Anda di halaman 1dari 47

Tugas Sesi 2

Manajemen Lintas Budaya


Dosen : KALFAJRIN KURNIAJI, MM.,MBA

1) Carilah 10 jurnal perihal budaya, konsep, serta ideologinya! Buatlah reiview jurnal
tersebut!
Jawaban :
 Review Jurnal 1

Judul Pencegahan Gerakan Radikalisme melalui Penanaman


Ideologi Pancasila dan Budaya Sadar Konstitusi Berbasis
Komunitas

Jurnal Jurnal Surya Masyarakat

Volume dan Halaman Vol. 1 No. 2 ; 1-12

Tahun 2019

Penulis Iwan Satriawan, Muhammad Nur Islami, Tanto Lailam

Reviewer Salya Khairun Nisa

Tanggal Mei 2019

 Tujuan Penelitian
Memfokuskan pada upaya pencegahan gerakan radikalisme melalui penanaman
ideologi Pancasila dan budaya sadar konstitusi berbasis komunitas. Komunitas yang
dipilih adalah Pimpinan Ranting Muhammadiyah Bangunjiwo Barat, Banguntapan IV
dan Sidokarto. Persoalan komunitas masyarakat saat ini adalah adanya gerakan-
gerakan radikalisme yang memiliki agenda terselubung yang menggerogoti nilai-nilai
Pancasila - memecah belah bangsa Indonesia, melemahkan persatuan dan kesatuan
merusak kebhinekaan yang sejak Indonesia berdiri telah menjadi konsensus bersama.
Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk pengabdian berupa:
(1) Pelatihan Pencegahan Radikalisme melalui Penanaman Ideologi Pancasila dan
Budaya Sadar Konstitusi yang dilakukan di 3 tempat, yakni: di Pimpinan Ranting
Muhammadiyah Bangunjiwo Barat, Banguntapan IV dan Sidokarto. Pelatihan ini
memfokuskan pada penguatan pemahaman Pancasila dan budaya sadar konstitusi
serta strategi pencegahan radikalisme di Indonesia
(2) ToT Pencegahan Radikalisme melalui Penanaman Ideologi Pancasila dan Budaya
Sadar Konstitusi. Training of Trainer ini merupakan lanjutan dari pelatihan pada PRM
yang dilakukan sebelumnya. Adapaun materi dalam ToT ini meliputi: Pemahaman
Ideologi Bernegara Menurut Muhammadiyah dan Sikap Bernegara Muhammadiyah;
Pencegahan Radikalisme melalui Kewajiban Bela Negara dalam kehidupan beragama;
Advokasi Kebijakan dan Hukum terkait Gerakan Radikalisme. ToT ini dilakukan agar
peserta memiliki kemampuan untuk menjadi pelatih yang memiliki pemahaman dan
sikap bahwa radikalisme/ terorisme harus dicegah sedemikian rupa dengan berbagai
kegiatan pencegahan. Kegiatan pencegahan tersebut merupakan bentuk bela negara
warga negara yang baik demi menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara yang
seutuhnya dengan melakukan pencegahan gerakan radikalisme di masing-masing
komunitas
 Metode penelitian
Beberapa metode yang digunakan dalam pengabdian ini:
1. Pelatihan. Metode pelatihan dilakukan untuk memberikan solusi terhadap persoalan:
(1) kekurangpahaman terhadap ideologi Pancasila dan budaya sadar konstitusi sebagai
pedoman hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat;
(2) kekurangan pemahaman gerakan-gerakan radikalisme yang tumbuh di masyarakat;
(3) kekurangpahaman cara dan strategi mendeteksi (menemukan atau melacak) sejak
dini adanya gerakangerakan radikalisme di tengah masyarakat;
(4) ketidakmampuan mencegah munculnya gerakan radikalisme melalui penanaman
Pancasila dan budaya sadar konstitusi yang tumbuh di masyarakat.
2. Pendampingan. Untuk memastikan bahwa program-program pelatihan dapat
berkelanjutan, tim pengabdian juga melakukan kegiatan pendampingan dengan
pemonitoran dan evaluasi secara rutin. Dalam proses pendampingan ini, tim asistensi
juga memberikan solusi-solusi atas hambatan yang dihadapi oleh masyarakat melalui
komunikasi yang intens. Pendampingan ini dilakukan agar program dapat terlaksana
dengan baik atau merupakan penerapan hasil pelatihan yang dilakukan.
3. Tahapan terakhir dari program ini agar program ini berkelanjutan di komunitas
dilakukan dengan metode Training of Trainer. Training of Trainer diperuntukkan hanya
bagi anggota komunitas terpilih (5 peserta terbaik) yang diharapkan setelah selesai
pelatihan mampu menjadi pelatih dan mampu mengajarkan materi pelatihan tersebut
kepada orang lain di komunitas tersebut atau berbeda komunitas dengan tambahan
materi yaitu:
(1) pelatihan keterampilan melatih (training delivery);
(2) pelatihan menyusun langkah atau tahapan melatih (session design);
(3) Pelatihan keterampilan mendisain kurikulum pelatihan (curriculum design);
(4) praktik menjadi pelatih dalam pelatihan.
 Hasil penelitian
Pelaksanaan Pengabdian Pelaksanaan pengabdian ini dilakukan dengan berbagai
pelatihan di wilayah komunitas PRM Bangunjiwo Barat, PRM Banguntapan IV
(Kabupaten Bantul) dan PRM Sidokarto (Kabupaten Sleman), dan kegiatan lanjutan
yaitu dilaksanakannya Training of Trainer bagi anggota PRM yang dinilai mampu
menjadi oase pengetahuan mengenai radikalisme di komunitas tersebut.
1. Pelatihan Pencegahan Radikalisme
Pelatihan ini bertujuan memberikan pemahaman kepada komunitas masyarakat
mengenai gerakan radikalisme di Indonesia, indikasi gerakan radikalisme di
masyarakat, dan langkah-langkah yang dilakukan jika terjadi gerakan radikalisme atau
orang-orang yang dicurigai terindikasi gerakan radikalisme.
2. Raining of Trainer Pencegahan Radikalisme melalui Penanaman Ideologi Pancasila
dan Budaya Sadar Konstitusi
Training of Trainer ini merupakan lanjutan dari pelatihan pada PRM yang dilakukan
sebelumnya. ToT ini menghadirkan narasumber dari Tim Pengabdi: Bapak Iwan
Satriawan, S.H., MCL., Ph.D yang menfokuskan pada langkah-langkah pencegahan
dan advokasi yang strategis ketika menghadapi radikalisme di wilayah komunitas PRM
berada dan Bapak Tanto Lailam, S.H., LL.M. menyampaikan hubungan agama dan
negara dan pemahaman ideologi bernegara menurut Muhammadiyah. ToT ini dilakukan
agar peserta memiliki kemampuan untuk menjadi pelatih dalam agenda dan isu yang
sama pada lingkup PRM Bangunjiwo Barat, PRM Sidokarto dan PRM Banguntapan IV
3. Rencana Tindak Lanjut Melalui program pengabdian ini diharapkan mitra program
(PRM Bangunjiwo Barat, PRM Sidokarto, dan PRM Banguntapan IV) memiliki
kemampuan dalam deteksi dini adanya gerakan radikalisme dan mampu lakukan
lagnkah pencegahan agar radikalisme tidak berkembang di lingkungan Desa
Bangunjiwo, Desa Sidokarto dan Desa Banguntapan .
 Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan :
1. Pelatihan Pencegahan Radikalisme melalui Penanaman Ideologi Pancasila dan
Budaya Sadar Konstitusi dilakukan di 3 tempat, yakni: PRM Bangunjiwo Barat, PRM
Banguntapan IV dan PRM Sidokarto. Pelatihan ini memfokuskan pada penguatan
pemahaman Pancasila dan budaya sadar konstitusi serta strategi pencegahan
radikalisme di Indonesia.
2. ToT Pencegahan Radikalisme melalui Penanaman Ideologi Pancasila dan Budaya
Sadar Konstitusi ditujukan untuk melakukan pendalaman materi radikalisme dan
pemahaman UUD 1945. Training of Trainer ini merupakan lanjutan dari pelatihan pada
PRM yang dilakukan sebelumnya. Adapaun materi dalam ToT ini meliputi: Pemahaman
Ideologi Bernegara Menurut Muhammadiyah dan Sikap Bernegara Muhammadiyah;
Pencegahan Radikalisme melalui Kewajiban Bela Negara dalam kehidupan beragama;
Advokasi Kebijakan dan Hukum terkait Gerakan Radikalisme. ToT ini dilakukan agar
peserta memiliki kemampuan untuk menjadi pelatih dalam agenda dan isu yang sama
pada lingkup PRM Bangunjiwo Barat, PRM Sidokarto dan PRM Banguntapan IV.
3. Komunitas PRM Bangunjiwo Barat, PRM Banguntapan IV (Kabupaten Bantul) dan
PRM Sidokarto (Kabupaten Sleman) memiliki pemahaman dan sikap bahwa
radikalisme/ terorisme harus dicegah sedemikian rupa dengan berbagai kegiatan
pencegahan sebagai bentuk bela negara warga negara yang baik demi menjalin
kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya dengan melakukan
pencegahan gerakan radikalisme di desa masing-masing komunitas.
Saran :
1. Perlu adanya kerjasama di berbagai elemen di Desa Bangunjiwo, Desa Sidokarto
dan Desa Banguntapan untuk gerakan pencegahan radikalisme yang dimotori oleh
PRM.
2. Perlu adanya pelatihan dan sosialisasi berkelanjutan guna meningkatkan
pemahaman masyarakat desa tentang fenomena radikalisme dan cara
penanggulangannya
 Review Jurnal 2

