Anda di halaman 1dari 15

FILSAFAT ISLAM IBNU SINA

Tugas ini disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Filsafat Islam

Dosen Pengampu :

Titis Rosowulan, Lc, MSI

Disusun Oleh :

HILYAH DIYAN KAFITA (18.01.0697)

URIP INAYAH (18.01.0741)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HUSAIN

SYUBBANUL WATHON – MAGELANG

TAHUN AJARAN 2018/2019


PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Filsafat dan agama merupakan wilayah yang sebenarnya saling berkelindan. Hal
ini terjadi, karena filsafat dapat dipahami sebagai ilmu yang mempersoalkan dan mencari
hakikat kebenaran dari segala yang ada. Persoalan tersebut meliputi: (1) Persoalan
metafisika (metaphysical problem), (2) Persoalan epistemologi (epistemological
problem), (3) Persoalan logika (logical problem), (4) Persoalan nilai (axiological
problem), (5) Persoalan hermeneutika.

Menurut Musthafa Abdurrazaq yang dikutip oleh Komarudin Hidayat, filasafat


dan filosof dapat disamaartikan dengan hikmah dan hakim (bahasa arab), yang bermakna
sebagai tali kendali bagi kuda untuk mengendalikan keliarannya. Oleh karenanya dapat
dipahami bahwa filosof adalah orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan
mengekang diri dari perbuatan-perbuatan rendah dan hina melalui kemampuan kritisnya
(Hidayat, 1986:4).

Dari gambaran sederhana tersebut, dapatlah diperoleh deskripsi umum tentang


pola hubungan filsafat dengan esensi filosofis agama, termasuk Islam. Dalam hal ini,
salah satu pemikir awal filsafat di dunia Islam telah berhasil menyintesiskan antara
perolehan kebenaran hakiki melalui cara analisis metode pencarian kebenaran hakiki
melalui cara analisis metode pencarian kebenaran relatif dalam jalur filsafat. Tokoh
tersebut adalah Ibnu Sina.

Ibnu Sina atau Avicenna (370-29 H/980-037 M) memiliki nama lengkap Abu Ali
Al-Husain bin ‘Abd Allah ibn ‘Ali ibnu Sina1. Ia lahir di Afshanah, desa kecil dekat
Bukhara, 370 H/980 M, dan wafat di Hamdan, 428 H/1037 M. Ia adalah putra seorang
pegawai tinggi pada Dinasti Samaniah (204-395 H/819-1005 M), ‘Abd Allah hasil
pernikahannya dengan Sitarah dari Balkh. Ibnu Sina mempunyai kecerdasan luar biasa,
sehingga ia telah mampu menghafal Al Quran sejak usia kurang dari 10 tahun. Selain itu,
ia juga menguasai secara baik berbagai macam ilmu, seperti matematika, logika, fisika,
geometri, astronomi, hukum islam, teologi, kedokteran, dan metafisika ketika usianya
baru 17 tahun (bdk. Nasr & Leaman, 2003:285-286).

1
Nama pendeknya Abu Ali. Ia memiliki gelar kehormatan al-Syaikh al-Ra’is (Guru besar dan Kepala)
menunjukkan status terkemukanya dalam mengajar dan posisi politiknya yang tinggi selaku seorang wazir.
Apalagi ia juga memiliki gelar al-Hakim al-Wazir dan juga Hujjat al-Haqq.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah tentang kehidupan Ibnu Sina?
2. Bagaimana pandangan sosiopolotik kehidupan Ibnu Sina?
3. Bagaimana pemikiran-pemikiran Ibnu Sina?

C. TUJUAN
1. Mengetahui sejarah tentang kehidupan Ibnu Sina.
2. Mengetahui pandangan sosiopolitik kehidupan Ibnu Sina.
3. Mengetahui pemikiran-pemikiran Ibnu Sina.
PEMBAHASAN

