Anda di halaman 1dari 26

FILSAFAT ISLAM

PEMIKIRAN IBNU SINA

Makalah ini
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Mengikuti Perkuliahan
Mata Kuliah Filsafat Islam

Dosen Pembimbing:
Ahmad Maliki, M.Hum

Di susun oleh
Kelompok 5:

1. Anindya Latifah
2. Rakhmah Rizqi Nafisah

Kelas 2B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN TSAURI (STAIS)
MAJENANG
CILACAP
2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan dan kemampuan, sehingga makalah yang berjudul “Ibnu
Sina” ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad Saw, para sahabatnya, keluarganya, dan sekalian
umatnya hingga akhir zaman.

Dengan segala kemampuan penulis yang terbatas, makalah ini mencoba


menguraikan tentang Ibnu Sina dan filsafat serta pemikirannya. Dan dengan
adanya makalah ini penulis berharap sedikit membantu para pembaca dan penulis
sendiri dalam memahami filsafat Ibnu Sina, mengingat beliau adalah seorang
filosof yang cerdas. Namun demikian, apabila dalam makalah ini dijumpai
kekurangan dan kesalahan baik dalam pengetikan maupun isisnya, maka penulis
dengan senang hati menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan


terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada bapak Amat Zuhri
M.Ag, selaku dosen pembimbing Filsafat Islam dan semua mahasisiwa S1
Program Studi Pendidikan Agama Islam yang akan bersama-sama mewujudkan
tercapainya tujuan perkuliahan Filsafat Islam. Semoga makalah yang sederhana
ini bermanfaat adanya. Amin yaa rabbal alamin.

Majenang, 13 April 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................
2
DAFTAR ISI...................................................................................................................
3
BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah..........................................................................................
4
B.     Rumusan Masalah..................................................................................................
5
C.     Tujuan Pembahasan................................................................................................
5
BAB II. PEMBAHASAN
1. Biografi Ibn Sina..................................................................................................
5
2. Karya-karya Ibn Sina...........................................................................................
9
3. Filsafat Ibn Sina...................................................................................................
11
BAB III. PENUTUP
1. Kesimpulan..........................................................................................................
24
2. Saran....................................................................................................................
25
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
26

3
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Agama Islam yang bersumber dari wahyu Allah mengandung kebenaran,
sementara filsafat juga mengandung kebenaran walaupun kebenarannya
berdasarkan pencarian nalar manusia. Dengan demikian, agama dan filsafat
memiliki ujung yang sama, yaitu “kebenaran”. Agama membawa kebenaran
sementara filsafat mencari kebenaran, namun kebenaran agama tidak akan dapat
dirasakan kecuali orang yang berakal, oleh sebab itu kebenaran agama harus
digali agar lebih jelas dan penggaliannya ini dilakukan dengan menggunakan
nalar filsafat (Ali, 1991:30). Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
Islam sebagai agama wahyu telah memberikan sumbangan besar bagi
pertumbuhan dan perkembangan dunia ilmu pengetahuan di Barat. Meskipun
umat Islam secara tidak langsung banyak terpengaruh oleh dunia filsafat Yunani,
keorisinilan pemikiran para filosof Islam tetap memiliki pengaruh dalam
pemikiran filsafat. Salah seorang filosof Islam abad pertengahan yang sangat
cemerlang adalah Ibnu Sina. Ia sangat disegani dan mendapat tempa yang
istimewa dalam sejarah perjalanan dan perkembangan filsafat hingga abad modern
ini. Ibnu Sina telah membangun sistem filsafat Islam dengan sempurna dan
terperinci.
Dengan ketajaman otaknya, ia dapat menguasai filsafat dan berbagai
cabangnya, walaupun ia harus menunggu saat yang tepat untuk menyelami ilmu
metafisika Aristoteles, meskipun ia telah membacanya 40-an kali. Setelah ia
membaca buku Agrâd Kitâb mâ’warâ’ al-Tabî’ah li Aristû-nya Al-Fârabî (870-
950 M.), seakanakan semua persoalan telah ditemukan jawabannya dengan
terangbenderang. Ia bagaikan mendapatkan kunci bagi segala simpanan ilmu
metafisika. Hal inilah yang membuatnya dengan tulus mengakui dirinya sebagai
murid yang setia dari Al-Fârabî (Dasuki, 1993:34).
Dalam tulisan ini secara singkat akan diuraikan pandangan Ibnu Sina
tentang falsafah al-fayd, al-nafs, nubuwwah, dan al-wujûd yang akan diawali
dengan mengungkap biografi singkat dan karyakaryanya.

4
B.   Rumusan Masalah
1. Siapakah Ibnu Sina?
2. Apa saja karya-karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sina?
3. Apa saja pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah singkat tentang Ibnu Sina.
2. Untuk mengetahui Karya-karya Ibnu Sina.
3. Untuk mengetahui pemikira filsafat yang di kemukakan oleh Ibnu Sina.