Judul Cultural Studies : Analisis Kuasa Atas Kebudayaan

Jurnal Jurnal Ilmu Komunikasi

Halaman 1-17

Tahun 2012

Penulis Aulia Rahmawati, S.Sos, M.Si dan Syafrida Nurrachmi F,


S.Sos, M.Med.Kom

Reviewer Salya Khairun Nisa

 Tujuan Penelitian :
Cultural studies, yang merupakan paradigma baru dalam kajian ilmu sosial,
memperkenalkan budaya dalam dimensi yang baru. Bukan hanya sebagai kreasi
manusia dan hasil perilaku, melainkan menelaah pemahaman mendalam antara
budaya dan kekuasaan yang mendasarinya. Tujuan dari kajian budaya adalah untuk
meneliti kekuasaan dan ideologi yang membentuk kehidupan sehari-hari manusia.
Segala yang tampak normal dan apa adanya dalam kehidupan sehari-hari, seperti iklan
bahkan perilaku nongkrong adalah produk bentukan dari sebuah ideology. Metodologi
krusial dalam membedah peran ideologi salah satunya melalui analisis metodologi
dengan semiotika Roland Barthes. Dalam kajian media, mitologi dengan tajam
menelaah bagaimana ideology yang dominant menghegemoni praktik kehidupan
masyarakat sehari-hari.
 Metode Penelitian :
Beberapa Metode Cultural Studies :
1. Stuart Hall : Encoding / Decoding Salah satu metode yang digunakan dalam
mengupas fenomena budaya lewat kacamata cultural studies adalah dengan
encoding/decoding Stuart Hall. Dalam model komunikasi televisual, sirkulasi ‘makna’
dalam wacana televisual melewati tiga momen yang berbeda. Pertama, para para
professional media memaknai wacana televisual dengan suatu laporan khusus
mereka tentang, misalnya, sebuah peristiwa sosial yang ‘mentah’. Pada momen
dalam sirkuit ini, serangkaian cara melihat dunia (ideologiideologi) berada ‘dalam
kekuasaan’.
2. Mitologi Roland Barthes Cara lainnya yang digunakan cultural studies dalam
membongkar hegemoni budaya adalah semiotik. Semiotik diperkenalkan
pertamakalinya oleh ahli lingusitik asal Swiss, Ferdinand de Saussure. Saussure
menganggap bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda dan setiap tanda terdiri
dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). Suara-suara, baik
suara manusia, binatang atau bunyi-bunyian , hanya bisa dikatakan sebagai bahasa
bilamana suara dan bunyi tersebut mengekspresikan , menyatakan atau
menyampaikan ide-ide , pengertian tertentu. Untuk itu, suara-suara tersebut harus
merupakan bagian dari sebuah sistem konvensi , sistem kesepakatan dan
merupakan bagian dari sebuah sistem tanda. (Sobur, 2003 : 46)
 Hasil Penelitian
Dalam iklan dari SBC (Square Box Cinetech) yang dimuat dalam majalah cakram
adalah iklan promosi perusahaan mereka sendiri. Yang menarik, iklan ini terkesan
’tak nyambung’ dan tak ada hubungannya dengan sebuah griya produksi.
Barangkali inilah yang coba dimainkan oleh SBC dalam membuat iklannya. Mereka
membuat iklan yang unik dan tak mudah dimengerti sehingga menyerahkan pada
pembaca untuk memaknai iklan tersebut. Toh CAKRAM juga diperuntukkan bagi
praktisi periklanan, yang sudah terbiasa bermain-main dengan sisi kreatif
periklanan. Proses pemaknaan iklan SBC akan dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, akan dilakukan pembedahan terhadap struktur sebuah iklan yang telah
disebutkan diatas. Kemudian pemaknaan di tingkat denotatif akan dilakukan dengan
melihat aspek-aspek lateral iklan. Barulah setelah itu , tingkat pemaknaan kedua
(second order signification) , yaitu makna konotatif dan mitos yang melingkupi iklan
akan disingkap. Secara keseluruhan, keunikan iklan ini disamping tidak ’nyambung’
dengan griya produksi adalah faktor humornya. Iklan humor memang dipandang
lebih menarik dibanding iklan-iklan yang tidak memiliki sisi humor dan entertaining
(menghibur). Suasana yang ingin dibangun oleh iklan ini adalah suasana keteduhan,
kesejukan dan kenyamanan. Hal ini tampak pada pohon-pohon Cemara yang
rindang dan tinggi dan rerumputan yang identik dengan suasana di kebun binatang.
Slogan SBC, Passion for Commercials, bisa diartikan kegairahan dalam membuat
iklan. Passion bisa diartikan gairah, nafsu, asmara, kemarahan , penderitaan.
(Wojowasito, 1982 : 324). Dengan melihat konteksnya dengan iklan sebuah griya
produksi, maka passion for commercials bisa diartikan kegairahan SBC dalam
membuat iklan-iklan. Makna denotatif atau literal yang terdapat dalam iklan ini
adalah ’jika seseorang serius mengerjakan sesuatu, maka hal-hal disekeliling dirinya
tak diperhatikan.’ Kegairahan seseorang dalam mengerjakan sesuatu membuat ia
tak menyadari situasi lingkungan sekitarnya. Laki-laki gendut itu sibuk membaca
maka ia berada didepan kandang singa, yang bisa saja membahayakan dirinya.
Sedangkan dalam tataran konotatif atau pemaknaan tingkat kedua, SBC
merepresentasikan dirinya dalam diri laki-laki dalam iklan. SBC membuat iklan
dengan kegairahan yang tinggi hingga semua halangan menjadi terlewati. Warna
hijau yang mendominasi latar belakang iklan juga memiliki makna pembaharuan.
Pembaharuan yang dimaksud dalam iklan ini berhubungan dengan persepsi
masyarakat atas diri seseorang yang gendut. Seolah-olah iklan ini ingin mengatakan
bahwa ’ sudah saatnya orang gendut juga berani dan serius. Orang gendut juga bisa
memperbaharui dirinya dengan memiliki keseriusan, bahkan memiliki keberanian
untuk mengacungkan pisang di depan kandang Singa. Keberanian laki-laki gendut
dalam iklan diasosiasikan dengan keberanian SBC dalam menghadapi semua
rintangan. Masyarakat sudah mengkonstruksi masalah obesitas secara berlebihan
sehingga itu tampak dalam produk-produk budaya seperti media massa. Budaya-
budaya populer lainnya seperti sinetron-sinetron selalu membuat lelucon tentang
orang gemuk. Aktor dan aktris gemuk dipasang disinetron hanya sebagai bahan
olok-olokan dan ‘objek penderita’. Iklan-iklan pelangsing juga turut menguatkan
mitos tentang bahayanya menjadi gemuk sehingga masyarakat menganggap ’dosa
besar’ ketika berat badannya bertambah. Iklan SBC ini rupanya ingin menepis
anggapan itu dengan membuat iklan yang memiliki makna counter-culture terhadap
mitos obesitas. Laki-laki gendut digambarkan sebagai orang pemberani yang ’tak
sengaja’ memberi makan Singa. Namun, yang menjadi critical review atas iklan ini ,
walaupun iklan versi orang gendut ingin menunjukkan bahwa kegemukan itu tak
seperti yang dipersepsi orang-orang, big it’s ok , iklan ini secara tidak langsung
malah menguatkan nilai-nilai dominan (hegemoni) yang sudah dibangun dalam
mitos masyarakat. Nilai keberanian yang tampak dalam iklan juga bisa berarti
sebaliknya. Laki-laki tak memperhitungkan situasi sekelilingnya dan malah akhirnya
jiwanya terancam. Terjadi pertentangan makna atau dualitas makna dalam iklan ini.
Iklan ini juga bisa dimaknai sebagai penggambaran kebodohan seorang laki-laki
gendut yang saking getolnya membaca, tak menyadari bahwa ia akan diterkam
Singa. Mitos orang gendut yang ceroboh dan bodoh bisa jadi malah makin dikuatkan
oleh iklan ini. Dengan demikian iklan SBC ini justru malah menjadi alat penerus
hegemoni , bagaimana masyarakat kita mendiskriminasikan orang-orang dengan
masalah obesitas.Orang-orang gemuk selalu menjadi objek penderita karena tubuh
mereka menyimbolkan kemalasan, kecerobohan dan ketidakpedualian mereka
terhadap keindahan penampilan.
 Kesimpulan :
Budaya terasa hampir meliputi segala sesuatu, dan cultural studies berarti
mempelajari hampir segala sesuatu. Tidak mengherankan jika cultural studies tak
memiliki batasan wilayah subjek yang didefinisikan secara jelas. Titik pijaknya
adalah sebuah ide mengenai budaya yang sangat luas dan mencakup semua hal
yang digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari bermacam-macam
kebiasaan. Inilah yang membuat cultural studies berbeda dari disiplin ilmu yang lain.
Cultural studies juga merupakan disiplin ilmu yang menggabungkan dan meminjam
secara bebas dari disiplin ilmu sosial, ilmu humaniora dan seni. Ia mengambil teori-
teori dan metodologi dari ilmu apapun yang diperlukannya sehingga menciptakan
sebuah bifurkasi. ‘Budaya’ dalam cultural studies tak didefinisikan sebagai ‘budaya
tinggi’, sebuah budaya adiluhung estetis, namun lebih kepada teks dan praktik
kehidupan sehari-hari . Budaya dalam cultural studies bersifat politis , yaitu sebagai
ranah konflik dan pergumulan kekuasaan. Kiranya, budaya dan pergumulan
kekuasaan yang melingkupinya inilah yang menjadi inti dari cultural studies. Cultural
studies menegaskan bahwa nilai pentingnya budaya berasal dari fakta bahwa
budaya membantu membangun struktur dan membentuk sejarah. Dengan kata lain,
teks budaya misalnya, tak sekedar merefleksikan sejarah. Teks budaya membuat
sejarah dan merupakan bagian dari pelbagai proses dan praktiknya, dan oleh
karena itu, seharusnya dikaji karena pekerjaan (ideologis) yang dilakukan, dan
bukan karena pekerjaan (ideologis) yang direfleksikan (yang senantiasa
berlangsung di tempat lain). Ideologi merupakan sebuah konsep sentral dalam
cultural studies. Bagaimana ideologi dominan bisa diterima perlahan-lahan oleh
kelompok subordinat inilah yang disebut dengan hegemoni. Konsep hegemoni ini
diambil dari Antonio Gramsci, seorang neo-marxis asal Italia. Ia menelurkan konsep
hegemoni sebagai sebuah hal yang mengikat masyarakat tanpa paksaan , ketika
sedang dipenjara oleh kaum Fasis Italia di tahun 1926. Budaya adalah salah satu
situs kunci tempat terjadinya perjuangan bagi hegemon

 Review Jurnal 3

Judul Globalisasi dan Perubahan Budaya ; Perspektif Teori


Kebudayaan

Jurnal Antropologi Indonesia

Halaman 1-11

Tahun 2014

Penulis Bachtiar Alam

Reviewer Salya Khairun Nisa


 Tujuan Penelitian
Bertujuan membahas masalah “Globalisasi dan Perubahan Budaya” dari perspektif
teori kebudayaan yang telah berkembang dalam Antropologi, dengan secara khusus
menyoroti teori-teori kebudayaan mutakhir. Antropologi adalah suatu disiplin ilmu yang
telah lama berusaha merumuskan konsep kebudayaan sebagai salah satu konstruksi
teoritis utama dalam penelitian sosial. Mulai dari definisi kebudayaan yang “klasik”
seperti yang berasal dari Tylor, yang melihat kebudayaan sebagai “suatu kesatuan
kompleks yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, hukum, moralitas dan adat
istiadat,” hingga pendekatan interpretatif Clifford Geertz yang mencoba mempertajam
pengertian kebudayaan sebagai “pola - pola arti yang terwujud sebagai simbol-simbol
yang diwariskan secara historis dengan bantuan mana manusia mengkomunikasikan,
melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap hidup” (1973: 89),
teori-teori kebudayaan telah memberi berbagai sumbangsih bagi pemahaman
kehidupan sosial. Dalam membahas masalah “Globalisasi dan Perubahan Budaya,”
makalah ini akan menyoroti teori-teori kebudayaan mutakhir, yang berkembang setelah
tampilnya pendekatan interpretatif Geertz maupun definisi kebudayaan yang
operasional seperti dikemukakan oleh Suparlan. Teori-teori kebudayaan demikian, yang
sering dijuluki beragam sebutan seperti “post-modernis,” “post-strukturalis,” “refleksif,”
dan lain-lain., berusaha menghindari esensialisme dan reifikasi dalam penggambaran
suatu kebudayaan, dengan menekankan berbagai aspek kebudayaan yang
sebelumnya kurang menonjol dalam bahasan antropologis, seperti: 1)wacana (eg.
Foucault 1980; Said 1978), 2)praksis (Alam 1995a, 1995b, 1997; Bourdieu 1977),
3)proses (Moore 1987), dan 4)kebudayaan sebagai konteks (Keesing 1994; Sahlins
1994). Teori-teori kebudayaan demikian membantu kita memahami secara lebih rinci
implikasi proses “Globalisasi dan Perubahan Budaya” yang sering menjadi pokok
bahasan di negeri kita dewasa ini. Misalnya saja, studi-studi antropologis yang
bertumpu pada teori-teori ini menunjukkan bahwa proses globalisasi bukanlah suatu
proses yang baru mulai akhirakhir ini, yang disebabkan oleh lonjakan perkembanagan
sistem komunikasi, tapi sejak masa lalu setiap masyarakat di muka bumi ini merupakan
suatu “masyarakat global” (Sahlins 1994: 387). Begitu juga, kemajemukan kebudayaan
terwujud bukan karena terisolasinya kelompokkelompok sosial, melainkan justru karena
adanya kontak secara terus menerus antara kelompok-kelompok tersebut (Lévi-
Strauss, dikutip dalam Sahlins 1994: 387). Temuan-temuan demikian mengajarkan kita
bahwa proses “Globalisasi dan Perubahan Budaya” tidak perlu dihadapi dengan sikap
menutup diri yang ekstrim. Sebaliknya, dengan memahami bagaimana kebudayaan itu
dikonstruksi melalui wacana dan praksis, misalnya, kita juga dapat memanfaatkan
proses globalisasi sebagai sarana utnuk memperkaya kemajemukan kebudayaan-
kebudayaan kita.
 Metode Penelitian :
Pendekatan interpretatif Clifford Geertz yang melihat kebudayaan sebagai “suatu
sistem konsepsi yang diwariskan [dari generasi sebelumnya] dan diekspresikan dalam
bentuk simbolik; dengan bantuan kebudayaan manusia mengkomunikasikan,
mengabadikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap kehidupan
(1973:89)” telah banyak mempengaruhi kajian-kajian Antropologi sejak dekade 1970an
hingga pertengahan 1980an. Berdasarkan konsep kebudayaan demikian, dalam
pendekatan interpretatif Geertz “agama” misalnya diteliti sebagai suatu “sistem
kebudayaan” yang didefinisikan sebagai “suatu sistem simbol yang bertindak untuk
memantabkan suasana hati (moods) dan motivasi (motivations) yang kuat, mendalam
dan bertahan lama dengan cara mengformulasikan konsepsikonsepsi mengenai
tatanan dasar alam dan kehidupan, dan dengan menyelimuti konsepsi-konspesi
tersebut dengan suatu suasana yang faktual sehingga suasana hati dan motivasi yang
ditumbulkannya terasa nyata” (1973:90). Walaupun pendekatan interpretatif demikian
telah memberikan sumbangsih besar dalam memperkaya pengertian kita akan makna-
makna yang terkandung dalam kehidupan sosial dan kehidupan beragama pada
umumnya, kelemahankelemahannya telah banyak dikritik sejak pertengahan dekade
1980an (eg. Clifford 1988: 40-41, Crapanzano 1988, Shankman 1984). Salah satu kritik
yang paling tajam dalam mengungkapkan kelemahan konsep kebudayaan Geertz
adalah yang dikemukakan oleh Asad (1983).
 Hasil Penelitian
Pembahasan konsep kebudayaan dari segi teori praksis di atas mencoba
mengungkapkan kelemahan pendekatan kebudayaan yang banyak mempengaruhi
kajiankajian Antropologi hingga dewasa ini. Aspek lain konsep kebudayaan yang masih
sangat jarang disinggung dalam kajian-kajian Antropologi di Indonesia adalah
hubungan antara kebudayaan dan wacana (disocurse). Lepas dari berbagai orientasi
teoritis yang terdapat dalam disiplin Antropologi, hampir semua teori-teori kebudayaan
yang dikemukakan dalam Antropologi melihat kebudayaan sebagai suatu kenyataan
empiris. Apakah kebudayaan itu dilihat sebagai gagasan, tindakan, atau hasil tindakan,
Antropologi senantiasa melihatnya sebagai suatu kenyataan empiris yang dapat
diamati, dimengerti ataupun diinterpretasi oleh si peneliti. Apa yang belum terjamah
dalam perspektif seperti ini ialah dimensi kebudayaan sebagai wacana. Pendekatan
praksis seperti yang diuraikan di atas mengandung implikasi bahwa kebudayaan selalu
terwujud dalam praksis, dan salah satu praksis yang berfungsi mereproduksi
kebudayaan adalah praksis kewacanaan (discursive practice). Perpesktif demikian
mempuyai suatu perbedaan tajam dengan sudut pandang konvesnional yang
sematamata melihat kebudayaan sebagai semata-mata sebagai kenyataan empiris,
karena pendekatan ini mengisyaratkan bahwa tulisan-tulisan Antropologi seperti
etnografi pada dasarnya tidak lebih dari suatu bentuk wacana tentang kebudayaan,
yang dalam aspek konstruksi sosial tidak beda efeknya dari wacana tentang
kebudayaan yang muncul dalam dunia politik, ekonomi, sastra, seni, iptek dan lain-lain.
Perbedaan antara jenis-jenis wacana tersebut bukan dalam “obyektivitas”nya, tetapi
dalam audiencenya.
 Kesimpulan dan Saran
Proses globalisasi bukanlah suatu proses yang baru dimulai akhir-akhir ini, setelah
menyebarnya internet, TV parabola, dan slogan pasar bebas yang berkaitan dengan
program APEC. Seperti pernyataan Sahlins yang dikutip di atas, setiap masyarakat di
muka bumi ini pada dasarnya merupakan suatu “masyarakat global” (Sahlins 1994:
387). Keistimewaan kondisi sosial dewasa ini dengan segala macam perangkat
komunikasi dan informasi mutakhir bukan terletak pada kadar maupun intensitas proses
globalisasi, tetapi pada kejelasan, keterbukaan, dan sifat “kasat mata” pengaruh
berbagai macam kebudayaan dunia. Proses globalisasi sudah ada sejak dulu dan tak
pernah absen dari kehidupan kita. Indonesia pada masa lalu, pasa zaman kerajaan
Sriwijaya, Majapahit ataupun pada masa kolonial, selalu merupakan masyarakat
kosmopolitan di mana pengaruh kebudayaan mancanegara dari India, Cina, Arab
maupun Eropa menemukan tempat persemaian yang subur. Sumbangsih yang dapat
diberikan oleh Antropologi dalam menghadapi era seperti ini adalah dengan
mengungkapkan kodrat setiap kebudayaan yang bersifat dinamis, cair dan hibrid
dengan menghindari serta mengkritik representasi budaya yang bersifat esensialis dan
statis. Dengan semakin sadar akan karakteristik dinamika kebudayaan yang demikian,
kita pun akan menjadi sadar bahwa proses globalisasi dan perubahan budaya tak
pernah absen dari kehidupan sosial manusia. Seperti dikatakan Lévi-Strauss, identitas
atau jati diri para pendukung suatu kebudayaan menjadi kuat bukan karena isolasi
tetapi justeru karena adanya interaksi antara budaya. Maka kewaspadaan akan
hilangnya jati diri dalam proses globalisasi tak perlu menjadi kekhawatiran berlebihan
yang menjurus pada xenophobia. Karena kontinuitas budaya, seperti dikemukakan oleh
Sahlins (1994:389), justeru terwujud sebagai modus perubahan budaya