1. Biografi Kehidupan Ibnu Sina


Ibnu Sina di kenal juga sebagai “Avicenna” di Dunia Barat adalah seorang
filsuf, ilmuwan kesehatan. Beliau juga seorang penulis yang produktif yang sebagian
besar karyanya adalah tentang filosofi, pengobatan dan kesehatan. Banyak orang yang
menyebut beliau sebagai “Bapak Pengobatan Modern”. Karya beliau yang sangat
terkenal adalah al-Qanun fi at-Tibb yang berisi tentang di bidang kedokteran selama
berabad-abad ini.
Ibnu Sina mempunyai nama lain yaitu Sharaf al-Mulk, Hujjat al-Haq, Sheikh
al-Rayees, Ibnu Sino (Abu Ali Abdulloh Ibn-Sino), Bu Ali Sina. Beliau lahir pada
tahun 980 di Afsyahnah desa kecil dekat Bukhara, dan sekarang menjadi wilayah
Uzbekistan. Beliau meninggal pada bulan juni 1037 M/428 H di Hamdan, Persia
(Iran).
Ibnu Sina adalah putra seorang pegawai tinggi pada Dinasti Samaniah. Beliau
mempunyai kecerdasan yang luar biasa, sehingga ia telah mampu menghafal Al
Quran sejak usia kurang dari 10 tahun. Selain itu, ia juga menguasai secara baik
berbagai macam ilmu, seperti matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, hukum
islam, teologi, kedokteran dan metafisika ketika usianya baru 17 tahun (bdk. Nasr &
Leaman, 2003:285-286). Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok
bahasan bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan
kedokteran. George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari islam
dan salah satu paling terkenal pada semua bidang, tempat dan waktu”.
Pada usia yang sama, ia mengawali profesi sebagai seorang dokter dan menjadi sangat
popular ketika ia berhasil mengobati Nuh bin Mansur (976-997 M), salah seorang
penguasa Dinasti Samaniah. Karena kemampuan dan jasa-jasanya kepada penguasa,
maka kemudian ia di angkat sebagai Menteri pada Dinasti Hamdani (293-394 H/905-
1005) selama dua periode, namun pada akhirnya ia di pecat dari jabatnnya sebagai
Menteri, dan dipenjarakan, karena pemikirannya dianggap merugikan penguasa
(Ensiklopedia ialam, 2005:3, 103).2

2
Nama pendeknya Abu Ali. Ia memiliki gelar kehormatan Al-Syaikh al-Ra’is (Guru besar dan Kepala)
menunjukkan status terkemukanya dalam mengajar dan posisi politiknya yang tinngi selaku seorang wazir. Ia
juga memiliki gelar al-Hakim al-Wazir dan juga hujjat al-Haqq. A.F al-Ahwani, Ibnu Sina (1968:18)
Ibnu Sina menyerap berbagai ilmu dari beberapa orang guru, antara lain Abu
Bakar bin Muhammad al-Barqi al-Khawarizmi untuk Bahasa, Ismail al-Zahid untuk
fikih, Abu Sahl al-Masihi dan Abu Manshur al-Hasan bin Nuh untuk kedokteran, di
samping belajar secara otodidak (Aqqad, 1988:17). Ia juga belajar aritmetika dari ‘Ali
Natili, seorang sufi Ismaili berkebangsaan India (Fakhiri, 2001:55)
Sepeninggal ayahnya pada saat ia berusia 20 tahun, Ibnu Sina pindah ke suatu
tempat dekat Laut Kaspia, dan mulai menulis ensiklopedia tentang ilmu kedokteran
yang dikenal dengan nama al-Qanun fi al-Thibb (Aqqad, 1998:20, 24). Ibnu Sina
beranggapan bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada tidaklah sulit dipelajarinya, ,
kecuali bidang metafisika (Fakhri, 2001:55). Dengan bekal ilmunya yang mendalam
itu, ia menjadi tokoh yang memiliki produktivitas sangat besar walaupun berada
dalam lingkungan politik yang labil (Nasr & Leaman, hal. 286).
Kebesaran Ibnu Sina terlihat dari beberapa gelar yang diberikan oleh para
tokoh kepadanya, seperti al-Syaikh al-Ra’is di bidang filsafat, dan pangeran para
dokter di bidang kedokteran. Sementara Ibnu Rusyd menjulukinya sebagai orang
agamis yang berfilsafat, al-Ghazali menyebutnya sebagai ahli filsafat yang secara
paradox lebih religious daripada beberapa filosof pendahulunya, karena untuk
menyebut tuhan tidak lagi menggunakan kata menurut sebutan tradisional, tetapi
menggunakan filsafat, yakni ada wajib. Akan tetapi, ada juga yang menuduh Ibnu
Sina terlalu Aristoteles Sentrisme (Jolivet, hal.62).
Pemikiran keagamaan Ibnu Sina sangatlah mendalam dan tajam. Pemikiran
keagamaan seperti inilah yang memengaruhi pandangan filsafat, dan keyakinan
keagamaan yang secara simultan mewarnai alam pikiran Ibnu Sina sehingga
melahirkan beberapa karya besar, baik berupa buku, buku saku, dan kumpulan surat-
surat yang semuanya tidak kurang dari 276 buah3, dan beberapa diantaranya sampai
saat ini masih dipakai sebagai rujukan universitas-universitas ternama di Barat. Di
antara karya-nya adalah al-Syifa yang membahas penyembuhan, al-Qanun fi al-Thibb
(peraturan-peraturan kedokteran), al-isyarat wa al-tanbihat (Isyarat dan penjelasan),
Mantiq al-Masyriqiyyin (Logika Timur), ‘Uyun al-Hikmah (Mata Air Hikmah), al-
Magest (buku tentang astronomi) (Fakhri, 2001:55) al-Najah, Danisynama-yi ‘Ala’i.
Ia juga meninggalakan beberapa esai, beberapa yang terpenting adalah Hayy ibn
Yaqzhan, Risalah al-Thair, Risalah al-‘Isyq, Tahshil al-Sa’adah. Ia juga menulis puisi

