semua itu berkat
pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan yang dilakukannya.

Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua periode yang penting. Periode
pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafat paripatetik. Pada periode ini, Ibnu
Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika
Ibnu Sina menarik diri dari faham paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung
kepada pemikiraniluminasi.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi dan
Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi.
Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak
terjawab sebelumnya.

Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran
tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Albertos Magnus, ilmuan asal
Jerman dari aliran Dominique yang hidup antara tahun 1200-1280 Masehi adalah orang Eropa
pertama yang menulis penjelasan lengkap tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis
utama pemikiran Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran
Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani itu dari buku-buku Ibnu
Sina. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya
diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.

Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk
urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia
58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan. Beliau pergi setelah
menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu
dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.
Ibnu Rusyd (Ilmuan Serba Bisa)

Ibnu Rusyd (Ibnu Rushdi, Ibnu Rusyid, 1126 - Marrakesh, Maroko, 10 Desember 1198) dalam
bahasa Arab ‫ اﺑ ﻦ رﺷ ﺪ‬dan dalam bahasa Latin Averroes, adalah seorang filsuf dari Spanyol
(Andalusia). Kakeknya seorang konsultan hukum dan menjadi qadli & imam masjid besar di
Cordova. Ayahnya seorang hakim (qadli). .Sementara itu, banyak saudaranya menduduki posisi
penting di pemerintahan. Latar belakang keluarganya itulah yang sangat mempengaruhi proses
pembentukan tingkat intelektualitas Ibnu Rusyd di kemudian hari.

Ibnu Rusyd adalah seorang ilmuwan muslim yang cerdas dan menguasai banyak bidang ilmu,
seperti al-Quran, fisika, kedokteran, biologi, filsafat, dan astronomi. Ia juga dikenal sebagai
seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, sastra, logika, ilmu-ilmu pasti, di samping sangat
menguasai pula pengetahuan keislaman, khususnya dalam tafsir Al Qur’an dan Hadits ataupun
dalam bidang hukum dan fikih. Bahkan karya terbesarnya dalam bidang kedokteran, yaitu Al
Kuliyat Fil-Tibb atau (Hal-Hal yang Umum tentang Ilmu Pengobatan) telah menjadi rujukan utama
dalam bidang kedokteran. Ibnu Rusyd adalah seorang dokter tokoh perintis ilmu jaringan tubuh
(histology). Ia pun berjasa dalam bidang penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar.

Ia juga seorang filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran
Yunani. Kebesaran Ibnu Rusydi sebagai seorang pemikir sangat dipengaruhi oleh zeitgeist atau
jiwa zamannya. Abad ke-12 dan beberapa abad sebelumnya merupakan zaman keemasan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di Dunia Islam, yang berpusat di Semenanjung Andalusia
(Spanyol) di bawah pemerintahan Dinasti Abasiyah. Para penguasa muslim pada masa itu
mendukung sekali perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan mereka sering memerintahkan para
ilmuwan untuk menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih tersisa, sehingga nama-
nama ilmuwan besar Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phitagoras, ataupun Euclides dengan karya-
karyanya masih tetap terpelihara sampai sekarang.

Kecerdasan yang luar biasa dan pemahamannya yang mendalam dalam banyak disiplin ilmu,
menyebabkan ia diangkat menjadi kepala qadi atau hakim agung Cordoba, jabatan yang pernah
dipegang oleh kakeknya pada masa pemerintahan Dinasti al Murabitun di Afrika Utara.Posisi yang
prestisius dan tentunya diimpikan banyak orang. Posisi tersebut ia pegang pada masa pemerintahan
Khalihaf Abu Ya’kub Yusuf dan anaknya Khalifah Abu Yusuf.

