Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Seminar Peradaban

Dosen Pengampu:

Drs. H. M. Ridwan, M, Ag.

Disusun Oleh:
Moh. Luthvil Izza (A92218101)

SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2022

\
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan nikmat
islam, sehat walafiat, serta hidayah-Nya, sehingga makalah ini dapat selesai dalam waktu
yang telah ditentukan. SholawatSeiring salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi
Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Makalah ini telah diupayakan untuk dibuat dengan semaksimal mungkin. Tentu
dengan adanya bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah berkontribusi dan turut membantu dalam pembuatan makalah ini.

Selanjutnya, pemakalah mengakui bahwa dalam pembuatan makalah mata kuliah


Seminar Peradaban ini tidak luput dari adanya kekurangan. Maka dari itu, untuk
penyempurnaan makalah ini, diharapkan kritik dan saran dari dosen pengampu agar
pemakalah dapat menyajikan makalah yang lebih baik lagi. Semoga sedikitnya ilmu dan
data yang tersaji di dalammakalah ini dapat bermanfaat dan memperluas wawasan pembaca
dan sekaligus pemakalah.

Surabaya, 31 Mei 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu pembendaharaan ilmu dalam Islam adalah Filsafat Islam, ilmu ini
merupakan produk sumbangan pemikiran para filosof muslim, yang berusaha
merekonsilidasikan pemikiran filsafat dengan ajaran Islam yang sarat dengan
muatan- muatan intitusi ilmiah.Para filosof muslim yang corak berfikir filsafatnya,
memang di satu segi terpengaruh oleh cara berfikir para filosof Yunani (khususnya),
namun demikian, mereka tidak begitu saja menerima pemikiran filsafat para filosof
Yunani tersebut. Untuk itu, mereka secara intens berupaya menyelaraskan antara
agama dengan logika wahyu dan filsafat dengan logika rasio.
Perpaduan antara “bahasa langit” dengan “bahasa bumi” ini telah dikenal
dengan sedemikian rupa, sehingga membentuk seperangkat ilmu dengan metode
logisnya yang khas pada masa perkembangan pemikiran rasional dalam Islam.
Makalah ini mencoba membahas salah satu sosok filosof muslim terkemuka, Ibnu
Sina. Menarik untuk dikaji, karena corak berfikir filosofisnya banyak diilhami oleh
cara berfikir filsafat Plato daan Aritoteles. Namun demikian, ia tidak meninggalkan
jati dirinya sebagai seorang filosof muslim. Ia telah berhasil menampilkan pemikiran
filosofis dengan coraknya tersendiri yang belum pernah ada dalam wacana
pemikiran para filosof Yunani sebelumnya. Ibnu Sina, sebagaimana pendahulunya,
Al-Farabi, telah berhasil menegakkan bangunan Neoplatonis di atas dasar kosmologi
Aristotelesptolemi. Dalam bangunan tersebut, ia berusaha menggabungkan konsep
pemunculan alam wujud berdasarkan teori emanasi yang bernuansa Islami.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Ibnu Sina?
2. Bagaiman riwayat pendidikan Ibnu Sina?
3. Bagaimana pemikiran filsafat Ibnu sina?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi Ibnu Sina.
2. Untuk mengetahui riwayat pendidikan Ibnu Sina.
3. Untuk mengetahui pemikiran filsafat Ibnu sina.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Sina
Nama Lengkapnya adalah Abu Ali Al-Husain Bin Abdullah Bin Sina, lahir
di Afsyana dekat kawasan Bukhara pada tahun 370 H (980 M). Ia dibesarkan di
Bukhara pada umur 10 tahun, Ibnu Sina telah mempelajari ilmu-ilmu agama,
kesusasteraan, serta telah hapal Al-Qur’an.1 Ibnu Sina wafat dalam usia 58 tahun
(1037 M) dan dikebumikan di Hamazan. Di Barat ia lebih poluler dengan nama
sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorfoose Yahudi-Spayol-Latin.
Dengan lida Spayol kata Ibn di ucapkan Aben atau Aven. Terjadinya perubahan ini
berawal dari usaha menterjemahkan naskah- naskah Arab ke dalam bahasa latin pada
pertengahan abad keduabelas di Spayol.2 Ayahnya bernama Abdullah adalah seorang
Ismailliyah. Lewat usaha ayahnya, Ibnu Sina tertarik untuk mempelajari ilmu filsafat
dengan menekuni alam fikiran Yunani, Islam dan berbagai perangkat materi filsafat
lainnya. Selain itu, ia juga mempelajari ilmu logika, geometri, dan astronomi dari
Abu Abdillah dan secara otodidak, ia belajar ilmu kedokteran, fisika dan metafisika
serta memperoleh pengetahuan secara mendalam dari jenis ilmu yang disebut
terakhir ini. dalam usia enam belas tahun, ia telah dikenal sebagai seorang dokter
yang ahli dalam berbagai penyakit.
Dan dalam usia delapan belas tahun, ia telah menguasai berbagai macam
ilmu pengetahuan, seperti filsafat, matematika, logika, astronomi, musik, mistik,
bahasa, dan ilmu hukum Islam. Namanya semakin terkenal dalam ilmu kedokteran,
ketika ia dapat menyembuhkan penyakit yang diderita Nuh Ibn Mansur (Penguasa
Bukhara).3 Disinyalir setelah menyembuhkan Penguasa Bukhara tersebut, sebagai
imbalan Sultan mengizinkan Ibnu Sina memamfaatkan perpustakaan pribadinya,
sejak itu ia memuaskan dirinya dengan berbagai bahan bacaan ilmu pengetahuan.
Ketika ia berusaha memahami alam fikiran metafisika Aristoteles, ia mengalami
kesulitan walaupun sudah dibaca berulang- ulang, konon dikabarkan sampai 40 kali.
Ia akhirnya terbantu oleh sebuah risalah pendek karangan Al-Farabi, yang
didapatnya secara kebetulan di tokoh loak saat belajar di pinggir pasar. dengan
demikian, Ibnu Sina sendiri mengakui bahwa Al-Farabi sebagai guru keduanya (Al-