3
Sayyed Hossein Nasr & Oliver Leaman , Ensiklopedi Tematis, hal.286 yang menyebut antara 100 sampai 250
judul.
dalam al-Urjuzan fi al-Thibb, al-Qashidah al-Muzdawiyah, dan al-Qashidah al-
‘Ainiyyah. 4
Selain karya-karya terkemuka itu, Ibnu Sina juga menulis beberapa risalah
tentang qadha’ dan qadar yang menyebabkan ia dipenjara dan dihukum buang.
Risalah tersebut adalah Fi Sirr al-Qadar (tentang rahasia qadar), fi al-Qadla’ wa al-
Qadar (tentang qadha’ dan qadar), dan al-Risalah al-Arsyiyya (Risalah tentang
singgasana Tuhan). Para ahli sejarah berpendapat menuju Isfahan setelah ia melarikan
diri dari banteng Fardajan tempat ia dipenjara dengan kejam selama empat bulan
(Madkour, 1995:233)

2. Sosiopolitik Kehidupan Ibnu Sina


Dokter Politikus yang satu ini merupakan filosof muslim yang taat beragama.
Kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan membuatnya terus membaca dan menggali
ilmu dari manapun. Buku-buku karyanya banyak dijadikan panduan keilmuan para
ilmuwan dan bahkan ada beberapa yang menjadi buku pegangan di beberapa
universitas daerah barat. Buku karyanya seperti Al Qanun, Al Syifa, ‘Ilmu Al Nafs,
Al Najah dan masih banyak lagi buku dan maqolah yang dihasilkannya. Jumlah buku
yang dituliskannya tak kurang dari 100 buah buku. Bahkan dalam referensi lain ini
disebutkan sampai 276 buah yang meliputi buku dan risalah.
Berikut adalah beberapa konsep politik Ibnu Sina :
1. Politik bagian dari agama
Menurut Ibnu Sina, politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Karena
menurutnya politik berhubungan erat dengan agama. Islam telah mengatur seluruh
cabang kehidupan termasuk di dalamnya adalah politik. Politik harus dijalankan
berdasarkan aturan yang telah ditetapkan oleh agama. Sehingga para pemimpin
atau kepala negara haruslah orang yang taat kepada-Nya. Agama dan politik harus
berjalan dengan serasi. Agama tanpa politik akan mudah lenyap dan politik tanpa
negara akan mudah hancur. Agama membutuhkan politik untuk dapat
melaksanakan aturan agama yang ada secara maksimal. Politik membutuhkan
agama untuk dapat mencapai tujuan politik yakni menjamin kemakmuran semua
pihak. Imam al-Ghazali berkata:

4
Komentar atas sebagian karya-karya tersebut, lihat Sayyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi
Tematis, hal.287-288.
“Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara
kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah
penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala
sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.”(dalam kitabnya al-
iqthisad fil I’tiqad hlm.199)
2. Politik Kerakyatan
Kitab tadbiir al junuud wa al mamaliik waal ‘asaakir wa al rzaaqihim
wa kharaaj al mamaaliik memuat perihal pertahanan dan soal keuangan dalam
negara. Buku karya Dokter-Politikus ini menyebutkan bahwa seharusnya politik
pertahanan adalah politik kerakyatan. Karena keuangan negara yang dipakai untuk
membelanjai pertahanan, gaji angkatan bersenjata, dan lain sebagainya adalah
uang yang berasal dari rakyat. Oleh karena itu, sudah seharusnya politik
pertahanan itu menjamin keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Ibnu
Sina merasa kurang dengan pengalaman politiknya sehingga ia sempat
mengadakan perjalanan selama 3 tahun untuk mengunjungi mereka secara
berlangsung. Selain itu, ia menyempatkan waktu untuk bercengkerama dan
berbicara dari hati ke hati mengenai tujuan negara dan cara pemerintahan yang
diharapkan rakyat.
3. Pemerintahan Anti Korup
Dalam sejarah hidupnya, Ibnu Sina pernah memegang jabatan dalam
pemerintahan. Salah satunya adalah sebagai Menteri Pertama (First Minister) di
Hamadhan. Politikus muda ini memulai perjalanan dan praktik politiknya di usia
27 tahun. Sepanjang perjalanan politiknya, Ibnu Sina mepunyai sikap yang sangat
keras menentang terhadap para pegawai pemerintahan dan tentara yang korup,
yang menyeleweng dari aturan yang berlaku. Tindakan korup yang dilakukan
pegawai pemerintahan menimbulkan banyak rakyat yang hidup menderita.
Sikapnya ini menimbulkan reaksi yang keras dari pihak angkatan bersenjata pada
masa itu. Oleh karena itu, dari sikapnya tersebut, Ibnu Sina pernah ditahan
menjadi buronan keamanan, bahkan hukuman “buang” atasnya.
4. Politik Kekeluargaan
Ibnu sina juga memaparkan politik yang bersifat kekeluargaan. Dalam
bukunya Al Syasah menerangkan bahwa ketika membicarakan negara berate
memperundingkan politik, sekaligus membicarakan tentang keluarga dan rumah
tangga, dan juga membahas soal pendidikan. Ibnu Sina melanjutkan bahwa :
1. Negara adalah soal badan politik
2. Rumah tannga adalah sumber utama dari negara dan sumber inspirasi.
3. Pendidikan adalah jalan yang paling esensial untuk negara.

Miniatur dari negara adalah rumah tangga. Negara diibaratkan sebagai sebuah
keluarga. Anggota keluarga terdiri atas Ayah, Ibu, dan anak-anak. Setiap keluarga
pasti mempunyai visi dan tujuan kedepan yang ingin di capai dan disepakati
bersama. Oleh karena itu, terdapat pembagian tugas dan kewajiban masing-
masing sesuai kemampuannya. Kita harus memupuk rasa saling menyayangi,
menghormati dan tolong-menolong di dalamnya. Setiap anggota keluarga
mempunyai andil yang sama besarnya untuk mencapai tujuan keluarga. Kesadaran
akan tugas masing-masing, koordinasi dan hubungan yang baik antar anggota
keluarga akan sangat membantu seseorang yang dapat memanage kehidupan
keluarganya dengan baik sudah mempunyai salah satu bekal untuk dapat mengatur
negara dengan baik pula.