5
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibnal-Hassan ibnAli ibn
Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara)
pada 370 H (8-980 M). Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke
Bukhara pada masa raja Nuh ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai
penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya
menikahi Sattarah dan mendapat tiga orang anak, Ali, Husein (ibn Sina), dan
Muhammad.
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia
10 tahun telah mampu menghafal al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab, dan ia
juga hafal kitab Metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh
kali, kendatipun ia belum memahaminya sampai mempunyai ulasan Al-Farabi.1[1]
Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab,
fikih, ilmu hitung, ilmu ukur,dan filsafat. Bahkan, ilmu kedokteran dipelajari
sendiri. Di antara guru-gurunya hanya Abu ‘abdullah al-Natili (dalam bidang
logika) dan Isma’il (seorang zahid) yang dikenal namanya. Pada usia 18 tahun ia
telah berprofesi di berbagai bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang, dan seorang
dokter termasyhur sehingga diundang untuk mengobati sultan Samanid di
Bukhara, Nuh ibn Mansyur. Keberhasilannya tersebut merupakan perintis
hubungan baiknya dengan Sultan, sehingga ia diberi kesempatan untuk menelaah
buku-buku yang tersimpan di perpustakaan Sultan. Dengan daya ingatnya yang
luar biasa, Ibnu Sina dapat menghapal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal
itu menjadi modalnya untuk menulis buku pertamanya tentang psikologi menurut
metode Aristoteles, dan dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku itu
berjudul Hadiyah al-Ra’is ila al-Amir.
Pada masa mudanya ia tertarik pada aliran Syi’ah Isma’iliyah dan aliran
kebatinan. Ia banyak mendengarkan percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran
tersebut dengan ayahnya atau kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai soal-soal
akal pikran dan kejiwaan menurut cara mereka. Tetapi, sebagaimana dikatakannya
sendiri dalam auto biografinya, ia tidak dapat menerima aliran-aliran tersebut dan

1[1]) Ahmad Fuad al-Ahwani, Ibn Sina (kairo: Dar al-Ma’arif) hal.20

6
menjauhinya. Hal itu menunjukan kemandirian berpikir ibn Sina dan mengikuti
mazhab sunnah maupun mazhab syi’ah. Ia muncul dengan mazhabnya sendiri,
yakni mazhab Sinawi. Jadi, amat sukar mendapatkan keterangan yang pasti
tentang corak mazhab yang dikembangkannya, apakah cendrung ke Syi’ah atau
cenderung ke Sunnah . Tampaknya, ibn Sina mempunyai pandangan tersendiri
dan mandiri dalam usaha menemukan hakikat kebenaran, baik di bidang filasafat
maupun bidang keagamaan.
Dalam usia 22 tahun ayahnya meninngal dunia. Musibah ini menjadi
pukulan berat baginya, sehingga ia dengan berat hati meninggalkan Bukhara
menuju jurjan, di mana ia berjumpa dengan Abu ‘Ubaid al–Jurjani kemudian
menjadi salah seorang muridnya, dan penulis sejarah hidupnya. Tetapi, ia tidak
lama bermukim di kota ini karena kekacauan politik, lalu ia pergi ke Hamazan. Di
kota Hamazan ini ia berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-Daulah
dari dinasti Buwaihi (1015-1022). Atas jasanya ini, Sultan mengangkatnya
sebagai Wazir ‘Azhim (perdana mentri) Rayyand. Namun tidak berapa lama
memangku jabatan tersebut, pihak militer menangkapnya dan merampas
hartanya , serta berencana untuk membunuhnya . Atas bantuan Sultan Syams al-
Daulah, ia dikeluarkan dari penjara. Lagi-lagi ibn Sina berhasil menyembuhkan
penyakit perut (maag) yang di derita oleh Sultan dan sebagai imbalannya, Sultan
menobatkannya menjadi perdana menteri kedua kalinya di Hamadan. Jabatan ini
diembannya sampai Syams al-Daulah meninggal dunia. Kemudian ia
mengundurkan diri dan ingin pergi ke Isfahan untuk berbakti kepada raja ‘Ala’u
al-Daulah. Sebelum niat ini terlaksana, ia ditangkap Taj al-Muluk, anak Syams al-
Daulah, dan di penjara di benteng fardajan selama empat bulan. Ia berhasil lari
dari penjara Hamadan denga n cara manyamar ke Isafan, di mana ia disambut
dengan baik sekali.
Di antara filsuf Arab yang termasyhur di Barat, termasuk ibn Sina yang
dikenal avicenna atau disebut juga Aristoteles Baru. Kebesarannya sebagai tokoh
filsafat pada asalnya, terbukti ketika Al-Ghazali melancarkan serangan terhadap
pemikiran kaum filsuf, Al-Ghazali tidak menemukan tokoh filsafat dihadapannya
sekaliber Ibn Sina.

7
Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan dan
meninggal di Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun.2[2]
Diberitakan, penyakit perut (maag) yang membawa kematiannya sebagai dampak
dari kerja kerasnya untuk urusan negara dan ilmu pengetahuan. Pada waktu siang
ia bekerja, malam ia membaca dan menulis hingga larut malam. Bulan-bulan
terakhir kehidupannya, ia berpakaian putih, menyedekahkan hartanya kepada
fakir-miskin, dan mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah.
Filsafat islam mencapai puncak kecemerlangannya pada zaman hidupnya
Syaikh Ar-Rais Abu ‘ Al-Husein bin Abdullah Ibn Sina. Dialah filosof Islam yang
paling banyak menulis buku-buku ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang
dan ranting. Para filosof Islam yang datang sesudahnya tidak mencapai kemajuan
yang berarti, malaha sebagian besar dari mereka itu hanya menguraikan buku-
buku yang ditulis oleh Ibn Sina, seperti Ar-Razi dan At-Thusi misalnya. Pada
zamannya, filsafat islam mencerminkan kepribadian Ibn Sina sehingga ia menjadi
sasaran serangan kalangan yang mengecam filsafatnya dan menghendaki
kehancurannya.
Kalau al-kindi seorang Arab dan Al-Farabi seorang Turki, maka Ibn Sina
adalah orang Persia. Semuanya itu menunjukkan corak universal peradaban Islam.
Hal itu dimungkinkan oleh agama yang melandasi filsafat itu sendiri, Islam, dan
berkat bahasanya, yaitu bahasa Arab.
Kalau Istana Khalifah Al-Mu’tashim Billah diperindah oleh Al-Kindi dan
karya-karyanya, dan istana Saifud-Daulah dihiasi oleh Al-Farabi beserta hasil
pemikirannya; maka daulat Bani Buweih di Persia yakni pada akhir abad ke-4 dan
awal abad ke-5 Hijriah, mengenal Ibn Sina dengan nama julukan As-Syaikh.
Ketika itu Sultan Mahmud Al-Ghaznawi ingin menarik Ibn Sina ke istananya di
Afghanistan, tetapi Ibn Sina menolak dan lebih suka tetap tinggal di Persia. Akan
tetapi kemudian ia meninggalkan Bukhara dan pergi menuju istana Sultan ‘Ali bin
Al-‘Abbas di Khawarizm (Turkistan). Disana ia bertemu dengan banyak ulama
dan kaum cendikiawan. Antara lain Abu Raihan Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi
dan Abu-Khair Al-Khammar.Ketika itu Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan Abu
Khair Al-Khammar. Ketika itu Al-Biruni telah menempati kedudukan Abu