1
Umar Amin. Hosien, Filsafat Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1975), 110.
2
Nurcholis Madjid, Khazana Intelektual Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1984), 94.
3
Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1989), 66.
Mu‟allimu al-tsani).4 Dalam usia Ibnu Sina memasuki 20 tahun, ayahnya meninggal
dunia. Ia kemudian pindah ke Jurjan, karena terjadi kekacauan politik pada waktu
itu, dari kota ini kemudian ia ke Hamazan (bagian barat Iran). Di Hamazan, ia
pernah diangkat menjadi menteri di istana Sam al-Daulah. Karena terlibat konflik
politik juga, akhirnya ia dipenjarakan dan berhasil meloloskan diri, lalu hijrah ke
kota Isfahan di istana penguasa dan meninggal pada tahun 428 H. (1037 M).
Meskipun sibuk dengan urusan politik dan negara, semasa hidupnya, Ibnu
Sina termasuk seorang filosof muslim yang sangat produktif, dengan menulis lebih
dari 100 buah buku. Di antaranya ada beberapa buku yang tebal-tebal dalam
berbagai disiplin ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab maupun Persia, sehingga
meninggalkan pengaruh yang sangat besar bagai generasi sesudahnya, baik di Barat
maupun di Timur. Di antara karya tulisnya yang terpenting adalah:
1. Al-Syifa, berisikan uraian tentang filsafat yang terdiri atau empat
bagian, yaitu: Ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.
2. Al-Najat, berisikan ringkasan dari kitab al-Syifa. Karya tulis ini
ditujukan buat orang terpelajar khususnya yang ingin mengetahui dasar-
dasar ilmu hikmah secara lengkap.
3. Al-Qanun fi al-Thibb, berisikan ilmu kedokteran, yang terbagi menjadi
lima kitab yangterdiri dari berbagai disiplin ilmu medis dan nama jenis-
jenis penyakit dan lain-lain.
4. Al-Insyarat wa al-Tanbihat, kitab yang mengandung uraian tentang ilmu
logika dan hikmah