 Review Jurnal 4

Judul Membangun Kembali Sikap Nasionalisme Bangsa Indonesia


Dalam Menangkal Budaya Asing di Era Globalisasi

Jurnal Jurnal Pesona Dasar

Volume dan Halaman Vol. 3 No.4, Oktober 2016, hal 65 - 7

Tahun 2016

Tanggal Oktober 2016

Penulis M. Husin Affan, Hafidh Maksum

Reviewer Salya Khairun Nisa

 Tujuan Penelitian :
Tentunya untuk membangun kembali sikap nasionalisme terhadap bangsa
Indonesia untuk menangkal budaya asing diera globalisasi. Nilai kebudayaan yang
menjadi karakteristik bangsa Indonesia, seperti gotong royong, silahturahmi, ramah
tamah dalam masyarakat menjadi keistimewaan dasar yang dapat menjadikan individu-
individu masyarakat Indonesia untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan bangsa
sendiri. Tapi karakteristik masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang
ramah dan sopan santun kini mulai pudar sejak masuknya budaya asing ke Indonesia
yang tidak bisa diseleksi dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Maka, dalam hal ini
pemerintah memiliki peranan penting untuk mempertahankan nilai-nilai kebudayaan
Indonesia dalam kehidupan masyarakatnya karena nilai-nilai kebudayaan dari leluluhur
merupakan filosofi hidup pada tiap daerahnya meskipun tanpa bantuan teknologi. Nilai-
nilai budaya tersebut bukan berarti mengharuskan kita untuk bersikap tertutup terhadap
budaya asing, namun nilai dan makna filosofi kebudayaan Indonesia harus dijadikan
sebagai sumber inspirasi dan kreatifitas. Berikut ini adalah beberapa cara
mempertahankan kebudayaan Indonesia agar tidak terpengaruh oleh kebudayaan
asing yang bersifat negatif, 1) Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh,
misal semangat mencintai produk dan kebudayaan dalam negeri. 2) Menanamkan dan
mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya. 3) Menanamkan dan
melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya. 4) Selektif terhadap kebudayaan
asing yang masuk ke Indonesia. 5) Memperkuat dan mempertahankan jatidiri bangsa
agar tidak luntur. Dengan begitu masayarakat dapat bertindak bijaksana dalam
menentukan sikap agar jatidiri serta kepribadian bangsa tidak luntur karena adanya
budaya asing yang masuk ke Indonesia khususnya. Dapat di simpulkan bahwa
nasionalisme adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran yang mendorong
untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk membentuk negara berdasar
kebangsaan yang disepakati dan dijadikan sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam
menjalani kegiatan kebudayaan dan ekonomi. Kesadaran yang mendorong sekelompok
manusia untuk menyatu dan bertindak sesuai dengan kesatuan budaya (nasionalisme)
oleh Ernest Gellner dinilai bukanlah kebangkitan kesadaran diri suatu bangsa namun ia
adalah pembikinan bangsa-bangsa yang sebenarnya tidak ada (Gellner dalam
Anderson, 2002:9).
 Metode Penelitian
Menggunakan metode penelitian studi literatur atau studi keperpustakaan.
Merupakan salah satu metode pengumpulan data sekunder yang paling populer.
Peneliti hanya membutuhkan beberapa pustaka sebagai pendukung dalam sebuah riset
atau penelitian yang akan dilakukan. Studi kepustakaan juga dilakukan dengan metode
tinjauan pustaka ke perpustakaan dan pengumpulan buku-buku, bahan-bahan tertulis
serta referensi-referensi yang relevan dengan penelitian atau riset. Studi kepustakaan
merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian. Teori-teori
yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat ditemukan dengan
melakukan studi kepustakaan. Selain itu seorang penelitian dapat memperoleh
informasi tentang penelitian-penelitian sejenis atau yang ada kaitannya dengan
penelitiannya. Dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan
melakukan studi kepustakaan peneliti dapat memanfaatkan semua informasi dan
pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penelitiannya. Penggunaan studi
kepustakaan atau studi literatur ini biasanya juga disesuaikan dengan topik penelitian
yang diambil sahabat data. Hal ini dikarenakan tujuan pengambilan data melalui studi
literatur ditujukan untuk mencari celah dan memberikan inspirasi dalam melakukan
pengumpulan data khususnya data sekunder. Terlebih lagi, penggunaan data sekunder
sangat tepat digunakan untuk menganalisis suatu peristiwa berdasarkan runtun waktu
atau time series. Seperti misalnya pengaruh neraca perdagangan suatu negara
terhadap indikator makro. Data-data yang biasanya dikumpulkan untuk menangkap
fenomena ini adalah data makro negara yang akan dianalisis maupun data lainnya yang
relevan dengan variabel yang akan dianalisis. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan
data sekunder terbilang versatile karena bisa digunakan oleh penelitian sudut pandang
keilmuan apapun dan fenomena apapun. Dengan demikian, seorang peneliti biasanya
sudah memiliki tujuan mau kemana data ini akan dicari dan didapatkan.
 Hasil Penelitian
- Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai
dan sikap masyarakat yang semula irasional menjadi rasional. Berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk
berpikir lebih maju.
- Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang
dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang
pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan
kesenjangan sosial. Kesenjangan social menyebabkan adanya jarak antara si kaya
dan si miskin sehingga sangat mungkin bisa merusak kebhinekaan dan
ketunggalikaan Bangsa Indonesia
 Kesimpulan dan Saran
Pengaruh kebudayaan barat bagi Bangsa Indonesia bahwa kebudayaan barat itu
dapat berpengruh positif apabila orang-orang Indonesia mampu memilih pergaulan
yang baik dan benar dari kebudayaan barat misalnya meniru dalam sikap disiplin dalam
kehidupan sehari-hari, mempelajari teknologi informasi dengan baik dan benar sebagai
media belajar. Pengaruh kebudayaan barat bagi Bangsa Indonesia bahwa kebudayaan
barat bersifat negatif karena kebanyakan orang-orang barat bertingkah laku yang
melanggar norma-norma yang berlaku di Indonesia seperti misalnya pergaulan bebas
baik itu pada anak remaja maupun pada orang tua, minum-minuman keras, mabuk-
mabukan, memakai tindik, dan bertato. Proses filtrasi perlu dilakukan supaya
kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia tidak akan merusak identitas kebudayaan
nasional bangsa kita. Semua dampak positif dan dampak negatif masuknya budaya
asing di Indonesia tergantung bagaimana kita menyeleksi budaya asing tersebut.
Pentingnya peran masyarakat dan pemerintah dalam mempertahankan nilai-nilai
budaya Indonesia agar tidak terpengaruh oleh budaya asing yang sifatnya negatif.