2[2]) De Boer, hal, 166

8
Ma’syar dalam ilmu falak (astronomi), Abu-Khair Al-Khammar telah menjadi
orang ketiga dalam ilmu kedokteran sesudah Hippocrate dan Galenus. Sedangkan
Ibn Sina dan Abu Al Sahl Al-Masihi merupakan dua sejoli dalam ilmu hikmah
(filsafat) sesudah Aristoteles, menyinggung perihal mereka, Al-‘Idzami Al’Arudhi
mengatakan dalam bukunya Jihar Maqalah (Ucapan Terus-terang) sebagai
berikut: “Kelompok itu tidak membutuhkan soal-soal keduniaan di dalam istana.
Satu sama lain asyik berdialog dan merasa senang dengan tukar menukar karya
tulis , Sultan Mahmud Al-Ghaznawi berkirim surat minta supaya mereka bersedia
tinggal di istananya sebagai kehormatan dan untuk mengambil manfaat dari ilmu
pengetahuan yang mereka miliki, Akan tetapi Ibn Sina menolak, lantas lari ke
Jurjan (teletak di sebelah tenggara Laut Kaspia) dan tinggal di istana Amir
(pangeran) Qabus.”
Dalam autobiografi Ibn Sina memulainya dengan mengatakan : “Ayahku
seorang penduduk Balakh. Ia pindah ke Bukhara pada zaman pangeran Nuh bin
Manshur”. Ia menulis autobiografinya dengan baik dan disempurnakan kemudian
oleh muridnya, Al-Jurjani, Singkat kata pada usia 10 tahun ia telah menyelesaikan
pelajaran Al-Qur’an, sastra dan bahasa Arab. Kemudian ia belajar ilmu Fiqh pada
seorang guru bernama Isma’il yang terkenal sebagai orang yang hidup zuhud
(menjauhi kesenangan duniawi). Di samping itu ia juga belajar matematika dan
ilmu ukur pada ‘Ali Abu’ Abdullah An-Natili. Setelah itu ia belajar sendiri
dengan membaca berbagai buku, termasuk buku-buku Syarh hingga menguasai
ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia mempelajari buku Ocledus mengenai
ilmu ukur (geometri) dan buku-buku lain tentang ilmu kedokteran, Dalam usia
delapan belas tahun ia telah selesai mempelajari semua ilmu tersebut.
Sebuah cerita mengatakan bahwa pada masa itu ia hafal isi buku
Metaphysica di luar kepala tanpa memahami kandungan maknanya hingga saat ia
menemukan buku Al-Farabi yang menerangkan maksud tulisan Aristoteles.
Setelah itu barulah ia dapat memahami perumusan kalimatnya. Kenyataan itu
membuat Ibn Sina mengakui kedudukan Al-Farabi sesbagai kedua Guru Kedua.
Ketika pindah ke Bukhara ia dipanggil oleh sultan Nuh bin Manshur untuk
mengobati penyakitnya, dan ternyata ia berhasil menyembuhkannya. Kejadian ini
merupakan awal-mula hubungannya kesempatan kepadanya memeriksa ribuan

9
buku yang tersimpan di dalam perpustakaannya Dengan kekuatan daya-ingatnya
yang luar biasa ia dapat menguasai isi sebagian besar buku-buku tersebut.
Kemudian ia menulis bukunya yang pertama untuk pangeran Nuh, perihal
psikologi menurut metode Aristoteles. Buku tersebut diberi judul Hidayyatur-
Ra’is Ilal-Amir (Hadiah Ibn Sina kepada Amir). Buku tersebut berisi pembahasan
tentang kekuatan-kekuatan psikologis. Buku yang lain tentang psikologi di
tulisnya dalam bentuk risalah kecil. Banyak sekali buku-buku karyanya yang
memadukan ilmu filsafat dengan ilmu kedokteran. Tentang filsafat ia menulis
buku Kitabusy-Syifa (Buku Penyembuhan) dan mengenai kedokteran ia menulis
buku Al-Qanun. Buku Asy- Syifa membagi ilmu menjadi empat golongan, yaitu:
ilmu semantik,ilmu alam, ilmu pasti dan ilmu ketuhanan yang kemudian diringkas
dalam sebuah buku berjudul An-Najat (Keselamatan). Buku ini terkenal dan
masih beredar hingga dewasa ini.
Sejak diselenggarakannya Mu’tamarusy-Syeikh di Baghdad pada tahun
1952 untuk memperingati genap 1000 tahun hari lahir Ibn Sina, sebuah Panitia
Khusus di Mesir yang terdiri dari para peminat filsafat mengambil prakarsa
menerbitkan Kitabusy-Syifa secara ilmiah. Pertama diterbitkan buku semantiknya,
yang terdiri dari sembilan buah buku. Kemudian diterbitkan buku-bukunya yang
lain, tentang masalah ketuhanan dan musik. Dengan diterbitkannya juga dalam
buku-buku tersebut orang dapat dengan mudah mempelajari filsafat Ibn Sina yang
mengikuti jejak Aristoteles (Masysya’iyyah) dan menjurus ke arah filsafat
Isyraqiyyah yang cenderung kepada sufisme. Pandangan tersebut oleh Ibn Sina
dituangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Isyarat dan dalam beberapa karyanya
yang belum pernah diterbitkan, yaitu filsafat Masraqiyyah.
Buku Qanun Ibn Sina terbagi dalam lima jilid, Masing-masing berisi soal-
soal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, seperti pengetahuan tentang fungsi
bagian-bagian tubuh, pembedahan dan pengebotan. Buku ini telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin dan sampai abad ke-17 Masehi masih merupakan buku
pegangan bagi berbagai unversitas di Eropa. Di samping buku tersebut, telah
diterjemahkan pula sebagian besar dari buku Asy-Syifa lewat buku itu filsafat Ibn
Sina menembus ke negeri-negeri Eropa, sampai Thomas Aquinas sendiri
terpengaruh olehnya.

