Anda di halaman 1dari 10

Nama : Shabrina Alifia Nurrohmah

NIM : 2023.08.10.005

Prodi : Pendidikan Bahasa Arab Semester 1

Tugas Matakuliah Bahasa Indonesia

SEJARAH EJAAN INDONESIA DARI


DULU SAMPAI SEKARANG

Sebelum membahas sejarah ejaan bahaasa Indonesia, mau nanya deh ejaan itu apa
sih?.
Ejaan itu bagaimana kita mengucapkan (secara lisan) sebuah kata. Ejaan sendiri
diatur dalam kaidah berbahaasa baku, termasuk di dalam bahasa Indonesia. Ejaan
juga tidak hanya diatur dalam segi cara pengucapan tapi juga cara menulis dan
penggunaan tanda baca.
Sebelum mempunyai tata bahasa baku dan resmi menggunakan aksara latin, bahasa
Melayu ditulis menggunakan aksara Jawi (arab gundul) selama berates-ratus tahun
lamanya. Lalu, sejak bangsa Eropa datang di Nusantara, barulah kita mengenal aksara
latin.
Ejaan latin yang dipakai untuk bahasa Melayu pun sudah berubah berkali-kali sesuai
dengan kebijakan paraa penulis buku pada waktu itu. Ternyata, Nusantara yang
diduduki Belanda punya gaya ejaan yang berbeda dengan Semenanjung Melaya yang
notabe dikolonisasi Inggris.
Hal ini pastinya bikin pusing, bahasa sama tapi kaidah ejaan latinnya beda. Ditambah,
lagi dengan aksara Jawi yang asing di mata bangsa Eropa.

Untuk mengatasinya, di tahun 1897 ada seorang linguis Londo (sebutan orang
Belanda) kelahiran Batavia, yang bernama A.A. Fokker mengusulkan agar ada
penyeragaman ejaan diantara dua wilayah ini.
Hingga akhirnya, van Ophuijsen (sistem orthografi) membakukan segalanya tentang
Bahasa Melayu.
Nah, sekarang kita akan lihat perjalanan ejaan dalam Bahasa Indonesia sejak bahasa
Melayu dibakukan.
Pertama, ejaan yang berlaku di Indonesia adalah Ophuijsen, atau Ophuysen, hingga
Indonesia tidak lagi dibayang-bayangi Belanda (1947). Lalu, terdapat tiga ejaan yang
kurang terkenal sehingga menjadi tahapan hingga ke Ejaan yang Disempurnakan
(EyD), yaitu ejaan Pembaruan (1957), ejaan Melindo (1959) dan ejaan Baru (1966).
Setelah melalui masa-masa kegalauan perencanaan bahasa di era Soekarno,
masalaah-masalah ini dirampungkan hingga akhirnya Soeharto meresmikan EyD
pada perayaan kemerdekaan Indonesia, tahun 1972 silam.
Berikut penjelasannya masing-masing:

1. Ejaan van Ophuysen (1901_1947)


Charles Adriaan van Ophuijsen (Ch. A. van Ophuysen) merupakan tokoh penting
dalam tonggak bahasa Indonesia. Seperti yang udah disebutkan sebelumnya, ejaan
Ophuijsen lahir dari niat pemerintah kolonial Belanda untuk menengahi keberagaman
variasi bahasa Melayu yang ada di Nusantara saat itu, sekaligus memudahkan
Belanda menyebarkan kekuasaan di daerah kolonisasinya.

Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan van Ophuysen


Dulu, bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal BI ditulis menggunakan huruf Jawi
(Arab Melayu atau Arab gundul).
Meskipun bahasa ini tetap hidup di masyarakat, para sarjana Belanda menilai bahasa
Melayu tidak cocok menggunakan huruf Arab karena penulisan huruf vokal
seperti e, i, o ditulis sama saja saat ingin menuliskan kata yang memiliki
vocal a dan u. Bagi yang tinggal di daerah Riau dan pernah mendapatkan pelajaran
Arab Melayu dari sekolahnya, mungkin ngerti nih dengan apa yang dimaksud.
Sebagai ilustrasi, coba lihat deh contoh tulisan Arab Melayu (arab gundul) di bawah
ini.
Sebenarnya sih bukan itu saja, salah satunya karena ancaman militansi umat
Islam bagi kolonial Belanda membuat Belanda merasa perlu mengurangi pengaruh
Islam-Arab di Nusantara. Faktor lain penetapan ejaan baku ini diresmikan Belanda
karena pada saat itu pemerintah kolonial sedang menjalankan politik etisnya di
Nusantara, yaitu sebuah kebijakan untuk membuka peluang pendidikan bagi kaum
ningrat Nusantara. Masalahnya, jika bahasa Melayu tidak distandarkan, proses
pendidikan ini akan terhambat.
Dalam kariernya sebagai inspektur pendidikan ulayat (kaum bumiputera, saat itu),
van Ophuijsen telah membuat Kitab Logat Melayu: Woordenlijst voor de spelling der
Malaisch taal met Latijnch karakter (Perbendaharaan Kosakata: daftar kata untuk
ejaan bahasa Melayu dalam huruf Latin) yang diterbitkan di Batavia 1901 dan berisi
10.130 kata-kata Melayu dalam ejaan baru, dengan prinsip ejaan bahasa Belanda.
Kitab ini merupakan upaya Belanda dalam membuat standar bahasa saat mereka
bercokol di Nusantara. yah, namanya berbasis alasan kolonial, tentu ini dibuat agar
bisa meluaskan kekuasaan mereka sekaligus dapat menyatukan Nusantara di bawah
kendalinya.
Belanda menerapkan bahasa ini mulai dari sekolah-sekolah bumiputera. Oleh karena
itu, bahasa Melayu Ophuijsen ini sering disebut “bahasa Melayu sekolahan”. Tidak
berhenti di situ, sejak penerbit Balai Poestaka (sekarang: Balai Pustaka) didirikan
Belanda, bahasa ini semakin menancap di kaum terdidik Nusantara. Selain memang
suka mempelajari bahasa-bahasa di Nusantara, kehidupan masa kecil van Ophuijsen
yang lahir di tanah Minangkabau ini memudahkannya membuat standar yang menjadi
cikal-bakal Bahasa Indonesia yang kita pakai hingga saat ini. Nggak heran juga,
akhirnya dia diangkat menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden,
Belanda.
Ciri-Ciri Ejaan van Ophuysen
Dalam merumuskan buku tersebut (1896), van Ophuijsen dibantu oleh Nawawi
Soetan Ma‟moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Pedoman tata bahasa ini
selanjutnya dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen dan diakui pemerintah kolonial
tahun 1901.
Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:

1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya


harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga
digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, saja, wajang.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata doeloe, akoe, soekarni, repoeblik.
4. Tanda diakritis, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-
kata ma’moer, jum’at, ta’(dieja tak), pa’, (dieja pak).
5. Huruf tj yang dieja c saat ejaan ini dihapuskan, seperti Tjikini, tjara, pertjaya.
6. Huruf ch yang dieja kh, seperti chusus, achir, machloe.

Contoh ejaan van Ophuijsen yaitu seperti berikut:

“Saja selaloe minoem soesoe, rasanja enak dan menjehatkan.”


Ternyata, jauh sebelum menerbitkan Kitab Logat Bahasa Melayu, lelaki yang lahir
tahun 1856 dan meninggal tahun 1917 ini sudah membuat dua buku bahasa lain:
Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Selintas Kehidupan
Kekeluargaan Suku Batak) tahun 1879 dan Maleische Spraakkunst (Tata Bahasa
Melayu) tahun 1910. Buku Tata Bahasa Melayu inilah yang akhirnya menjadi
pedoman dalam berbahasa Melayu di Indonesia setelah diterjemahkan oleh T.W.
Kamil dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kecakapannya di bidang bahasa membuat
pemerintah kolonial menugaskannya untuk merumuskan tata bahasa Melayu baku.
Maka mulailah Ophuysen berjalan menyusuri Sumatera hingga Semenanjung Malaya
untuk meneliti bentuk murni dari bahasa Melayu hingga terpilihlah bahasa Melayu
Riau sebagai patokan standardisasi.