Bidang Kedokteran
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang dokter dan hakim agung, Ibnu Rusyd menyempatkan
diri menulis. Ia menghasilkan lebih dari dua puluh buku kedokteran. Salah satunya adalah al-
Kulliyyat fi al-Thibb, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Latin. Buku yang merupakan
ikhtisar kedokteran yang terlengkap pada zamannya ini diterbitkan di Padua pada tahun 1255.
Sementara itu, salinannya dalam versi bahasa Inggris dikenal dengan judul General Rules of
Medicine. Salinan tersebut sempat dicetak ulang sebanyak beberapa kali di Eropa. Para penulis
sejarah mengungkapkan kedalaman pemahaman Ibnu Rusyd dalam bidang kedokteran dengan
berkata, “Fatwanya dalam ilmu kedokteran dikagumi sebagaimana fatwanya dalam fikih. Semua
itu disebabkan kedalaman filsafat dan ilmu kalamnya.”

Bidang Filsafat
Ibnu Rusyd juga seorang ahli filsafat yang cerdas. Pada masa itu, buku-buku Aristoteles yang
diterbitkan masih sangat sedikit dan sulit dipahami. Menyadari hal itu, Ibnu Rusyd tergerak
untuk mengoreksi buku terjemahan karya Aristoteles tersebut bahkan melengkapinya. Ibnu
Rusyd juga menerjemahkan dan melengkapi sejumlah karya pemikir Yunani lain, seperti Plato
yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad.

Pada tahun 1169-1195, Ibnu Rusyd menulis sejumlah komentar terhadap karya-karya Aristoteles,
seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi,
Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean Ethick. Dengan kecerdasannya, komentar Ibnu
Rusyd itu seolah menghadirkan kembali pemikiran Aristoteles secara lengkap. Di sinilah terlihat
kemampuan Ibnu Rusyd yang luar biasa dalam melakukan sebuah pengamatan. Di kemudian
hari, komentar Ibnu Rusyd tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan tradisi intelektual
kaum Yahudi dan Nasrani. Hal itulah yang kemudian membuka jalan bagi Ibnu Rusyd
mengunjungi Eropa untuk mempelajari warisan Aristoteles dan filsafat Yunani.

Ibnu Rusyd juga dikenal sebagai pengkritik Ibnu Sina yang paling bersemangat. Meskipun
begitu, ia tetap menghormati karya para pendahulunya. Ia juga tertarik pada gagasan al-Farabi
tentang logika. Hal itu selalu memberinya inspirasi untuk berkarya. Ibnu Rusyd adalah seorang
filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran Yunani.

Di bidang ilmu agama, Ibnu Rusyd menghasilkan sejumlah karya, seperti Tahafut at-tahafut,
sebuah kitab yang menjawab serangan Abu Hamid al-Ghazali terhadap para filosof terdahulu.
Sebagai seorang ahli ilmu agama dan filsafat, Ibnu Rusyd dianggap cukup berhasil
mempertemukan hikmah (filsafat) dengan syariat (agama dan wahyu).
Karyanya
Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-karya dalam berbagai
disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang
terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang
ilmu kedokteran, 4 judul tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahu dan
sastra. Di antara karya-karyanya yang terkenal, yaitu:

1. Tahafut al-Tahafut. Buku yang terkenal dalam lapangan ilmu filsafat dan ilmu kalam.
Buku ini merupakan pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali terhadap para
filosof dan masalah-masalah filsafat dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-falasifah.
2. Al-Kasyf ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaid ahl al-Millah. Buku yang menguraikan
metode-metode demonstratif yang berhubungan dengan keyakinan pemeluk agama.
3. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Buku fiqh Islam yang berisi
perbandingan mazhab (aliran-aliran dalam fiqh dengan menyebutkan alasan masing-
masing).
4. Fashl al-Maqal Fi Ma Baina al-Himah Wa asy-Syirah Min al-Ittishal. Buku yang
menjelaskan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at.
5. Al-Mukhtashar al-Mustashfa fi Ushul al-Ghazali. Ringkasan atas kitab al-Mustashfa al-
Ghazali.
6. Risalah al-Kharaj. Buku tentang perpajakan.
7. Kitab al-Kulliyah fi al-Thibb. Ensiklopedia kedokteran.
8. Dhaminah li Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim. Buku apendiks mengenai ilmu qadimnya Tuhan
yang terdapat dalam buku Fashl al-Maqal.
9. Al-Da’awi. Buku tentang hukum acara di pengadilan.
10. Makasih al-Mulk wa al-Murbin al-Muharramah. Buku yang berisi tentang perusahaan-
perusahaan negara dan sistem-sistem ekonomi yang terlarang.
11. Durusun fi al-Fiqh. Buku yang membahas beberapa masalah fiqh.

