Anda di halaman 1dari 10

Tugas Sesi 3

Bahasa Indonesia dan Budaya


Dosen : GINA SYABANI YUDA, M.Pd

1. Jelaskan perkembangan ejaan disertai contoh karakteristiknya!


Jawaban :
Ejaan Bahasa Indonesia (disingkat EBI) adalah ejaan bahasa Indonesia yang
berlaku sejak tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia. Ejaan ini menggantikan Ejaan yang Disempurnakan.Ejaan merupakan tata
cara penulisan huruf, kata, dan kalimat sesuai dengan standardisasi yang telah
disepakati dalam kaedah Bahasa Indonesia. Ejaan dapat ditinjau dari dua segi, yaitu
segi khusus dan segi umum, secara khusus ejaan dapat diartikan sebagai
pelambangan bunyi-bunyi bahasa dengan huruf, baik berupa huruf demi huruf maupun
huruf yang telah disusun menjadi kata, kelompok kata atau kalimat. Secara umum,
ejaan berarti keseluruhan ketentuan yang mengatur pelambangan bunyi bahasa,
termasuk pemisahan dan penggabungannya yang dilengkapi pula dengan penggunaan
tanda baca. Dari keterangan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa ejaan
merupakan hal-hal mencakup penulisan huruf, penulisan kata, termasuk singkatan,
akronim, angka dan lambang bilangan, serta penggunaan tanda baca. Selain itu, juga
tentang pelafalan dan peraturan dalam penyerapan unsur asing.
Sejarah Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia

Sebelum mempunyai tata bahasa baku dan resmi menggunakan aksara latin,
bahasa Melayu (sebagai cikal-bakal Bahasa Indonesia) ditulis menggunakan aksara
Jawi (arab gundul) selama beratus-ratus tahun lamanya. Lalu, sejak bangsa Eropa
datang dan nangkring di Nusantara, barulah kita mengenal aksara latin. Ejaan latin
yang dipakai untuk bahasa Melayu pun sudah berubah berkali-kali sesuai dengan
kebijakan para penulis buku pada waktu itu. Ternyata, Nusantara yang
diduduki Belanda punya gaya ejaan yang berbeda dengan Semenanjung Melaya yang
notabene dikolonisasi Inggris. Hal ini pastinya bikin ruwet, bahasa sama tapi kaidah
ejaan latin beda. Ditambah dengan aksara Jawi yang asing di mata bangsa Eropa.
Untuk mengatasinya, tahun 1897, seorang linguis Londo (sebutan orang Belanda)
kelahiran Batavia, yang bernama A.A. Fokker mengusulkan agar ada penyeragaman
ejaan di antara dua wilayah ini. Hingga akhirnya, van Ophuijsen (sistem orthografi)
membakukan segalanya tentang Bahasa Melayu.

1) Ejaan Van Ophuysen (1901-1947)


Charles Adriaan van Ophuijsen (Ch. A. van Ophuysen) merupakan tokoh penting
dalam tonggak bahasa Indonesia. Seperti yang udah gue sebutkan sebelumnya di atas,
ejaan Ophuijsen lahir dari niat pemerintah kolonial Belanda untuk menengahi
keberagaman variasi bahasa Melayu yang ada di Nusantara saat itu, sekaligus
memudahkan Belanda menyebarkan kekuasaan di daerah kolonisasinya. Ejaan Van
Ophuysen ditetapkan pada tahun 1901 dan diterbitkan dalam sebuah buku Kitab Logat
Melajoe, dan mulai berlaku. Ejaan tersebut disusun oleh Ch.A.Van Ophuysen, yang
dibantu oleh Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan
Ibrahim. Sebelum ejaan ini dituliskan oleh penulis, pada umumnya memiliki aturan
sendiri dan sangat beragam dalam menuliskan konsonan, vokal, kata, kalimat, dan
tanda baca. Terbitnya Ejaan Van Ophuysen sedikit banyak mengurangi kekacauan
ejaan yang terjadi pada masa itu.
Beberapa hal yang cukup menonjol dalam Ejaan Van Ophuysen antara lain
sebagai berikut:
a) Huruf “y” ditulis dengan “j”
Contoh:
1. Sayang – Sajang
2. Yakin – Jakin
3. Saya – Saja
b) Huruf “u” ditulis dengan “oe”
Contoh:
1. Umum – Oemoem
2. Sempurna - Sempoerna
c) Huruf “k” ditulis dengan ( ‘ )
Contoh:
1. Rakyat – Ra’yat
2. Bapak – Bapa’
3. Rusak – Rusa’
d) Huruf “j” ditulis dengan “dj”
Contoh:
1. Jakarta – Djakarta
2. Raja – Radja
3. Jalan – Djalan
e) Huruf “c” ditulis dengan “tj”
Contoh:
1. Pacar – Patjar
2. Cara – Tjara
3. Curang – Tjurang

2) Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) 1947-1972


Ejaan ini disebut sebagai Ejaan Soewandi karena diresmikan tanggal 17 Maret 1947
oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan saat itu, yaitu Raden
Soeawandi, menggantikan ejaan Ophuijsen. Bisa dibilang, ejaan bahasa Indonesia
yang pertama kali digunakan setelah kemerdekaan adalah ejaan Soewandi.
Sebenarnya, nama resmi dari ejaan tempo dulu yang satu ini adalah ejaan Republik,
namun lebih dikenal dengan ejaan Soewandi.Ejaan Republik disusun oleh
Mr.Soewandi. Penyusunan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan Ejaan Van
Ophuysen dan diresmikan dan ditetapkan berdasarkan surat keputusan menteri
pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 264/Bhg.A,
tanggal 19 Maret 1947 dan diresmikan dengan nama Ejaan Republik.
Faktor pemicu hadirnya ejaan soewandi, menteri yang sebenarnya ahli hukum dan
merupakan notaris pertama bumiputera ini punya alasan mencanangkan ejaan ini.
Faktor kebangsaan Indonesia yang sudah merdeka dan ingin mengikis citra Belanda
yang diwakili oleh ejaan Ophuijsen membuat pentingnya adanya perubahan ejaan di
bahasa kita. Apalagi, saat itu Londo sedang sirik-siriknya melihat pencapaian
kemerdekaan mantan negara jajahannya ini hingga datang lagi ke Indonesia dengan
memboncengi sekutu (tahun 1947). Semakin jelek deh impresi Belanda yang
terwakilkan dalam ejaan Ophuijsen.

1. Gabungan huruf oe dalam Ejaan Van Ophuysen diganti dengan u dalam Ejaan
Republik.
2. Bunyi hamzah (‘) dalam Ejaan Van Ophuysen diganti dengan k dalam Ejaan
Republik.
3. Kata ulang boleh ditandai dengan angka dua dalam Ejaan Republik.
4. Huruf e taling dan pepet dalam Ejaan Republik tidak dibedakan.
5. Tanda trema (“) dalam Ejaan Van Ophuysen dihilangkan dalam Ejaan Republik.

Van Ophuysen Republik


Oemoer Umur
Ma’loem Maklum
Rata-rata Rata2, Rata-rata
ẽkor Ekor

3) Ejaan Pembaharuan (1957)

Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Pembaharuan. Ejaan ini bermula dari polemik yang
terjadi pada Kongres Bahasa Indonesia ke-2 di Medan tahun 1954. Kongres kedua ini
akhirnya diadakan setelah pertama kali diadakan di Solo tahun 1938. Yamin selaku
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dan pemrakarsa Kongres Bahasa
Indonesia ke-2 mengatakan bahwa kongres ini merupakan bentuk rasa prihatinnya
akan kondisi bahasa Indonesia saat itu yang masih belum mapan. Medan pun dipilih
karena di kota itulah bahasa Indonesia dipakai dan terpelihara, baik dalam rumah
tangga ataupun dalam masyarakat, setidaknya itu alasan Yamin. Di kongres ini,
memang diusulkan banyak hal dan salah satunya adalah perubahan ejaan. Usulan ini
ditindaklanjuti oleh pemerintah waktu itu dengan membentuk panitia pembaharuan
Ejaan Bahasa Indonesia. Ciri-ciri Ejaan Pembaharuan
Panitia ini diharapkan bisa membuat standar satu fonem dengan satu huruf
(misalnya menyanyi: menjanji menjadi meñañi;
atau mengalah: mengalah menjadi meɳalah).

Penyederhanaan ini sesuai dengan iktikad agar dibuat ejaan yang praktis saat dipakai
dalam keseharian. Selain itu, isu tanda diakritis diputuskan agar kembali digunakan.
Walhasil, k-e-ndaraan dengan é (seperti elo mengeja k-e-lainan) yang tadinya ditulis
sama dengan k-e-mah, akhirnya ditulis berbeda. Untuk kata sjarat (syarat) dibedakan
menjadi śarat. Kalau nggak hati-hati, bisa saja nyaru antara sarat (penuh/termuat)
dengan syarat. Sedangkan huruf j yang digunakan pada kata jang (yang) malah sudah
disepakai ditulis menjadi yang (seperti kita pakai sekarang). Kata mengapa pun akan
dieja menjadi meɳapa. Untuk kata-kata berdiftong ai, au, dan oi seperti sungai, kerbau,
dan koboiakan dieja dengan sungay, kerbaw, dan koboy. Ejaan Pembaharuan ini dibuat
dengan maksud menyempurnakan Ejaan Soewandi dan juga disebut dengan Ejaan
Prijono-Katoppo. Meskipun salah satu putusan kongres menyatakan supaya ejaan itu
ditetapkan undang-undang, ejaan ini urung diresmikan. Kendati demikian, ejaan ini
disinyalir menjadi pemantik awal diberlakukannya EyD tahun 1972.

4) Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Sejak Kongres bahasa tahun 1954 di Medan dan dihadiri oleh delegasi Malaysia,
maka mulailah ada keinginan di antara dua penutur Bahasa Melayu ini untuk
menyatukan ejaan. Keinginan ini semakin kuat sejak Malaysia merdeka tahun 1957 dan
kita pun menandatangani kesepakatan untuk membicarakan ejaan bersama tahun
1959-nya. Sayangnya, karena situasi politik kita yang sedang memanas (Indonesia
sedang condong ke poros Moskow-Peking-Pyongyang, sedangkan Malaysia yang
Inggris banget), akhirnya ditangguhkan dulu pembahasannya. Hal lain yang membuat
ejaan ini kurang seksi adalah perubahan huruf-huruf yang dianggap aneh. Misalnya,
kata “menyapu” akan ditulis “meɳapu”; “syair” ditulis “Ŝyair”; “ngopi” menjadi “ɳopi”; atau
“koboi” ditulis “koboy”. Mungkin aneh karena belum biasa dan harus menyesuaikan diri
lagi. Tapi, akhirnya, usulan yang mustahil dilaksanakan ini dengan cepat ditinggalkan.

5) Ejaan Baru atau Ejaan LBK


Sebelum adanya EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang bernama
Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan ini
sebenarnya estafet dari ikhtiar yang sudah dirintis oleh panitia Ejaan Melindo. Anggota
pelaksananya pun terdiri dari panitia ejaan dari Malaysia. Pada intinya, hampir tidak ada
perbedaan berarti di antara ejaan LBK dengan EYD, kecuali pada rincian kaidah-kaidah
saja.