B. Riwayat Pendidikan Ibnu Sina


Pendidikan Ibnu Sina di mulai pada usia lima tahun di kota kelahirannya,
Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali yang Ibnu Sina pelajari adalah membaca al-
Qur’an, setelah itu pendidikan Ibnu sina dilanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu
agama Islam seperti Tafsir, Fiqih, Ushuluddin dan lain sebagainya. Berkat ketekunan
dan kecerdasannya, Ibnu Sina berhasil menghapal al-Quran dan menguasai berbagai
cabang ilmu-ilmu agama tersebut pada usia yang belum genap sepuluh tahun. Dalam
bidang Pendidikan lain, ibnu sina juga mempelajari beberapa disiplin ilmu

4
Yunarsil Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta : Aksara, 1991), 59.
diantaranya Matematika, logika, fisika, kedokteran, Astronomi, Hukum, dan
sebagainya.
Dengan kecerdasan yang beliau miliki, beliau banyak mempelajari filsafat dan
cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa
ketinggian otodidaknya, namun pada saat ibnu sina menyelami ilmu metafisika nya
Arisstoteles, beliau mengalami kesulitan kendati sudah berulang-ulang membacanya
bahkan beliau menghafalnya, tetap saja beliau belum dapat memahami isinya. setelah
ibnu sina membaca karya Al-Farabi dalam buku risalahnya, barulah Ibnu Sina dapat
memahami ilmu metafisika dengan baik. Secara tidak langsung Ibnu Sina telah
berguru kepada al-Farabi, bahkan dalam otobiografinya disebutkan mengenai utang
budinya kepada Al-Farabi.5
Pada usia 16 tahun ibnu sina mulai dikenal sebagai ahli pengobatan, dan sudah
benar-benar dikenal pada saat beliau berumur 17 tahun dengan pembuktian bahwa
beliau telah berhasil menyembuhkan penyakit yang diderita sultan Samani Nuh Ibn
Mansur. Untuk menambah ilmunya, dalam bidang pendidikan ibnu sina juga banyak
menghabiskan sebahagian waktunya dengan membaca serta membahas buku-buku
yang beliau anggap penting di perpustakaan kerajaan Nuh ibnu Manshur yang
bernama kutub Khana, di sinilah ibnu sina melepaskan dahaga belajarnya siang
malam sehingga semua ilmu pengetahuan dapat dikuasainya dengan baik. dalam
sejarah, pendidikan ibnu sina tidak diragukan lagi, dari kesungguhan dan keseriusan
beliau, secara tidak langsung telah memberikan sumbangsih besar bagi kita umat
islam seluruh dunia. dari ketekunan dan kesungguhan ibnu sina, kita dalam belajar
bagaimana sejarah perjalanan pendidikan ibnu sina yang penuh perjuangan dan kerja
keras.6
C. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1. Filsafat Wujud
Dalam pembuktian tentang eksistensi Tuhan, Ibnu Sina menempuh jalan yang
agak berbeda dengan jalan yang ada adalam agama dan juga dengan dalil para teolog
(ahli mutakallimin) yang tertitik tolak pada konsep “alam baharu” ia sebenarnya
hanya melanjutkan dalil ontologi yang berasal dari Aristoteles dan mengikuti al-
Farabi sebelumnya dengan membagikan wujud ini kepada dua jenis, yaitu wajib al-
wujud dan mumkin al-wujud, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya.Wajib

