Sebelum mempunyai tata bahasa baku dan resmi menggunakan aksara latin,
bahasa Melayu (sebagai cikal-bakal Bahasa Indonesia) ditulis menggunakan aksara
Jawi (arab gundul) selama beratus-ratus tahun lamanya. Lalu, sejak bangsa Eropa
datang dan nangkring di Nusantara, barulah kita mengenal aksara latin. Ejaan latin
yang dipakai untuk bahasa Melayu pun sudah berubah berkali-kali sesuai dengan
kebijakan para penulis buku pada waktu itu. Ternyata, Nusantara yang
diduduki Belanda punya gaya ejaan yang berbeda dengan Semenanjung Melaya yang
notabene dikolonisasi Inggris. Hal ini pastinya bikin ruwet, bahasa sama tapi kaidah
ejaan latin beda. Ditambah dengan aksara Jawi yang asing di mata bangsa Eropa.
Untuk mengatasinya, tahun 1897, seorang linguis Londo (sebutan orang Belanda)
kelahiran Batavia, yang bernama A.A. Fokker mengusulkan agar ada penyeragaman
ejaan di antara dua wilayah ini. Hingga akhirnya, van Ophuijsen (sistem orthografi)
membakukan segalanya tentang Bahasa Melayu.
1. Gabungan huruf oe dalam Ejaan Van Ophuysen diganti dengan u dalam Ejaan
Republik.
2. Bunyi hamzah (‘) dalam Ejaan Van Ophuysen diganti dengan k dalam Ejaan
Republik.
3. Kata ulang boleh ditandai dengan angka dua dalam Ejaan Republik.
4. Huruf e taling dan pepet dalam Ejaan Republik tidak dibedakan.
5. Tanda trema (“) dalam Ejaan Van Ophuysen dihilangkan dalam Ejaan Republik.
Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Pembaharuan. Ejaan ini bermula dari polemik yang
terjadi pada Kongres Bahasa Indonesia ke-2 di Medan tahun 1954. Kongres kedua ini
akhirnya diadakan setelah pertama kali diadakan di Solo tahun 1938. Yamin selaku
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dan pemrakarsa Kongres Bahasa
Indonesia ke-2 mengatakan bahwa kongres ini merupakan bentuk rasa prihatinnya
akan kondisi bahasa Indonesia saat itu yang masih belum mapan. Medan pun dipilih
karena di kota itulah bahasa Indonesia dipakai dan terpelihara, baik dalam rumah
tangga ataupun dalam masyarakat, setidaknya itu alasan Yamin. Di kongres ini,
memang diusulkan banyak hal dan salah satunya adalah perubahan ejaan. Usulan ini
ditindaklanjuti oleh pemerintah waktu itu dengan membentuk panitia pembaharuan
Ejaan Bahasa Indonesia. Ciri-ciri Ejaan Pembaharuan
Panitia ini diharapkan bisa membuat standar satu fonem dengan satu huruf
(misalnya menyanyi: menjanji menjadi meñañi;
atau mengalah: mengalah menjadi meɳalah).
Penyederhanaan ini sesuai dengan iktikad agar dibuat ejaan yang praktis saat dipakai
dalam keseharian. Selain itu, isu tanda diakritis diputuskan agar kembali digunakan.
Walhasil, k-e-ndaraan dengan é (seperti elo mengeja k-e-lainan) yang tadinya ditulis
sama dengan k-e-mah, akhirnya ditulis berbeda. Untuk kata sjarat (syarat) dibedakan
menjadi śarat. Kalau nggak hati-hati, bisa saja nyaru antara sarat (penuh/termuat)
dengan syarat. Sedangkan huruf j yang digunakan pada kata jang (yang) malah sudah
disepakai ditulis menjadi yang (seperti kita pakai sekarang). Kata mengapa pun akan
dieja menjadi meɳapa. Untuk kata-kata berdiftong ai, au, dan oi seperti sungai, kerbau,
dan koboiakan dieja dengan sungay, kerbaw, dan koboy. Ejaan Pembaharuan ini dibuat
dengan maksud menyempurnakan Ejaan Soewandi dan juga disebut dengan Ejaan
Prijono-Katoppo. Meskipun salah satu putusan kongres menyatakan supaya ejaan itu
ditetapkan undang-undang, ejaan ini urung diresmikan. Kendati demikian, ejaan ini
disinyalir menjadi pemantik awal diberlakukannya EyD tahun 1972.
Sejak Kongres bahasa tahun 1954 di Medan dan dihadiri oleh delegasi Malaysia,
maka mulailah ada keinginan di antara dua penutur Bahasa Melayu ini untuk
menyatukan ejaan. Keinginan ini semakin kuat sejak Malaysia merdeka tahun 1957 dan
kita pun menandatangani kesepakatan untuk membicarakan ejaan bersama tahun
1959-nya. Sayangnya, karena situasi politik kita yang sedang memanas (Indonesia
sedang condong ke poros Moskow-Peking-Pyongyang, sedangkan Malaysia yang
Inggris banget), akhirnya ditangguhkan dulu pembahasannya. Hal lain yang membuat
ejaan ini kurang seksi adalah perubahan huruf-huruf yang dianggap aneh. Misalnya,
kata “menyapu” akan ditulis “meɳapu”; “syair” ditulis “Ŝyair”; “ngopi” menjadi “ɳopi”; atau
“koboi” ditulis “koboy”. Mungkin aneh karena belum biasa dan harus menyesuaikan diri
lagi. Tapi, akhirnya, usulan yang mustahil dilaksanakan ini dengan cepat ditinggalkan.