Buku-buku yang disebutkan di atas merupakan karya asli dari pemikiran Ibnu Rusyd. Selain itu,
Ibnu Rusyd juga menghasilkan karya ulasan atau komentar terhadap karya filosof-filosof
sebelumnya seperti Ibnu Sina, Plato, Aristoteles, Galen dan Porphiry, seperti: Urjazah fi al-Thibb,
Kitab al- Hayawan, Syarh al-Sama’ wa al-A’lam, Syarah Kitab Burhan, Talkhis Kitab al-Akhlaq
li Aristhuthalis, Jawami’ Siyasah Aflathun, dan sebagainya.

Gerakan Averoisme
Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat Aristoteles
yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga disebut gerakan
intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.

Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun
setelah kematian Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya Abu Yusuf al-
Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibnu Rusyd, sehingga beliau
ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova. Pemerintah juga memerintahkan untuk
membakar semua karyanya dan sekaligus melarang membaca karya-karyanya. Beberapa
pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides, Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini
menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini Ibnu Rusyd melanjutkan
pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau adalah bangsa Yahudi.

Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari bahasa
Arab ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang selama ini
telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.

Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan
Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang rasional
dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap
pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya sebagai
pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang pertama kali
menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari
Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd lainnya
mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.

Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan
diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van
Parma. Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menela’ah karya-karya ulasan Ibnu
Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd
ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat
untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan
dengan semangat rasional. Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak
pengetahuan, sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan
muslim ke Barat.

Ajaran-ajaran mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah pandangan
mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu Rusyd,
mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang menggerakkannya. Karena
tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka
sampailah mereka pada kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu
Rusyd disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan) atau Prima Causa menurut Aristoteles.

Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka
tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah
menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh akal-akal
berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam terhadap penciptaan
Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan Tuhan terhadap
segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi melalui hukum-hukum alam yang tetap yang
telah diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya tersebut

Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya
diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap ajaran Ibnu Rusyd
berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun 1277 M pandangan-pandangan
Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan
gereja. Siger van Brabant sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada
tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas yang
mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme dihukum
dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Selama tahun 1481-1801, tidak kurang dari
340.000 pengikut Rusyd dihukum, dan hamper 32.000 diantaranya dibakar hidup-hidup.
Pendapat lain mengatakan sejak tahun 1481-1499 pengikut Rusyd telah dibakar sebanyak 10.022
orang dan 66.860 orang dihukum gantung serta 97.023 orang duhukum dengan berbagai
sisksaan.

Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut
perkembangan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke berbagai wilayah
lainnya di Eropa. Apalagi setelah Johannes mengeluarkan statemen bahwa Averroisme itu benar,
kitab Suci juga benar, baginya kebenaran ada dua yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran
teologi.

Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan
renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan warisan Yunani
dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan gereja sebagai
agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada abad ke-14 hingga sekitar
pertengahan abad ke-17.

Inti renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh Dewa
dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat pada manusia
bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu Rusyd
tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan kesadaran bagi
mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani
dan Islam.

Akhir Hayatnya
Awalnya Ibnu Rusydi mendapat kedudukan yang baik pada masa pemerintahan Abu Yusuf Al-
Mansur. Sehingga pada saat itu Ia menjadi raja semua pikiran. Tidak ada pendapat kecuali
pendapatnya. Namun, itu berubah ketika Ibnu Rusydi difitnah oleh kelompok orang penentang
filsafat, bahwa Ibnu Rusydi telah keluar dari Islam.

