Anda di halaman 1dari 5

Memasuki paruh kedua periode klasik Islam, dunia Islam mengalami

perkembangan keilmuwan yang luar biasa. Kemajuan di bidang ilmu


pengetahuan membuat Islam menjadi pusat peradaban dunia pada waktu itu.
Tidak dapat dipungkiri keilmuwan Islam pada masa itu jauh meninggalkan
keilmuwan Barat, sehingga wajar jika kemajuan tersebut membuat orang-orang
Barat terpukau ketika menyaksikan peradaban Islam di Sisilia, Cordova dan
daerah pusat peradaban Islam lainnya.
Perkembangan pengaruh Islam yang semakin meluas, ternyata dibarengi juga
dengan bermunculannya ilmuwan-ilmuwan muslim yang mempunyai kelebihan
di berbagai disiplin ilmu. Sebut saja tokoh-tokoh seperti Al-Thabari, Al-Kindi, Al-
Farabi, Al-Khawarizm, dan Ar-Razi merupakan segelintir ilmuwan mahsyur yang
muncul pada masa itu. Selain tokoh-tokoh tersebut terdapat tokoh lain yang
juga memberi pengaruh luar biasa pada hegemoni ilmu pengetahuan Islam saat
itu, tokoh tersebut bernama Ibnu Sina. Dia terkenal dengan berbagai
penguasaan ilmu, mulai dari kedokteran hingga filsafat. Hingga akhir hayatnya
dia memberikan kontribusi luar biasa dalam kejayaan pengetahuan dunia
Islam.
PERJALANAN HIDUP

Ibnu Sina atau yang lebih dikenal dunia Barat dengan nama Avicenna
mempunyai nama lengkap Abu Ali al-Huseyn bin Abdullah bin Hasan Ali bin
Sina. Julukannya adalah al-Ra’s  (puncak gunung pengetahuan). Menurut Ibnu
Khallikan, Al-Qifti, dan Bayhaqi, Ibnu Sina lahir pada bulan bulan Shafar 370 H/
Agustus 980 M, di desa Afsanah, Bukhara, Uzbekistan. Ayahnya, ‘Abdullah dan
Sitarah, ibunya, merupakan keturunan Persia, karena itu ketika Ibnu Sina masih
remaja dia sering menulis puisi dan essai dalam bahasa Persia.

Keluarga Ibnu Sina bisa dikatakan keluarga yang mampu. Ayahnya diangkat
menjadi gubernur di sebuah distrik di Bukhara, ketika masa pemerintahan 
penguasa Samaniyah, Nuh II bin Mansyur. Berangkat dari keluarga yang
mampu, orang tua dari Ibnu Sina berusaha memberi anaknya pendidikan
terbaik. Ayah Ibnu Sina merupakan seorang muslim dari sekte Isma’ili (Syiah).
Rumahnya merupakan pusat aktivitas sarjana, dan ulama masyur pada
masanya. Mereka banyak melakukan aktivitas diskusi membahas berbagai
permasalahan, dari diskusi-diskusi inilah Ibnu Sina memahami pengetahuan
yang luas.
Ibnu Sina memang telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa sejak
kecil. Selain mempunyai kemampuan analisa berpikir yang tajam, Ibnu Sina
juga dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Orang tua Ibnu Sina
mulai memberikan pendidikan agama dan logika elementer sejak Ibnu Sina
masih berusia 5 tahun. Pada usia 10 tahun, Ibnu Sina telah hafal al-Qur’an. Dia
juga belajar fikih, dan ilmu-ilmu syariat.

Tidak hanya mempelajari ilmu agama, setelah menguasai ilmu teologi Ibnu Sina
mulai terjun ke dunia filsafat hingga umur 16 tahun. Ibnu Sina juga berguru
kepada Abu Abdullah An-Naqili, dan belajar Kitab Isaghuji dalam ilmu logika
dan berbagai kegiatan Euklides dalam bidang matematika. Setelah itu, dia
belajar secara otodidak dan menekuni matematika hingga dia berhasil
menguasai buku Almagest karangan Ptolemaeus serta menguasai disiplin ilmu
pengetahuan alam. Sering sekali soal-soal ilmiah yang tidak dapat diselesaikan
oleh gurunya, mampu dia selesaikan.