5. Kontrol diri yang baik


Bukunya yang berjudul Al Siyasah, Ibnu Sina sedikit memberikan
tambahan kriteria seorang kepala negara beserta pegawai pemerintahan. Selain
harus taat kepada Allah SWT, para pemimpin dan pegawai pemerintahan yang
terpilih itu harus dapat mengenali dan memerintah dirinya sendiri sebelum mereka
memerintah orang lain. Mereka yang terpilih itu seharusnya dapat mengenali diri
mereka tentang apa kelebihan dan kekurangan dirinya, sehingga dapat terus
memperbaiki diri dan menjaga dirinya dari perbuatan yang tidak baik. Ketahuilah
bahwa seorang pemimpin adalah teladan bagi orang yang dipimpin.
6. Teori Negara Adil dan Makmur
Al-Farabi yang diakui oleh Ibnu Sina sebagai gurunya telah menemukan
teori “Negara Utama” (Madinah al fadhilah). Dalam hal ini, Ibnu Sina mengikuti
pendapat gurunya, yaitu lebih menerima pendapat Plato dengan paham “sosialis”
nya ketimbang Aristoteles. Menurutnya paham Plato lebih sesuai dengan ajaran
Islam yang lebih mementingkan masyarakat dari pada perseorangan. Merasa
kurang puas dengan teori gurunya, Ibnu Sina membentuk negara baru yaitu
“Negara Adil Makmur” yang mencakup tiga elemen penting yaitu “Madiinah al
Fadhilah” (Negara Makmur Kolektif), “Madiinah ‘Adilah” (Negara Keadilan),
dan “Madiinah al Hasan el Siirah” (Negara yang Berakhlak Tinggi).
Teori negara yang sederhana ini cukuplah mewakilkan tujuan negara yang
dicita-citakan jika dilakanakan dengan baik, yaitu terciptanya keadilan bagi semua
pihak, sehingga kemakmuran dan kesejahteraan dapat terwujud dengan baik. Hal
ini didukung oleh warga negara yang berakhlak baik, sehingga mempunyai
kesadaran penuh akan tugasnya masing-masing. Negara dengan penghuni yang
berakhlak baik pastilah akan dapat menjamin berlangsungnya kehidupan negara
yang baik pula.
Terlepas dari pro dan kontra pemikiran Ibnu Sina baik di kalangan ulama
Islam sendiri seperti yang datang dari Al Ghazali, kita masih dapat mengambil
banyak hal-hal positif dari apa yang telah ditinggalkan Ibnu Sina. Ibnu Sina akan
tetap menjadi harta berharga bagi kemajuan peradaban Islam. Selain menjadi
dokter, ia juga adalah seorang negarawan yang arif bijaksana dan teguh dalam
pendirian. Di antara sederetan Panjang perjalanan politiknya, dokter sekaligus
Negarawan ini pernah menjadi Penasihat Pribadi Sulton Nuh di Kerajaan
Samaniya di Bukhara, Administrator Daerah di Kalimantan, Mentri Pertama dan
Perdana Menteri di Hamdhan, serta Penasihat Agung di Isfahan. Di sinilah
tantangan besar untuk kita semua sebagai umat muslim khususnya agar dapat
berpolitik dengan baik dengan tidak mengesampingkan tujuan politik yang
seharusnya. Sekiranya kita harus banyak meneladani Rasulullah SAW dan para
tokoh muslim lainnya dengan akhlak baik yang menghiasi kehidupan mereka.

3. Pemikiran-pemikiran Ibnu Sina


1. Epistemologi Ibnu Sina
Bagi Ibnu Sina, tujuan filsafat adalah penetapan realitas segala sesuatu,
sepanjang hal itu mungkin bagi manusia. Menurut Ibn Sina, ada dua tipe filsafat.
Pertama, filsafat teoritis yang mencari kebenaran melalui pengetahuan. Tujuan
filsafat ini adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan semata. Ia
merupakan pengetahuan tentang hal-hal yang ada, bukan karena pilihan atau
tindakan kita. Kedua, filsafat praktis, yang merupakan pengetahuan tentang
kebaikan. Tujuannnya adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan tentang
apa yang seharusnya dilakukan sehingga jiwa bertindak sesuai dengan
pengetahuan ini. Filsafat praktis merupakan pengetahuan tentang hal-hal yang ada
berdasarkan pilihan dan tindakan kita (Nasr & Leaman, 1996:288).
Subjek pengetahuan teoritis memiliki dua jenis utama: subjek-subjek yang
dapat dilekati gerak, seperti kemanusiaan, kepersegian dan kesatuan; dan subjek-
subjek yang tidak dapat didekati oleh gerak, seperti Tuhan dan Intelek. Yang
pertama dibagi lagi menjadi yang tidak bisa eksis tanpa adanya gerak yang
dikaitkan dengannya, seperti kemanusiaan dan kepersegian; dan yang bisa eksis
tanpa gerak yang dikaitkan kepadanya, seperti kesatuan dan keragaman. Yang
pertama dari dua tipe terakhir adalah sedemikian rupa sehingga ia mustahil bebas
dari gerak, baik dalam realitas ataupun dalam pikiran, atau sedemikian rupa
sehingga ia mungkin bebas dari gerak dalam pikiran, tetapi tidak dalam realitas
(Nasr & Leaman, 1996:288). Karena itu, terdapat tiga cabang teoritis: filsafat yang
membahas sepanjang gerak terkait dengannya, baik dalam realitas maupun
pikiran; filsafat yang membahas gerak terkait dengannya dalam realitas, tetapi
tidak dalam pikiran; dan filsafat yang membicarakan hal-hal sepanjang gerak tidak
terkait padanya, apakah gerak dapat dikaitkan dengannya seperti dalam kasus
kesatuan, ataukah tidak dapat, seperti dalam kasus Tuhan. Jenis pertama adalah
fisika, kedua adalah matematika murni, dan ketiga adalah metafisika (Ibn Sina,
1954:17).

