Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Perkembangan Ejaan di Indonesia

Bahasa Indonesia sudah lahir sejak dulu dan sudah dipergunakan oleh masyarakat
Indonesia sebelum kemerdekaan. Bahkan jauh sebelum itu. Namun, bahasa Indonesia secara
resmi digunakan atau disahkan yaitu pada tahun 1928. Tepat pada 28 Oktober 1928, ketika
sumpah pemuda diikrarkan, Bahasa Indonesia menjadi resmi sebagai bahasa nasional
Indonesia. Sebelum menjadi bahasa yang baik dan memilki ejaan yang baik dan benar,
bahasa Indonesia mengalami beberapa kali perubahan system ejaan. Dimulai dari Ejaan Van
Ophuysen pada 1901 menjadi Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi pada tahun 1947 hingga
menghasilkan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan pada tahun 1972 yang mana
dipergunakan hingga saat ini oleh seluruh masyrakat Indonesia.
Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada
tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan
lanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para pelaksananya pun di
samping terdiri dari panitia Ejaan LBK, juga dari panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu
berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang kemudian diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu
bekerja atas dasar surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan no.062/67, tanggal 19
September 1967. Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa
Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang
lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 Nomor 0196/U/1975 memberlakukan
"Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dan "Pedoman Umum
Pembentukan Istilah".
Ejaan merupakan cara atau aturan menulis kata-kata dengan huruf menurut disiplin
ilmu bahasa. Dengan adanya ejaan diharapkan para pemakai menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar sesuai aturan-aturan yanga ada. Sehingga terbentuklah kata dan
kalimat yang mudah dan enak didengar dan dipergunankan dalam komonikasi sehari hari.
Sesuai dengan apa yang telah diketahui bahwa penyempurnaan ejaan bahsa Indonesia terdiri
dari:
1. Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van
Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan
Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang
kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah
kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu: Huruf ï untuk membedakan
antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan
diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti
dalam Soerabaïa. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb. Huruf
oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb. Tanda diakritik, seperti
koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.
2. Ejaan Soewandi
Ejaan Soewandi adalah ketentuan ejaan dalam Bahasa Indonesia yang berlaku sejak
17 Maret 1947. Ejaan ini kemudian juga disebut dengan nama edjaan Soewandi,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu. Ejaan ini mengganti ejaan sebelumnya,
yaitu Ejaan Van Ophuijsen yang mulai berlaku sejak tahun 1901. Huruf oe diganti
dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis
dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2
seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an. Awalan di- dan kata depan di kedua-
duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya. Perbedaan-perbedaan
antara ejaan ini dengan ejaan Van Ophuijsen ialah: huruf ‘oe’ menjadi ‘u’, seperti
pada goeroe → guru. Bunyi hamzah dan bunyi sentak yang sebelumnya dinyatakan
dengan (‘) ditulis dengan ‘k’, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat. Kata
ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti ubur2, ber-main2, ke-barat2-an. Awalan
‘di-’ dan kata depan ‘di’ kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya. Kata depan ‘di’ pada contoh dirumah, disawah, tidak dibedakan
dengan imbuhan ‘di-’ pada dibeli, dimakan. Ejaan Soewandi ini berlaku sampai tahun
1972 lalu digantikan oleh Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) pada masa menteri
Mashuri Saleh. Pada masa jabatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
pada 23 Mei 1972 Mashuri mengesahkan penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan
dalam bahasa Indonesia yang menggantikan Ejaan Soewandi. Sebagai menteri,
Mashuri menandai pergantian ejaan itu dengan mencopot nama jalan yang melintas di
depan kantor departemennya saat itu, dari Djl. Tjilatjap menjadi Jl. Cilacap.
3. Ejaan Yang Disempurnakan
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku sejak
tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan
Soewandi. Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama telah ditandatangani oleh
Menteri Pelajaran Malaysia pada masa itu, Tun Hussien Onn dan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut
mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para
ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada
tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden No. 57, Tahun 1972,
berlakulah sistem ejaan Latin (Rumi dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) bagi
bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Di Malaysia ejaan baru bersama ini dirujuk
sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB). Selanjutnya Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menyebarluaskan buku panduan pemakaian berjudul “Pedoman Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”.Pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia
Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
menerbitkan buku “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”
dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan
“Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah”.
Perbedaan-perbedaan antara EYD dan ejaan sebelumnya adalah:
‘tj’ menjadi ‘c’ : tjara → cara
‘dj’ menjadi ‘j’ : djarak → jarak
‘oe’ menjadi ‘u’ : oekoer -> ukur
‘j’ menjadi ‘y’ : sajang → sayang
‘nj’ menjadi ‘ny’ : njamuk → nyamuk
‘sj’ menjadi ‘sy’ : sjarat → syarat
‘ch’ menjadi ‘kh’ : achir → akhir
awalan ‘di-’ dan kata depan ‘di’ dibedakan penulisannya. Kata depan ‘di’ pada contoh
“di rumah”, “di sawah”, penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara ‘di-’ pada
dibeli, dimakan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
Adapun Ejaan yang tidak diresmikan antara lain sebagai berikut.

1. Ejaan Melindo
Pada akhir tahun 1950-an para penulis mulai pula merasakan kelemahan yang terdapat
pada Ejaan Republik itu. Ada kata-kata yang sangat mengganggu penulisan karena ada
satu bunyi bahas yang dilambangkan dengan dua huruf, seperti dj, tj, sj, ng, dan ch. Para
pakar bahasa menginginkan satu lamabang untuk satu bunyi. Gagasan tersebut dibawa ke
dalam pertemuan dua Negara, yaitu Indonensia dan Malaysia. Dari pertemuan itu, pada
akhir tahun 1959 Sidang Perutusan Indonensia dan Melayu (Slametmulyana dan Syeh
Nasir bin Ismail, masing-masing berperanan sebagi ketua perutusan) menghasilkan
konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-
Indonesia).
Konsep bersama itu memperlihatkan bahwa satu bunyi bahasa dilambangkan dengan
satu huruf. Salah satu lambang itu adalah huruf j sebagai pengganti dj, huruf c sebagai
pengganti huruf tj, huruf η sebagai pengganti ng, dan huruf ή sebagai pengganti nj.
Ejaan Melindo tidak pernah diresmikan. Di samping terdapat beberapa kesukaran
teknis untuk menuliskan beberapa huruf, politik yang terjadi pada kedua negara antara
IndonesiaMalaysia tidak memungkinkan untuk meresmikan ejaan tersebut. Perencanaan
pertama yang dilakukan dalam ejaan Melindo, yaitu penyamaan lambang ujaran antara
kedua negara, tidak dapat diwujudkan. Perencanaan kedua, yaitu pelambangan setiap
bunyi ujaran untuk satu lambang, juga tidak dapat dilaksanakan. Berbagai gagasan
tersebut dapat dituangkan dalam Ejaan bahasa Indonensia yang disempurnakan yang
berlaku saat ini
Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perkembangan ejaan di
Indonesia telah mengalami beberapa pergantian, mulai dari ejaan Van Ophuijsen, ejaan
Soewandi (republik), dan ejaan yang disempurnakan. Bahkan terdapat ejaan yang
dirundingkan bersama antara Indonesia dan Malaysia, yakni ejaan Melindo. Namun,
karena faktor-faktor tertentu ejaan tersebut tidak dapat diresmikan

Anda mungkin juga menyukai