Semangat untuk belajar Ibnu Sina tidak berhenti di bidang teologi dan
matematika saja, karena dia lalu mempelajari ilmu kedokteran kepada gurunya,
Abu Manshur al-Qamari, penulis kitab Al-Hayat Wa al-Maut, dan Abu Sahal Isa
bin Yahya al-Jurjani, penulis ensiklopedia kedokteran Al-Kitab Al-Mi’ah Fi
Shina’atih Thib.  Ibnu Sina akhirnya menguasai ilmu kedokteran dalam waktu
satu setengah tahun. Tidak dapat dipungkiri Ibnu Sina merupakan pribadi yang
bijaksana, dia tidak membuang waktu masa mudanya untuk hal sia-sia, dia
selalu memanfaatkan waktunya untuk belajar  berbagai ilmu hingga dia
menguasainya.

Tidak mengherankan memasuki  usia 16 tahun, Ibnu Sina telah menjadi pusat
perhatian para dokter sezamannya. Mereka sering menemuinya untuk
berdiskusi perihal penemuan dalam bidang kedokteran. Pada usia yang sama,
dia dapat menyembuhkan penyakit yang diderita sultan Samaniyah, Nuh bin
Manshur (976-997), sehingga dia diberi hak istimewa untuk menggunakan
perpustakaan besar milik raja.

Dianugerahi dengan kemampuan luar biasa untuk menyerap dan memelihara


pengetahuan, ilmuwan muda dari Persia ini membaca seluruh buku-buku di
perpustakaan itu , hingga akhirnya berhasil menguasai semua ilmu yang ada
pada masanya, sekalipun dia lebih menonjol dalam bidang filsafat dan
kedokteran. Memasuki usia 21 tahun, Ibnu Sina mulai menulis karya-karya
monumental di berbagai bidang keilmuwan, dengan karya pertamanya
berjudul Al-Majmu’u  (ikhtisar),  yang memuat berbagai ilmu pengetahuan
umum.

Ibnu Sina tidak pernah berhenti membaca serta tidak pernah bosan menulis
buku. Dia memang dikenal kuat memikul tanggung jawab ilmuih dan sering
tidak tidur malam hanya karena membaca dan menulis. Selain itu, Ibnu Sina
tidak mengambil upah dalam mengobati orang sakit. Bahkan dia banyak
bersedekah kepada fakir miskin sampai akhir hayatnya.

Ibnu Sina wafat di Hamdzan, Persia pada tahun 428 H (1037 M) dalam usianya
yang ke-58 tahun. Dia wafat karena terserang penyakit usus besar. Selama masa
hidupnya Ibnu Sina memberikan sumbangan luar biasa terhadap kemajuan
keilmuwan. Pemikiran-pemikiran Ibnu Sina di berbagai disiplin ilmu banyak
diadopsi oleh ilmuwan masa setelahnya, tidak hanya oleh ilmuwan muslim
tetapi juga ilmuwan Barat banyak yang mengadopsi pengetahuan dari karya-
karya Ibnu Sina. Dalam rangka memperingati 1000 tahun hari kelahirannya,
melalui event Fair Millenium di Teheran pada tahun 1955, Ibnu Sina dinobatkan
sebagai “Father of Doctor” untuk selama-lamanya.

Penemuan di bidang kedokteran

Ibnu Sina memiliki kontribusi luarbiasa dalam kemajuan bidang kedokteran


dan berbagai cabangnya. Dia telah melakukan penelitian besar dan
mendapatkan penemuan penting yang diabadikan oleh sejarah kedokteran.
Antara lain penemuan penyakit parasitic, penyakit dalam, kepala yang terluka,
penyakit perut, penyakit jiwa, dan lain sebagainya.