6) Ejaan Yang Disempurnakan


Ejaan Yang disempurnakan (EYD) diresmikan oleh Presiden Republik
Indonesia Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1972.Pedoman ejaan bahasa Indonesia
disebut pedoman umum, karena dasarnya hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum.
Namun ada hal-hal lain yang bersifat khusus, yang belum di atur dalam pedoman itu,
yang di sesuaikan dengan bertitik tolak pada pedoman umum itu. Ejaan Yang
Disempurnakan merupakan hasil penyempurnaan dari beberapa ejaan yang di susun
sebelumnya.
Penggunaan Huruf Pada Pedoman EYD :
1. Penggunaan Huruf Kapital
a. Jabatan tidak diikuti nama orang
Dalam butir 5 dinyatakan, huruf kapital dipakai sebagai huruf Pedoman EYD
pertama unsure nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang tertentu,
nama instansi, atau nama tempat. Contoh, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, Gubernur Jawa Barat, Profesor Jalaluddin Rakhmat, Sekretaris
Jendral, Departemen Pendidikan Nasional. Jabatan tidak diikuti nama orang
tidak memakai huruf kapital. Contoh, Menurut bupati, anggaran untuk
pendidikan naik 25 % dari tahun sebelumnya.
b. Huruf pertama nama bangsa
Dalam butir 7 dinyatakan, huruf kapital digunakan sebagai huruf pertama
nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa. Contoh, bangsa Indonesia, suku
Sunda, bahasa Inggris. Ditegaskan, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama
nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa yang dipakai bentuk dasar kata turun.
Contoh : ke-Sunda-Sundaan,ke-Inggris-Inggrisan,ke-Batak-Batakan, meng
Indonesiakan. Seharusnya : kesunda-sundaan, keinggris- inggrisan, kebatak-batakan,
mengindonesiakan.
c. Nama geografi sebagai nama jenis
Dalam butir 9 ditegaskan, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama
istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri. Contoh, berlayar ke , teluk
mandi di , menyebrangi , pergi ke arah , kacang , salak kali selat tenggara bogor
bali ambon bangkok , pisang , pepaya , nanas subang, tahu sumedang, peuyeum
bandung dan telur brebes.
d. Setiap unsur bentuk ulang sempurna
Dalam butir 11 dinyatakan, huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap
unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan lembaga
pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi. Contoh, Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Yayasan Sosial, Yayasan Bedah Plastik Ilmu-Ilmu Ahli-Ahli
Jawa Barat, Dasar Republik Indonesia, Undang-Undang Garis-Garis Besar
Haluan Negara.
e. Penulisan kata depan dan kata sambung
Dalam butir 12 dinyatakan, huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua
kata di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali
kata seperti dan yang tidak terletak pada posisi di, ke, dari, dan, yang, untuk
awal. Biasanya dipakai pada penulisan judul cerpen, novel. Contoh, Harimau
Tua dan Ayam Centil Hari-Hari Penantian Gua , dalam Neraka, Kado untuk
Setan Taksi Menghilang , yang.
2. Penulisan Huruf Miring
a. Penulisan nama buku
Pada butir 1 pedoman penulisan huruf miring ditegaskan, huruf miring dalam
cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang
dikutip dalam tulisan. Contoh, Buku , Majalah Sunda Jurnalistik Indonesia
Mangle, Surat Kabar . Bandung Pos
b. Penulisan penegasan kata dan penulisan bahasa asing
Butir 2 pedoman penulisan huruf miring menyatakan, huruf miring dalam
cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata,
kata, atau kelompok kata.
Contoh, boat modeling, aeromodeling, motorsport.
c. Penulisan kata ilmiah
Butir 3 pedoman penulisan huruf miring menegaskan, huruf miring dan
cetakan dipakai untuk menuliskan kata nama ilmiah dan ungkapan asing
kecuali yang telah disesuaikan ejaannya. Contoh, royal-purple amethyst,
crysacola, turqoisa, rhizopoda, lactobacillus, dsb.
4. Penulisan Gabungan Kata
a. Penulisan gabungan kata istilah khusus
Butir 2 pedoman penulisan gabungan kata mengingatkan, gabungan kata,
termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan pengertian
dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur
yang bersangkutan. Contoh; alat pandang- dengar, anak-istri saya, buku
sejarah-baru, mesin-hitung tangan, ibu-bapak kami.
b. Penulisan gabungan kata serangkai
Butir 3 pedoman penulisan gabungan kata menegaskan, gabungan kata berikut
harus ditulis serangkai. Contoh, acapkali, adakalanya, akhirulkalam,
daripada, darmawisata, belasungkawa, dukacita, kacamata, kasatmata,
manakala, manasuka, matahari, olahraga, padahal, peribahasa, radioaktif,
saptamarga, saripati, sediakala, segitiga, sekalipun, sukacita, sukarela,
sukaria, titimangsa.
b. Penggunaan EYD yang benar Pada angka dan tanda baca
1. Penulisan Angka
Pedoman EYD menetapkan empat jenis penulisan angka, Pertama, angka dipakai
untuk menyatakan lambing bilangan atau nomor. Dalam tulisan lazim digunakan angka
Arab atau angka Romawi. Kedua, angka digunakan untuk menyatakan :
(1) ukuran panjang, berat, luas, dan isi,
(2) satuan waktu,
(3) nilai uang, dan
(4) kuanitas.
Ketiga, angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah,
aparteman, atau kamar pada alamat. Keempat, angka digunakan juga untuk menomori
bagian karangan dan ayat kitab suci.
2. Tanda Titik (. )
a. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
Misalnya: Ayahku tinggal di Solo.
b.Tanda titik dipakai pada akhir singkatan nama orang.Misalnya: A. S.
Kramawijaya
c. Tanda titik dipakai pada akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat, dan sapaan
Misalnya: Bc. Hk.(Bakalaureat Hukum), Dr. (Doktor) dll.
3. Tanda Koma ( , )
a. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu pemerincian atau
pembilangan. Misalnya: Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Satu, dua, . . . tiga!
b. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat
setara berikutnya yang didahului oleh kata tetapi dan melainkan.
Misalnya: Saya ingin datang, tetapi hari hujan.
Didi bukan anak saya, melainkan anak Pak Kasim.
4. Tanda Titik Dua ( : )
a. Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap bila diikuti
rangkaian atau pemerian.Misalnya: Yang kita perlukan sekarang ialah
barang yang berikut: kursi, meja, dan lemari.
Fakultas itu mempunyai dua jurusan: Ekonorni Umum dan Ekonomi
Perusahaan.
b. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan
pemerian.
Misalnya: a. Ketua : Ahmad Wijaya
Sekretaris : S. Handayani
Bendahara : B. Hartawan
5. Tanda Tanya ( ? )
a.Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya Misalnya: Kapan ia berangkat?
b.Tanda tanya dipakai di antara tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat
yang disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya.
Misalnya: la dilahirkan pada tahun 1683 (?).
6. Tanda Seru (!)
Tanda seru dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau
perintah, atau yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, atau rasa
emosi yang kuat. Misalnya: Alangkah seramnya peristiwa itu!, Merdeka!
7. Tanda Ulang ( ...2 ) (angka 2 biasa)
Tanda ulang dapat dipakai dalam tulisan cepat dan notula untuk menyatakan
pengulangan kata dasar.Misalnya: kata2, lebih2, Dan sekali2.

Anda mungkin juga menyukai