10
2. Karyanya
Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karyanya cemerlang,dan
tidak heran kalau ia menghasilkan 267 karangan. Kesuburan hasil karya ini
disebabkan karena beberapa faktor. Kualitas karya dan keterlibatannya dalam
praktik kedokteran, mengajar, dan politik, semuanya menunjukkan tingkat
kemampuan yang luar biasa.3[3]
a.    Ia pandai mengatur waktu, di mana siang untuk disediakan untuk
pekerjaan pemerintahan, sedang malamnya untuk mengajar dan mengarang,
bahkan lapang kesenian pun tidak di tinggalkannya. Kalau hendak berpergian,
maka kertas dan alat-alat tulislah yang pertama diperhatikan dan kalau sudah
payah dalam perjalanan, maka duduklah ia berpikir dan menulis
b.    Kecerdasan otak dan kekuatan hafalan juga tidak sedikit artinya bagi
kepadatan karyanya. Sering- sering ia menulis tanpa memerlukan buku-bukunya
referensi dan pada saat kegiatannya tidak kurang dari lima puluh lembar yang di
tulis sehari-harinya.
c.    Sebelum ibnu Sina telah hidup al-farabi yang juga mengarang dan
mengulas buku-buku filsafat. Ini berarti al-farabi telah meratakan jalan baginya,
sehingga tidak banyak lagi kesulitan- kesulitan yang dihadapinya terutama dalam
soal-soal yang kecil.
Karangan- karangan ibnu Sina:
1.    Asy-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting yang terbesar
dari Ibnu Sina, dan terdiri empat bagian, yaitu, logika, fisika, matematika, dan
metafisika, (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar
diberbagai perpustakan di Barat dan Timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah
dicetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956 M lembaga ke ilmuan
Cekoslovakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika yang khusus
mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahnya ke dalam bahasa Prancis, di bawah
asuhan Jean Pacuch bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954 M,
dengan nama Al-burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi. Adapun
kata Al–syfa, latinnya Sanatio (penyembuhan), ensiklopedi yang terdidi dari 18

3[3] Shams Inati, “ Ibnu Sina” dalam Eksiklopedia Tematis Filsafat Islam (Editor:Sayyed
Hosen Naser & Oliver Leaman) (Bandung: Mizan, 2003),hlm.286.

11
jilid mengenai fisika, matematika, dan metafisika, kitab ini di tulis pada waktu
menjadi menteri Syams al-daulah dan selesai masa Ala’u al- Daulah di Isfahan.
2.    Al-Najat, latinnya Salus (penyelamat), keringakasan dari al-syifa, dan
pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-qonun dalam ilmu kedokteran
pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir
3.    Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika
dan hikmah. Buku ini adalah buku yang terakhir dan yang paling baik, dan pernah
diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, dan sebagiannya di terjemahkan ke dalam
bahasa Prancis, kemudian diterbitkan lagi di kairo pada tahun 1947 di bawah
asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
4.    AL-Hikmat al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang,
karena tidak jelasnya maksud juduk buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada
memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai
tasawuf, tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan dari
filsafat barat.
5.    Al-Qanun, atau canon of medicine, menurut penyebutan orang-orang
barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahsa latin dan pernah menjadi
buku standar untuk Universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ketujuh belas
Masehi, dan di india tahun1323 H. risalah-risalah lain yang banyak jumlahnya
dalam lapangan filsafat,etika, logika, dan psikologi.
6.    Hidayah al-Rais li al-Amir.
7.    Risalah fi alkalam ala al-Nas al-Nathaqiyah, dan
8.    Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (logika Timur).

3. Filsafat Ibn Sina


a. Metafisika
Dalam masalah metafisika, Ibn Sina sebagai salah seorang filsuf eksistensial
sepaham dengan Aristoteles. Dia mendefinisikan bahwa metafisika itu adalah
pengetahuan adalah pengetahuan tentang segala yang ada sebagaimana adanya
dan sejauh yang dapat diketahui oleh manusia. Dia mengklasifikasikan yang ada
menjadi dua, yaitu wajibul wujud dan mumkinul wujud. Dalam filsafat wujudnya,