2. Logika Ibnu Sina


Logika bagi Ibnu Sina merupakan kunci filsafat, yang pencarian atasnya
merupakan kunci kebahagiaan manusia. Logika menjalankan fungsinya dengan
membantu menarik konsep-konsep dan penilaian-penilaian yang belum diketahui
dari konsep-konsep dan penilaian-penilaian yang sudah diketahui sehingga
meningkatkan derajat pengetahuan kita. Dalam hal ini, menurut Ibnu Sina,
pengetahuan hanya dapat dicapai melalui penggunaan logika, kecuali jika pada
kesempatan yang langka, Tuhan memberikan pengetahuan ini tanpa usaha
manusia (Nasr & Leaman, 1996:290).
Sementara fungsi logikawan adalah membuka jalan untuk mengetahui
sifat-sifat dasar sesuatu dengan menggambarkan sifat-sifat dasar tersebut sebagai
subjek dan predikat, individual atau universal, esensial atau (Nasr & Leaman,
1996:290).
Sekalipun perhatian utama logikawan adalah konsep-konsep, sejauh
konsep-konsep tersebut tersusun dalam cara tertentu, logikawan harus berurusan
dengan ungkapan-ungkapan yang merupakan jalan untuk memikirkan tentang,
atau mengomunikasikan konsp-konsep. Dengan asumsi ini, Ibnu Sina membuka
risalah logikanya dengan pembahasan tentang ungkapan, yang diawali dengan
ungkapan tinggal, unsur terkecil frasa dan dalil penjelas (Nasr & Leaman,
1996:290-291).
Karena tujuan akhir logikawan adalah meratakan jalan bagi pengetahuan
tentang sifat-sifat dasar segala sesuatu, maka ungkapan-ungkapan universal yang
mencerminkan konsep-konsep universal yang pada gilirannya juga mencerminkan
sifat-sifat dasar tersebut, tentu menjadi perhatian dan kepeduliannya. Itulah
sebabnya mengapa kebanyakan pembahasan mengenai ungkapan tunggal berpusat
pada kajian mengenai terma-terma universal: genus, spesies, diferensia dan
deskripsi, juga diperkenalkan.
Sementara dalil sebagai bukti penjelas memiliki tiga tipe silogisme,
induksi dan analogi. Ibnu Sina umumnya menutup pembahasan logika dengan
studi tentang ketaksaan arti (ambiguitas), baik dalam ungkapan atau makna.

3. Metafisika Ibnu Sina


Menurut Ibnu Sina, metafisika adalah ilmu yang memberikan pengetahuan
tentang prinsip-prinsip filsafat teoritis, yang dilakukan dengan cara
mendemonstrasikan perolehan sempurna prinsip-prinsip tersebut melalui intelek.
Metafisika berhubungan dengan maujud sepanjang ia ada. oleh karenanya, subjek
metafisika adalah maujud, bukan karena ia diterapkan pada sesuatu, dan bukan
karena sesuatu yang partikular dilekatkan padanya, melainkan karena ia
diterapkan pada prinsip wujud, dan karena sesuatu yang universal dilekatkan
padanya. Kualitas-kualitas ini adalah aksiden-aksiden nonesensial dari maujud
partikular.
Maujud bisa jadi substansi atau aksiden. Substansi ada dua macam: yang
berada dalam materi dan yang tidak berada dalam materi. Kategori yang tidak
berada dalam matei dipecah menjadi tiga: (a) materi itu sendiri; (b) yang disertai
oleh materi; (c) yang bukan materi,juga tidak disertai oleh materi.
Wujud sesuatu boleh jadi niscaya (wajib atau mesti) dan boleh jadi
mungkin. Yang wajib adalah jika diniscayakan yang wajib tidak ada, maka yang
muncul adalah kemustahilan. Sementara yang mungkin adalah jika sesuatu
dinyatakan tidak ada, maka tidak ada kemustahilan yang muncul. Ibnu sina dalam
konteks lain menyebutnya juga sebagai “wujud yang mungkin” dapat juga
digunakan dalam pengertian “wujud dalam potensi”.
Eksistensi sesuatu yang niscaya dalam dirinya ditentukan berdasarkan dua
prinsip: pertama, rangkaian hal-hal yang mungkin selamanya mustahil tak terbatas
dan kedua, rangkaian ini mustahil menjadi niscaya, karenaia terdiri dari satuan-
satuan wujud yang mungkin. Dengan demikian, ini berarti harus ada sebab
niscaya yang berada diluar rangkaian ini, yakni Wujud atau Eksistensi Niscaya
(Wajib), atau dikenal sebagai Tuhan.