Pro-Kontra Ejaan van Ophuysen


Layaknya pro dan kontra, ada yang sepakat dan menolak, hal itu terjadi pada karya
Ophuijsen ini. Meskipun jasa Ophuijsen ini begitu besar, ada juga yang menudingnya
sebagai arsitek yang telah menggusur varian bahasa Melayu lain. Joss Wibisono,
sejarawan menyalahkan Ophuijsen sebagai pihak yang menjadikan derajat bahasa
Melayu Riau (Riau Maleisch) lebih tinggi daripada Melayu pasar (laag Maleis) yang
memang digunakan secara meluas oleh khayalak di Nusantara dulu.
Bagi Joss, Melayu Riau itu mitos, dan hanya ditemui di karya sastra (yang nanti
setelah dibakukan oleh Belanda kemudian disebarluaskan melalui novel-novel
terbitan Balai Pustaka). Meski ejaan Ophuysen sudah dihilangkan oleh pemerintah
dulu, tetapi ejaan ini nyatanya tidak benar-benar hilang.

2. Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) 1947-1972)


Ejaan ini disebut sebagai Ejaan Soewandi karena diresmikan tanggal 17 Maret 1947
oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan saat itu, yaitu Raden
Soeawandi, menggantikan ejaan Ophuijsen. Bisa dibilang, ejaan bahasa Indonesia
yang pertama kali digunakan setelah kemerdekaan adalah ejaan Soewandi.
Sebenarnya, nama resmi dari ejaan tempo dulu yang satu ini adalah ejaan Republik,
namun lebih dikenal dengan ejaan Soewandi.

Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Soewandi


Faktor kebangsaan Indonesia yang sudah merdeka dan ingin mengikis citra Belanda
yang diwakili oleh ejaan Ophuijsen membuat pentingnya adanya perubahan ejaan di
bahasa kita. Apalagi, saat itu Londo sedang sirik-siriknya melihat pencapaian
kemerdekaan mantan negara jajahannya ini hingga datang lagi ke Indonesia dengan
memboncengi sekutu (tahun 1947). Semakin jelek deh impresi Belanda yang
terwakilkan dalam ejaan Ophuijsen.

Ciri-ciri Ejaan Soewandi


Ternyata, perubahan ejaan ini mendapat pertentangan dari orang-orang yang namanya
menggunakan ejaan oe. Sebagian tetap mempertahankan menggunakan ejaan Ophuijsen
untuk nama mereka meskipun ejaan Republik sudah diberlakukan. Belakangan, varian
penulisan nama dua mantan presiden kita, Soeharto (Suharto) dan Soekarno
(Sukarno), membuat salah satu komponen ejaan Ophuijsen dimaklumkan untuk
dimunculkan kembali. Jadi, nama orang yang mestinya tetap (enggak berubah),
ternyata bisa juga berubah disesuaikan dengan ejaan yang sudah lazim.
Berikut ciri-ciri ejaan Soewandi:
 Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata dulu, aku, Sukarni, republik.
 Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, pada kata-
kata makmur, tak, pak, atau hamzahnya dihilangkan menjadi kira-kira.
 Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada mobil2, ber-jalan2, ke-
barat2-an. Jadi terjawab deh kenapa sampai saat ini kita masih sering
menuliskan angka 2 sebagai perwakilan kata ulang. Tapi sayang, kalau
konteks bahasa baku, hal ini sudah kadaluarsa.
 Awalan di– dan kata depan di keduanya ditulis serangkai dengan kata yang
menyertainya. Alhasil, penulisan disekolah atau dijalan disamakan dengan
dijual atau diminum. Nah, penulisan di- sebagai awalan dan kata depan selalu
menjadi momok dalam tutur lisan maupun tulisan. Saat mestinya digabung,
dijalankan menjadi di jalankan. Sebaliknya, di mana menjadi dimana.
 Penghapusan tanda diakritis atau pembeda antara huruf vokal tengah atau
yang disebut schwa oleh para linguis atau e „taling‟.