12
bahwa segala yang ada ia bagi tiga tingkatan. Pendapatnya itu memiliki daya
kreasi tersendiri sebagai berikut:
1. Wajib al-wujud
Esensi yang mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak dapat dipisahkan
dari wujud, keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada,
kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
2. Mumkin al-wujud
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh juga tidak berwujud.
Dengan istilah lain, jika dia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada maka tidak
mustahil, yakni boleh ada boleh juga tidak ada.
Dengan demikian, dalam menetapkan yang pertama (Allah) kita tidak perlu
memerlukan perenungan sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya
dengan salah satu makhluk-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas lebih
kuat, lebih lengkap dan sempurna. Kedua macam pembuktian telah digambarkan
dalam Al-Qur’an dalam surat Fusshilat ayat 53 yang berbunyi:
ُّ ‫اق َوفِي َأ ْنفُ ِس ِه ْم َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ ْم َأنَّهُ ْال َح‬
‫ق‬ ِ َ‫َسنُ ِري ِه ْم َءايَاتِنَا فِي اآْل ف‬
‫ك َأنَّهُ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِهي ُد‬ ِ ‫َأ َولَ ْم يَ ْك‬
َ ِّ‫ف بِ َرب‬
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran)
Kami pada alam semesta dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka
bahwa Tuhan menyaksikan segala sesuatu “.
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi dan Ibn Sina juga
menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena
Allah Maha Esa dan Mahasempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri atas bagian-
bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah
menjadi pluralitas (ta’addud al-qudama). Ibn Sina berpendapat bahwa ilmu Allah
hanya mengetahui yang universal di alam dan dia tidak mengetahui yang parsial.
Ungkapan terakhir ini dimaksudkan Ibn Sina bahwa Allah mengetahui yang
parsial di alam ini secara tidak langsung, yakni melalui zat-Nya sebagai sebab
adanya alam.
Berkaitan dengan metafisika, Ibn Sina juga membicarakan sifat wujudiah
sebagai yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain,
walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam paham Ibn Sina terdapat dalam akal,

13
sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang
dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar
artinya. Esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:
1.    Esensi tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibn
Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. Contoh, adanya sekarang ini juga
kosmos lain di samping kosmos yang ada.
2.    Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai
wujud. Contoh, alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan
akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.    Esensi yang tak boleh tida mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Yang serupa ini
disebut mesti berwujud yaitu Tuhan.
Dengan demikian, Tuhan adalah unik dala arti, Dia adalah Kemaujudan
yang Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan
Tuhan. Kemaujudan yang Mesti itu harus satu. Nyatanya,walaupun di dalam
Kemaujudan ini tak boleh terdapan kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan
memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan
mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibn Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan
identik dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi,
maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan.
Sebagai pendiri Neo-Platonisme Arab dan tokoh pertama dalam gerakan
filosofis tersebut sejak Proclus (tokoh terakhir dari Barat), Ibn Sina tentu
menganut paham emanasi. Ia berpendapat bahwa dari Tuhan memancar Akal
Pertama. Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan Akal
Pertama adalah sama-sama azali.
Akal bersifat tetap dan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan
langsung dengan falak. Tuhan adalah al-khair al-Mutlak disebut al-Isyq al-Mutlak
dan Akal hanyalah al-Khair yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk
kesempurnaan dirinya. Kerinduan jiwa falak kepada al-Khair disebut al-Isyq al-
Mutlak. Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa
dan berlangsungnya berbagai macam hal.
b. Jiwa

14
Menurut Ibn Sina, munculnya jiwa atau nyawa (vital principle) sebagai
“daya adijasmani” berawal dari persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan
di bawah pengaruh benda-benda langit. Yang pertama kali muncul adalah jiwa
nabati, diikuti oleh jiwa hewani, dan diakhiri oleh jiwa manusiawi. Jiwa nabati
didefinisikannya sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi; jiwa hewani sebagai
dasar gerak (kehendak) dan penangkapan terhadap rangsangan-rangsangan
partikular dan jiwa manusiawi sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman
terhadap hal-hal yang universal.
Ibn Sina lantas memberikan definisi umum tentang jiwa menggunakan kata-
kata Aristoteles sebagai “kesempurnaan pertama dari benda organik yang alami”. 4
[4] Sebagai daya-cerap terhadap hal-hal yang partikular dan bergerak sesuai
dengan kehendak, ia disebut jiwa hewani; sebagai daya unutk mencerap hal-hal
universal dan bertindak atas dasar pertimbangan dan pilihan, ia disebut jiwa
manusiawi; dan sebagai daya untuk melahirkan, bertumbuh-kembang, dan
mereproduksi sejenisnya, ia disebut jiwa nabati.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibn Sina ialah falsafahnya tentang
jiwa.5[5] Di dalam masalah kejiwaan, Ibn Sina termasuk penganut faham dualisme
(sanawiyah). Bagi Ibn Sina, substansi itu berlainan sama sekali dari materi tubuh,
meskipun ia berasal dari pokok yang sama yakni Akal Fa’al, tetapi ia mempunyai
perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Ada tiga dalil pembuktian yang dikemukakan oleh Ibn Sina tentang
substansi jiwa tersebut.
a)    Saat manusia merenungkan dirinya, pada waktu itu secara sadar ia mengenal
bahwa dirinya “ada” selama hidupnya.
b)   Bila seseorang menghadapi suatu persoalan secara serius, ia akan
menumpahkan segenap perhatiannya pada persoalan tersebut. Pada waktu itu, ia
merasa dirinya bebas dari raga sehingga ia berani berkata saya akan berbuat
begini begitu tanpa merasa terikat dengan raga.