 Review Jurnal 5

Judul Tantangan dan Penguatan Ideologi Pancasila dalam


Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0

Jurnal Journal of Digital Education, Communication, and Arts

Volume dan Halaman Vol. 2, No. 2, 66-78

Tahun 2019

Penulis Nurul Fadilah


Reviewer Salya Khairun Nisa

Tanggal 2 September 2019

 Tujuan Penelitian
Bagaimana menghadapi tantangan diera revolusi industri dan penguatan ideologi
dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Di zaman yang penuh dengan persaingan
ini, makna dan nilai-nilai Pancasila harus tetap diamalkan dalam kehidupan kita, agar
keberadaannya tidak hanya dijadikan sebagai simbol semata. Pancasila dalam sejarah
perumusannya melalui proses yang sangat panjang oleh para pendiri negara ini.
Pengorbanan tersebut akan sia-sia apabila kita tidak menjalankan amanat para pendiri
negara yaitu pancasila yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-4.
Pancasila diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi kehidupan manusia,
baik itu dalam lingkungan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga dalam
berprilaku dan bersosialisasi antar sesama manusia, baik dalam kenidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus dilandasi oleh Pancasila yang
dijadikan landasan dalam berprilaku. Pancasila juga dijadikan sebagai pedoman dalam
berbagai bidang kehidupan, baik itu bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang
lainnya. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan diharapkan tidak melenceng dari
aturan yang telah ditetapkan sesuai dengan Pancasila. Dengan demikian, apa yang
diharapkan dan dicita-citakan oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana dengan baik.
Salah satu dimensi gerakan pembudayaan, yang juga berarti pengamalannya dalam
kehidupan nyata, adalah pengembangan pemikiran tentang nilai-nilai Pancasila dan
UUD 1945 yang relevan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat dan tuntutan
perubahan zaman, tetapi tetap berada dalam kerangka paradigma atau kandungan
hakekatnya yang sesungguhnya. Sejalan dengan itu pengembangan pemikiran itu
bukanlah dimaksudkan untuk merubah atau merevisi, apalagi menggantinya. Justru
yang ingin dicapai adalah untuk memperkuat, mempermantap dan mengembangkan
penghayatan, pembudayaan dan pengamalannya dalam berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui pengembangan pemikiran tantang
Pancasila dan UUD 1945 seperti itu diharapkan bangsa kita akan dapat melahirkan dan
mengembangkan gagasan, konsep-konsep dan bahkan teori-teori baru dalam berbagai
bidang kehidupannya yang bersumber dari ideologi dan konstitusi bersama, serta pada
waktu yang sama berhasil pula menguatkan relevansinya dengan realita perkembangan
masyarakat dan tuntutan perubahan zaman Perjalanan sejarah Pancasila sebagai
Ideologi sering diterpa banyak sekali peristiwa salah satu sejarah yang kelam terjadi
dalam Gerakan 30 S 1965 yang dianggap sebagai pembuktian bahwa Pancasila tidak
mudah untuk hilang di negeri Indonesia, sehingga pada tanggal 1 Oktober di peringati
sebagai hari kesaktian Pancasila. Selain dari peristiwa itu pada masa reformasi
Pancasila dianggap sebuah alat politik yang digunakan pada masa orde baru sehingga
pada masa reformasi kata Pancasila dianggap sebagai alat kekuasaan. Tetapi lambat
laun peristiwa-peristiwa yang telah dilalui dalam catatan sejarah bangsa Indonesia
ditepis dengan mantap oleh Ideologi Pancasila dengan ditandainya Ideologi Pancasila
tetap bertahan sebagai satu-satunya ideologi yang digunakan oleh Negara
Indonesia.Ideologi Pancasila merupakan ideologi terbuka sehingga ideologi Pancasila
sangat terbuka, dinamis, serta dapat menyesuaikan perkembangan zaman yang terjadi
di dalam maupun di luar negeri, baik dari segi perubahan sosial maupun dalam bentuk
perubahan atau dikenal dengan revolusi . Revolusi merupakan sebuah perubahan
pradigma mengenai sistem perekonomian. Revolusi pertama kali dalam catatan sejarah
terjadi di tanah Inggris yang lebih dikenal dengan revolusi industri 1.0 yang terjadi
antara 1800-1900, Revolusi industri 2.0 merupakan kelanjutan yang tidak terpisahkan
dari revolusi industri 1.0 yang terjadi di Inggris, revolusi ini berbasis kepada
pengertahuan dan teknologi yang terjadi disekitaran tahun 1900-1960, Revolusi 3.0 ini
disebabkan munculnya teknologi informasi dan elektronik yang masuk kedalam dunia
persitiwa ini terjadi antara 1960-2010. Pada saat sekarang ini revolusi 4.0 ditandai
dengan adanya konektivitas manusia, data, dan mesin dalam bentuk virtual atau yang
lebih dikenal dengan cyber physical. (Kusnandar, 2019: 2-4). Potensi Pancasila
kehilangan eksistensi sebagai ideologi di gelombang revolusi industri 4.0 bisa saja
terjadi apabila pemerintah selaku penyelenggara negara dan masyarakat pada
umumnya tidak bekerja sama untuk saling menumbuhkan kesadaran mengenai
pentingnya nilai-nilai Pancasila bagi kehidupan bersama dimasa yang akan datang.
Diharapkan kedepan, pemerintah Indonesia dapat membuat suatu kebijakan yang
mencerminkan nilai Pancasila dan Konstitusi untuk mengatur persoalan menyangkut
penemuan dan perkembangan sains serta teknologi di Indonesia. Pada tingkat paling
ekstrim hasil kebijakan tersebut adalah, bahwa segala penemuan, perkembangan dan
evolusi sains serta teknologi di era revolusi 4.0 harus sesuai dengan nilai dan kaidah
dari ideologi Pancasila. (Faisal, 2019). Peristiwa revolusi 2.0 sampai revolusi 3.0 sudah
dilalui oleh ideologi Pancasila dengan benar dan tepat, sehingga tantangan yang
dihadapi pada masa revolusi selanjutnya harus dijalankan oleh Indonesia melalui
ideologi Pancasila dengan benar dan tepat juga agar ideologi negara republik Indonesia
tetap eksis dibumi pertiwi maupaun di bumi nusantara ini, Pancasila dianggap sebagai
leitstar (bintang penunjuk jalan). Sehingga perlunya sebuah kajian secara teoritis dalam
menghadapi tantangan dan bagaimana cara penguatan ideologi Pancasila dalam
menghadapi era revolusi industri 4.0.
 Metode Penelitian
Penelitan ini menggunakan library riset (Studi Kepustakaan). Penelitan ini termasuk
kedalam jenis penelitian kualitatif, dengan cara mengumpulkan bahan-bahan
kepustakaan, membaca dan mencatat serta menganalisis segala sesuatu yang
bersesuaian dengan tema yang akan diangkat yaitu tantangan Ideologi Pancasila
menghadapi revolosi 4.0. Keseluruhan data harus sesuai dengan tema penelitian yang
sudah ditentukan sehingga ketika sudah terkumpul akan dilakukan sebuah analisis
data, sehingga menghasilkan sebuah penelitan yang diharapkan oleh peneliti. Tahapan
penelitian yang akan dilalui yaitu (1) Mengumpulkan bahan penelitian, (2) membaca
bahan kepustakaan, (3) Membuat catatan penelitian, dan (4) Mengolah catatan
penelitian, serta (5) menyimpulkan bahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah menggunakan dokumentasi, sebab dokumentasi ialah catatan peristiwa yang
sudah berlaku yang bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya yang monumental
dari seseorang. Dengan terkumpulnya semua dokumentasi akan dilakukan sebuah
pengkajian sesuai dengan tema yang diterapkan sehingga menghasilkan sebuah
analisis data yang sesuai dengan tema peneliti bahas. Teknik Analisis Data Adapaun
teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (1) teknik analisis konten;
mengambil inti dari suatu gagasan atau informasi sehingga ditarik sebuah kesimpulan
yang sesuai dengan tema penelitian, (2) analisis induktif; untuk mengorganisir hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan berbasis pengalaman yang telah dimiliki dengan
kesesuaian tema yang telah dibahas, dan (3) deskriptif analitik; metode ini dengan cara
menguraikan sekaligus dengan menganalisis data yang telah ditemukan sehingga
dapat menjawab masalah yang akan dibahas yaitu tantangan ideologi Pancasila dalam
menghadapi revolusi Industi 4.0.
 Hasil Penelitian :
Ideologi Pancasila seharusnya menjadi sebuah garis pandangan bagi setiap
warganegaranya menghadapi fenomea yang terjadi baik dari luar maupun dalam
negeri. Dalam membumikan Pancasila 5 pokok yang menjadi tantangan menurut
Anggota BPIP Romo, 2019 yaitu (1) Pemahaman Pancasila, (2) eksklusivisme sosial
yang terkait derasnya arus globalisasi sehingga mengarah kepada menguatnya
kecenderungan politisasi identitas, dan menguatnya gejala polarisasi dan frgamentasi
sosial yang berbasis SARA, (3) Kesenjangan social, (4) pelembagaan Pancasila di
mana lemahnya institusionalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kelembagaan politik,
ekonomi dan budaya serta masih lemahnya wawasan ideologi Pancasila di kalangan
penyelenggara Negara, (5) Keteladanan Pancasila. Keseluruhan ini merupakan pokok
yang harus dimiliki warganegara maupun penyelenggara Negara dalam menghadapi
revolusi 4.0. Dengan adanya revolusi industri 4.0 sehingga tantangan ideologi
Pancasila semakin kompleks dalam mengikuti perkembangan zaman tantangan tidak
hanya datang dari ideologi liberalisme, komunisme, individualisme, atheisme,
kapitalisme, dalam kehidupan sosial; narkoba, terorisme, dan korupis serta kebudayaan
global. Tetapi tantangan ideologi Pancasila juga datang dari segi ekonomi. Sedikit kita
telisik berkaitan pelanggaran terhadap sila-sila Pancasila. Sila pertama “KeTuhanan
yang Maha Esa“. Masih adanya gerakan radikal kelompok tertentu yang
mengatasnamakan agama, perusakan tempat ibadah dan fanatisme yang sifatnya
anarkis. Sila kedua “Kemanusian yang adil dan beradab”. Masih banyaknya kasus
human trafficking, memperkerjakan anak di bawah umur, dan keadilan dalam bidang
ekonomi parsialitas dalam marginalisasi status sosial ekonomi masyarakat. Sila ketiga
“PersatuanIndonesia”. Masih terlihat adanya penyimpangan sepert imenganggap suku
lain lebih baik dari suku lainnya, perang antarsuku dan adanya gerakan organisasi
sparatis. Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam
permusyawatan”. Hal ini juga masih terlihat masih rendahnya kedewasaan demokrasi,
diantaranya adalah politik promodial, money politic, isu putra daerah dan sebagainya.
Sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Masih terlihat nyata
disparitas pendapatan sosial ekonomi masyarakat bawah, masih rendahnya
aksestabilitas permodalan, pengangguran dan kemiskinan. (Lakian, 2018) Pergeseran
nilai-nilai pancasila tidak hanya dipandang dari perubahan social politik, tetapi juga
pergeseran pancasila juga bisa disebabkan oleh faktor ekonomi yang semakin maju
melalui sebuah revolusi . Revolusi yang sudah berlalu seperti revolusi industri 2.0 dan
3.0 sudah dilalui oleh Ideologi Pancasila sekarang Ideologi Pancasila menghadapi
tantangan baru yaitu revolusi industri 4.0. Dengan hadirnya revolusi Industri 4.0
memberikan suatu tantangan baru dalam pengembangan ideologi Pancasila
disebabkan Pancasila harus menjalankan fungsinya sebagai ideologi terbuka, dinamis
dan aktual. Banyak tantangan dalam mempertahankan Pancasila sebagai Ideologi,
Pancasila telah membuktikan bahwa Pancasila bukan merupakan milik golongan
tertentu atau representasi dari suku tertentu. Pancasila itu netral dan akan selalu hidup
di segala zaman seperti yang telah dilewati di tahun-tahun sebelumnya. Dalam
menghadapi revolusi 4.0 presiden republik Indonesia Joko widodo sudah membuat
sebuah roadmap yang disebut dengan making Indonesia. Roadmap Making Indonesia
4.0 dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional di era ekonomi digital
merupakan arah dari prinsip-prinsip dasar ekonomi Pancasila. Making Indonesia 4.0
yang bersifat lintas sektoral yaitu (1) Perbaikan alur aliran barang dan material, (2)
Desain ulang zona industri, (3) Mengakomodasi standar-standar berkelanjutan, (4)
Memberdayakan UMKM, (5) Membangun infrastruktur digital nasional, (6) Menarik
minat investasi asing, (7) Peningkatan kualitas SDM, (8) Pembangunan ekosistem
Inovasi, (9) Insentif untuk investasi Teknologi, dan (10) Harmonisasi aturan kebijakan.
(Kemeneterian Peran, 2018 :6-7 ). Keseluruhan roadmap atau yang dikenal dengan
Making Indonesia dalam menghadapi revolusi 4.0 harus mengedepankan kepada asas-
asas ideologi Pancasila, dengan mengedepankan kepada sisi humanisme berasaskan
kepada keadilan social bagi seluruh warga Negara Indonesia. Sehingga terbentuk lah
suatu kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sepuluh strategi perioritas nasional
dalam making 4.0 tersebut haruslah diletakkan pada peningkatan harkat martabat serta
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika hal ini berjalan efektif dalam
membangun sistem ekonomi berbasis kesejahteraan rakyat, maka hal ini yang disebut
oleh Moh Hatta adalah merupakan pilar sistem ekonomi Indonesia yang memang dicita-
citakan oleh Pancasila dan UUD 1945. Kebijaksanaan ekonomi dalam mengejar
pertumbuhan ekonomi idealnya harus linear dengan prinsip peningkatan nilai
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila dalam ekonomi lebih bersifat
humanistic yang berdasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat Indonesia seluas-
luasnya. Pengembangan ekonomi digital dalam 4.0 saat ini tentunya dapat memberikan
akses bagi masyarakat Indonesia, terutama pada daerah perbatasan, daerah pulau
terluar, daerah pesisir dan pedesaan yang sampai saat ini masih butuh perhatian
serius. Momentum 73 tahun hari lahirnya Pancasila menjadi refleksi dan evaluasi
bersama bagi semua lapisan masyarakat dan para pengambil kebijakan, untuk tetap
menjaga eksistensi Pancasila pada ruang gerak pemikiran serta tindakan untuk
melakukan rekontruksi nilai-nilai Pancasila dalam persiapan menghadapi tantangan
ekonomi digital dalam 4.0 saat ini. Semoga dengan proses rekontruksi nilai-nilai
Pancasila pada tantangan ekonomi digital saat ini cita-cita untuk kemajuan bangsa dan
negara, serta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia dapat terwujud sesuai
apa yang telah dicita-citakan bersama. (LiaKian. 2018). Revolusi industri 4.0 lebih
mengedepankan dengan penggunaan siber-fisik dan kolaborasi manufaktur. Sehingga
perlunya sebuah jaringan data/internet yang memadai dalam menjalankan making
Indonesia. Kehadiran internet di era revolusi industri 4.0 telah merubah banyak hal.
Salah satunya adalah perkembangan internet sendiri yang berevolusi dari tahun ke
tahun. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa dulunya internet sebatas digunakan
sebagai media informasi dan berkirim pesan singkat, namun seiring berkembanganya
waktu, internet telah berubah menjadi Internet of Things (IoT). Tak dapat dipungkiri,
perkembangan teknologi salah satunya ditunjukkan dengan diciptakannya Artificial
Intelligence (AI) atau robot yang mirip dengan manusia sudah banyak digunakan oleh
perusahaan-perusahaan besar sehingga menggeser peran manusia dalam melakukan
pekerjaan. Perkembangan teknologi yang semakin pesat ini pastinya menguntungkan
dunia namun juga memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pasar tenaga
kerja. Hal ini disebabkan karena teknologi dirasa lebih efisien dan efektif dibanding
tenaga atau kompetensi manusia yang terbatas serta untuk memangkas beban Sumber
Daya Manusia yang menuntut kenaikan upah buruh tapi tidak diikuti dengan kenaikan
produktivitasnya. Akhirnya, banyak perusahaan yang melakukan PHK secara besar-
besaran dan menyebabkan terjadinya pengangguran teknologi (Nabila, 2019).
Pancasila, yang pada hakikatnya merupakan produk asli Indonesia dan lahir dari
banyaknya perbedaan, seharusnya menjadi nilai dasar yang senantiasa dijunjung oleh
segenap masyarakat Indonesia. Tetapi saat ini banyak tantangan dan juga ancaman
yang harus dihadapi oleh Pancasila terutama ketika di era sekarang ini, masyarakat
Indonesia yang semakin maju dalam peradabannya terutama dalam penggunaan
teknologi. Teknologi pada dasarnya memang diciptakan untuk membantu manusia
dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Meskipun demikian, teknologi juga bisa menjadi
alat yang mampu membahayakan kehidupan manusia apabila tidak digunakan secara
bijaksana. Dalam menghadapi tantangan ini maka, Pancasila lah yang dapat menjadi
jawaban tentang kekhasan sumber daya manusia Indonesia. Pancasila sebagai
ideologi negara Indonesia merupakan hasil pemikiran yang dituangkan dalam suatu
rumusan rangkaian kalimat dengan mengandung satu pemikiran bermakna untuk
dijadikan dasar, azas, pedoman hidup dan kehidupan bersama dalam negara Indonesia
merdeka. Pancasila sebagai sumber etika dalam konsep dan pelaksanaan kerja
profesional sumber daya manusia Indonesia harus menjadi ruh utama dalam
perumusan Kode Etik Profesi yang meliputi aspek etika, moral dan hukum. Dengan
begitu, SDM Indonesia akan memiliki kekhasan sebagai manusia yang adaptif terhadap
teknologi dengan keunggulan karakter dan integritas pancasila. Semua ini merupakan
paket revolusi 4.0 yang akan menantang Pancasila sebagai ideologi. Pada era revolusi
4.0 Pancasila dengan segenap nilai yang melekat padanya harus berhadapan dengan
perkembangan sains dan teknologi beserta paradigma berpikir masyarakat Indonesia.
Sehingga dapat dikatakan posisi Pancasila sebagai ideologi sangat terancam posisinya
apabila revolusi industri 4.0 tidak disikapi oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia
secara hikmat penuh kebijaksanaan. (Faisal, 2019) Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang menjadi pokok pertama tantangan dan penguatan ideologi Pancasila
dalam menghadapi revolusi industri 4.0 adalah dengan meningkatkan Sumber daya
manusia Indonesia yang unggul sesuai dengan tema kemerdekaan republik Indonesia
yang ke 74. Hal lain juga akan menjadi tantangan jika perkembangan ideologi berjalan
jauh lebih lamban dari proses perubahan masyarakat. Umpamanya perubahan dari
masyarakat agraris menjadi masyarakat industry modern. Suasana seperti itu biasanya
menyebabkan ketegangan dalam interaksi, karena kehadiran kesenjangan yang makin
melebar antara ideologi yang lamban memperbaharui relevansinya dengan realita baru
kehidupan masyarakat yang cepat prosesnya. Masyarakat dengan realita barunya
berkembang sendiri meninggalkan ideologinya, karena ideologi itu dirasakan tidak
relevan lagi dengan dirinya, meskipun secara formal mereka masih berpura-pura
mengakui dan menerimanya. Secara substantif ia tidak lagi menjiwai realita baru
kehidupan mereka, dan oleh karena itu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi
itu kehilangan maknanya sebagai pengarah atau pemandu proses pembangunan
masyarakatnya. Bahaya yang digambarkan diatas dapat dihindari bilamana krisis
interaksi antara ideologi dengan realita kehidupan dapat merangsang kreativitas
masyarakat, terutama kalangan cendekiawan dan ilmuwan untuk mengembangkan
pemikiran-pemikiran baru yang bukan saja tetap relevan dengan ideologi mereka, tetapi
sekaligus juga komunikatif dengan perkembangan realita kehidupan mereka dari masa
ke masa. Dari satu segi konsep dan teori ilmu pengetahuan dapat dikembangkan
melalui dua jalur. Pertama, jalur ideal-normatif yang mengembangkan konsep dan teori
yang bersumber dari nilai-nilai dasar yang diyakini kebenarannya. Kedua, adalah jalur
actualempiris yang mengembangkan konsep dan teori melalui penelitian ilmiah tentang
realita yang berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Melalui jalur pertama,
para ilmuwan dan cendekiawan kita dapat mengembangkan teori dan konsepnya
tentang demokrasi sosial yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Melalui jalur
kedua, konsep dan teori yang lahir dan berkembang dari hasil penelitian empiris akan
membantu kita untuk mengetahui secara kritis kondisi atau realita yang sesungguhnya
yang berkembang dalam diri masyarakat, bangsa dan negara kita dari waktu ke waktu.
Sebaliknya, bilamana kesenjangan antara ideologi yang ideal-normatif dengan realita
yang aktual-empiris makin mengecil, maka hal itu mengandung makna bahwa ideologi
tersebut berhasil menjiwai, melandasi dan mengarahkan dinamika perkembangan
masyarakat, bangsa dan negara dalam berbagai bidang kehidupannya. Melalui uraian
diatas makin jelas kepada kita betapa pentingnya peranan ilmu pengetahuan dalam
mengembangkan konsep dan teori ideal-normatif yang bersumber dari nilai-nilai dasar
suatu ideologi sehingga memperjelas makna yang sesungguhnya, dari ideologi itu dari
satu generasi ke generasi berikutnya, dari masa ke masa. Di pihak lain ilmu
pengetahuan berperan penting pula dalam mengembangkan teori dan konsep aktual-
empiris yang digali dari realita perkembangan masyarakat dari waktu-ke waktu, yang
dapat dipakai oleh masyarakat tersebut untuk memahami secara kritis kondisi dirinya
yang sesungguhnya. Kebijakan atau regulasi ini dibuat sedemikian rupa untuk
mengarahkan proyek-proyek revolusi industri 4.0 agar tidak bertentangan dengan nilai-
nilai ideologi Pancasila. Disamping itu, penguatan pendidikan Pancasila perlu dilakukan
terhadap generasi-generasi milenial saat ini melalui institusi-insitusi pendidikan yang
ada di Indonesia, dengan menjadikan Pancasila sebagai ilmu, disamping sebagai
ideologi. Sebab, Pancasila memiliki nilai-nilai profetik yang relevan untuk dipelajari dan
dikaji oleh generasi milenial untuk menghadapi perkembangan revolusi industri 4.0 di
masa yang akan datang. Dengan konsep seperti ini, maka Pancasila sebagai ideologi
tetap eksis dan diakui meski pun manusia Indonesia menghadapi dan menikmati
kemajuan akibat revolusi dan paradigma berpikir manusia Indonesia mengenai
pentingnya Pancasila sebagai ideologi tetap konsisten sehingga membuat nilai-nilai
yang terkandung pada Pancasila dapat diamalkan secara paripurna di era revolusi 4.0.
(Faisal, 2019) Dapat dikatakan bahwa, tantangan Pancasila dalam menghadapi revolusi
industri 4.0 adalah peranan penyelenggara Negara dan warga Negara dalam
mempertahankan eksistensi Pancasila sebagai ideologi besar didunia yang digunakan
oleh Indonesia sehingga perlunya pembelajaran yang mendalam untuk
mempertahankan Pancasila sebagai Ideologi Neagara. Metode pembelajaran yang
digunakan dalam pendidikan Pancasila juga harus pula mengikuti perkembangan
zaman yang sesuai dengan era sekarang. Pancasila sangat diharapkan dapat dipahami
dan diterima oleh generasi sekarang yang pada dasarnya merupakan generasi yang
sangat jauh dan pastinya tidak terlibat langsung dengan proses-proses pembentukan
Pancasila itu sendiri. Pendekatan dan metode pembelajaran yang dapat dilakukan
adalah dengan merevitalisasi cara belajar pendidikan Pancasila di sekolah maupun di
kampus. Pembelajaran yang dimaksud adalah dengan merubah cara belajar dari
konvensional menjadi tepusat kepada siswa ataupun mahasiswa. Paradigma atau
pendekatan dalam metode pembelajaran pendidikan Pancasila harus berubah dari
teacher oriented ke student oriented. Guru dan dosen yang terlalu dominan dikelas,
serba tahu segalanya, siswa atau mahasiswa dianggap seperti ketas putih yang bisa
dituliskan segala ilmu dan materi pelajaran sudah tidak sesuai lagi dengan siswa dan
mahasiswa era revolusi industri 4.0 saat ini. Metode pembelajaran konvensional
tersebut, peserta didik seolah-olah mendengarkan guru ataupun dosennya, namun
pikiran mereka tidak terpusat dengan materi yang disampaikan oleh guru dan dosen.
Maka dari itu, metode pembelajaran pendidikan Pancasila juga harus dapat
mendekatkan diri pada peserta didik sesuai dengan era sekarang ini, era dimana dunia
teknologi informasi yang sarat big data. Peserta didik bahkan lebih mahir mengakses
informasi dan mencari materi pengetahuan pelajaran dibandingkan guru atau
dosennya. Metode pembelajaran pendidikan Pancasila juga dapat dilakukan dengan
cara-cara yang lebih kreatif dan tidak membosankan peserta didik. Sebagaimana
menurut Handoyo, Penggunaan gawai dalam pembelajaran merupakan sebuah
keniscayaan, karena gawai merupakan teman setia generasi Z yang dibawa kemana-
mana tidak mengenal waktu. Materi Pancasila harus dikemas sedemikian rupa yang
menarik peserta didik, bisa dibuat dalam bentuk narasi singkat dengan gambar yang
menarik atau berupa game yang menantang peserta didik untuk berpikir keras dan
cerdas serta menggunakan imaginasinya untuk memecahkan masalah yang difasilitasi
guru dan dosen dalam pembelajaran di kelas (Handoyo, 2019). Selain itu, cara yang
dapat dilakukan untuk mengajarkan pendidikan Pancasila yakni dengan membuat film
animasi yang didalamnya terkandung materi pelajaran dan mencerminkan tingkah laku
yang sesuai dengan nilainilai pancasila. Hal ini menjadikan peserta didik tidak merasa
monoton dan bosan belajar pendidikan Pancasila, karena mereka terlibat langsung dan
didukung dengan teknologi yang berkembang di era revolusi industri 4.0.
 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa tantangan dan
penguatan ideologi Pancasila dalam menghadapi revolusi industri 4.0 ialah (1)
Membumikan Pancasila dalam perkembangan revolusi 4.0. dengan cara, meningkatkan
Pemahaman Pancasila, mengurangi eksklusivisme sosial, mengurangi kesenjangan
sosial, meningkatkan wawasan Pancasila bagi penyelenggara Negara serta menjadikan
Pancasila sebagai keteladanan dalam menghadapi revolusi industri 4.0, (2) Penguatan
Pancasila dalam menghadapi revolusi industri 4.0 adalah dengan meningkatkan
Sumber daya manusia Indonesia yang unggul sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, (3)
Mempertahankan eksistensi Pancasila sebagai Ideologi Negara Indonesia. Tantangan
yang dihadapi dalam proses penanaman nilai-nilai Pancasila pada era revolusi industri
4.0 saat ini yaitu salah satunya terletak pada peserta didik yang sudah tidak dapat
terlepas dari Handphone dan Gadjet. Mereka dengan mudah mendapatkan informasi-
informasi dari luar melalui internet yang terkadang informasi tersebut tidak sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Namun hal tersebut juga dapat diatasi dengan cara
memanfaatkan perkembangan informasi serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) menjadi media dalam penanaman dan penguatan Pancasila di era revolusi
industri 4.0. Guru dan dosen dituntut untuk dapat lebih kreatif dalam mengembangkan
metode pembelajaran pendidikan Pancasila melalui media pembelajaran, seperti
membuat game serta film animasi yang mangajarkan nilai-nilai Pancasila dan sekaligus
dapat pula membentuk karakter peserta didik.