5
Sirajudin Zar, Filsafat Islam I, (Padang: 1999, IAIN Imam Bonjol Press), 93.
6
Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1989), 8-9.
al-wujud adalah sesuatu yang ada (al-maujud) yang jika diandaikan tidak ada, ia
menjadi mustahil, dengan kata lain ia mesti adanya. Sedangkan yang dimaksud
dengan mumkin al-wujud dalah yang tidak diandaikan, tidak ada atau ada, ia tidak
menjadi mustahil, maksudnya ia boleh ada dan boleh tidak ada atau tidak ada dari sisi
apapun.7
Konsep ini semata-mata bersifat akali, namun Ibnu Sina menjabarkanya
dengan membagikan wajib al-wujud menjadi dua bagian, yaitu:
a. Wajib al-wujud bi zatihin, wujudnya ada karena zatnya semata, sehingga
mustahil jika diandaikan tidak ada, karena adanya tidak butuh sebab yang lain
di luar dirinya.
b. Wajib al-wujud bi ghoirihi, wujudnya karena ada sesuatu yang lain di luar
zatnya, umpamanya tempat adanya itu bukan karena dirinya, melainkan hasil
penambahan dua dengan dua.
Demikianlah bahasan tentang Ibnu Sina. Kendatipun kenbanyakan pemikira
pemikiran filsafatnya telah banyak dikemukakan oleh al-Farabi sebelumnya, namun
ia telah berhasil memberikan uraian secara rinci dan lengkap dengan gaya
pemikirannya yang menarik. Karena itu tepat sekali ada penilaian yang mengatakan
bahwa di tangan Ibnu Sinalah filsafat di dunia Islam (dunia Timur) mencapai
puncaknya yang tertinggi.8
2. Filsafat Emanasi
Filsafat emanasi atau al-faidh adalah teori pancaran tentang penciptaan alam,
yang mana alam ini maujud karena limpahan dari Yang Mahasa Esa (The One). Ibnu
Sina sepertinya mengalami kesulitan dalam menjelaskan masalah ini, yaitu
bagaimana terjadinya yang banyak (alam) yang bersifat materi berasal dari Allah
yang imateri dan Maha Sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah
penciptaan alam, melainkan ia adalah penggerak pertama (Prime Cause).
Untuk memecahkan masalah ini, maka Ibnu Sina memecahkan dengan teori
emanasi (pancaran). Sebenarnya teori emanasi ini bukanlah berasal murni dari hasil
renungan Ibnu Sina. Tetapi berasal dari Neoplatonisme yang menyatakan hal ini
terjadi (wujud alam) padahal pancaran dari Yang Esa. Kemudian Ibnu Sina
mengambil kaidah filsafat Plotinus yang menyatakan bahwa: “ Dari yang satu hanya
satu yang melimpah”.
7
Ibid,.. 8-9
8
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1984), 32.
Dengan demikian, dapat dipahami berti Tuhan bergerak (Prime Cause) dari
dokrin spekulatif filsafat Yunani (Aristoteles) telah bergeser menjadi Tuhan Pencipta
(Shani, Agent) dari sesuatu yang sudah ada secara pancaran. Bila dicermati secara
seksama, filsafat emanasi Ibnu Sina tidak jauh berbeda dengan emanasi menurut al-
Farabi, bahwa dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar
akal kedua, dan langit pertma: demikian seterusnya, sehingga tercappai akal ke
sepuluh dan bumi. Dari akal kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi
yang berada di bawa bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal
kesepuluh adalah malaikat Jibril.9
Adapun proses pelimpahan tersebut menurut Ibnu Sina, adalah bahwa Allah
memikirkan tentang diri-nya, maka melimpahkan akal pertama yang mengandung
dalam diri-nya kejamaan potensial, yaitu antara mungkindan wajib, ia mungkin dari
segu zatnya dan wajib dari segi wujudnya yang nyata, karena ia memikirkan asalnya
(Allah), maka melimpahkan dirinya akal kedua dan dari segiia memikirkan zat-Nya,
sebagai yang wajib adanya dengan sebab lain dari-nya, maka melimpahkan jiwa
falak tertinggi, dan dari segi ia memikirkan zat-Nya sebagai sesuatu yang mungkin
(ada dan tidak adanya), maka melimpahlah Jisim Falak tersebut.10
Berlainan dengan al-Farabi yang berpendapat, bahwa akal pertama itu
memunyai satu sifat, yaitu wujud. Dan setiap wujud hanya melahirkan dua macam,
yaitu wujud berikutnya dan langit atau planet. Ibnu Sina berpendapat, bahwa akal
pertama mempunyai dua sifat, yaitu sifat wajib wujud pancaran dari Tuhan dan sifat
mungkin wujud, jika ditinjau dari hakikat dari nya. Dengan demikian ia mempunayi
tiga obyek pemikiran, yaitu Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya. Berasal dari
pemikiran tentang Tuhan timbula akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai
wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa, dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai
mungkin wujudnya timbul langit-langit.
Jadi ketika akal pertama berfikir, maka memancarkan akal selanjutnya,
sekaligus juga memancarkan dua wujud lainnya (bukan satu sebagai mana pendapat
al-Farabi), yaitu apa yang disebut jism al falak al-aghsha dan nafs al-falak al-aghsha
adalah jiwa dari langit dengan semua planet-planetnya. adapun akal-akal dan palent-
planet dalam emanasi di atas, menunjukkan dipancarkan Tuhan secara hirarki.
Keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqqul Tuhan tentang dirinya sebagai sumber