4[4] Ibid, hal. 197. Lihat juga aristoteles, De anima

5[5] Yunasril Ali, perkembangan Pemikiran filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara) hal. 63

15
c)    Manusia mampu menghimpun secara sadar akan aktivitas-aktivitas fisik
organisme yang dilakukannnya tanpa kesulitan. Pengenalan terhadap aktivitas-
aktivitas fisik menjadi bukti bahwa niwa berbeda dari fisik.
Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibn Sina mengajukan beberapa argumen, yakni:
1)   Argumen psikofisik
2)   Argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
3)   Argumen kontinuitas, dan
4)   Argumen manusia terbang di udara
Untuk membuktikan argumen pertama,Ibn Sina mengatakan bahwa gerak
dapat dibedakan kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsur
luar, dan gerak tidak terpaksa. Gerakan tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai
dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
Untuk membuktikan unsur argumen yang kedua, Ibn Sina membedakan aku
dan jiwa. Aku dalam pandangan Ibn Sina bukanlah fenomena fisik, tetapi jiwa dan
kekuatannya. Dan untuk membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan
daya ingat manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik metuapak tingkah
laku maupun hal ihwal di sekitarnya. Adapun pembuktian keempat, Ibn Sina
mengatakan bahwa wujud dirinya tidak timbul dari indera melainkan dari sumber
yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah
bulan, memancar dari akal 10. Sebagai aristoteles, Ibn Sina membagi jiwa dalam
tiga bagian:
1.    Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, dan berkembang
biak.
2.    Jiwa binatang dengan daya-daya:
a.    Gerak ,
b.    Menangkap.
3.    Jiwa manusia dengan dua daya:
a.    Praktis yang hubungannya adalah dengan badan.
b.    Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak.
Sifat seorang manusia bergantung pada jiwa manusia dari ketiga macam
jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya.

16
Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang
itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai
pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat pada
kesempurnaan.
Apabila jiwa telah mencapai kesempurnaannya, maka badan tidak
diperlukan lagi bahkan menjadi penghalang mewujudkan kesempurnaan. Sejalan
dengan terpisahnya antara badan denagn jiwa tersebut, maka jiwa manusia tidak
mesti hancur dengan hancurnya badan. Tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa
binatang yang terdapat dalam diri manusia, karena hanya mempunyai fungsi-
fungsi yang bersifat fisik akan mati dengan matinya badan dan tak akan di
hidupkan kembali di akhirat. Balasannya u tuk kedua jiwa ini pun dicukupkan di
dunia saja. Berbeda dengan jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang
abstrak akan dihidupkan kelak di akhirat.
Untuk membedakan hakikat jiwa dan jasad, Ibn Sina mendefinisikan jiwa
dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan
substansi rohani, tidak tersusun atas materi-materi sebagimana jasad. Kesatuan
antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa hancurnya
jiwa (roh).
Menurut Ibn Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya
juga saling memengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa,
adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa
tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak
demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad
ditempati beberapa jiwa.
c. Kenabian
Tahapan mistis ialah apabila jiwa sudah ketak berhinggaan, menjalin
hubungan dengan Intelek Aktif sehingga tak lagi perlu menjalani proses silogistik
untuk bisa menangkap hal-hal universal, tetapi cukup dengan intuisi. Ibn Sina
mengibaratkan tahap ini sebagai tahap “profesi” atau tahap berfungsinya “nalar
suci”.
Tak pelak, ini metupakan puncak kemampuan intelek manusia, yang hanya
ada pada para filosof dan Nabi. Berkat kemampuan ini, seorang Nabi dapat

17
mengetahui segala sesuatu secara intuitif, mempersepsi aneka bentuk dan
representasi audiovisual, mencandrakan masa depan dan mempengaruhi peristiwa
fisik secara ajaib (miraculously). 6[6] Bagi Ibn Sina, nalar suci termaksud tak lain
dari sebentuk intelek habitual, yang mengerucut pada intelek capaian. Sifat yang
mencolok dari psikologi Ibn Sina adalah tatanan hierarkisnya, yang di dalamnya
kemampuan yang rendah selau patu pada kemampuan yang lebih tinggi. Maka
dari itu, pancaindra selalu patuh pada kemampuan batin, dan kemampuan batin
selalu patuh pada kemampuan rasional.
Pendapat Ibn Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Akal
materil sebagai yang terendah adakalanya di anugerahkan Tuhan kepada manusia
akal materil yang besar lagi kuat, oleh Ibn Sina dinamakan intuisis. Daya yang ada
pada akal materi serupa ini begitu besarnya sehingga tanpa melalui latihan,
denagn mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai sifat suci.
Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, yaitu bentuk akal yang
ada pada Nabi-nabi.
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina memebagi
manusia ke dalam empat kelompok:
1)   Mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan
yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa
manusia,
2)   Mereka yang memiliki kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak
yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam,
mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-
peristiwa masa kini dan masa akan datang dan berkemampuan untuk
menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia,
3)   Mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai
daya imajinatif,
4)   Terakhir, adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam
ketajaman daya praktis mereka.

6[6] Ibid. Hal. 206. Lihat juga Ibn Sina, Ahwal al-Nafs, hal. 1141

18
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang
nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya
sedemikian kuat sehingga ia harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain,
melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Nabi juga harus mampu
melontarkan suatu sistem sosial-politik. Fungsi imajinasi kenabian yang berupa
lambang dan hidup ini ditekankan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina, namun oleh Ibn
Sina hal itu lebih rinci lagi, bahwa sifat dasar imajinasi untuk melambangkan dan
menghidupkan pemikiran-pemikiran kita, keinginan-keinginan kita, dan bahkan
keterbatasan-keterbatasan psikologi kita. Contoh kecilnya, jika kita lapar,
imajinasi kita menyuguhkan di hadapan kita imaji-imaji yang hidup tentang
makan.
Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila ini berlaku pada jiwa dan
akal nabi, menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian kuat dan hidup sehingga
apapun yang dipikirkan dan dirasakn oleh jiwa nabi, ia benar-benar mendengar
dan melihatnya. Itulah sebabnya ia “melihat” malaikat, dan “mendengar”
suaranya. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam kitab-kitab suci keagamaan
sebagian besar berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan
untuk mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, mendasar, dan spiritual. Dengan
demikian, wahtu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia beramal
dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham
belaka.
d. Tasawuf
Mengenai tasawuf, menurut Ibn Sina tidak dimulai dengan Zuhud, beribah
dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi
sebelumnya. Ia memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan
kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akan akan menerima ma’rifah dari Akal
fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dengan manusia atau bertempatnya Tuhan di
hati manusia tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung
kepada Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia
berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali perhubungan
antara manusia dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebahagiaan

19
pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung keluar
dari Allah, tetapi melalui Akal fa’al.

e. Hukum Sebab Musabab7[7]


Ibn Sina menggambarkan sebab atau wakil di mulai dengan sebab ini.
mutakallimun berpendapat bahwa pencipta alam adalah sebagai akibat dari atau
hasil dari tuhan yang bertindak sebagai pencipta. Pendapat ini digunakan berbagai
istilah dalam bahasa arab yang artinya sama dengan penciptaan, penghasilan,
pembuatan, pekerjaan, pembawaan kepada wujud dan lain–lain. Seperti arsitek,
sebelum arsitek membuat rumah, rumah itu tidak ada, kalau rumah itu sudah ada
berarti rumah itu sudah tidak membutuhkan lagi wakil atau sebab untuk ada.
Penciptaan alam oleh tuhan berbeda dengan pembuatan sebuah rumah oleh
arsitek:
a. Rumah kalau sudah dibangun ia tidak perlu lagi wakil, sedangkan alam
selamanya perlu wakil. Sesudah dia diciptakan, ia butuh terus kepada tuhan.
b. Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari rumah itu. Dengan
perkataan       lain, sebab mendahului perbuatan dalam segala perbuatan yang
terjadi dalam alamTuhan adalah sebab yang efisien dari alam, tidak perlu
didahului oleh waktu. Dengan kata lain ibnu sina memandang antara sebab dan
akibat, walaupun bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina mengarang sebuah karangan tentang Al-Isyk (Kehendak). Dia
berkata : “kehendak adalah unsur murni dari wujud. Kemudian wujud makhluk
dijelmakan oleh kehendak dan bersatu dengan dirinya sendiri atau wujud dan
kehendaknya adalah sama”. Dalam bagian ini ibnu sina berkata  : “teranglah,
bahwa dalam setiap makhluk terdapat suatu kehendak batin. Kehendak batin ini
dengan kebutuhannya menjadi sebab dari penciptanya. Setiap unsur ditemani
kehendak batin yang senantiasa kelihatan padanya, yang menyebabkan
wujudnya”. Pengertian ini menjadi bentuk filsafat cahaya akal dari ibnu sina.
Pendiriannya yang menolak gambaran tuhan sebagai wakil sebab, memungkinkan
orang tuk mempelajari pendiriannya tentang Tuhan Maha Mengatur.

7[7] Sudarsono, op. Cit, hlm. 47

20
f. Tuhan Maha mengatur dan Maha Tahu8[8]
Diterangkan dalam kitab Al-Isyarat :”Maha tahu adalah perwakilan dalam
undang alam semesta, dalam pengetahuan abadi, dalam suatu waktu tertentu”.
Undang pelimpahan tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan
pelimpahan rasionil. Keterangan tersebut menyebabkan orang dapat melihat
bagaimana ibnu sina menguraikan tentang sifat Maha Tuhan dan mengenai baik
dan buruk. Orang akan merasa pesimis dan memberikan uraiannya bahwa antara
baik dan buruk, baiklah yang akan menang. Tuhan menghendaki baik oleh karena
itu ia menyempurnakan wujud-Nya. Makhluk adalah baik dan kesempurnaan
makhluk itu adalah terdapat dalam segala makhluk. Karena segala kebaikan dan
kesempurnaan datang dari tuhan. Sebab tuhan itu mempunyai sifat Rahman dan
Rahim, ia akan menjelma dalam setiap yang dikuasaiNya.
Ibnu Sina menggambarkan tentang pengertian benda itu sebagai seorang
perempuan yang tidak cantik yang memakai topeng sehingga dia tampak cantik
sekedar untuk menutupi ketidakcantikannya. Oleh karena itu, perempuan tidak
dapat terpisah dari topeng tersebut, topeng tersebut memberi kecantikan padanya.
Tuhan sebagai puncak makhluk, maka tuhan pula merupakan puncak rupa depan
yang memberi nikmat. Kita harus mengenal tuhan sebagai wakil sebab. Nafsu
adalah sebab akhir dari makhluk yang mencoba memperoleh kesempurnaan dan
kebaikan.
Undang alam semesta adalah sebaik–baik undang makhluk, dan dunia kita
adalah sebaik–baik alam yang dapat difahamkan oleh otak manusia. Selama dunia
ini tersusun dari kebutuhan dan kemungkinan, dunia ini terjadi dari benda bentuk,
potensi dan hakikat, kejahatan selamanya aka nada, kejahatan lebih sedikit
daripada kebaikan dan kejahatan itu bersifat negative dan kebaikan itu bersifat
positif. Kejahatan timbul dari makhluk sendiri.
Pengetahuan manusia terbatas, dia tidak dapat mengerti hikmah yang berada
dalam kejahatan tuhan tidak melihat kepada sesuatu pendirian kita yang terbatas,
akan tetapi tuhan memandang secara keseluruhannya terletak dalam aturan hirarki
yang turun dari tuhan. Untuk membuktikan bahwa tuhan maha mengetahui, ibnu
sina pernah menghadapi tiga buah pernyataan yang berlawanan, yaitu :