PENUTUP
KESIMPULAN

Ibnu Sina di kenal juga sebagai “Avicenna” di Dunia Barat adalah seorang
filsuf, ilmuwan kesehatan. Beliau juga seorang penulis yang produktif yang sebagian
besar karyanya adalah tentang filosofi, pengobatan dan kesehatan. Banyak orang yang
menyebut beliau sebagai “Bapak Pengobatan Modern”. Karya beliau yang sangat
terkenal adalah al-Qanun fi at-Tibb yang berisi tentang di bidang kedokteran selama
berabad-abad ini.
Dokter Politikus yang satu ini merupakan filosof muslim yang taat beragama.
Kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan membuatnya terus membaca dan menggali
ilmu dari manapun. Buku-buku karyanya banyak dijadikan panduan keilmuan para
ilmuwan dan bahkan ada beberapa yang menjadi buku pegangan di beberapa
universitas daerah barat. Beberapa konsep politik Ibnu Sina: (1) Politik bagian dari
agama, (2) Politik kerakyatan, (3) Pemerintah anti korup, (4) Politik kekeluargaan, (5)
Kontrol diri yang baik, (6) Teori negara yang adil dan makmur.
Epistemologi Ibnu Sina, terdapat tiga cabang teoritis: filsafat yang membahas
sepanjang gerak terkait dengannya, baik daklam realitas maupun pikiran; filsafat yang
membahas gerak terkait dengannya dalam realitas, tetapi tidak dalam pikiran; dan
filsafat yang membicarakan hal-hal sepanjang gerak tidak terkait padanya, apakah
gerak dapat dikaitkan dengannya seperti dalam kasus kesatuan, ataukah tidak dapat,
seperti dalam kasus Tuhan. Jenis pertama adalah fisika, kedua adalah matematika
murni, dan ketiga adalah metafisika.
Logika menurut Ibnu Sina merupakan kunci filsafat, yang pencarian atasnya
merupakan kunci kebahagiaan manusia. Logika menjalankan fungsinya dengan
membantu menarik konsep-konsep dan penilaian-penilaian yang belum diketahui dari
konsep-konsep dan penilaian-penilaian yang sudah diketahui sehingga meningkatkan
derajat pengetahuan kita. Dalam hal ini, menurut Ibnu Sina, pengetahuan hanya dapat
dicapai melalui penggunaan logika, kecuali jika pada kesempatan yang langka, Tuhan
memberikan pengetahuan ini tanpa usaha manusia.

Metafisika Ibnu Sina, metafisika adalah ilmu yang memberikan pengetahuan


tentang prinsip-prinsip filsafat teoritis, yang dilakukan dengan cara
mendemonstrasikan perolehan sempurna prinsip-prinsip tersebut melalui intelek.
Metafisika berhubungan dengan maujud sepanjang ia ada. oleh karenanya, subjek
metafisika adalah maujud, bukan karena ia diterapkan pada sesuatu, dan bukan karena
sesuatu yang partikular dilekatkan padanya, melainkan karena ia diterapkan pada
prinsip wujud, dan karena sesuatu yang universal dilekatkan padanya. Kualitas-
kualitas ini adalah aksiden-aksiden nonesensial dari maujud partikular.

Terlepas dari pro dan kontra pemikiran Ibnu Sina baik di kalangan ulama
Islam sendiri seperti yang datang dari Al Ghazali, kita masih dapat mengambil banyak
hal-hal positif dari apa yang telah ditinggalkan Ibnu Sina. Ibnu Sina akan tetap
menjadi harta berharga bagi kemajuan peradaban Islam.

DAFTAR PUSTAKA

https://adaceritauntukmu.wordpress.com/konsepsi-politik-ibnu-sina/13/16:30
https://alkautsarkalebbi.wordpress.com/ibnu-sina-pemikiran-
filsafatnya/13/16:45

Solikhin, Muhammad. 2008. Filsafat dan Metafisika Islam. Yogyakarta:


Narasi

Anda mungkin juga menyukai