 Review Jurnal 6

Judul Rekonstruksi Ideologi Pancasila Sebagai Sistem Ekonomi


dalam Perspektif Walfare State

Jurnal Jurnal Hukum Replik

Volume dan Halaman Volume 7 No 1

Tahun 2019

Penulis Achmad Hariri

Reviewer Salya Khairun Nisa

Tanggal 1 Maret 2019


 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengulas terkait dengan sistem ekonomi Pancasila
untuk terwujudnya kesejahteraan. Sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian
normatif dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan
konsep (Conseptual Approach). Adapun hasil dari penelitian ini adalah
Mengetengahkan sistem ekonomi pancasila menjadi keharusan ditengah pembangunan
ekonomi yang tidak tentu, kegagalan ideologi ekonomi di dunia sebut saja liberalisme
dan marxisme seharusnya menjadi titik tolak dari kembalinya penerapan ideologi yang
khas dengan budaya Indonesia. Maka dari itu perlu sikap konsekuen untuk membangun
ekonomi dengan sistem ekonomi Pancasila yang terejawantah dalam konstitusi Pasal
33 UUD 1945. Cabang produksi yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak
dikuasasi oleh negara dan di peruntukkan pada sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat. Inilah cita-cita Pancasila khususnya sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
 Metode Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriptis analisis, dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (statute
approach). statute approach yaitu aturan hukum yang menjadi fokus penelitian,
sedangkan pengertian konsep yang relevan dalam hal ini adalah unsur abstraks dalam
suatu bidang studi dan bersifat universal, fungsinya untuk memunculkan suatu yang
menarik untuk dikaji ulang. Pengembangan konsep dalam penelitian hukum harus
menggunakan paradigma konsepsional maupun kerangka teoritis.
 Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini adalah Mengetengahkan sistem ekonomi pancasila menjadi
keharusan ditengah pembangunan ekonomi yang tidak tentu, kegagalan ideologi
ekonomi di dunia sebut saja liberalisme dan marxisme seharusnya menjadi titik tolak
dari kembalinya penerapan ideologi yang khas dengan budaya Indonesia. Maka dari itu
perlu sikap konsekuen untuk membangun ekonomi dengan sistem ekonomi Pancasila
yang terejawantah dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Cabang produksi yang
berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara dan di
peruntukkan pada sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Inilah cita-cita Pancasila
khususnya sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
 Kesimpulan :
Mengetengahkan sistem ekonomi pancasila menjadi keharusan ditengah
pembangunan ekonomi yang tidak tentu, kegagalan ideologi ekonomi di dunia sebut
saja liberalisme dan marxisme seharusnya menjadi titik tolak dari kembalinya
penerapan ideologi yang khas dengan budaya indonesia, yaitu Pancasila kalau
disarikan lagi gotong royong, namun ada kendala dalam penerapan ideologi pancasila
yaitu belum memiliki instrumen yang jelas, bahkan hari ini penerapan ideologi pancasila
masih dibayang-bayang oleh narasi ideologi besar dunia, sehingga cita-cita yang mau
dicapai oleh pancasila urung sampai. Maka dari itu perlu sikap konsekuen dari semua
pihak untuk membangun ekonomi dengan sistem ekonomi pancasila yang tersarikan
dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Cabang produksi yang berhubungan dengan
hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara dan di peruntukkan pada sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat. Inilah cita-cita pancasila khususnya sila kelima, yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