8[8] Ibid, hlm. 49

21
a.       Tentang pendirian filsafat aristoteles yang mengatakan bahwa tuhan berada
diluar alam.
b.      Tesis Alqur’an yang mengatakan : “tuhan adalah maha tahu akan segala
yang tidak terlihat. Tidak ada sebutir atom atau lebih kecil dari itu atau lebih besar
di langit dan di bumi yang tersembunyi kepada-Nya, itulah seterang–terangnya
bukti” (Surat 34/4)
c.       Tentang pendapat Plato dan Neoplatenis, yang mengatakan bahwa tuhan
adalah prinsip pertama, Yang Esa dan Dia jauh dari apa yang dapat disifatkan oleh
pengetahuan , sebab dengan meletakkan kepada Tuhan pengetahuan. Dia
mempunyai sifat yang rangkap yaitu tahu dan pengetahuan.
Dalam An-Najat ibnu sina berkata : “Kebenaran pertama, jika ia tahu
dirinya sendiri, dia tahu bahwa Dia adalah dasar pertama dari makhluk dan segala
sesuatu yang keluar daripada-Nya”. Putusan paham ibnu sina diberikannya, bahwa
ilmu Tuhan tentang kekhususan adalah didasarkan pada pokok pelajaran sebab
musabab. Segala sesuatu berkehendak kepada hubungan sebab dan akibat.
g. Pandangan Tentang Akal9[9]
Menurut ibnu sina akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam
jiwa. Ada dua macam akal yaitu : akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran
yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia.
Sedangkan akal aktif adalah semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam
akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan. Ibnu sina juga terkenal dengan
rumusannya yaitu : akal (pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk–
bentuk. Rumusan ibnu sina diambil alih oleh seorang pendeta Dominican Albertus
Magnus (1206 - 1280) yang dikemukakan di dunia barat.

Pengaruh filsafat Ibnu Sina:


Banyak sekali pengaruh yang ditimbulkan oleh pemikiran Ibn Sina,
diantaranya:
Pertama, beliau menentang pemikiran kaum sufi ortodoks dengan tidak
meninggalkan keduniaan sehingga melahirkan kaum sufi modern.
Kedua, hasil karya beliau dijadikan standar kurikulum di universitas Eropa.

9[9] Ibid, hlm. 52

22
Ketiga, dalam bidang pendidikan, Mahmud Yinus mengatakan bahwa Ibn
Sina mengajukan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni
tenang, tidak bermuka masam, tidak berolok-olok di hadapan murid dan sopan
santun.10[10]
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filsuf sebelumnya,
semisal Ak-Kindi dan Al-Farabi, Ibn Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam
yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan terbesar yang dilakukan oleh Ibn Sina
adalah menjawab berbagai persoalan fislafat yang tak terjawab sebelumnya.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Sina, seperti karya pemikiran dan telaahnya di
bidang kedokteran, tidak hanya tertuju pada dunia islam, tetapi merambah ke
dataran Eropa. Filsafat metafisika Ibn Sina adalah ringkasan dari tema-tema filsuf
yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Pengaruh dan kontribusi Ibn Sina tampak dalam sejarah filsafat abad
pertengahan yang menganggapnya sebagai yang unik dan memperoleh
pengahargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Keunikan Ibn Sina ini
dibuktikan dengan kempuannya memengaruhi agama-agama lain di abad
pertengahan selain dunia Islam sendiri, seperti fenomena perumusan kembali
teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert Yang Agung, terutama oleh
Thomas Aquinas yang secara mendasar terpengaruh oleh Ibn Sina.11[11]

BAB III
PENUTUP

1.  Kesimpulan

10[10] A. Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam persfektif islam (Bandung: Rosdakarya) hal.83

11[11] Lihat lebih detailnya dalam M.M. Syarif. Para Filosof. Hal. 102

23
Ibn Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah
seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi
bagianUzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian
besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan
Diantara karya dari ibnu sina yang terpenting adalah
1)      Al – syifa’ latinnya sanatio (penyembuhan)
2)      Al- Najah, latinnya salus (penyelamat), keringkasan dari as-Syifa’.
3)      Al-Isyaroh wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan
hikmah.
4)      Al-Qonun fi al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkan dalam
bahasa Latin menjadi buku pedoman pada Universitas-Universitas di Eropa
sampai abad XVII
5)      Al-Hikmah al-‘Arudhiyyah
6)      Hidayah al-Rais li al- Amir
7)      Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiyah
8)      Al-mantiq al-Masyriqiyyin (Logika timur)
Ibnu sina juga mengemukakan pemikirannya tentang filsafat,antara lain :
1)   Filsafat Metafisika
2)   Filsafat jiwa
3)   Filsafat kenabian
4)   Filsafat tasawuf
5)   Hukum sebab musabab
6)   Tuhan maha pengatur dan maha tahu serta
7)   Pandangan hidup tentang akal

2.  Saran
Makalah yang memuat pembahasan tentang Filsafat Ibn Sina ini sangatlah
jauh dari kesempurnaan. Maka kami membutuhkan kritik dan saran atas
kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Makalah ini hanyalah
sebatas tugas mata kuliah akan tetapi, insya Allah dibalik semua ini ada manfaat
bagi kami khususnya dan umumnya bagi semua pembaca. Oleh karena itu, apa
yang kami kutip dari berbagai literature buku, dan referensi lain, kemungkinan

24
besar masih belum sempurna apabila ditinjau dari cara mengambil
pemahamannya. Maka litertaur yang lain, sangatlah membantu untuk peningkatan
makalah pada tugas yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.


Fakhry, Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Dedi Supriadi. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.

25
Ahmad Hanafi. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ahmad Fuad Al-Ahwani. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Harun Nasution. 1992. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan

Bintang.

Oemar Amin Hoesin. 1975. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Sudarsono. 2004. filsafat islam jakarta: Rineka cipta.


Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafah dalam Islam. Cet.
ke-1. Jakarta: Bumi Aksara.
al-Irâqî, Muhammad Atîf. 1969. Al-Falsafat al-Tarbawiyyah ‘Inda Ibn
Sinâ. Mesir: Dâr al-Ma’ârif.

26

Anda mungkin juga menyukai