9
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), 35.
10
Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1989), 74.
energi dan menghasilakan energi yang maha dahsyat. Ta‟aqqul Tuhan tentang zat-
nya adalah ilmu Tuhan tentang dirinya, dan ilmu itu adalah daya (al-qudrat) yang
menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui oleh
Tuhan. jadi Ta‟aqqul Tuhan terhadap zat-nya (energi) itula diantaranya yang
menjadi akal-akal, jiwa-jiwa dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet.
Teori emanasi Ibnu Sina juga menghasilkan sepuluh akal dalam sembilan
planet. Sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan
pendahuluan, al-Farabi bagi Ibnu Sina, masing-masing jiwa berfungsi sebagai
penggerak satu planet, karena akal (imateri) tidak bisa langsung menggerakkan
planet yang bersifat materi.
Sesuai dengan cara tersebut, limpahan itu terus berlangsung dalam wujud
akal, jiwa dan jasad, hingga berakhir pada akal kesepuluh dan falak. Jumlah semua
akal ada sepuluh dan falak ada sembilan. Akal kesepuluh inilah yang memerintahkan
alam dunia dan manusia, begitu pula jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala
aapa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari akal kesepuluh ini.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat berdasarkan materi emanasi Ibnu Sina di
dalam makalah ini. Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengajukan teori
emanasi ini mentauhidkan Tuhan semutlak-mutlaknya, karena itu Tuhan tidak bisa
secara langsung menciptakan alam ini yang banyak jumlah unsurnya. Jika Tuhan
berhubungan langsung dengan alam yang plural ini, tentu dalam pemikiran Tuhan
terdapat hal yang plural pula. Hal ini tentu merusak citra tauhid, ke Esahan Tuhan
menjadi ternoda karenanya.Bila dicermati secara teliti, perbedaan yang mendasar
antara teori emanasi Platinus dengan Ibnu Sina, juga Al-Farabi, ialah: bagi Platinus
alam ini hanya terpancar dari Tuhan, yang mengesankan Tuhan tidak sebagai
pencipta dan tidak aktif. Hal ini jika ditangkap secara metafora yang ia gunakan
adalah bagaimana mentari memancarkan sinarnya. Sedangkan dalam Islam, emanasi
ini ada dalam rangka menjalankan cara Tuhan menciptakan alama. Alam ini sudah
qath’i al- dalalah, diciptakan Tuhan, dan ia bersifat Kholik. Kekhalikan Tuhan ini
mesti diimani seutuhnya oleh setiap muslim. Bagi orang yang mengingarinya dapat
membawa kekafiran. Oleh karena itu, dalam Islam, Tuhan bersifat aktif (Khalik: ism
fa‟il), maka secara metafora yang mengakibatkannya bagi mentari dengan sinarnya
merupakan ibarat yang dapat menyesatkan.
Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini qadim, karena ia diciptakan oleh
Allah sejak zaman azali. Terdapat prbedaan yang besar antara qadimnya Tuhan
dengan alam. Perbedaannya terletak pada sebab pembuatan alam terwujud.
Keberadaan alam tidak diketahui oleh zaman, maka alam qadim dari segi zaman
(taqaddum zamany). Dapaun dari segi zat, hasil pancaran dari Tuhan, maka alam ini
baharu (hudud zaty). Sedangkan Tuhan adalah takaddum zaty. Dia merupakan
semua yang ada dan dia adalah pencipta alam. Jadi alam ini baharu dan qadim,
baharu dari segi zatnya dan qadim dari segi Zaman.
3. Filsafat Kenabian
Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi
adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki
akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof
mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam
yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Banyak para
filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di antaranya, Al-
Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal- akal tersebut
seperti di bawah ini:
a. Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk
berpikir tentang hal-hal abstrak.
b. Akal Materil (Al akhul hayulani) materil iintellect yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
c. Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal
abstrak.
d. Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang
telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada
daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal
yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa
inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal
Aktif (al’aklu fa’aala).11

Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang


terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (al’aklul hayulan). Biasanya akal
materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika
manusia mempergunakan akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia
agar akal materil dapat bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi

11
Harun Nasution, Filsafat Islam,(Jakarta: 2002, Gaya Media Pratama), 37.
nama al-hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu
besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan
Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan.
Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus
pada pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para nabi-nabi Allah.

Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal
dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham
belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian,
wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak
diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol.
Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan
wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai,
dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun
kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi
berhak mendapat mendapatkan derajat seorang filosofis.

Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang
berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul
daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri dan
ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang
kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang
tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua
selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara
langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual
dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi), maka yang
pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf.
Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-
makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap manusia yang
diunggulinya.

Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan
sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang
telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan
demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu
sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya.
Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara
esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama Lengkapnya adalah Abu Ali Al-Husain Bin Abdullah Bin Sina, lahir di
Afsyana dekat kawasan Bukhara pada tahun 370 H (980 M). Ia dibesarkan di Bukhara
pada umur 10 tahun, Ibnu Sina telah mempelajari ilmu-ilmu agama, kesusasteraan,
serta telah hapal Al-Qur’an. Ibnu Sina wafat dalam usia 58 tahun (1037 M) dan
dikebumikan di Hamazan. Ayahnya bernama Abdullah adalah seorang Ismailliyah.
Lewat usaha ayahnya, Ibnu Sina tertarik untuk mempelajari ilmu filsafat dengan
menekuni alam fikiran Yunani, Islam dan berbagai perangkat materi filsafat lainnya.
Dalam pembuktian tentang eksistensi Tuhan, Ibnu Sina menempuh jalan yang
agak berbeda dengan jalan yang ada adalam agama dan juga dengan dalil para teolog
(ahli mutakallimin) yang tertitik tolak pada konsep “alam baharu”, kemudian Filsafat
emanasi atau al-faidh adalah teori pancaran tentang penciptaan alam, yang mana alam
ini maujud karena limpahan dari Yang Mahasa Esa. Ibnu Sina sepertinya mengalami
kesulitan dalam menjelaskan masalah ini, yaitu bagaimana terjadinya yang banyak
(alam) yang bersifat materi berasal dari Allah yang imateri dan Maha Sempurna.
Selanjutnya teori Kenabian Ibn Sina, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia yang
paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual yang
sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan
usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal
intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
DAFTAR PUSTAKA

Hoesin, Umar Amin. Filsafat Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1975.


Madjid, Nurcholis. Khazana Intelektual Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1984.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1989.
Ali, Yunarsil. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Aksara. Jakarta. 1991.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam I. IAIN Iman Bonjol Press. Padang. 1999.
Nasution. Harun. Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1973.

Anda mungkin juga menyukai