 Review Jurnal 7

Judul Perbandingan Pendekatan Ekonomi-Politik Media dan Studi


Kebudayaan dalam Kajian Komunikasi Massa

Jurnal Jurnal Komunikasi Pembangunan

Volume dan Halaman Vol. 06, No 1

Tahun 2008

Penulis S. Sarwoprasodjo-Agung

Reviewer Salya Khairun Nisa

Tanggal Februari 2008


 Tujuan Penelitian
Memfokuskan perbandingan pendekatan ekonomi-politik media massa dan
mempelajari studi kebudayaan dalam kajian komunikasi massa. enomena media massa
sebagai bagian dari kebudayaan dan kehidupan sosial semakin meningkat. Kondisi ini
dapat menjadi tantangan bagi para para peneliti media massa untuk mengembangkan
konsep-konsep yang memungkinkan untuk memahami gejala tersebut dengan baik.
Dua kelompok pendekatan kritis yakni ekonomi politik media dan studi kebudayaan
mempunyai kesamaan, kelebihan dan kekurangan. Dengan memperhatikan hal-hal
tersebut kedua pendekatan dapat saling belajar untuk memperkaya pendekatan
masing-masing. Bagi pendekatan ekonomi politik media yang cenderung melihat dari
satu sisi yakni produksi dan distribusi media, pendekatannya dapat diperbaiki dengan
menambah satu sisi yakni konsumsi oleh khalayak dengan memberi perhatian pada
kebebasan khalayak dalam menginterpretasi. Sedangkan bagi studi kebudayaan
adalah dengan memberi perhatian pada aspek ekonomi-politik dan metodologi
empirisme dalam etnografi. Dengan demikian, kajian terhadap media massa perlu
mengembangkan pendekatan multiperspektif yang mencakup beragam artifak dengan
mengumpulkan informasi secara mendalam tiga dimensi yakni (1) produksi dan
ekonomi politis dari budaya (2) analisis tekstual dan kritik terhadap artifaknya dan (3)
kajian mengenai penerimaan khalayak dan penggunaan produk budaya/media secara
polisemi dengan metode pengumpulan data empiris. Di dalam era informasi, peran
media massa dalam kehidupan manusia menjadi sangat sentral. Sehingga kajian
mengenai peran media dalam kehidupan manusia menjadi penting. Berbagai
pendekatan terhadap penelitian media yakni pendekatan yang sifatnya fungsionalis,
pluralis dan kritis. Dalam pendekatan kritis yakni yang diwakili dengan terminologi
pendekatan Marxisme terdapat tiga kelompok pendekatan yakni pendekatan
strukturalist, ekonomi-politik dan pendekatan kulturalis. Seperti halnya dalam
pendekatan ekonomi politik, dalam studi kebudayaan terdapat berbagai varian yang
antara lain ditunjukkan dengan pengelompokkan berikut: dekonstruksi, rekonstruksi dan
strukturalis. Pengelompokan lainnya (Golding dan Murdock, 1996) adalah analisis teks,
analisis relasional dan supremasi khalayak. Secara historis, kedua pendekatan tersebut
mempunyai kesamaan yakni mendapat pengaruh dari Marxis, namun demikian dalam
perkembangannya studi kebudayaan meninggalkan ekonomi politik media, sehingga
sulit dicari persinggungan di antara keduanya. Sementara itu, pendekatan ekonomi–
politik menunjukkan sikap keterbukaannya untuk “mendekati” studi kebudayaan yang
ditunjukkan oleh telaah Mosco (1996) melalui integral epistemology-nya. Salah satu
yang diungkapkannya adalah bahwa ekonomi-politik merupakan salah satu entry point
untuk mempelajari studi kebijakan dan studi kebudayaan atau ekonomi politik media.
Berangkat dari pemikiran Mosco tersebut, penulis bermaksud membandingkan kedua
pendekatan kajian tersebut dengan mempelajari masing-masing disiplin, sehingga
memungkinkan memperkaya kedua kajian tersebut. Di dalam tulisan ini, upaya untuk
mempelajarinya dimulai dengan menguraikan masing-masing kajian yakni sejarah
perkembangan, karakteristik dan varian-varian serta kritik-kritiknya. Setelah itu, dicari
titik temu di antara keduanya dengan melihat varian-varian dari masing-masing
pendekatan yang relatif “berdekatan” dan membandingkannya dengan melihat
persamaannya dan kelebihan/kekurangan masing-masing dan kemungkinan untuk
mengintegrasikannya. Untuk mengintegrasikannya dimulai dengan analisis ekonomi-
politik media, karena ciri pendekatannya cenderung lebih terbuka dibandingkan dengan
studi kebudayaan.
 Metode Penelitian
Bagi studi kebudayaan adalah dengan memberi perhatian pada aspek ekonomi-
politik dan metodologi empirisme dalam etnografi. Dengan demikian, kajian terhadap
media massa perlu mengembangkan pendekatan multiperspektif yang mencakup
beragam artifak dengan mengumpulkan informasi secara mendalam tiga dimensi yakni
(1) produksi dan ekonomi politis dari budaya (2) analisis tekstual dan kritik terhadap
artifaknya dan (3) kajian mengenai penerimaan khalayak dan penggunaan produk
budaya/media secara polisemi dengan metode pengumpulan data empiris. Di dalam
era informasi, peran media massa dalam kehidupan manusia menjadi sangat sentral.
Sehingga kajian mengenai peran media dalam kehidupan manusia menjadi penting.
Berbagai pendekatan terhadap penelitian media yakni pendekatan yang sifatnya
fungsionalis, pluralis dan kritis. Dalam pendekatan kritis yakni yang diwakili dengan
terminologi pendekatan Marxisme terdapat tiga kelompok pendekatan yakni
pendekatan strukturalist, ekonomi-politik dan pendekatan kulturalis. Seperti halnya
dalam pendekatan ekonomi politik, dalam studi kebudayaan terdapat berbagai varian
yang antara lain ditunjukkan dengan pengelompokkan berikut : dekonstruksi,
rekonstruksi dan strukturalis. Pengelompokan lainnya (Golding dan Murdock, 1996)
adalah analisis teks, analisis relasional dan supremasi khalayak.
 Hasil Penelitian
Dalam pendekatan ekonomi-politik media massa pendekatan ini terutama mendapat
pengaruh dari Teori Marxis, namun demikian dalam perjalanannya telah berkembang
berbagai varian pendekatan ini. Menurut Chandler (1998), pendekatan Neo Marxist
banyak digunakan oleh teoritisi media pada tahun 1960-an sampai dengan tahun 1980-
an. Teori Marxist cenderung menekankan peranan media massa dalam mereproduksi
status quo, sebagai kebalikan dari kelompok pluralis media yang menekankan pada
peranan media dalam meningkatkan kebebasan berbicara yang merupakan perspektif
dominan di Amerika sejak tahun 1940-an. Munculnya pendekatan Neo Marxist dalam
ilmu sosial merupakan reaksi terhadap model fungsionalis dari masyarakat. Kelompok
fungsionalis menjelaskan kelembagaan sosial mem-punyai fungsi kohesif dalam sistem
sosial-budaya yang saling terkait. Fungsionalis tidak mengakui adanya konflik,
sedangkan marxisme se-baliknya menawarkan pandangan yang berguna mengenai
konflik kelas. Neo marxissme berkembang terutama pada tahun 1970-an dan awal
1980-an. Menurut Gurevitch terdapat 3 paradigma dalam pendekatan Kajian Media
Marxisme yakni: 1. Kelompok “strukturalis” , antara lain adalah Althuserian Marxisme
dengan fokus pada artikulasi internal dari sistem penandaan media. 2. Kelompok
“political economy” memandang ideologi sebagai subordinat dari ekonomi. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah Graham Murdock yang menempatkan kekuatan
media dalam proses ekonomi dan struktur produksi media. Pemilikan dan pengendalian
media dilihat sebagai faktor kunci dalam mengendalikan pesan media. 3. Kelompok
“kulturalis” yang termasuk didalamnya adalah Stuart Hall yang mewakili Culturalist
Marxism mempunyai pandangan bahwa media massa bersifat habis dalam
mempengaruhi pembentukan kesadaran publik (Curran et all, 1982:28 dikutip oleh
Chandler, 1995). Kulturalis mengikuti strukturalis dalam hal menolak economism, tetapi
tidak seperti structuralism, pendekatan ini menekankan pada pengalaman aktual; dari
sub-kelompok dalam masyarakat dan mengkontekstualisasi media dalam masyarakat
yang dilihat sebagai “a complex S. Sarwoprasodjo-Agung 96 expressive totality”.
Pendekatan Kulturalis tercermin dalam karya-karya the Centre for Contemporary
Cultural Studies (CCCS) di University of Birmingham dimana Stuat Hall pernah menjadi
direkturnya. Seperti dikatakan Curran, teori-teori Marxist bervariasi dalam hal
pembahasannya mengenai pengaruh media massa dan pengaruh karakteristik dan
kekuasaan dari ideologi media massa.
 Kesimpulan
Kajian terhadap media massa baik dengan menggunakan pendekatan ekonomi
politik media atau studi kebudayaan perlu mengembangkan pendekatan multiperspektif
yang mencakup beragam artifak dengan mengumpulkan informasi secara mendalam
tiga dimensi dari (1) produksi dan ekonomi politis dari budaya (2) analisis tekstual dan
kritik terhadap artifaknya dan (3) kajian mengenai penerimaan khalayak dan
penggunaan produk budaya/media. Kajian media massa hendaknya bersifat
multiperspektif, atau penggunaan metoda kritis pada saat menggunakan analisis
tekstual dan dalam menggambarkan keanekaragaman posisi atau perspektif subyek,
melalui mana khalayak menerima/menyesuaikan diri dengan budaya. Hasil kajian
tersebut hendaklah diinterpretasikan dan dikontekstualisasikan dalam teori sosial kritis
untuk menggambarkan maknanya dan efeknya. Dengan demikian keterkenalan Sherina
atau Yoshua tidak hanya perlu dikaji pada makna, efek, dan penggunaannya oleh
khalayak mereka, tetapi kepopuleran Sherina atau Yoshua merupakan bagian strategi
pemasaran dan produksi video musik dan image yang dapat menarik beragam
khalayak. Perspektif yang komprehensif melintasi ekonomi politis, analisis tekstual,
penelitian khalayak memberikan perspektif politis dan kritis yang memungkinkan
individu mempelajari makna, pesan, dan efek dari bentuk-bentuk budaya dominan.
Kajian media secara kritis merupakan bagian dari pendidikan media kritis yang
memungkinkan individu untuk melawan manipulasi media dan untuk menambah
kemerdekaannya dan individualitasnya. Ini juga dapat memberdayakan orang untuk
memperoleh kemerdekaan/otonomi terhadap budayanya dan dapat berjuang untuk
memperoleh budaya alternatif dan perubahan politis (Kellner, 1997)

 Review Jurnal 8
Judul Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Kearifan Lokal
Masyarakat Maluku

Jurnal Jurnal Pendidikan Agama Islam

Volume Vol. 4, No.2

Tahun 2019

Penulis Dr. Abidin Wakano, M.Ag

Reviewer Salya Khairun Nisa

Tanggal 2 Oktober 2019


 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: 1. Bentuk-bentuk
kearifan local (local wisdom) dalam budaya masyarakat Maluku sebagai kekuatan
integrasi sosial dan persaudaraan dalam konteks masyarakat Maluku yang
multikultural. 2. Nilai-nilai pendidikan multikultural dalam budaya Pela, Gandong, Famili,
Badati, Masohi dan Ma’anu. Penelitian ini menggunakan metode deskrptif kualitatif
dengan teknik analisis isi (content analysis, melalui dua langkah prosedur, yaitu:
Pertama. Pengadaan atau pengumpulan data nilai-nilai pendidikan multikultural dalam
kearifan lokal masyarakat Maluku. Kedua. Validasi data dengan menggunakan pola
validasi semantik untuk mengukur kesensitifan dan kedalaman makna simbolik yang
terkait dengan konteks nilai-nilai multikultural dalam kearifan lokal masyarakat Maluku.
Hasil penelitiannya yaitu: bentuk-bentuk kearifan lokal yang mengandung nilai
persaudaraan dan menjadi kekuatan integrasi sosial, antara lain siwalima yang bersifat
monodualistis sebagai akar budaya, kemudian budaya pela, gandong, famili, serta
budaya tolong-menolong dan kerjasama seperti budaya badati, masohi dan ma;anu.
Nilai-nilai pendidikan mulitikultural yang ada di dalam bentuk-bentuk kearifan hidup
tersebut antara lain: Nilai saling memahami perbedaan, saling menghormati, saling
mengasihi, saling melindungi, saling menopang, dan saling menghidupi, sebagaimana
hakekat atau cerminan pendidikan multikulturl, yaitu: penghargaan kepada orang lain
(respect for others), dan penghargaan kepada diri sendiri (respect for self).
 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskrptif kualitatif dengan teknik analisis isi
(content analysis). Analisis isi merupakan teknik yang sistematis untuk mengalanlisis
makna pesan dan cara mengungkapkan pesan. Untuk itu, peneliti menggunakan dua
langkah prosedur, yaitu: Pertama. Pengadaan atau pengumpulan data nilai-nilai
pendidikan multikultural dalam kearifan lokal masyarakat Maluku, yang meliputi: (a).
Penentuan unit analisis melalui pembacaan data secara kritis, cermat, dan berulang
agar tidak terdistorsi. (b). Perekaman dan pencatatan data nilai-nilai pendidikan
multikultural dalam kearifan lokal masyaraat Maluku, yang menjadi masalah pokok
menyangkut analisis isi berupa data simbolik dan bentuk-bentuk kearifan hidup
masyarakat Maluku yang tidak terstruktur. Kedua. Validasi data dengan menggunakan
pola validasi semantik untuk mengukur kesensitifan dan kedalaman makna simbolik
yang terkait dengan konteks nilai-nilai multikultural dalam kearifan lokal masyarakat
Maluku. Selanjutnya infrensi sebagai teknik untuk menarik simpulan yang bersifat
abstrak serta melakukan menyajian dan pembahasan data
 Hasil Penelitian
Setelah penulis melakukan penelitian tentang nilai-nilai pendidikan multikultural
dalam kearifan lokal masyarakat Maluku berdasarkan hasil pengadaan atau
pengumpulan dan validasi data menunjukan bahwa bentukbentuk kearifan lokal yang
mengandung nilai persaudaraan dan menjadi kekuatan integrasi sosial, antara lain
siwalima yang bersifat monodualistis sebagai akar budaya Maluku, kemudian budaya
pela, gandong, famili, serta budaya tolong-menolong dan kerjasama seperti budaya
badati, masohi dan ma;anu. Sedangkan nilai-nilai pendidikan mulitikultural yang ada di
dalam bentuk-bentuk kearifan hidup tersebut antara lain: Nilai saling memahami
perbedaan, saling menghormati, saling mengasihi, saling melindungi, saling menopang,
dan saling menghidupi, sebagaimana hakekat atau cerminan pendidikan multikulturl,
yaitu: penghargaan kepada orang lain (respect for others), dan penghargaan kepada
diri sendiri (respect for self). Mewujudkan dan menghidupkan nilai-nilai pendidikan
multikultural berbasis kearifan lokal merupakan suatu kemestian untuk masyarakat
Maluku. Sebagaimana sudah peneliti kemukakan di bagian pendahuluan bahwa
masyarakat Maluku, sebagaimana Indonesia merupakan masyarakat yang sangat
multikultural yang sangat memerlukan strategi kebudayaan yang tepat di dalam
membangun dan mengelola masyarakat yang multkultural seperti ini. Dalam spirit ini
mewujudkan dan menghidupkan nilai-nilai pendidikan multikultural berbasis kearifan
lokal merupakan salah satu strategi kebudayaan yang dimaksud. Hal tersebut sejalan
dengan latar belakang lahirnya pendidikan multicultural, yaitu keberadaan masyarakat
dengan individu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan
(nationality), suku (race or etnicity), agama (religion), gender, dan kelas sosial (social
class). Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada
keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan. Sejarah
munculnya pendidikan multikulturalisme di negara-negara Eropa Barat dan Amerika,
tidak bisa dipisahkan dari sejarah kelam rasisme di kedua bangsa tersebut. Gagasan
pendidikan multikultural mulai diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara
Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak
sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi
praktik driskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di
lembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap
kelompok minoritas. (James A. Bank 1989: 4-5-14). Demikian halnya dalm konteks
kehidupan bangsa Indonesia kita sudah memiliki komitmen bersama yaitu menjadi
Pancasila sebagai Dasar Negara, yaitu semua warga negara punya derajat, hak dan
kewajiban yang sama. Selain adanya komitmen bersama kepelbagaian Indonesia,
dalam lambang negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika (biar berbeda-beda tetapi tetap
satu). Namun dalam kenyataannya relasi antar suku, agama dan kelompok masih
terjadi sikap dan pandangan kontra produktif, dalam bentuk dikriminasi, intoleran,
pelecehan, bahkan konflik dan kekerasan antar sesama. Hal tersebut merambat dalam
dunia pendidikan, yaitu terjadinya pelbagai bias dalam pembelajaran. Menurut Sadker
sebagaimana dikutip Donna M. Gollnick & Philip C. Chinn (1983: 299-300), mencatat
adanya 6 (enam) macam bias dalam buku teks yang digunakan dalam pembelajaran.
Keenam macam bias tersebut adalah: (a) bias yang tidak kelihatan (invisibility), (b)
pemberian label (stereotyping), (c) selektivitas dan ketidakseimbangan (selectivity and
inbalance), (d) tidak mengacu realitas (unreality), (e) pembagian dan isolasi
(fragmentation and isolation), dan (f) bahasa (language). Pelbagai bentuk bias tersebut
menunjukan adanya problem mendasar kurangnya nilai-nilai pendidikan multikultural.
Ironisnya muncul sikap dikriminatif, intoleran, pelecehan, konflik dan kekerasan itu
bertolak dari sikap primordialisme sempit berbasis suku, agama dan kelompok. Padahal
di dalam suku dan agama terdapat nilai-nilai luhur yang sangat agung. Dalam
hubungan ini, James Lynch (1986: 7-86) merekomendasikan agar dunia pendidikan
atau para pendidik menyampaikan pokok-pokok bahasan multikultural, dengan
berorientasi pada 2 (dua) tujuan, yaitu: (a) penghargaan kepada orang lain (respect for
others), dan (b) penghargaan kepada diri sendiri (respect for self). Sebelum peneliti
mengemukakan nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam kearifan lokal masyarakat
Maluku, telebih dahulu peneliti menjelaskan beberapa nilai multikultural. Menurut H.A.R.
Tilaar seperti dikutip Maemunah (2007: 77-95) bahwa nilai-nilai multikultural itu antara
lain: belajar hidup dalam perbedaan, membangun rasa saling percaya (mutual trust),
memelihara rasa saling pengertian (mutul understanding), menjunjung sikap saling
menghargai (mutual respect), terbuka dalam berfikir (inklusif), apresiasi dan
interdependensi, resolusi konflik, dan rekonsiliasi nir-kekerasan. Kemudian untuk
memahami nilai-nilai mutikultural perlu mamahami emat nilai inti (core velue), yaitu:
Pertama. Apresiasi terhadap kanyataan pluralitas budaya masyarakat. Kedua.
pengakuan terhadap harkat manusia dan Hak Asi Manusia (HAM). Ketiga.
Pengembangan tanggungjawab masyarakat dunia. Keempat. Pengembangan
tanggungjawab terhadap planet bumi. Semangat monodualistis siwalima yang
merupakan akar budaya masyarakat Maluku adalah nilai dasar terhadap pelbagai
bentuk kerukunan dan persaudaraan di Maluku. Bentuk-bentuk persaudaraan dalam
budaya Maluku sangat menghargai perbedaan, baik itu suku, agama maupun golongan.
Apapun perbedaan itu tetap dianggap sebagai saudara, yang dalam istilah lokal Maluku
disebut sebagai Orang Basudara (orang yang bersaudara). Filosofi hidup Orang
Basudara itu adalah “potong di kuku, rasa di daging, ale rasa, beta rasa (kamu rasa,
saya juga rasa), dan sagu salempeng dibage dua (sepotong sagu dibagi dua)”.
Persaudaraan ini bersifat pro-eksistensi, karena sama-sama merasa memiliki dan
punya tanggung jawab terhadap yang lain. Keunikan dan keindahan nilai-nilai
persaudaraan sejati ini tercermin di dalam pelbagai kearifan lokal (local wisdom) atau
kecerdasan lokal (local genius) masyarakat Maluku, misalnya nilai persaudaraan dalam
budaya Pela, Gandong, dan Family.
 Kesimpulan
Masyarakat Maluku adalah masyarakat yang sangat multikultural, yang terdiri dari
pelbagai latar belakang suku bangsa, bahasa, agama, warna kulit, memiliki ratusan
raja, dan ratusan marga. Tetapi dalam fakta mulltikultural tersebut terdapat pelbagai
bentuk kearifan lokal yang menyatukan dan mempersaudarakan, yaitu spirit
monodulisme siwalima sebagai akar budaya, budaya pela, gandong dan famili. Nilai-
nilai pendidikan multikultural di dalam kearifan lokal masyarakat Maluku itu antara lain
penghargaan kepada orang lain (respect for others), dpenghargaan kepada diri sendiri
(respect for self). Hal tersebut tercermin dalam nilai saling memahami perbedaan,
saling menghormati, saling mengasihi, saling membanggakan, saling melindungi, saling
membanggakan, serta saling menopang dan saling menghidupi.