Beberapa kalangan ulama lainnya pun yang tidak suka dengannya, mencoba menyingkirkan Ibnu
Rusydi dengan cara yang sama, yaitu memfitnahnya. Mereka memfitnah Ibnu Rusydi telah
menyebarkan ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Lalu, karena tuduhan itu Ia
diasingkan ke sebuah daerah bernama Lucena. Dan sejak saat itu pula, filsafat tidak dapat
mendapat tempat di dunia Islam. Namun, beberapa tahun kemudian al-Mansur memaafkan dan
membebaskannya. Semasa hidupnya, Ibnu Rusyd menghasilkan sekitar 78 karya, yang semuanya
ditulis dalam bahasa Arab. Kini, sejumlah karyanya tersimpan rapi di perpustakaan Escurial,
Madrid, Spanyol.
Setelah pembebasan itu, Ibnu Rusydi pergi ke Maroko, dan menghabiskan sisa hidupnya
disana, sampai Ia wafat pada tahun 595 H/ 1195 M.
Al-Farabi (870 M – 950 M)

Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi
adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Ia juga dikenal dengan
nama lain Abu Nasir al-Farabi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad
Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga dikenal di dunia barat sebagai
Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. 870.

Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli.
Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai
hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-
Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika
dasar.

Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan
sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.

Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi
kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran
merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf
Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.

Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al
Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam
Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember
950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).
Biografi
Al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan,
sekitar tahun 870. Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.Al-Farabi melewatkan
masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi
menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan
bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal
pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama
(fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.Setelah menyelesaikan studi dasarnya,

al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya.
Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah
yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti
Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini
menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan
dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali
belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang
berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir
Khalifah al-Radhi tahun 936.Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia
menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke
Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna
ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian,
termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di
bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa
Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru
diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam
bahsa aslinya.

Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa
kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk
lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di
Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn
Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan
mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian.
Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat
mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.

Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia
sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja
sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya
filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke
Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat
perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam
perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya
dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi
asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu
yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal
dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.

Kontribusi

Ilustrasi dari Kitab al-Musiqa al-Kabir.


Gambaran dari alat musik, disebut shahrud

Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun
kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato,
Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti
matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang
sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, ia juga
dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.

Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya
dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat.

Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh
mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya
bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.

Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman
pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang
Khalifah. Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada
masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai
periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik.

Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli
Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau
pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara
pemerintahan yang ideal (Negara Utama).
Buah Pemikiran
Karya - Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-
karya al- Farabi dapat ditinjau menjdi 6 bagian yakni: Logika, Ilmu-ilmu Matematika, Ilmu
Alam, Teologi, Ilmu Politik dan kenegaraan, Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).

Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang
membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rejim
yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-
Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi
ajaran Imamah dalam Syi'ah.

Pemikiran tentang Asal-usul Negara dan Warga Negara


Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat
terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan
bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam
proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, negara atau
kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi
kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur
ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah.
Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata,
menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.

Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. yang diikuti
dengan segala prinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan
konsep dasar.

Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak
serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh
warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang
paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.

Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami,
pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada tiga
klasifikasi utama:

1. Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur
yang tidak diatur oleh organ lainnya.
2. Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat
pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga,
seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
3. Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ
dari bagian atasnya.
Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk, yaitu:

1. Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah): negara yang dipimpin oleh para nabi dan
dilanjutkan oleh para filsuf; penduduknya merasakan kebahagiaan.
2. Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah): negara yang penduduknya tidak
mengenal kebahagiaan.
3. Negara Orang-orang Fasik: negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi
tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
4. Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah): pada awalnya penduduk
negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama, namun
kemudian mengalami kerusakan.
5. Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah): negara yang dipimpin oleh orang yang
menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan
ucapan dan perbuatannya.

Pemikirannya Tentang Pemimpin


Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan
paling sempurna di dalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang
disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik
dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).

Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya
(Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau
generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua.
Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi , namun
kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu
pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena
itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.
Al-Ghazali

Sejarah dan Biografi Tokoh besar Islam Imam Al Ghazali


Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka
dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke
seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan
kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap
kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau


Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid
Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali.
Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi,
tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan
pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin
Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin
Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah
salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian
keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat
Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.”
Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah
bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari
keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah
anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan
tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas
dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192).
Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat
Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan
194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu


Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya
di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya
dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis
menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini.
Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk
keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta
peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat
orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua,
saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang
tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah
sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan
ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami
menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah
ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil
pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan
bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar
perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih.
Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala
untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang
faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat
(Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin
Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu
dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi
(Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh
kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih
khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan
para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang
membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323
dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir
Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau
menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik
mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk
pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah
An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi
terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya


Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan
terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi
beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan
beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat
menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu
Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya
sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish
Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya
terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits
palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan
ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau
menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina
dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin
jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab
At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya,
dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang
atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa.
Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid
bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam
Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya
dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama
muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi
mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak
mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia.
Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni
ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan
perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya
yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi
Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’
Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di
masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab
Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan
mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi.
Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.”
(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk)
mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau
tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal
menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan
tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi
dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta
tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An
Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu
dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya
dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al
Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan
puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan
ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu
hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat.
Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang
putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal
Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid
berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan
menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk
menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau
meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir
tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal
Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah
6/203-204

Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara
karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof
dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang
sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:

(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih.
Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya.
Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan
pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul
dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul
fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya
mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap
keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu
menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis
Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).

Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk
dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah
semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya
pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).

Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang
yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama
sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).
Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta
pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan
dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah
Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi,
bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin
Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas
nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 19/329).

Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam,
menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama
mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan
mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam
Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.

(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.


(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan
beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq
Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum
muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di
antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan
terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini
yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran
filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang
kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam
Nubala 19/334).

Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda
tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan
beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman.
Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat
memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian
beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati
dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al
Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia
hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang
ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki
keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan
hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya,
“Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan
padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi
yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).

Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-
hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui
sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al
Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya
Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat
keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah
dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal
yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.

(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah.

Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki
menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.

Aqidah dan Madzhab Beliau


Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith,
Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab
Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan
mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman,
Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy
Syafi’i.”

Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang
bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof
serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab
tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al
Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah
merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak
memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam
bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah
juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting
menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf
beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya.
Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan
menyetujuinya.

Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara
tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap
dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak
berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi
Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat
Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).

Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif
Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul
Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda
dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud
menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al
Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan
di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah.
Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali
teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan
rahasia dalam aqidahnya.

Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan
kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau
belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya.
(Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan
pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi
(Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam
agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme.
Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah,
karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau
akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan
pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah
terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte
Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka,
seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah
untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam
menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash
dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan
pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab
Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah
Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan
Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen)
karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak
mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang
bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu
dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan
diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian.
Ibnu Khaldun (peletak dasar ilmu sosial dan politik Islam)

Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar
Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. lahir di Tunisia
pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi
Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak
Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis
jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823)
mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya
sudah menyebar ke mana-mana.

Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam,
pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang
luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula.

Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, baik suka dan
duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di Fes, Granada, dan Afrika Utara serta pernah
menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari
sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum
dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu
Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan hidup beliau.
Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan
sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.

Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya.
Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H.
yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun
berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir; Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan
sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi).
Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke
dalam penjara.
SETELAH keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu
berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-
catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-’ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan
ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul
Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min
Dzawis Sulthan al-Akbar.

Kitab al-i’bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan
judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun
kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan
diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog German dan
Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern.

Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn Khaldun
(sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu
al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin
(sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan
dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin
ar-Razi).

Scotland dalam artikelnya “The Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an
mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, “Tulisan-tulisan sosial dan
sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di
dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya
dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah
muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih
terus dikaji hingga saat ini.

Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun menganalisis
apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan metoda-metodanya yang masuk akal yang
dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab
ke dua dan ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat
primitif dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik di
masyarakat.

Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara
berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis
terhadap gejala-gejala ini. Bab ke empat dan ke lima, menerangkan tentang ekonomi dalam
individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik,
ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-
14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia
telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.

Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung
pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan
negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang
ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju
ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-
bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun
karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.

ADA beberapa catatan penting dari sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu
Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia
adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia
selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia
pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat.
Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan
waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi
dan kondisi.

Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar
ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan oleh ayahnya
menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu
keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran.
Sebagaimana dikatakan olehnya, “Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama
yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Alquran dapat
meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran pun patut diutamakan
sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.”

Jadi, nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-
ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan
oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar
untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci
keberhasilan Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada
tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.

Anda mungkin juga menyukai