3. Ejaan Pembaharuan (1957)


Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Pembaharuan
Ejaan ini bermula dari polemik yang terjadi pada Kongres Bahasa Indonesia ke-2 di
Medan tahun 1954. Kongres kedua ini akhirnya diadakan setelah pertama kali
diadakan di Solo tahun 1938. Yamin selaku Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan dan pemrakarsa Kongres Bahasa Indonesia ke-2 mengatakan bahwa
kongres ini merupakan bentuk rasa prihatinnya akan kondisi bahasa Indonesia saat itu
yang masih belum mapan. Medan pun dipilih karena di kota itulah bahasa Indonesia
dipakai dan terpelihara, baik dalam rumah tangga ataupun dalam masyarakat,
setidaknya itu alasan Yamin. Di kongres ini, memang diusulkan banyak hal dan salah
satunya adalah perubahan ejaan. Usulan ini ditindaklanjuti oleh pemerintah waktu itu
dengan membentuk panitia pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia.

Ciri-ciri Ejaan Pembaharuan


Panitia ini diharapkan bisa membuat standar satu fonem dengan satu huruf
(misalnya menyanyi: menjanji menjadi meñañi; atau mengalah menjadi meɳalah).
Penyederhanaan ini sesuai dengan iktikad agar dibuat ejaan yang praktis saat dipakai
dalam keseharian. Selain itu, isu tanda diakritis diputuskan agar kembali digunakan.
Walhasil, k-e-ndaraan dengan é (seperti elo mengeja k-e-lainan) yang tadinya ditulis
sama dengan k-e-mah, akhirnya ditulis berbeda. Untuk kata sjarat (syarat) dibedakan
menjadi śarat. Kalau nggak hati-hati, bisa saja nyaru antara sarat (penuh/termuat)
dengan syarat. Sedangkan huruf j yang digunakan pada kata jang (yang) malah sudah
disepakai ditulis menjadi yang (seperti kita pakai sekarang). Kata mengapa pun akan
dieja menjadi meɳapa. Untuk kata-kata berdiftong ai, au, dan oi seperti sungai,
kerbau, dieja dengan sungay, kerbaw. Ejaan Pembaharuan ini dibuat dengan maksud
menyempurnakan Ejaan Soewandi dan juga disebut dengan Ejaan Prijono-Katoppo.
Meskipun salah satu putusan kongres menyatakan supaya ejaan itu ditetapkan
undang-undang, ejaan ini urung diresmikan. Kendati demikian, ejaan ini disinyalir
menjadi pemantik awal diberlakukannya EyD tahun 1972.

4. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)


Sejak Kongres bahasa tahun 1954 di Medan dan dihadiri oleh delegasi Malaysia,
maka mulailah ada keinginan di antara dua penutur Bahasa Melayu ini untuk
menyatukan ejaan. Keinginan ini semakin kuat sejak Malaysia merdeka tahun 1957
dan kita pun menandatangani kesepakatan untuk membicarakan ejaan bersama tahun
1959-nya. Sayangnya, karena situasi politik kita yang sedang memanas (Indonesia
sedang condong ke poros Moskow-Peking-Pyongyang, sedangkan Malaysia yang
Inggris banget), akhirnya ditangguhkan dulu pembahasannya.
Hal lain yang membuat ejaan ini kurang seksi adalah perubahan huruf-huruf yang
dianggap aneh. Misalnya, kata “menyapu” akan ditulis “meɳapu”; “syair” ditulis
“Ŝyair”; “ngopi” menjadi “ɳopi”; atau “koboi” ditulis “koboy”. Mungkin aneh karena
belum biasa dan harus menyesuaikan diri lagi. Tapi, akhirnya, usulan yang mustahil
dilaksanakan ini dengan cepat ditinggalkan.

5. Ejaan Baru atau Ejaan LBK


Sebelum adanya EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang bernama Pusat
Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan ini
sebenarnya estafet dari ikhtiar yang sudah dirintis oleh panitia Ejaan Melindo.
Anggota pelaksananya pun terdiri dari panitia ejaan dari Malaysia. Pada intinya,
hampir tidak ada perbedaan berarti di antara ejaan LBK dengan EYD, kecuali pada
rincian kaidah-kaidah saja.

6. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)


Ejaan ini diresmikan sejak 16 Agustus 1972 oleh Presiden Soeharto. Sejak itulah,
muncul perubahan signifikan pada ejaan kita hingga saat ini. Bayangkan, semua kop
surat+amplop, kartu nama, papan jalan, papan nama kantor dan toko, mulai dari
Sabang sampai Merauke diganti dan menyesuaikan diri. Perjalanan menuju EyD ini
relatif panjang. Dimulai dari era Soekarno masih presiden (1954), lalu sempat sudah
ada perubahan melalui Ejaan Pembaharuan (1957), dilanjutkan dengan Ejaan
Melindo (1959) yang akhirnya batal lagi karena Soekarno menyerukan Ganyang
Malaysia. Kondisi terkatung-katung itu lagi-lagi mandek karena peristiwa kudeta 30
September 1965. Kondisi ekonomi kita parah, politik dan keamanan yang buruk.
Tentu maklum kalau urusan bahasa menjadi ditangguhkan dulu. Mulai Mei 1966,
urusan ejaan dibuka kembali dan kepanitiaan diketuai oleh pendekar bahasa
Indonesia, Anton Moeliono. Meskipun ejaan ini rampung setahun sesudahnya, dan
telah dirundingkan dengan Malaysia (karena sejak 1959 memang kita sudah
bersepakat buat menyamakan ejaan), tapi lagi-lagi ejaan ini urung diluncurkan. Ejaan
ini mendapatkan kritik karena isu politis, alih-alih linguistis. Namun, setelah
Mendikbud kala itu mengeluarkan SK tahun 1972 barulah ejaan ini dapat
melenggangkan diri ke permukaan.

Ciri-Ciri Ejaan Eyd


kalau biasanya Djajalah Indonesia!, maka sesuai EYD diubah menjadi Jayalah
Indonesia!. Perubahan ejaan dj menjadi j pun tak terhindarkan. Kalau dalam teks
proklamasi 1945 dulu masih tertulis “Djakarta, hari 17……”, maka diubah menjadi
“Jakarta, hari 17…..”. Untuk sebagian orang tetap mengeja namanya jika
mengandung ejaan dj. Misalnya, Djojobojo alih-alih joyoboyo. Selain itu, ejaan nj
juga diubah menjadi ny, sehingga penulisan njonja menjadi nyonya, hal ini berlaku
untuk ejaan kata ch dan menyesuaikan diri menjadi kh. Kalau dulu achirnya, sekarang
menjadi akhirnya.

Rangkuman Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia


Di bawah ini, rangkuman bagaimana sejarah ejaan bahasa Indonesia mulai dari ejaan
tempo dulu hingga EYD yang tidak asing di kuping kita:

Eja
Van Ejaan
Soew Meli an
Ophu Pemba yang
andi ndo Bar
ysen ruan Disemp
(1947 (195 u
(1901 (1957) urnakan
) 9) (19
) (1972)
66)

j J y y y y
dj dj j j j j

nj nj ñ ɳ ny ny

sj – ś Ŝ sy sy

tj tj – c c c

ch – – – kh kh

ng ng ɳ ɳ ng ng

z – z z z z

F – F F F f

– – V V V v

é e é é e e

e e e e e e
oe u u u u u

ai ai ay ay ai ai

au au aw aw au au

oi oi oy oy oi oi

Anda mungkin juga menyukai