 Review Jurnal 9

Judul Konsep Nation-State dalam Pemikiran Ideologi Politik


Melayu Islam pada Abad Ke-19 M (Studi Pemikiran Abdullah
bin Abdul Kadir Munsyi (1787-1854)

Jurnal Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam

Volume dan Halaman Vol. XVIII No. 2,

Tahun 2018

Penulis Andi Chandra Jaya

Reviewer Salya Khairun Nisa

 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yang tak terpisahkan dengan pokok permasalahan di
atas. Sesuai dengan fokus penelitian ini, maka penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan eksplanasi sejarah untuk mengungkapkan konsep nation-state menurut
Abdullah Munsyi dalam konstelasi ideologi politik Melayu Islam di abad ke-19 M dan
mendeskripsikan relevansinya konsep negara bangsa Indonesia saat ini. Secara teoritis
penelitian diharapkan memberikan kontribusi pemikiran, terutama bagi pelestarian
tradisi keilmuan di dunia Melayu. Secara praktis penelitian ini berguna untuk para
sejarawan dalam menulis ulang sejarah Melayu secara ilmiah dan objektif.Lebih, jauh,
penelitian ini juga bermanfaat untuk memperkaya ide dan gagasan khazanah wawasan
tentang kajian ilmu sejarah politik Islam, khususnya politik Islam Melayu serta
diharapkan akan memberikan konstribusi berkaitan dengan upaya membangun good
governance di Indonesia saat ini tengah carut marut.
 Metode Penelitian
Sumber data dalam penelitian menggunakan sumber data primer dan sekunder.
Data primer adalah data yang dikumpulkan melalui studi pustaka, baik yang berkaitan
dengan biografi dan karya tulis Abdullah Munsyi, khususnya kitab Hikayat Abdullah.
Namun karena karya asli yang ditulis tangan oleh Abdullah Munsyi sampai peneltitian
ini dilaksanakan tidak ditemukan, maka yang dijadikan sumber primer adalah buku
Hikayat Abdullahkarya Abdullah Musnyi terbitan Yayasan Karyawan, Kuala Lumpur,
Malaysia tahun 2007.Untuk melengkapi data primer, penelitian ini juga menggunakan
data sekunder, yakni karya Amin Sweeney berjudulKarya Lengkap Abdullah bin Abdul
Kadir Munsyi, Jilid 1-3 yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama
dengan Ecole francais d’Extreme-Orient, Jakarta tahun 2005 dan 2008. Selain itu,
penulis juga menggunakan data sekunder lainnya, baik berupa buku, artikel jurnal,
makalah, dan lainya yang berhubungan dengan masalah penelitian. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis dan filsafat politik.
Pendekatan historis digunakan untuk mengungkapkan biografi, setting sosio kulutral
dan politik di masa Abdullah Munsyi. Sedangkan pendekatan filsafat politik digunakan
untuk mengkaji pemikiran nation-state Abdullah Munsyi dan kontekstualisasinya di
Indonesia saat ini. Penelitian sejarah yang pada dasarnya adalah penelitian terhadap
sumbersumber sejarah sebagai implementasi dari tahapan kegiatan yang tercakup
dalam metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.
 Hasil Penelitian
Paham teokrasi-monarkibangsa Melayu membuat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
“gerah”, sehingga memunculkan perlawanan melalui karya-karya sastranya yang
mengkritik perilaku para raja Islam Melayu yang dalam terminologi politik modern
disebut monarchomach atau penentang raja/anti kerajaan.Banyak kisah yang
diceritakan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi mengenai raja yang tidak adil atau tidak
masuk akal. Di antaranya seperti di bawah ini; “Maka setelah sudah berkampung, maka
Tuan Raffles pun duduklah dia atas tempat bicara itu, katanya, “Tuan Sultan dan
Temenggung, bagaimanakah adat dalam undang-undang orang Melayu, jikalau
seorang rakyat menderhaka kepada rajanya demikian ini?” Maka jawab Sultan , “Tuan
kalau adat Melayu, orang itu dibunuh habis-habis dengan anak bininya dan kaum
keluarganya. Maka tiang rumahnya dibalikkan dan ke atas dan bumbung rumahnya ke
bawah dan tanah bekas rumahnya itu pun dibuangkan ke laut,adanya”.26 Abdullah
Munsyi menunjukkan sikap benci dan menganggap budaya raja-raja Melayu sebagai
kolot dan tidak adil. Ia menganggap raja-raja Melayu sangat zalim karena kehendak
mereka tidak boleh dihalangi atau dilarang. Sebab jika dilarang berdampak buruk pada
dirinya sendiri. Sikap dan pemikirannya yang tidak senang pada kehidupan feodalistik
raja-raja Melayu, seperti gambaran tentang Sultan Hussin yang dikatakan gemuk dan
kuat makan. Selain itu, Abdullah juga turut mengatakan Sultan Hussin bodoh karena
menolak tawaran Tuan Raffles yang menginginkan anak Sultan belajar ke Benggala
supaya belajar pelbagai jenis ilmu pengetahuan. Kritikan ini dapat dilihat berdasarkan
petikan. “Bahawa sesungguhnya adalah pada fikiranku maka nyatalah kebodohan dan
kekurangan fikiran Sultan itu, maka alangkah baik dan besar tolongan Tuan Raffles itu
hendak mengajarkan anak-anak mereka itu supaya kemudian kelak ia boleh mengerti
dan mendapat kepandaian dan hikmah akan menambahkan akal dan pengetahuan. Di
samping itu, Abdullah juga sangat menentang perilaku elit kerajaan yang sangat
sewenang-wenang dengan rakyatnya. Sebagai contoh bila seorang raja ingin
mempersunting seorang gadis, maka ia akan memaksa gadis tersebut menjadi gundik
mereka. Bahkan, terdapat juga gadis-gadis yang dinikahi dengan paksa. Adat atau
undang-undang yang mengatakan tidak boleh mendurhakai raja menyebabkan khatib
terpaksa menikahkan juga gadis dengan raja mereka. “Syahadan lagi, hendaklah tuan-
tuan mendengar ada lagi suatu ajaib yang kudengar, kecualinya ada raja-raja Melayu
yang membuat sesuatu adat, iaitu bukannya adat orang Islam dan bukannya adat
bangsa-bangsa lain pun yang ada di dunia, melainkan adat iblis atau adat hawa nafsu
yang jahat, iaitu kalau raja-raja mengambil anak-anak perempuan orang kebanyakan
hendak dibuat gundik itu dengan kerasnya, semata-mata tiada dengan redha
perempuan itu, istimewa ibu bapanya maka digagahinya disuruhnya bawa perempuan
itu ke rumahnya, maka dipanggilnya khatib atau lebai-lebai yang bebal yang tiada
mengetahui hukum agama Islam dan yang tamak akan upah”.28 Selanjutnya, fakta
bahwa Inggris telah mendarat di Singapura mereka telah memberlakukan hukum di
Singapura. Undang-undang ini diberlakukan untuk menjamin keamanan negara
Singapura dari luar. Ada kutipan yang menceritakan tentang penyusunan negara
Singapura dalam Hikayat Abdullah ini; “Syahadan, setelah ramailah sudah negeri
Singapura, maka oleh Tuan Raffles dikarangkannyalah undang-undang,iaitu
menyatakan adat-adat dan hukum-hukum yang patut dipakai dalam negeri Singapura
supaya terpelihara segala isi negeri daripada segala bahaya dan kejahatan, adanya.”29
Cuplikan bait-bait sastra yang ditulis Abdullah Munsyi dalam Hakayat Abdullah di atas
dapat dikatakan sebagai “pergolakan batin” Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi melihat
kondisi masyarakat Melayu yang diperintah oleh para raja tiran dan tidak adil yang
dinilainya bertanggung jawab atas keterbelakangan masyarakat Melayu. Para raja telah
merampas hak-hak rakyat dan berbuat segala sesuatu yang penting bagi kehidupan
mereka. Melihat kondisi masyarakat demikian Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
menggagas faham kebangsaan (nation-state) Melayu.Melalui karya terpentingnya,
Hakayat Abdullah, ia mengedepankan rumusan identitas masyarakat Melayu dalam
rumusan bangsa, yang dipahami sebagai suku atau ras Melayu sebagai sebuah
komunitas yang sepenuhnya berada di bawah sistem kekuasaan politik yang berbasis
pada ideologi kerajaan. Melainkan sebagai sebuah ras atau bangsa yang memiliki hak
untuk terlibat menentukan format politik Melayu. Bangsa dalam terminologi Abdullah
Munsyi mengacu kepada rakyat (common people). Artinya, konsep bangsa dalam
pemahaman Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi memiliki nilai egalitarian. Hal ini sangat
kontras dengan bangsa yang dipahami dari ideologi kerajaan (monarki) yang sangat
elitis dan aristokratis.Sebab doktrin kesetaraan (egalitarianisme) merupakan hal yang
menjadi barang berharga bagi kehidupan Indonesia saat ini. Munculnya konflik tuntutan
kesetaraan gender, konflik jihad dengan kekerasan, konflik pertikaian antar ras dan
agama, dan konflik lainya, merupakan imbas dari sikap manusia yang dijiwai oleh
prasangka kebenaran tunggal. Dalam rangka menghindari berbagai konflik dan
menumbuhkan sikap egalitarianisme dalam masyarakat Indonesia gagasan nation-state
yang digagas Abdullah Munsyi pada abad ke-19 M lalu, masih tetap aktual dalam
konteks masyarakat Indonesia saat ini. Meskipun pemikiran politik Abdullah Munsyi
cenderung liberal. Namun setidaknya banyak menekankan pentingnya bangsa Melayu
memperjuangkan hak-haknya baik sosial maupun politik mereka. Ia banyak mengkritik
ideologi politik kerajaan yang telah membuat kekacauan karena raja-rajanya telah
berbuat tiran dan tidak adil.31 Menurut pemikirannya konsep kebangsaan adalah
komunitas bangsa Melayu yang merupakan bangunan sosial bagi masyarakat di mana
prinsip yang dianut bersifat egaliter dan antiotokratik.32 Dalam perspektif ilmu
ketatanegaraan, konsep negara bangsa (nation-state) yang digagas Abdullah Munsyi
merupakan konsep tentang negara modern yang terkait erat dengan paham
kebangsaan atau nasionalisme. Nasionalisme dapat dikatakakansebagai sebuah situasi
kejiwaan dimana kesetiaan seseorangsecara total diabdikan langsung kepada negara
bangsa atasnama sebuah bangsa. Dengan demikian, nasionalisme sangat penting
sekali bagi bangsa Indonesia untuk bisa menjadi bangsa yang maju, bangsa yang
modern, bangsa yang aman dan damai, adil dan sejahtera.
 Kesimpulan
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi atau yang lebih dikenal dengan Abdullah Munsyi
adalah penggagas paham kebangsaan. Melalui karya terpentingnya, Hikayat Abdullah,
ia mengedepankan rumusan identitas Melayu dalam rumusan bangsa yang dipahami
sebagai suku atau ras Melayu. Ia menekankan bahwa bangsa Melayu sebagai sebuah
komunitas yang memiliki hak untuk terlibat menentukan format politik Melayu bukan
sebagai komunitas yang erada di bawah sistem politik yang berbasis pada ideologi
kerajaan yang cenderung otoriter. Sesuai dengan teori conscience morale Ernest
Renan dan teori kontrak sosial (social contract) yang digagas oleh J. J. Roussae,
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi penggagas paham kebangsaan. Melalui karya
terpentingnya, Hikayat Abdullah, ia mengedepankan rumusan identitas Melayu dalam
rumusan bangsa yang dipahami sebagai suku atau ras Melayu yang memiliki hak untuk
terlibat menentukan format politik Melayu bukan sebagai komunitas yang berada di
bawah sistem politik yang berbasis pada ideologi kerajaan yang cenderung otoriter.
Kedekatannya dengan pihak kolonial Inggris, sehingga membentuk pemikiran liberal
yang diperolehnya dari Raffles dan kawan-kawannya. Ia tidak hanya membongkar
manipulasi ideologi kerajaan, tetapi sekaligus mengedepankan pandangan baru tentang
eksistensi individu yang humanis. Paham kebangsaannya memiliki nilai egalitarian yang
sangat relevan dengan konteks Indonesia saat ini, khususnya nilai-nilai kesetaraan
(egalitarianisme) di tengah munculnya konflik berbagai konflik saat ini. Demikian juga
konsep nation-state terkait erat dengan nasionalisme dan good governance di mana
pengelolaan pemerintahan yang baik, yang bertumpu kepada kemutlakan adanya
transparansi, partisipasi terbuka, dan pertanggung jawaban di dalam semua kegiatan
kenegaraan di setiap jenjang pengelolaan negara, sehingga terbentuk pemerintahan
yang bersih.