Pemikiran melalui filsafat jiwa

Sebenarnya banyak sekali pemikiran Ibnu Sina mengenai Filsafat, tetapi penulis
pada kesempatan kali ini hanya akan mengambil salah satu dari pembahasan
Ibnu Sina mengenai Filsafat, yaitu tentang jiwa. Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah
kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna,
sehingga menjadi manusia nyata. Kesempurnaan bagi Ibnu Sina adalah sesuatu
yang dengan keberadaannya tabiat jenis menjadi manusia. Artinya, jiwa
merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan
prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran dapat dinamakan jiwa jika aktual di dalam
tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku.
Secara garis besar, Ibnu Sina membagi pembahasan jiwa menjadi dua bagian,
yaitu fisika dan metafisika. Dalam pembahasan jiwa dari sisi fisika, Ibnu Sina
membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.

1. Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya : makan, tumbuh, dan


berkembang biak.
2. Jiwa binatang/hewan mempunyai dua daya : gerak (al-mutaharrikat) dan
menangkap (al-mudrikat). Daya yang terakhir dibagi menjadi dua,
menangkap dari luar (al-mudrikat min al-kharij) dengan pancaindera dan
menangkap dari dalam (al-mudrikat min al-dakhil) dengan indera bathin.
3. Jiwa manusia, yang disebut pula al-nafs al-nathiqat, mempunyai dua
daya : praktis (al-amilat) dan teoritis (al-alimat). Daya praktis
hubungannya dengan jasad, sedangkan daya teoritis hubungannya
dengan hal-hal yang abstrak.

Dari segi metafisika, hal-hal yang dibicarakan Ibnu Sina adalah mengenai wujud
jiwa, hakikat jiwa, hubungan jiwa dengan jasad, dan kekekalan jiwa.

Karya ibnu sina

Di dunia Islam buku karya Ibnu Sina terkenal, bukan hanya karena kepadatan
pengetahuannya, tetapi karena bahasanya baik dan caranya menulis sangat terang. Selain
menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku - bukunya
dalam bahasa Persia, diterbitkan di Teheran pada tahun 1954. Karya - karya Ibnu Sina yang
terkenal di bidang Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al sinyal. An-Najat adalah resum
buku Al-Shifa. Al-Signal, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain itu, ia telah
menulis esai - esai pendek yang disebut Maqallah. Kebanyakan maqallah ditulis ketika ia
menerima inspirasi dalam sesuatu yang baru dan segera membentuk dikarangnya.

Meskipun ia hidup dalam masa yang penuh dengan keterkejutan dan sering disibukkan
dengan masalah-masalah negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Di antara
karya-karya yang paling terkenal adalah "Qanun" yang merupakan ringkasan pengobatan
Islam dan diajarkan hingga sekarang di Timur. Buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan
diajarkan di Universitas Barat. Karya ini bersifat monumental ensiklopedinya "Kitab Al-
Syifa". Karya ini merupakan puncak filsafat dalam Islam. 

Ibn Sina, yang dikenal di Barat dengan Avicena (Spanyol Aven Sina) dan ketenarannya di
Barat sebagai dokter melampaui ketenaran sebagai filosuf, jadi dia diberi mereka gelar
"Pangeran Dokter". Di dunia Islam dia dikenal dengan nama al-Syekh al-Rais, pemimpin
utama (filsuf - filsuf).

Dalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibn Sina telah berjanji kepada Tuhan
dalam salah satu kehendaknya, di antara hal-hal lain bahwa ia akan menghormati syariat tidak
mengabaikan pelayanan spiritual dan fisik dan tidak akan minum - minum untuk memuaskan
nafsu, tetapi untuk kesehatan. Hidup Sina penuh dengan aktivitas kerja keras. Waktu yang
dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, jadi dia punya sakit maag yang tidak bisa
diperbaiki. Pada usia 58 tahun (428 AH / 1037 CE) Ibn Sina meninggal dan
dimakamkan di Hamazan. 

Anda mungkin juga menyukai