Anda di halaman 1dari 3

RANGKUMAN BAHASA INDONESIA

“EJAAN dalam BAHASA INDONESIA”

Resume ini
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Mengikuti Perkuliahan
Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Dosen Pembimbing:
Arum Rindu Sekar Kasih, MA.

Disusun oleh kelompok 4:

1. Ilyas Khafandi (202100843)


2. Rakhmah Rizqi Nafisah (202100856)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN TSAURI (STAIS)
MAJENANG
CILACAP
2021
PENERAPAN KAIDAH BACAAN

1.1 Pengertian Ejaan

Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi


ujaran dan bagaimana antar hubungan antara lambang-lambang itu (pemisaham
dan penggabungannya dalam suatu bahasa). Secara teknis, yang dimaksud dengan
ejaan adalah penulisan huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca.

1.2 DARI EJAAN VAN OPHUIJSEN HINGGA EYD

1.2.1 Ejaan Van Ophuijsen

Pada tahun 1901 diadakan pembakuan ejaan bahasa Indonesia yang pertama
kali oleh Prof. Charles van Ophuijsen dibantu oleh Nawawi Soetan Makmoer dan
Moh. Taib Sultan Ibrahim. Hasil pembakuan mereka yang dikenal dengan ejaan
Van Ophuijsen ditulis dalam sebuah buku berjudul Kitab Logat Melajoe.[2]
Dalam kitab itu dimuat sistem ejaan Latin untuk bahasa Melayu di Indonesia.

Van Ophuijsen adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda. Ia


pernah jadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatra Barat,
kemudian menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda.
Setelah menerbitkan Kitab Logat Melajoe, van Ophuijsen kemudian menerbitkan
Maleische Spraakkunst (1910). Buku ini kemudian diterjemahkan oleh T.W.
Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu dan menjadi panduan bagi pemakai
bahasa Melayu di Indonesia.

Ejaan Van Ophuijsen atau Ejaan Lama adalah jenis ejaan yang pernah
digunakan untuk bahasa Indonesia. Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-
kata bahasa Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu
menggunakan huruf Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda. Ada tiga
ciri penanda lingual dalam Ejaan van Ophuijsen, yaitu:

 penggunaan huruf j dibaca /y/


 penggunaan huruf oe dibaca /u/ dan
 penggunaan tanda diakritik meliputi tanda koma (,), ain (‘), dan trema (¨),
contohnya ma’mum, ra’jat, ma’lum.

Huruf hidup yang diberi aksen trema atau dwititik diatasnya seperti ä, ë, ï dan
ö, menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan diftong,
sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat ini. Kebanyakan catatan tertulis
bahasa Melayu pada masa itu menggunakan huruf Arab yang dikenal sebagai
tulisan Jawi. Ejaan ini akhirnya digantikan oleh ejaan Republik pada 19 Maret
1947.
1.2.2 Ejaan Soewandi

Pada tanggal 19 Maret 1947 Ejaan Soewandi diresmikan untuk menggantikan


ejaan Van Ophuijsmen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan Ejaan
Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu
adalah sebagai berikut.

a. Huruf oe diganti dengan u,seperti pada guru, itu, umur.


b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-
kata tak, pak, maklum, rakjat.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka-2, seperti anak2, berjalan2, ke-
barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan
kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun,
disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.
1.2.3 Ejaan Melindo

Pada akhir 1959 sidang keputusan Indonesia dan Melayu (Slametmulyana-Syeh


Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian
dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik
selama tahun tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan itu.

1.2.4

Anda mungkin juga menyukai