 Review Jurnal 10

Judul Studi Analisis Konsep Ideologi Marhaenisme Sukarno


sebagai Asas Perjuangan Bangsa Indonesia

Jurnal Jurnal Kewarganegaraan

Volume dan Halaman Vol. 19, Nomor 1

Tahun 2022

Penulis Febri Fajar Pratama, Ai Kusmiati Asyiah, Deni Chandra

Reviewer Salya Khairun Nisa

Tanggal Maret 2022

 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis konsep tentang
ideologi Marhaenisme Sukarno yang menjadi cikal bakal pemikiran/gagasan mengenai
Pancasila
 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis konsep dengan pendekatan kualitatif.
Pendekatan ini dipilih dengan mempertimbangkan aspek kedalaman analisis. Seperti
dikatakan oleh Pratama & Mutia (2020) bahwa “penelitian kualitatif dilakukan untuk
menemukan kebenaran dalam kerangka pemecahan masalah sebagai sarana untuk
membangun prinsip, konsep, teori keilmuan atau model yang berkenaan dengan
masalah yang diteliti”. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik studi
kepustakaan. Peneliti mengumpulkan semua buku rujukan yang berkenaan dengan
konsep pemikiran Bung Karno tentang paham marhaenisme serta sumber dari artikel
jurnal yang relevan. Sedangkan untuk analisis data, peneliti mengambil rujukan metode
analisis konsep yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Nuopponen (2010).
Menurut Nuopponen (2010) analisis konsep merupakan “an activity where concepts
belonging to whole, their characteristics and the relations that they hold within systems
of concepts are clarified and described”. Pada dasarnya analisis konsep merupakan
sebuah aktivitas yang dilakukan untuk mendefinisikan atau menegaskan karakteristik
dan hubungan sebuah konsep yang satu dengan yang lainnya secara jelas.
 Hasil Penelitian :
- Konsep Ideologi
Ideologi merupakan ide, pemikiran atau gagasan yang membentuk keyakinan atau
paham. Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Prancis, yaitu “Idéology” yang
terdiri dari 2 suku kata, yakni “Ideo” dan “Logos” yang dalam bahasa Yunani berarti
logika dan rasio. Jika diterjemahkan kedalam pengertian secara terminologis, “Idéology”
dapat diartikan sebagai “Ilmu yang mengkaji tentang hakikat ide dan gagasan”. Al
Muchtar (2016) mendefinisikan ideologi sebagai kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide,
keyakinan-keyakinan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut berbagai
bidang kehidupan manusia. Sedangkan Suseno (2015) mengartikan ideologi dari 2
sudut pandang, yakni secara luas dan sempit. Ideologi secara luas digunakan untuk
segala kelompok cita-cita, nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung
tinggi sebagai pedoman normatif. Sedangkan dalam arti sempit, ideologi merupakan
gagasan atau teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang ingin
ditentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Selanjutnya,
ideologi dalam arti sempit tersebut oleh Suseno disebut sebagai ideologi tertutup
karena sifatnya yang memaksa dan mengatur. Sastraprateja (1991) lebih luas
menjabarkan pengertian ideologi sebagai menjadi su terkandung di dalam ideologi,
yaitu: a) Adanya suatu penafsiran atau pemahaman terhadap kenyataan; b) Setiap
ideologi memuat seperangkat nilai-nilai atau suatu preskripsi moral; c) Ideologi memuat
suatu orientasi pada tindakan, ideologi merupakan suatu pedoman kegiatan untuk
mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya. n ideologi berfungsi sebagai apa yang
disebut oleh Sastraprateja. Dengan demikianideologi berfungsi sebagai apa yang
disebut oleh Sastrapateja (1991) “solidarity making”, dengan mengangkat berbagai
perbedaan ke dalam tata nilai yang lebih tinggi. Fungsi pemersatuan tersebut bisa
terlihat melalui semboyan seperti “Kesatuan dalam Perbedaan” atau “Perbedaan dalam
Kesatuan”. Dalam kasus-kasus tertentu, ideologi dapat juga menciptakan ketegangan
apabila ideologi itu merupakan ideologi yang dipaksakan oleh sekelompok kecil orang.
Dari sejumlah definisi dan pemaknaan ideologi tersebut, dapat diidentifikasi ciri-ciri
konsep ideologi yang secara umum menurut Al Muchtar (2016) dapat dicirikan melalui
dua dimensi kajian, yaitu dimensi kajian sosiologis yang membahas tentang ideologi di
dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat penuh dengan ragam ideologi yang muncul
sebagai hasil pemikiran perorangan atau kolektif dalam menemukan gagasan
komprehensif untuk membangun dan mengaktualisasikan berbagai kepentingan
bersama. Kemudian dimensi kajian ideologi dari aspek ilmu politik yang bermuara dari
filsafat politik. Ideologi sebagai konsep politik dan dihasilkan dari pemikiran politik untuk
dikembangkan menjadi lembaga politik dan digunakan untuk mencapai tujuan politik.
Kedua kajian ini saling melengkapi dalam memberikan makna ideologi.
Setelah melakukan analisis konsep dari istilah marhaenisme, didapatkan relasi
marhaenisme Bung Karno dengan konsep ideologi lain yang mempengaruhi landasan
berpikir Bung Karno ketika itu. Adapun konsep-konsep tersebut meliputi: sosialisme,
komunisme, nasionalisme, dan islamisme. Secara harfiah, istilah marhaenisme merujuk
kepada nama seorang petani yang tidak sengaja Bung Karno temui ketika sedang
mengayuh sepedanya ke daerah persawahan di selatan Kota Bandung. Ia kemudian
berhenti sejenak dan memperhatikan petani tersebut. Lalu tanpa ragu Bung Karno
menghampirinya dan berdialektika untuk menggali informasi mengenai kondisi
sebenarnya si petani itu. Melalui obrolan-obrolan tersebut, Bung Karno mendapatkan
fakta dari sang Petani bahwa sawah yang ia garap merupakan sawah miliknya yang
diwariskan dari orang tuanya, alat-alat yang digunakan untuk membajak sawah juga
merupakan miliknya, namun hasil yang didapat tidak dijual kembali lantaran hanya
cukup untuk memberi makan keluarganya saja. Kejadian tersebut yang kemudian
mengilhami Bung Karno untuk menamai konsep yang selama ini ia kembangkan
tentang sosialisme khas indonesia dengan nama “Marhaen”. Pada akhirnya marhaen
menjadi paham yang digunakan untuk merepresentasikan rakyat Indonesia yang
dimelaratkan oleh imperialisme dan kapitalisme eksploitatif kaum borjuis. Sehingga
Bung Karno memposisikan marhaenisme sebagai sosialisme Indonesia dalam praktik
(Adams, 2018). Marhaenisme sebagai suatu konsep pemikiran perjuangan bangsa
dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat untuk mencapai
kebahagiaan tentunya tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur pembentuknya, yaitu
asas-asas yang kemudian menjadi satu kesatuan sistem ideologi marhaenisme.
Adapun asas-asas pembentuk tersebut meliputi: radikal-revolusioner, machtvorming,
massa-aksi, nonkooperasi, self-help & self-reliance. Radikal-revolusioner yaitu
perubahan berdasarkan kehendak zaman yang cepat. Dalam konteks perjuangan,
maka radikal revolusioner merupakan perubahan secara cepat yang menginginkan
berakhirnya masa imperialisme dan hal-hal yang terkait dengan penindasan serta
perampasan hak secara paksa. Radikalisme di dalam kekuatan perjuangan bangsa
sangat penting sekali. Radikal dimaknai sebagai hal yang tidak boleh dilakukan
setengah-setengah, harus dilakukan dengan keseriusan dan kesungguhan. Maka dari
itu, Sukarno selalu menegaskan tentang pentingnya rakyat yang radikal revolusioner,
karena tidak ada perjuangan yang bisa mendobrak penjajahan di atas tanah Indonesia
tanpa mereka yang benar-benar memiliki pemikiran dan sikap yang radikal
revolusioner. Bung Karno (1964) juga tidak memberikan batasan terhadap makna
radikal revolusioner itu sendiri. Orang yang revolusioner tidak hanya mereka yang
berpaham sosialis saja, bukan mereka yang dilekatkan padanya sebagai seorang
proletar saja, bukan mereka yang berada di atas platform demokrasi formil saja, tetapi
mereka yang benarbenar menghendaki masyarakat yang sama rasa dan sama rata
tanpa kapitalisme. Revolusioner adalah orang-orang yang menentang imperialisme
tidak peduli ia dari golongan apa, tidak peduli ia berpaham apa, tidak peduli ia berdiri di
atas platform apa, semua yang menentang adanya penjajahan maka ia adalah seorang
revolusioner.
 Kesimpulan
Konsep dari marhaenisme Sukarno yaitu mengarah kepada perjuangan kaum
marhaen agar bisa terbebas dari imperialisme dan kapitalisme yang eksploitatif.
Marhaen sendiri adalah istilah yang diambil Soekarno sebagai representatif rakyat
Indonesia yang tertindas dan tidak berdaya. Asas-asas pada marhaenisme meliputi
radikal-revolusioner, machts vorming, massa-aksi, non-kooperasi, dan self-help & self
reliance. Kelima asas tersebut kemudian disebut Bung Karno sebagai sosio-
nasionalisme dan sosio-demokrasi. Marhaenisme sendiri berperan dalam menginfiltrasi
pemikiran Bung Karno pada saat mengemukakan konsep dasar negara Indonesia yang
termanifestasi dalam Pancasila. Meskipun tidak secara formal termaktub dalam sila,
tetapi makna tersirat sempat diungkapkan Bung Karno dalam trisila yang menyertakan
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Meskipun marhaenisme sempat mengalami
kemunduran, terlebih pada masa orde baru, karena dianggap beraliran kiri yang
dipengaruhi pemikiran marxis, tetapi ideologi ini tetap terjaga, walaupun sudah
kehilangan pamornya. Namun, relevansi asas marhaenisme masih bisa digali dan dikaji
lebih dalam, terutama pada aspek politik, ideologi, dan sosial. Marhaenisme pada
dasarnya tidak dapat benar-benar dijalankan secara luas karena fungsinya sebagai
ideologi perjuangan, tetapi asas-asasnya masih relevan dan bisa untuk dikaji bersama
dalam rangka memperkuat pemahaman kita tentang Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai